Minggu, 21 September 2014

Kotagede (4): Konsep Town House Abad XVII.

Kotagede, Town House Abad XVII.


Tiga hari di Kotagede ternyata serasa belum puas, sehingga tatkala ada tugas ke Yogyakarta akhir Juli 2002


, selama beberapa jam kami menyempatkan diri kembali mengunjunginya. Hal menarik yang mengundang kami berulang kali melihatnya adalah kompleks perumahan Kotagede Lama, yang secara fisik tidak banyak berubah dibanding apa yang dituliskan van Mook tahun 1926. Seperti pada malam pertama itu, selesai shalat Maghrib kami langsung menuju Kampung Jagalan melalui pintu gerbang utara Kompleks Makam. Apa yang kami saksikan sungguh seperti apa yang dia tulis kecuali warung-warung kaki lima yang sudah tidak berada di lorong-lorong, melainkan pindah di sekeliling pasar atau sepanjang jalan-jalan besar. Cobalah resapkan kenangan van Mook ini : “Lorong-lorong, terutama di bagian kota sebelah barat berdekatan dengan pasar, mempunyai sifat yang sangat elok, dengan belokan serta sudut-sudut yang tak terduga dan seringkali indah-indah; lorong-lorong itu berkelok-kelok diantara deretan tembok yang setengah usang, adakalanya terputus oleh gapura kecil atau relung, tempat tukang warung berjualan di atas tikar
kajang atau anyaman bambu yang dibentangkan di lorong; pada malam hari diterangi dengan eloknya oleh sebuah lentera, sehingga kita dapat berkhayal berada dalam kota kecil kuno di Eropa Selatan, jika tidak sekali-sekali ada orang Jawa berpakaian adat Jawa lewat di situ dalam kegelapan senja.”

Begitulah. Keluar dari kungkungan tembok makam, kami berada diantara tiga lorong. Di depan kami tergantung dua macam rambu-rambu, satu meminta kendaraan agar berjalan pelan karena banyak anak-anak, yang satu lagi meminta mematikan mesin di malam hari. Lorong utama selebar tiga meter, lurus menuju jalan Mondorakan, sedangkan dua lainnya yang ke perkampungan selebar kurang dari satu depa (bentangan tangan). Di kiri kanan lorong utama terdapat banyak lagi lorong-lorong kecil, yang seringkali mengagetkan karena tiba-tiba mendadak seperti jalan buntu, menabrak tembok atau pintu. Tapi ternyata kemudian lorong ini juga berbelok ke kiri atau kanan. Sungguh bagaikan 1000 lorong labirin yang berhubungan satu sama lain. Lorong-lorong tersebut berada diantara dua tembok setinggi sekitar 2,5-3 M. Tembok-tembok itu memiliki beberapa gapura atau relung berpintu kayu. Tatkala melihat beberapa pintu terbuka, Krakatau melongok dan meminta ijin para penghuninya untuk melihat-lihat keindahan rumahnya, yang pada umumnya disambut dengan sangat ramah. Betul-betul menakjubkan. Dari relung-relung kecil itu tidak jarang kita menyaksikan suatu halaman luas, kadang-kadang bagaikan model kompleks perumahan town house di Jakarta, terdapat beberapa rumah milik satu keluarga besar. Yang lebih istimewa, di balik relung-relung tadi acapkali kita menjumpai rumah-rumah adat Jawa dengan pendopo joglo dari abad 17-19.

Di kampung Jagalan ini pula ada satu kawasan yang sering dikunjungi para wisatawan, yang dikenal sebagai “between two gates”, yang semula merupakan komplek keluarga terdiri dari beberapa rumah adat. Eloknya tata letak rumah-rumah tersebut seragam dan berderet rapi sehingga area penghubung antara bagian pendopo dan pringgitan membentang sambung menyambung menjadi sebuah jalan kecil, yang pada kedua ujungnya (timur dan barat) kemudian diberi pintu gerbang. Di siang hari kedua pintu gerbang ini dibuka dan menjadi lalu lintas umum, namun di malam hari ditutup dan kembali menjadi kawasan pribadi. Sayang sekali beberapa
rumah yang dibangun sekitar tahun 1820-an itu, telah direnovasi menyimpang dari arsitektur aslinya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda