Senin, 25 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (6): PELAJARAN DARI KRISIS PERTAMINA




Perumpaan apakah yang paling tepat untuk menggambarkan situasi Indonesia, yang semula lemah lunglai, kemudian tiba-tiba mendadak kaya raya – berlimpah dollar akibat Perang Teluk Oktober 1973? Dalam tulisan “Revolusi Perpajakan th 1983: Membangun Monumen Nasional Yang Bisa Menjadi Mesin Uang”, telah saya jelaskan bagaimana kita menerima berkah dari lonjakan harga minyak dunia akibat Perang Teluk tersebut. Jika pada tahun awal 1970-an harga minyak hanya berada pada kisaran US.$.1,67 per barrel, maka akibat perang yang meletus pada 6 Oktober 1873 itu, harga dengan cepat naik menjadi US.$.3,65 dan terus meroket mancapai US.$.12 per barrel awal 1974. Itu pun belum berhenti. Masih merambat lagi jadi US.$.13,5 dan meroket lagi dipicu Revolusi Iran 1979,  menjadi US.$.35 per barrel.

Salah seorang arsitek ekonomi Orde Baru Radius Prawiro dalam bukunya “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi”, melukiskan situasi itu bagaikan sebuah dongeng sebagai berikut: “Pada zaman dahulu kala, ada seorang petani tua dan isterinya yang hidup secara jujur dan baik. Mereka mempunyai keluarga yang bahagia dengan anak-anak yang patuh dan hormat kepada orang tua, namun secara materi mereka miskin. Mereka bercocok tanam di atas sebidang lahan sempit untuk mencari nafkah yang pas-pasan. Setiap hari mereka berdoa agar kesulitan hidup mereka bisa teratasi. Suatu ketika, bebek-bebek mereka hilang. Setelah mencari-cari cukup lama, pak tani dan isterinya menemukan bebek-bebek tersebut dekat sebuah mata air ajaib yang mengucurkan emas. “Bu, tahu tidak apa artinya ini?” kata pak tani. “Ini artinya doa kita terjawab, Pak!” teriak isterinya. “Benar. Kita kaya. Mulai saat ini, kita tidak akan punya masalah lagi!”.

Tentu saja dongeng ini belum selesai. Masih akan diceritakan perubahan yang terjadi dan masalah-masalah baru yang dihadapi keluarga itu karena kaya mendadak. Akhirnya, keluarga tersebut malah menghadapi masalah yang lebih besar lagi. Kalau dihitung-hitung, kehidupan mereka sebelum jadi orang kaya relatif lebih bahagia” (halaman 133).

Lantas perumpaan apa yang tepat untuk menggambarkan Pertamina, yaitu perusahaan negara yang bertugas serta bertanggungjawab mengelola durian runtuh dari minyak dan gas bumi itu? Radius Prawiro menulis lebih lanjut : “Kekayaan dan kesuburan tanah Indonesia adalah anugerah akibat gunung berapi. Perusahaan minyak nasional Indonesia, Pertamina, juga mirip dengan gunung berapi. Pertumbuhan industrialisasi dunia menyebabkan kebutuhan energi meningkat terus. Indonesia menyalurkan permintaan energi melalui Pertamina. Gunung berapi bertumbuh, dan pada awalnya membawa kemakmuran. Kemudian, pada bulan Februari 1975, gunung meletus. Kerusakan yang terjadi dahsyat, tetapi dalam jangka panjang, pengalaman ini membawa banyak manfaat bagi negara. Peristiwa-peristiwa yang terkait  dengan Pertamina akan membawa dampak yang besar bagi pembangunan negara. Pelajaran-pelajaran yang bisa diambil sangat berharga, tetapi biayanya juga tinggi” (halaman 139 – 140).

Pertamina didirikan pada tahun 1968, sebagai hasil gabungan dari tiga perusahaan minyak yaitu PN Permina, PN Permigan dan PT.Pertamin. Dalam tempo cepat, Pertamina telah berubah dari sekumpulan usaha-usaha dunia ketiga menjadi konglomerasi multinasional yang mencapai puncaknya pada pertengahan dekade tujuhpuluhan sebagai perusahaan internasional terbesar ke-200. Untuk Indonesia, hal ini merupakan keberhasilan yang menggemparkan. Tetapi meskipun besar dan penting, menurut Radius, Pertamina hanya kulit luarnya yang tampak sebagai perusahaan multinasional yang canggih. Tentu saja kulit luar yang bernilai bermiliar-miliar dollar ini, cukup untuk menimbulkan impresi yang sangat berkesan. Padahal di bawah permukaan, ternyata Pertamina tak punya: sistem – kontrol – manajemen – tenaga ahli bahkan pengalaman yang memadai.

Semua keterbatasan tadi ditutupi dengan penampilannya sebagai Sinterklas dunia bisnis yang murah hati terhadap konraktor, pemasok, dan pegawai tingginya. Pertamina mengesankan dirinya sebagai agen pembangunan. Dengan dukungan sejumlah kelompok, ia melenggang berperan seolah-olah bendahara nasional, mengumpulkan sebagain besar dari pajak, serta  menggunakan dana tersebut sedemikian besarnya untuk membangun berbagai proyek dan industri di luar jalur perminyakan, sehingga kemudian berdampak langsung terhadap pasokan uang.

Karena itu meskipun makmur, pada tahun 1972 Pertamina mulai menurunkan kontribusi pajaknya kepada pemerintah. Kemudian pada Oktober 1974, ia sama sekali tidak membayar pajak lagi dengan justifikasi  sedang memerlukan dana untuk membiayai proyek-proyek pembangunannya. Tanda pertama yang jelas dari kesulitan besar, muncul pada tahun 1974 ketika Pertamina tidak menyetorkan kepada pemerintah kewajiban per triwulan dari penghasilannya dan juga dari kontraktor luar negeri.  Pada periode yang sama, ia juga mulai mencari pinjaman  dari bank-bank lokal, padahal sebelumnya meminjam dari sumber luar negeri. Radius menengarai, pinjaman dari sumber lokal ini merupakan pertanda Pertamina mulai sulit memperoleh pinjaman luar negeri. Segera setelah itu, pada bulan Februari 1975, Pertamina gagal membayar pinjaman US.$.40 juta yang berasal dari Republic National Bank of Dallas. Bank ini relatif kecil dan hampir tak dikenal oleh orang-orang Pemerintah di luar Pertamina. Peristiwa itu menguak parahnya masalah keuangan Pertamina serta menciptakan perhatian negatif secara internasional.

Kesulitan menjadi berlipat ganda karena ada sebuah klausul “cross-default” dalam sebagian besar pinjaman komersial kepada pemerintah Indonesia. Menurut klausul ini, jika negara wan prestasi terhadap salah satu pinjamannya, semua pinjaman yang lain akan ditarik kembali, guna melindungi para pemberi pinjaman. Oleh karena itu implikasi dari wan prestasi adalah bencana besar.

Segera sesudah itu kesibukan para menteri di bidang ekonomi meningkat luar biasa. Mereka baik secara sendiri maupun bersama-sama, sering menghadap Presiden.  Beberapa anggota kabinet segera diorganisasi ke dalam sebuah tim untuk mengambil alih kendali situasi. Menteri Widjojo dan Gubernur Bank Sentral Rahmat Saleh, fokus pada pinjaman Pertamina. Menteri Sumarlin bertanggungjawab meneliti kontrak-kontrak Pertamina dengan semua kontraktorya dan merunding-ulang kontrak-kontrak yang dianggap tidak layak. Letnan Jenderal Hasnan Habis dibantu Mayor Jenderal Piet Haryono dan Brigjen Ismail Saleh, bertanggungjawab meneliti organisasi Pertamina. Sementara Radius yang semua bersama Sumarlin mengkaji ulang kontrak-kontrak Pertamina, diminta khusus menyelesaikan  urusan perjanjian tanker yang sudah mengarah pada sengketa  hukum di pengadilan internasional. Radius mencatat, dalam masa tugasnya selama 28 tahun sebagai pejabat Kabinet, ia belum pernah melihat kabinet yang begitu termobilisasi. “wan prestasi dari Pertamina adalah sebuah keadaan darurat yag dalam tempo singkat membahayakan stabilitas finansial negara Indonesia. Hal ini ditangani  dengan penuh perhatian seperti pada masa darurat perang atau bencana nasional yang sangat besar”.

Dalam pidato akhir tahun Rabu, 31 Desember 1975, Presiden Soeharto menjelaskan tentang persoalan Pertamina  tersebut beserta langkah-langkah nyata untuk menertibkan dan menyehatkan Pertamina.

Selanjutnya pada tanggal 3 Maret 1976, Presiden memberhentikan Letjen Ibnu Sutowo sebagai  Direktur Utama Pertamina serta mengangkat Piet Haryono  sebagai penggantinya. Dalam pidato pelantikan Piet Haryono  menjadi Direktur Utama Pertamina pada tanggal 15 April 1976 di Istana Negara, Presiden mengatakan, memang benar Pemerintah telah mengetahui, dan bahkan menyetujui beberapa kegiatan Pertamina di luar minyak. Tetapi pengetahuan  dan persetujuan tersebut adalah dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas pokoknya dengan beberapa  syarat bahwa pembiayaannya tidak boleh memberatkan perusahaan apalagi membebani pemerintah. Pemerintah menyetujui partisipasi Pertamina untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan di bidang  non minyak dalam rangka memanfaatkan potensi Pertamina dan kepercayaan dunia usaha kepada Pertamina. Ternyata tanpa diketahui Pemerintah, Pertamina telah ditimbuni dengan berbagai kewajiban keuangan di luar kemampuannya. Andaikata pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan, menurut Presiden, pastilah Pertamina akan bangkrut, dan keadaan itu juga pasti akan menimbulkan akibat yang lebih serius pada keuangan negara.

Dari berbagai kasus dalam krisis Pertamina, ada satu kasus yang menjadi bahan berita ramai di media massa internasional, yakni sengketa kapal-kapal tanker Pertamina antara lain dengan raja tanker Bruce Rappaport. Ini menyangkut uang US.$.3,3 milyar, terbesar dari utang-utang Pertamina serta memerlukan banyak waktu dan usaha buat menyelesaikannya, yang melibatkan berbagai perusahaan internasional yang tersebar antara lain di Inggris, Norwegia, Amerika Serikat dan Hongkong. Jika perusahaan-perusahaan lain bersedia menyelesaikan tanpa beban kesulitan yang berarti, Rappaport yang mempunyai kontrak lebih dari US.$.1,5 milyar memilih penyelesaian lewat jalan pengadilan. Selama  berbulan-bulan, kedua pihak bertempur secara hukum di Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Belgia, Perancis, Swis, Jepang dan Singapura.

Rappaport memiliki bertumpuk-tumpuk kontrak dengan Pertamina, termasuk 1600 “promisory notes”, semuanya ditandatangani Ibnu Sutowo. Persyaratan-persyaratan kontrak sangat buruk. Kompas 29 November 1976 melaporkan, kapal-kapalnya terlalu besar untuk berlayar di perairan Indonesia dan tidak memiliki kumparan pemanas yang diperlukan untuk minyak Indonesia. Lebih dari itu, harga kontrak secara terang-terangan dibuat jauh lebih tinggi dari harga pasar.

Perselisihan secara hukum ini menggoyahkan kepercayaan konsorsium bank, dengan siapa Indonesia mengatur penyelesaian dari pinjaman-pinjaman Pertamina. Tekanan dilancarkan ke Indonesia untuk mencari penyelesaian cepat. Posisi Indonesia semakin redup. Peristiwa ini tentu saja  menjadi bahan bulan-bulanan pemberitaan media massa internasional. Sementara itu organ-organ resmi Pemerintah yang terkait nyaris tak berdaya. Menghadapi situasi seperti ini, Pemerintah segera menyusun operasi penggalangan citra yang dipimpin langsung oleh Radius Prawiro didampingi oleh Sumarlin dan Ismail Saleh.  Sebagai Wakil Sekretaris Kabinet, Ismail Saleh meneruskan petunjuk-petunjuk rahasia Presiden kepada sejumlah Duta Besar Indonesia di luar negeri dan beberapa pejabat tinggi untuk mensukseskan operasi penggalangan citra yang harus  mampu bergerak menembus batas-batas birokrasi, tepat dan berdaya guna. Sedangkan untuk membantu di lapangan, Radius mengkontrak perusahaan  “Public Relations” ternama Hill and Knowlton dari Amerika Serikat,  yang memiliki jaringan luas dan perwakilan antara lain di Inggris, Jepang, Australia dan Hongkong.

Sejalan dengan operasi itu, di dalam negeri Pemerintah berhasil menyudutkan pimpinan Pertamina dengan mengungkap bukti-bukti kontrak yang buruk tadi, sehingga akhirnya Ibnu Sutowo bersedia membuat “affidavit” yang berisi tuduhan penipuan. Dengan “affidavit” ini menurut Radius situasi mulai berubah. Meskipun masih tetap berat dan alot, satu demi satu peradilan dimenangkan Indonesia. Untuk pertama kali secara terbuka di dalam negeri, pada tanggal 26 Januari 1977, Radius Prawiro didampingi Sumarlin dan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono melaporkan kepada Presiden Soeharto perkembangan  tersebut. Kepada wartawan selesai pertemuan, Radius mengatakan, Pengadilan Singapura  dalam keputusannya segera membebaskan kapal Pertamina yang bernama “Teluk Nibung” dengan nomor lambung 1017 pada tanggal 29 Januari 1977. Hal ini disebabkan karena pengadilan beranggapan bahwa pihak penggugat yaitu Bruce Rappaport, tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya.  Dengan demikian telah tiga kapal Pertamina yang dibebaskan dari empat kapal yang ditahan, sedangkan satu lagi masih ditahan karena dalam proses banding.

Segera sesudah itu, opini dunia berubah. Indonesia berhasil menggalang tim pertempuran sampai opini Rappaport memburuk, sehingga akhirnya pada bulan Agustus 1977, Pertamina dan Rappaport mencapai kata sepakat. Pertamina setuju membayar US.$.150 juta untuk pembatalan kontrak senilai US.$.1,55 milyar. Dengan terselesaikannya masalah tanker, kenang Radius, kisah tragis Pertamina secara teknis telah selesai. Namun dalam kenyataannya, skandal ini punya dampak berkepanjangan terhadap perekonomian Indonesia dan kebijakan ekonomi negara.BERSAMBUNG.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda