Selasa, 26 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (7): NATIONAL DEVELOPMENT INFORMATION OFFICE (NDIO).




Penyelesaian krisis Pertamina ternyata tidak menghentikan pemberitaan dan kampanye negatif tentang Indonesia. Hal tersebut tentu dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi kepentingan nasional. Selesai  satu kasus muncul kasus lain yang selalu dicoba untuk dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu buat mendiskreditkan dan menekan Indonesia. Guna menangkal menurunnya citra dan kepercayaan internasional tadi, Presiden Soeharto menugaskan Ismail Saleh untuk meneruskan tim pengggalangan citra kasus Pertamina dengan membentuk National Development Information Office (NDIO). Meski pun sama dengan lembaga-lembaga resmi lainnya, yaitu menggunakan logo lambang burung Garuda dalam kop suratnya, sebagaimana dilakukan sewaktu menangani krisis Pertamina, NDIO tetap beroperasi dengan cara dan dana yang tidak resmi.

Sebagai pegangan operasional, Ismail Saleh menggariskan pokok-pokok kegiatan antara lain:

1.         Memberikan penerangan dan penjelasan kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu misalnya para pengusaha, dunia perbankan, unsur-unsur/pejabat –pejabat pemerintahan, dunia perguruan tinggi dan berbegai media massa mengenai kebijaksaaan dan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia seperti perkembangan neraca pembayaran, kependudukan, tingkat inflasi, penanaman modal, ekspor Indonesia, pembangnan daerah, keluarga berencana, transmigrasi dan sebagainya.

2.         Pada tahap pertama, penerangan akan dilakukan di lima negara yakni Amerika, Inggris, Jepang, Australia dan Hongkong. Jumlah negara ini dapat ditambah sesuai dengan perkembangan situasi.

3.         Program tersebut dilakukan dengan cara antara lain menyusun dan menyebarkan bahan-bahan penerangan seperti Indonesia Fact Folder, artikel-artikel, buku-buku, “newsletter” serta menyelenggarakan wawancara pers dan “press tour”.

Dalam melaksanakan tugasnya, NDIO memperoleh arahan yang cukup efektif dari kalangan menteri-menteri di bidang ekonomi. Radius Prawiro yang memiliki hubungan emosional, bahkan terus memberikan perhatian dan nasihat kepada NDIO walaupun sudah tidak menjabat sebagai anggota Kabinet. Setelah kepemimpinan Ismail Saleh dibantu Ginanjar Kartasasmita (waktu itu Asisten Menteri), NDIO berturut-turut dipimpin oleh Mayor Jenderal August Marpaung, Syamsu Sugito dan B.Wiwoho.

NDIO  melakukan bagian terbesar kegiatannya dari kantor-kantor di luar negeri, sedangkan kantor pusat Jakarta disamping mengkoordinasi, juga mengumpulkan dan mengolah materi komunikasi. Tidak jarang sejumlah pejabat tinggi yang akan melakukan kunjungan ke luar negeri atau memberikan sambutan di forum internasional, meminta masukan serta dukungan NDIO.

Setelah berjalan selama 16 tahun, pada akhir 1993 penulis mendapat tugas untuk melakukan reorganisasi dan penghematan biaya operasional NDIO. Secara organisasi NDIO memang sangat lemah karena hanya merupakan “special task force” yang tidak memiliki kewenangan melakukan perencanaan jangka panjang baik di bidang organisasi, kaderisasi, program maupun anggaran. Semuanya hanya dibicarakan serta diputuskan secara “ad-hoc” jangka pendek. Kepada Pemerintah, penulis mengusulkan agar status “special task force” diakhiri dan diganti menjadi lembaga resmi terstruktur, atau diubah menjadi bentuk Yayasan seperti dilakukan oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan terhadap Yayasan Kerjasama Pembangunan Untuk Irian Jaya. Usulan ini ditolak oleh Menteri Sekretaris Negara Murdiono, antara lain dengan alasan dikuatirkan tidak bisa bekerja secara leluasa  karena menjadi birokratis, kaku dan lamban sebagaimana lazimnya lembaga-lembaga resmi.

Alasan tersebut masuk akal, namun tidak memberikan penyelesaian atas hambatan-hambatan kerja NDIO  yang menjadi datar setelah penyelesaian krisis Pertamina, sementara itu tekanan-tekanan negatif dari luar negeri semakin terasa berat. Tekanan-tekanan asing yang mendukung pergolakan-pergolakan di Aceh, Timor Timur dan Papua (Irian Jaya), kejemuan para pengamat dan lembaga swadaya masyarakat luar negeri terhadap pemerintah Orde Baru yang sudah berjalan 28 tahun serta  pergerakan kelompok-kelompok yang tidak senang terhadap Indonesa, yang semenjak awal NDIO sudah disinyalir keberadaannya, terus meningkat.

Mengingat perasaan tidak suka terhadap  Pemerintah Indonesia yang sedang meningkat kuat itu, maka agar NDIO bisa lebih diterima,  kami memutuskan untuk menghilangkan logo lambang Garuda dalam kop surat dan produk-produk NDIO, menjadi hanya “Indonesia NDIO”.  Demikian pula format dan kemasan produknya disesuaikan perkembangan keadaan serta kelaziman di kalangan swasta. Hasilnya memang cukup menggembirakan. Target sasaran  memberikan respons dan respek, bahkan sampai sekarang produk-produk NDIO versi periode pertengahan tahun 1990-an itu masih tersimpan dan dipergunakan di perpustakaan-perpustakaan ternama di luar negeri.

Di bidang lobby dan penggalangan, NDIO juga mulai mengoptimalkan peranserta warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Demikian pula komunitas asing yang pernah tinggal di Indonesia, yang pada umumnya memiliki kesan yang baik terhadap Indonesia.

Khusus mengenai lobby Amerika Serikat, pada saat itu sudah terbentuk The United Stated – Indonesia Society (USINDO), yang diprakarsai oleh para mantan menteri dan duta besar. Tokoh-tokoh Indonesia yang terlibat antara lain Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo dan Prof.Dr.Emil Salim, sedangkan di pihak AS antara lain George P.Sultz. Edward Masters dan Paul Wolfowitch. Keberadaan USINDO sangat membantu memperkokoh hubungan baik kedua negara, oleh sebab itu Presiden Soeharto menugaskan NDIO menjalin kerjasama dan mendukungnya.

Ketika tekanan negatif dari luar negeri kian meningkat, NDIO mengusulkan untuk memperluas bidang tugas bukan hanya sebatas ekonomi  pembangunan, tapi juga sosial politik dan keamanan secara pro aktif. Gagasan tersebut kemudian dimatangkan dengan beberapa pejabat tinggi instansi-instansi terkait, antara lain membahas kemungkinan membentuk tim satuan tugas bersama yang bisa bergerak seketika jika terjadi sesuatu peristiwa di dalam negeri, yang berpotensi membawa dampak di luar negeri, meskipun hanya berupa pemberitaan media asing. Termasuk diantaranya adalah memberikan latarbelakang informasi instan kepada para perwakilan Indonesia di luar negeri, agar mereka tidak justru memperoleh informasi dari media massa asing. Sebaliknya berdasarkan latarbelakang informasi dari tim, mereka bisa memberikan penjelasan yang tepat kepada pers dan masyarakat di mana mereka bertugas. Dalam rangka ini NDIO sudah mulai menyiapkan tim dan sarana komunikasinya. Tetapi ternyata sejarah menghendaki lain. Sebelum gagasan ini bisa diwujudkan, Orde Reformasi bergulir dan Pak Harto lengser, mengundurkan diri sebagai Presiden. BERSAMBUNG.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda