Kotagede memang menarik sebagai bahan kajian
sejarah, terutama mengapa bisa tetap bertahan dan tidak lenyap ditelan zaman.
Peralihan kekuasaan secara alami, dan perpindahan ibokota kerajaan secara
damai, mungkin merupakan penyebab utamanya. Kedua,
peralihan fungsi dari pusat kekuasaan menjadi pusat perdagangan,
pusat kebudayaan dan pusat pemujaan rohani. Ketiga,
adanya ketentuan di masa lalu yang menetapkan keturunan Eropa dan Timur Asing
tidak boleh bermukim di Kotagede, menyebabkan masyarakat Kotagede relatif
homogen, karena menjadi kota hanya untuk orang Jawa. Pasca kemerdekaan, ketentuan
hanya untuk orang Jawa ini meluas kepada orang Indonesia pribumi muslim. Apakah
keadaan seperti itu masih bertahan sampai sekarang, sulit menjawabnya. Beberapa
rumah adat yang indah-indah dalam kenyataannya telah berpindah tangan. Siapakah
yang dapat menjamin pembeli yang sebenarnya sungguh-sunguh pribumi muslim, apalagi
Jawa?
Penyebab keempat seperti
dikemukakan cendekiawan muda Charris Zubair, ada paradoksalitas gerakan di
Kotagede yang dipegang teguh, yaitu orang Islam Kotagede tidak boleh meninggalkan
Kejawaannya, sedangkan orang Jawa harus Islam.
Tetapi apa yang saya kemukakan ini hanyalah pandangan
sepintas seorang wartawan, bukan sejarawan. Lebih lanjut, penyebab-penyebab
tadi membuat Kotagede menapaki perjalanan sejarahnya tahap demi tahap. Dari
semula hanya merupakan sebuah hutan yang bernama Mentaok, berubah menjadi
ibukota kerajaan Dinasti Mataram II atau Kerajaan Islam Mataram. Dinasti
Mataram I adalah Kerajaan Hindu-Budha yang meninggalkan berbagai candi megah di
sekitar Yogyakarta.
Periode berikutnya adalah puncak kekuasaan Mataram,
tatkala Sultan Agung naik tahta tahun 1613. Segera ia memindahkan ibukota
kerajaan ke Kerta, sekitar 7 km dari Kotagede. Selanjutnya Kotagede justru
tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi termasuk industri kerajinan. Pada periode
inilah mulai berdiri rumah-rumah adat para pengusaha.
Masa perang Diponegoro di Yogyakarta tahun
1825-1830, Belanda mencegah memperluas peperangan dengan Keraton Kasunanan
Surakarta dengan menetapkan Kotagede sebagai daerah aman. Ini mendorong
sejumlah besar pengrajin dan pedagang,
juga sebagian pengikut Pangeran Diponegoro, pindah dari Yogya ke Kotagede. Bersamaan
dengan itu di Jawa berkembang perkebunan-perkebunan besar antara lain tebu,
juga transportasi kereta api. Sementara itu jumlah penduduk Jawa diperkirakan
meningkat empat kali lipat. Akibatnya Kotagede tumbuh semakin semarak. Dalam
periode panjang sampai dengan awal abad 20, banyak dibangun rumah-rumah baru,
diantaranya yang dikenal sebagai kawasan “Between
two gates”.
Periode awal 1900-an sampai menjelang revolusi
kemerdekaan, Kotagede telah menjadi pusat industri dan perdagangan kain katun,
batik, perak, emas dan intan yang terbesar di Hindia Belanda (Indonesia di masa
penjajahan). Dalam periode ini ada sekelompok masyarakat yang hidup secara
eksklusif dan memiliki semangat kewirausahaan tinggi, yang disebut sebagai
orangorang Kalang, memperoleh keuntungan besar dari moneterisasi ekonomi
pedesaan dan peningkatan transportasi. Mereka membangun puluhan rumah mewah
bergaya Eropa serta hidup mewah secara mencolok sehingga menimbulkan
kecemburuan sosial. Apa lacur, begitu pecah revolusi kemerdekaan, banyak dari
rumah dan kekayaan mereka yang dijarah masyarakat.
Pasca kemerdekaan, banyak usaha-usaha lama yang
terputus karena anak-anak muda masuk ke perguruan tinggi, kemudian mencari
pekerjaan sebagai dosen atau pegawai negeri. Menurut pengamatan M. Natsier,
pada dasawarsa 1980-an ketika lapangan pekerjaan mulai susah, banyak diantara
anak-anak muda Kotagede yang kembali terjun ke bisnis. Inilah generasi
pengusaha baru yang kini kembali mengangkat pamor Kotagede, khususnya sebagai
pusat kerajinan perak. Namun demikian, industri batik dan kerajinan penyu serta
tembaga terlanjur hilang, sedangkan kerajinan tanduk tinggal dua pengrajin.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda