Penyelesaian
krisis Pertamina ternyata tidak menghentikan pemberitaan dan kampanye negatif
tentang Indonesia.
Hal tersebut tentu dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi kepentingan
nasional. Selesai satu kasus muncul
kasus lain yang selalu dicoba untuk dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu
buat mendiskreditkan dan menekan Indonesia. Guna menangkal
menurunnya citra dan kepercayaan internasional tadi, Presiden Soeharto
menugaskan Ismail Saleh untuk meneruskan tim pengggalangan citra kasus
Pertamina dengan membentuk National Development Information Office (NDIO).
Meski pun sama dengan lembaga-lembaga resmi lainnya, yaitu menggunakan logo
lambang burung Garuda dalam kop suratnya, sebagaimana dilakukan sewaktu
menangani krisis Pertamina, NDIO tetap beroperasi dengan cara dan dana yang
tidak resmi.
Sebagai
pegangan operasional, Ismail Saleh menggariskan pokok-pokok kegiatan antara
lain:
1.
Memberikan penerangan dan penjelasan kepada
kelompok-kelompok masyarakat tertentu misalnya para pengusaha, dunia perbankan,
unsur-unsur/pejabat –pejabat pemerintahan, dunia perguruan tinggi dan berbegai
media massa mengenai kebijaksaaan dan pelaksanaan pembangunan nasional
Indonesia seperti perkembangan neraca pembayaran, kependudukan, tingkat
inflasi, penanaman modal, ekspor Indonesia, pembangnan daerah, keluarga
berencana, transmigrasi dan sebagainya.
2.
Pada tahap pertama, penerangan akan dilakukan di
lima negara yakni Amerika, Inggris, Jepang, Australia
dan Hongkong. Jumlah negara ini dapat ditambah sesuai dengan perkembangan
situasi.
3.
Program tersebut dilakukan dengan cara antara
lain menyusun dan menyebarkan bahan-bahan penerangan seperti Indonesia Fact Folder,
artikel-artikel, buku-buku, “newsletter” serta menyelenggarakan wawancara pers
dan “press tour”.
Dalam
melaksanakan tugasnya, NDIO memperoleh arahan yang cukup efektif dari kalangan
menteri-menteri di bidang ekonomi. Radius Prawiro yang memiliki hubungan
emosional, bahkan terus memberikan perhatian dan nasihat kepada NDIO walaupun
sudah tidak menjabat sebagai anggota Kabinet. Setelah kepemimpinan Ismail Saleh
dibantu Ginanjar Kartasasmita (waktu itu Asisten Menteri), NDIO berturut-turut
dipimpin oleh Mayor Jenderal August Marpaung, Syamsu Sugito dan B.Wiwoho.
NDIO melakukan bagian terbesar kegiatannya dari
kantor-kantor di luar negeri, sedangkan kantor pusat Jakarta disamping mengkoordinasi, juga
mengumpulkan dan mengolah materi komunikasi. Tidak jarang sejumlah pejabat
tinggi yang akan melakukan kunjungan ke luar negeri atau memberikan sambutan di
forum internasional, meminta masukan serta dukungan NDIO.
Setelah
berjalan selama 16 tahun, pada akhir 1993 penulis mendapat tugas untuk
melakukan reorganisasi dan penghematan biaya operasional NDIO. Secara
organisasi NDIO memang sangat lemah karena hanya merupakan “special task force”
yang tidak memiliki kewenangan melakukan perencanaan jangka panjang baik di
bidang organisasi, kaderisasi, program maupun anggaran. Semuanya hanya
dibicarakan serta diputuskan secara “ad-hoc” jangka pendek. Kepada Pemerintah,
penulis mengusulkan agar status “special task force” diakhiri dan diganti
menjadi lembaga resmi terstruktur, atau diubah menjadi bentuk Yayasan seperti
dilakukan oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan terhadap Yayasan
Kerjasama Pembangunan Untuk Irian Jaya. Usulan ini ditolak oleh Menteri
Sekretaris Negara Murdiono, antara lain dengan alasan dikuatirkan tidak bisa
bekerja secara leluasa karena menjadi
birokratis, kaku dan lamban sebagaimana lazimnya lembaga-lembaga resmi.
Alasan
tersebut masuk akal, namun tidak memberikan penyelesaian atas hambatan-hambatan
kerja NDIO yang menjadi datar setelah
penyelesaian krisis Pertamina, sementara itu tekanan-tekanan negatif dari luar
negeri semakin terasa berat. Tekanan-tekanan asing yang mendukung
pergolakan-pergolakan di Aceh, Timor Timur dan Papua (Irian Jaya), kejemuan
para pengamat dan lembaga swadaya masyarakat luar negeri terhadap pemerintah
Orde Baru yang sudah berjalan 28 tahun serta
pergerakan kelompok-kelompok yang tidak senang terhadap Indonesa, yang
semenjak awal NDIO sudah disinyalir keberadaannya, terus meningkat.
Mengingat
perasaan tidak suka terhadap Pemerintah
Indonesia yang sedang meningkat kuat itu, maka agar NDIO bisa lebih
diterima, kami memutuskan untuk
menghilangkan logo lambang Garuda dalam kop surat dan produk-produk NDIO,
menjadi hanya “Indonesia NDIO”. Demikian
pula format dan kemasan produknya disesuaikan perkembangan keadaan serta
kelaziman di kalangan swasta. Hasilnya memang cukup menggembirakan. Target
sasaran memberikan respons dan respek,
bahkan sampai sekarang produk-produk NDIO versi periode pertengahan tahun
1990-an itu masih tersimpan dan dipergunakan di perpustakaan-perpustakaan
ternama di luar negeri.
Di bidang
lobby dan penggalangan, NDIO juga mulai mengoptimalkan peranserta warga negara Indonesia yang
tinggal di luar negeri, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Demikian pula
komunitas asing yang pernah tinggal di Indonesia,
yang pada umumnya memiliki kesan yang baik terhadap Indonesia.
Khusus
mengenai lobby Amerika Serikat, pada saat itu sudah terbentuk The United Stated
– Indonesia Society (USINDO), yang diprakarsai oleh para mantan menteri dan
duta besar. Tokoh-tokoh Indonesia yang terlibat antara lain
Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo dan Prof.Dr.Emil Salim, sedangkan di pihak AS
antara lain George P.Sultz. Edward Masters dan Paul Wolfowitch. Keberadaan
USINDO sangat membantu memperkokoh hubungan baik kedua negara, oleh sebab itu
Presiden Soeharto menugaskan NDIO menjalin kerjasama dan mendukungnya.
Ketika
tekanan negatif dari luar negeri kian meningkat, NDIO mengusulkan untuk
memperluas bidang tugas bukan hanya sebatas ekonomi pembangunan, tapi juga sosial politik dan
keamanan secara pro aktif. Gagasan tersebut kemudian dimatangkan dengan
beberapa pejabat tinggi instansi-instansi terkait, antara lain membahas
kemungkinan membentuk tim satuan tugas bersama yang bisa bergerak seketika jika
terjadi sesuatu peristiwa di dalam negeri, yang berpotensi membawa dampak di
luar negeri, meskipun hanya berupa pemberitaan media asing. Termasuk
diantaranya adalah memberikan latarbelakang informasi instan kepada para
perwakilan Indonesia di luar
negeri, agar mereka tidak justru memperoleh informasi dari media massa asing. Sebaliknya
berdasarkan latarbelakang informasi dari tim, mereka bisa memberikan penjelasan
yang tepat kepada pers dan masyarakat di mana mereka bertugas. Dalam rangka ini
NDIO sudah mulai menyiapkan tim dan sarana komunikasinya. Tetapi ternyata
sejarah menghendaki lain. Sebelum gagasan ini bisa diwujudkan, Orde Reformasi
bergulir dan Pak Harto lengser, mengundurkan diri sebagai Presiden. BERSAMBUNG.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda