Kata
suluk, berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti cara atau jalan.
Tapi bisa juga berarti kelakuan atau tingkah laku. Dalam tasawuf, suluk berarti
jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah Swt. Menurut buku
“Ensiklopedi Islam” yang diterbitkan PT.Ichtiar Baru Van Hoeve - Jakarta, istilah suluk
digunakan untuk suatu kegiatan tertentu oleh seseorang agar ia dapat mencapai
suatu ihwal (keadaan mental) atau makam tertentu.
Agama
Islam disebarkan ke Indonesia
terutama pulau Jawa oleh para ulama tasawuf melalui pendekatan budaya yang
halus lagi indah, lembut menyusup ke relung hati dan kehidupan sehari-hari masyarakat
tanpa menimbulkan gejolak. Para ulama awal
yang kemudian oleh masyarakat Jawa disebut sebagai para wali itu, memiliki
metode dakwah dan komunikasi yang bagus. Dengan metode itu meskipun bukan asli
Jawa, dengan cepat mereka mempelajari dan menguasai tata nilai dan budaya Jawa,
kemudian menyusup serta mengembangkannya
dengan corak dan tata nilai baru yang terus berkembang menjadi tata
nilai dan budaya Jawa yang kita kenal sekarang.
Dalam
tulisan berjudul “Sunan Bonang, Cucu Ulama Samarkand Yang Berdakwah Dengan
Mengembangkan Budaya Jawa”, serta beberapa tulisan lain mengenai Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga dan “Tongggak-Tonggak Awal Tasawuf Jawa”, telah saya uraikan bagaimana cara berdakwah
Sunan Bonang yang didukung oleh muridnya, yaitu Sunan Kalijaga dan cucu
muridnya yakni Sunan Muria. Karena yang dihadapi adalah masyarakat yang memeluk
Hindu – Budha atau Syiwa – Budha, mereka menyusupkan nilai-nilai keislaman ke
dalam adat istiadat dan tata kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat Islam yang
telah kafah lagi rasional dewasa ini, cara itu tentu tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin silsilah para nabi misalkan, disusupkan dan melebur dengan
silsilah para dewa dalam kisah wayang Mahabarata karangan manusia, selanjutnya
menurunkan suku Jawa. Tetapi suka tidak suka, nyatanya legenda itu bisa
diterima dan dipercaya masyarakat pada masa itu, dan melalui itu pelan-pelan
agama Islam masuk, menggeser nilai-nilai Syiwa – Budha.
Bersamaan
dengan itu, karena yang dihadapi adalah
masyarakat yang percaya kepada hal-hal mistis dan dan supranatural, maka para
wali mengajarkan hakekat tasawuf terlebih dulu baru menyusul syariat. Guna
menarik perhatian masyarakat yang menyenangi seni budaya, mereka membaur, mempelajari
serta mengembangkan perangkat-perangkat musik atau instrumen gamelan Jawa dengan instrumen kempul
Cina dan rebab Arab, aneka irama tembang dan komposisi musik gamelan yang sarat
dengan estetika sufisme, menjadi orkestra polyfonik yang sangat meditatif dan
komtemplatif. Dakwah-dakwah selanjutnya disampaikan dengan cara menembang, bersenandung
merdu aneka irama, mulai dari irama ceria yang ditujukan sebagai pengiring
permainan anak-anak, irama menggelora pengobar semangat sampai irama
sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong kematian ke alam kelanggengan
di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang islami itu diberi nama Suluk, sesuai
tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha
Kuasa.
Namun
demikian, dalam mempelajari suluk-suluk tersebut, hendaknya kita tidak
menggunakan “kacamata” zaman sekarang, melainkan harus dengan mempelajari
latarbelakang sejarah, kehidupan serta situasi dan kondisi masyarakat pada masa
itu. Karena ajaran kesilamannya memang dimasukkan setapak demi setapak, setahap
demi setahap, sehingga jangan kaget jika dalam suluk-suluk tertentu khususnya
suluk-suluk ciptaan Sunan Kalijaga, kita menjumpai tata nilai dan akidah yang
masih campur aduk.
Para
wali pencipta aneka irama tembang dan komposisi musik gamelan tadi di dalam
tata pemerintahan Kerajaan Islam Pertama di Jawa, yaitu Kesultanan Demak
Bintoro, membentuk majelis ulama yang disebut Dewan Wali, yang karena selalu berjumlah sembilan
orang, maka masyarakat menyebutnya sebagai Wali Songo (Sembilan Wali).
Sejalan
dengan pengembangan gamelan, Walisongo juga mengembangkan berbagai seni budaya
dan tata kehidupan masyarakat, seperti seni ukir, seni busana dan adat-istiadat
dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari perkawinan, kehamilan, melahirkan,
perkembangan pertumbuhan anak dari bayi sampai khitanan dan kematian, bahkan
tata kota dengan sistem alun – alun dengan masjidnya.
Dalam
hal seni pertunjukkan, mereka menggubah seni pertunjukkan yang sangat digemari
masyarakat yaitu seni wayang beber. Seni wayang beber adalah seni pertunjukkan
wayang yang mengisahkan cerita yang dilukiskan dalam selembar kain, sebagaimana
lukisan cerita wayang Bali yang masih bisa
dijumpai saat ini. Wayang beber dikembangkan menjadi wayang kulit yang
melukiskan setiap tokoh seorang demi seorang, yang dari waktu ke waktu terus berkembang
menjadi wayang kulit yang kita kenal sekarang.
Lakon
atau kisah wayang diambil dari cerita induknya yakni Ramayana dan Mahabarata,
tetapi oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus digubah menjadi bernuansa islami,
bahkan Sunan Kalijaga menciptakan lakon-lakon sisipan yang dikenal sampai kini
seperti Dewa Ruci, Jamus Kalimasada dan
Petruk Dadi Ratu. Kisah Dewa Ruci adalah kisah seorang salik (dalam hal ini
tokoh Bima) dalam menempuh jalan tasawuf. Jamus Kalimasada, mengisahkan tentang
pusaka yang paling sakti tiada tara, yaitu
“dua kalimat syahadat (kalimasada)”. Sedang Petruk Dadi Ratu, mengisahkan
seorang rakyat jelata yang dengan menguasai pusaka jamus kalimasada, kemudian
bisa menjadi Raja yang berkuasa dan kaya raya. Tetapi karena ia tidak bisa mengendalikan
hawa nafsunya, akhirnya ia kembali menjadi orang biasa lagi. Artinya, dua
kalimat syahadat itu sangat penting, tapi ia tidak bisa berdiri sendiri,
melainkan harus diamalkan dalam perilaku dan kehidupan yang dipengaruhi oleh
hawa nafsu. Oleh sebab itu, meskipun kita sudah mengucapkan dua kalimat
syahadat, kita juga masih harus melengkapinya dengan menguasai serta
mengendalikan hawa nafsu kita, agar hidup kita bisa selamat di dunia maupun di
akhirat kelak.
Yang
menarik dari seni pertunjukkan wayang tersebut, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus
yang merupakan dalang wayang kulit versi Islam generasi pertama, menembangkan
suluk sebagai pertanda untuk mengawali setiap babak pertunjukkan. Suluk yang
ditembangkan, menggambarkan keadaan, suasana atau situasi dan kondisi dalam
babak yang akan dimainkan. Dewasa ini kita mengenal puluhan jenis suluk dalam
pertunjukkan wayang, yang tidak kita ketahui siapa penciptanya dan kapan
diciptakan. Karena setiap dalang dimungkinkan untuk menciptakan sendiri suluk
yang dikehendakinya. Misalkan, bila sang dalang ingin menggambarkan betapa adil
bijaksananya seorang pemimpin dalam hal
ini raja, maka ia bisa melantunkan suluk sebagai berikut:
“Oooooo, dene utamaning nata
berbudi bawa laksana
ooooooo, lire berbudi
mangkana……” dan seterusnya.
(menggambarkan watak utama
seorang raja, yaitu berbudi luhur yang diamalkan dalam kehidupannya. Adapun
yang dimaksud dengan berbudi luhur yaitu…….dan seterusnya).
Dari
suluk-suluk wayang yang tidak diketahui persis jumlahnya itu, ada sebuah suluk
yang diyakini oleh para dalang dan penggemar cerita wayang sebagai suluk
ciptaan Sunan Kalijaga yaitu sebagai berikut:
“Oooooooooo
kali ilang kedunge
pasar ilang kumandange
wong wadon ilang wirange
wong jujur malah kojur
wong clutak tambah galak
Oooooo………….”
Artinya adalah:
-
Sungai sudah
tidak berlubuk lagi (karena kerusakan alam yang mengakibatkan pendangkalan).
-
Pasar sudah
kehilangan gaungnya (karena rakyat susah hidup dan menjadi miskin).
-
Kaum perempuan
sudah tidak punya rasa malu (karena rusak moralnya).
-
Orang jujur
justru celaka.
-
Orang serakah
semakin menjadi-jadi (karena budi baik dikalahkan oleh kejahatan, ketidakadilan
merajalela, tatanan hukum kacau balau).
Ada beberapa versi dari suluk ini, misalkan versi
pesantren tradisional Jawa.
Setelah “wong wadon ilang
wirange”, baris selanjutnya adalah:
-
wong lanang
ilang wibawane (pria/lelaki hilang wibawanya).
-
mulo
enggal-enggalo topo lelono njajah desa milang kori (maka segeralah pergi
bertapa dengan cara berkelana ke desa-desa melewati tak terhitung jumlah pintu
rumah).
-
Goleko wisik
soko Sang Hyang Widhi/Ilahi (mencari petunjuk atau hidayah dari Tuhan Yang Maha
Esa/Ilahi).
Dalam pentas wayang, suluk tersebut secara umum
menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rusak karena buruknya kepemimpinan
sang raja dan para punggawanya, yang biasanya disambung dengan babak berikutnya
yang diawali dengan suluk yang menggambarkan kemarahan alam dengan datangnya
berbagai bencana. Suluk ini oleh ulama pujangga Ranggawarsito pada pertengahan
abad ke 19, juga dikutip guna menggambarkan tanda-tanda akan datangnya “Zaman
Kolobendu”, yaitu zaman yang penuh dengan aneka kejahatan dan bencana.
Sementara bagi kalangan santri, suluk ini dijadikan sebagai perintah berdakwah
menyebarkan agama Islam dengan cara berkelana.
Suluk Sunan Kalijaga, kekasih Allah ini,
yang diciptakan sekitar enam abad yang lalu,
sungguh menarik, sarat makna dan sangat visioner, bahkan sesuai dengan
gambaran keadaan sekarang. Maka, rasanya
perlu jadi bahan renungan kita semua dewasa ini. Semoga.
Beji, 12 Maret 2013.
1 Komentar:
Matur suwun sanget Bah ,sae sanget saget nambah wawasan,..mgi migunani tumrap bebrayan,..
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda