Perumpaan
apakah yang paling tepat untuk menggambarkan situasi Indonesia, yang semula lemah
lunglai, kemudian tiba-tiba mendadak kaya raya – berlimpah dollar akibat Perang
Teluk Oktober 1973? Dalam tulisan “Revolusi Perpajakan th 1983: Membangun
Monumen Nasional Yang Bisa Menjadi Mesin Uang”, telah saya jelaskan bagaimana
kita menerima berkah dari lonjakan harga minyak dunia akibat Perang Teluk
tersebut. Jika pada tahun awal 1970-an harga minyak hanya berada pada kisaran
US.$.1,67 per barrel, maka akibat perang yang meletus pada 6 Oktober 1873 itu,
harga dengan cepat naik menjadi US.$.3,65 dan terus meroket mancapai US.$.12
per barrel awal 1974. Itu pun belum berhenti. Masih merambat lagi jadi
US.$.13,5 dan meroket lagi dipicu Revolusi Iran 1979, menjadi US.$.35 per barrel.
Salah
seorang arsitek ekonomi Orde Baru Radius Prawiro dalam bukunya “Pergulatan
Indonesia Membangun Ekonomi”, melukiskan situasi itu bagaikan sebuah dongeng
sebagai berikut: “Pada zaman dahulu kala, ada seorang petani tua dan isterinya
yang hidup secara jujur dan baik. Mereka mempunyai keluarga yang bahagia dengan
anak-anak yang patuh dan hormat kepada orang tua, namun secara materi mereka
miskin. Mereka bercocok tanam di atas sebidang lahan sempit untuk mencari
nafkah yang pas-pasan. Setiap hari mereka berdoa agar kesulitan hidup mereka
bisa teratasi. Suatu ketika, bebek-bebek mereka hilang. Setelah mencari-cari
cukup lama, pak tani dan isterinya menemukan bebek-bebek tersebut dekat sebuah
mata air ajaib yang mengucurkan emas. “Bu, tahu tidak apa artinya ini?” kata
pak tani. “Ini artinya doa kita terjawab, Pak!” teriak isterinya. “Benar. Kita
kaya. Mulai saat ini, kita tidak akan punya masalah lagi!”.
Tentu saja
dongeng ini belum selesai. Masih akan diceritakan perubahan yang terjadi dan
masalah-masalah baru yang dihadapi keluarga itu karena kaya mendadak. Akhirnya,
keluarga tersebut malah menghadapi masalah yang lebih besar lagi. Kalau
dihitung-hitung, kehidupan mereka sebelum jadi orang kaya relatif lebih
bahagia” (halaman 133).
Lantas
perumpaan apa yang tepat untuk menggambarkan Pertamina, yaitu perusahaan negara
yang bertugas serta bertanggungjawab mengelola durian runtuh dari minyak dan
gas bumi itu? Radius Prawiro menulis lebih lanjut : “Kekayaan dan kesuburan
tanah Indonesia
adalah anugerah akibat gunung berapi. Perusahaan minyak nasional Indonesia,
Pertamina, juga mirip dengan gunung berapi. Pertumbuhan industrialisasi dunia
menyebabkan kebutuhan energi meningkat terus. Indonesia menyalurkan permintaan
energi melalui Pertamina. Gunung berapi bertumbuh, dan pada awalnya membawa
kemakmuran. Kemudian, pada bulan Februari 1975, gunung meletus. Kerusakan yang
terjadi dahsyat, tetapi dalam jangka panjang, pengalaman ini membawa banyak
manfaat bagi negara. Peristiwa-peristiwa yang terkait dengan Pertamina akan membawa dampak yang
besar bagi pembangunan negara. Pelajaran-pelajaran yang bisa diambil sangat
berharga, tetapi biayanya juga tinggi” (halaman 139 – 140).
Pertamina
didirikan pada tahun 1968, sebagai hasil gabungan dari tiga perusahaan minyak
yaitu PN Permina, PN Permigan dan PT.Pertamin. Dalam tempo cepat, Pertamina
telah berubah dari sekumpulan usaha-usaha dunia ketiga menjadi konglomerasi multinasional
yang mencapai puncaknya pada pertengahan dekade tujuhpuluhan sebagai perusahaan
internasional terbesar ke-200. Untuk Indonesia, hal ini merupakan
keberhasilan yang menggemparkan. Tetapi meskipun besar dan penting, menurut
Radius, Pertamina hanya kulit luarnya yang tampak sebagai perusahaan
multinasional yang canggih. Tentu saja kulit luar yang bernilai
bermiliar-miliar dollar ini, cukup untuk menimbulkan impresi yang sangat
berkesan. Padahal di bawah permukaan, ternyata Pertamina tak punya: sistem –
kontrol – manajemen – tenaga ahli bahkan pengalaman yang memadai.
Semua
keterbatasan tadi ditutupi dengan penampilannya sebagai Sinterklas dunia bisnis
yang murah hati terhadap konraktor, pemasok, dan pegawai tingginya. Pertamina
mengesankan dirinya sebagai agen pembangunan. Dengan dukungan sejumlah
kelompok, ia melenggang berperan seolah-olah bendahara nasional, mengumpulkan
sebagain besar dari pajak, serta
menggunakan dana tersebut sedemikian besarnya untuk membangun berbagai
proyek dan industri di luar jalur perminyakan, sehingga kemudian berdampak
langsung terhadap pasokan uang.
Karena itu
meskipun makmur, pada tahun 1972 Pertamina mulai menurunkan kontribusi pajaknya
kepada pemerintah. Kemudian pada Oktober 1974, ia sama sekali tidak membayar
pajak lagi dengan justifikasi sedang
memerlukan dana untuk membiayai proyek-proyek pembangunannya. Tanda pertama
yang jelas dari kesulitan besar, muncul pada tahun 1974 ketika Pertamina tidak
menyetorkan kepada pemerintah kewajiban per triwulan dari penghasilannya dan
juga dari kontraktor luar negeri. Pada
periode yang sama, ia juga mulai mencari pinjaman dari bank-bank lokal, padahal sebelumnya
meminjam dari sumber luar negeri. Radius menengarai, pinjaman dari sumber lokal
ini merupakan pertanda Pertamina mulai sulit memperoleh pinjaman luar negeri.
Segera setelah itu, pada bulan Februari 1975, Pertamina gagal membayar pinjaman
US.$.40 juta yang berasal dari Republic National Bank of Dallas. Bank ini relatif kecil dan hampir tak
dikenal oleh orang-orang Pemerintah di luar Pertamina. Peristiwa itu menguak
parahnya masalah keuangan Pertamina serta menciptakan perhatian negatif secara
internasional.
Kesulitan
menjadi berlipat ganda karena ada sebuah klausul “cross-default” dalam sebagian
besar pinjaman komersial kepada pemerintah Indonesia. Menurut klausul ini,
jika negara wan prestasi terhadap salah satu pinjamannya, semua pinjaman yang
lain akan ditarik kembali, guna melindungi para pemberi pinjaman. Oleh karena
itu implikasi dari wan prestasi adalah bencana besar.
Segera
sesudah itu kesibukan para menteri di bidang ekonomi meningkat luar biasa.
Mereka baik secara sendiri maupun bersama-sama, sering menghadap Presiden. Beberapa anggota kabinet segera diorganisasi
ke dalam sebuah tim untuk mengambil alih kendali situasi. Menteri Widjojo dan
Gubernur Bank Sentral Rahmat Saleh, fokus pada pinjaman Pertamina. Menteri
Sumarlin bertanggungjawab meneliti kontrak-kontrak Pertamina dengan semua
kontraktorya dan merunding-ulang kontrak-kontrak yang dianggap tidak layak.
Letnan Jenderal Hasnan Habis dibantu Mayor Jenderal Piet Haryono dan Brigjen
Ismail Saleh, bertanggungjawab meneliti organisasi Pertamina. Sementara Radius
yang semua bersama Sumarlin mengkaji ulang kontrak-kontrak Pertamina, diminta
khusus menyelesaikan urusan perjanjian
tanker yang sudah mengarah pada sengketa
hukum di pengadilan internasional. Radius mencatat, dalam masa tugasnya
selama 28 tahun sebagai pejabat Kabinet, ia belum pernah melihat kabinet yang
begitu termobilisasi. “wan prestasi dari Pertamina adalah sebuah keadaan
darurat yag dalam tempo singkat membahayakan stabilitas finansial negara Indonesia.
Hal ini ditangani dengan penuh perhatian
seperti pada masa darurat perang atau bencana nasional yang sangat besar”.
Dalam pidato
akhir tahun Rabu, 31 Desember 1975, Presiden Soeharto menjelaskan tentang
persoalan Pertamina tersebut beserta
langkah-langkah nyata untuk menertibkan dan menyehatkan Pertamina.
Selanjutnya
pada tanggal 3 Maret 1976, Presiden memberhentikan Letjen Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama Pertamina serta mengangkat
Piet Haryono sebagai penggantinya. Dalam
pidato pelantikan Piet Haryono menjadi
Direktur Utama Pertamina pada tanggal 15 April 1976 di Istana Negara, Presiden
mengatakan, memang benar Pemerintah telah mengetahui, dan bahkan menyetujui
beberapa kegiatan Pertamina di luar minyak. Tetapi pengetahuan dan persetujuan tersebut adalah dalam rangka
memperlancar pelaksanaan tugas pokoknya dengan beberapa syarat bahwa pembiayaannya tidak boleh
memberatkan perusahaan apalagi membebani pemerintah. Pemerintah menyetujui
partisipasi Pertamina untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan di
bidang non minyak dalam rangka
memanfaatkan potensi Pertamina dan kepercayaan dunia usaha kepada Pertamina.
Ternyata tanpa diketahui Pemerintah, Pertamina telah ditimbuni dengan berbagai
kewajiban keuangan di luar kemampuannya. Andaikata pemerintah tidak segera
mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan, menurut Presiden, pastilah
Pertamina akan bangkrut, dan keadaan itu juga pasti akan menimbulkan akibat
yang lebih serius pada keuangan negara.
Dari
berbagai kasus dalam krisis Pertamina, ada satu kasus yang menjadi bahan berita
ramai di media massa
internasional, yakni sengketa kapal-kapal tanker Pertamina antara lain dengan
raja tanker Bruce Rappaport. Ini menyangkut uang US.$.3,3 milyar, terbesar dari
utang-utang Pertamina serta memerlukan banyak waktu dan usaha buat
menyelesaikannya, yang melibatkan berbagai perusahaan internasional yang
tersebar antara lain di Inggris, Norwegia, Amerika Serikat dan Hongkong. Jika
perusahaan-perusahaan lain bersedia menyelesaikan tanpa beban kesulitan yang
berarti, Rappaport yang mempunyai kontrak lebih dari US.$.1,5 milyar memilih
penyelesaian lewat jalan pengadilan. Selama
berbulan-bulan, kedua pihak bertempur secara hukum di Amerika Serikat,
Inggris, Belanda, Belgia, Perancis, Swis, Jepang dan Singapura.
Rappaport
memiliki bertumpuk-tumpuk kontrak dengan Pertamina, termasuk 1600 “promisory
notes”, semuanya ditandatangani Ibnu Sutowo. Persyaratan-persyaratan kontrak
sangat buruk. Kompas 29 November 1976 melaporkan, kapal-kapalnya terlalu besar
untuk berlayar di perairan Indonesia
dan tidak memiliki kumparan pemanas yang diperlukan untuk minyak Indonesia.
Lebih dari itu, harga kontrak secara terang-terangan dibuat jauh lebih tinggi
dari harga pasar.
Perselisihan
secara hukum ini menggoyahkan kepercayaan konsorsium bank, dengan siapa Indonesia
mengatur penyelesaian dari pinjaman-pinjaman Pertamina. Tekanan dilancarkan ke Indonesia
untuk mencari penyelesaian cepat. Posisi Indonesia semakin redup. Peristiwa
ini tentu saja menjadi bahan
bulan-bulanan pemberitaan media massa
internasional. Sementara itu organ-organ resmi Pemerintah yang terkait nyaris
tak berdaya. Menghadapi situasi seperti ini, Pemerintah segera menyusun operasi
penggalangan citra yang dipimpin langsung oleh Radius Prawiro didampingi oleh
Sumarlin dan Ismail Saleh. Sebagai Wakil
Sekretaris Kabinet, Ismail Saleh meneruskan petunjuk-petunjuk rahasia Presiden
kepada sejumlah Duta Besar Indonesia di luar negeri dan beberapa pejabat tinggi
untuk mensukseskan operasi penggalangan citra yang harus mampu bergerak menembus batas-batas
birokrasi, tepat dan berdaya guna. Sedangkan untuk membantu di lapangan, Radius
mengkontrak perusahaan “Public
Relations” ternama Hill and Knowlton dari Amerika Serikat, yang memiliki jaringan luas dan perwakilan
antara lain di Inggris, Jepang, Australia dan Hongkong.
Sejalan
dengan operasi itu, di dalam negeri Pemerintah berhasil menyudutkan pimpinan
Pertamina dengan mengungkap bukti-bukti kontrak yang buruk tadi, sehingga
akhirnya Ibnu Sutowo bersedia membuat “affidavit” yang berisi tuduhan penipuan.
Dengan “affidavit” ini menurut Radius situasi mulai berubah. Meskipun masih
tetap berat dan alot, satu demi satu peradilan dimenangkan Indonesia. Untuk pertama kali
secara terbuka di dalam negeri, pada tanggal 26 Januari 1977, Radius Prawiro
didampingi Sumarlin dan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono melaporkan kepada
Presiden Soeharto perkembangan tersebut.
Kepada wartawan selesai pertemuan, Radius mengatakan, Pengadilan Singapura dalam keputusannya segera membebaskan kapal
Pertamina yang bernama “Teluk Nibung” dengan nomor lambung 1017 pada tanggal 29
Januari 1977. Hal ini disebabkan karena pengadilan beranggapan bahwa pihak
penggugat yaitu Bruce Rappaport, tidak dapat membuktikan kebenaran
gugatannya. Dengan demikian telah tiga
kapal Pertamina yang dibebaskan dari empat kapal yang ditahan, sedangkan satu
lagi masih ditahan karena dalam proses banding.
Segera
sesudah itu, opini dunia berubah. Indonesia berhasil menggalang tim
pertempuran sampai opini Rappaport memburuk, sehingga akhirnya pada bulan
Agustus 1977, Pertamina dan Rappaport mencapai kata sepakat. Pertamina setuju
membayar US.$.150 juta untuk pembatalan kontrak senilai US.$.1,55 milyar.
Dengan terselesaikannya masalah tanker, kenang Radius, kisah tragis Pertamina
secara teknis telah selesai. Namun dalam kenyataannya, skandal ini punya dampak
berkepanjangan terhadap perekonomian Indonesia dan kebijakan ekonomi
negara.BERSAMBUNG.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda