Kotagede, Town House Abad XVII.
Tiga hari di Kotagede
ternyata serasa belum puas, sehingga tatkala ada tugas ke Yogyakarta akhir
Juli 2002
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_KEV0SrhJn7DR3ec8f7hCC1N4yJzVpjHX_fLMuhevo1RYha0bcRuD0C_cYT_vL0TXUxkj7qRGlzDZaIiNBgBxJxxtb8Tlt5UBLpuK8YQPt0cCn1kaeYrvEuL8OBzA2ZUBQ0uX2PrU0Dw/s1600/Kotagede+(4).4.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaqkIyJLdyDuQeXovTw6pX6_Y9DX0KSYzE5y91MVzbhwxXIs6VJ26QgTpe6-lGNd4Yp6dt8kUmSoyk8icaGIJHzkrqO6mRdGhsV-c-9Ov77yZ0vGxjYB4b1_OvJA7ZRvL5dZT-up8KSYM/s1600/Kotagede+(4).5.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6rfdSyYAZaOTDyiUAvZm0Ld7q9IwVwQqOXlmfD35MMcYYXzE1sf_BpdIDZMU0tuJUxkVhg_1wK2l1vThsxdbL-fr6ldIENDZNqCypMGERtCcX63gGktm174z3xMr5lPuAoL7W1yqj5eo/s1600/Kotagede+(4).6.jpg)
, selama beberapa jam kami menyempatkan diri kembali mengunjunginya. Hal
menarik yang mengundang kami berulang kali melihatnya adalah kompleks perumahan
Kotagede Lama, yang secara fisik tidak banyak berubah dibanding apa yang dituliskan
van Mook tahun 1926. Seperti pada malam pertama itu, selesai shalat Maghrib
kami langsung menuju Kampung Jagalan melalui pintu gerbang utara Kompleks
Makam. Apa yang kami saksikan sungguh seperti apa yang dia tulis kecuali warung-warung
kaki lima yang sudah tidak berada di lorong-lorong, melainkan pindah di
sekeliling pasar atau sepanjang jalan-jalan besar. Cobalah resapkan kenangan
van Mook ini : “Lorong-lorong, terutama di bagian kota sebelah barat berdekatan
dengan pasar, mempunyai sifat yang sangat elok, dengan belokan serta
sudut-sudut yang tak terduga dan seringkali indah-indah; lorong-lorong itu berkelok-kelok
diantara deretan tembok yang setengah usang, adakalanya terputus oleh gapura
kecil atau relung, tempat tukang warung berjualan di atas tikar
kajang atau anyaman
bambu yang dibentangkan di lorong; pada malam hari diterangi dengan eloknya oleh
sebuah lentera, sehingga kita dapat berkhayal berada dalam kota kecil kuno di
Eropa Selatan, jika tidak sekali-sekali ada orang Jawa berpakaian adat Jawa
lewat di situ dalam kegelapan senja.”
Begitulah. Keluar dari
kungkungan tembok makam, kami berada diantara tiga lorong. Di depan kami
tergantung dua macam rambu-rambu, satu meminta kendaraan agar berjalan pelan
karena banyak anak-anak, yang satu lagi meminta mematikan mesin di malam hari.
Lorong utama selebar tiga meter, lurus menuju jalan Mondorakan, sedangkan dua
lainnya yang ke perkampungan selebar kurang dari satu depa (bentangan tangan). Di
kiri kanan lorong utama terdapat banyak lagi lorong-lorong kecil, yang
seringkali mengagetkan karena tiba-tiba mendadak seperti jalan buntu, menabrak
tembok atau pintu. Tapi ternyata kemudian lorong ini juga berbelok ke kiri atau
kanan. Sungguh bagaikan 1000 lorong labirin yang berhubungan satu sama lain.
Lorong-lorong tersebut berada diantara dua tembok setinggi sekitar 2,5-3 M.
Tembok-tembok itu memiliki beberapa gapura atau relung berpintu kayu. Tatkala
melihat beberapa pintu terbuka, Krakatau melongok dan meminta
ijin para penghuninya untuk melihat-lihat keindahan rumahnya, yang pada umumnya
disambut dengan sangat ramah. Betul-betul menakjubkan. Dari relung-relung kecil
itu tidak jarang kita menyaksikan suatu halaman luas, kadang-kadang bagaikan
model kompleks perumahan town house di Jakarta, terdapat beberapa rumah
milik satu keluarga besar. Yang lebih istimewa, di balik relung-relung tadi
acapkali kita menjumpai rumah-rumah adat Jawa dengan pendopo joglo dari abad
17-19.
Di kampung Jagalan ini pula
ada satu kawasan yang sering dikunjungi para wisatawan, yang dikenal sebagai “between
two gates”, yang semula merupakan komplek keluarga terdiri dari beberapa
rumah adat. Eloknya tata letak rumah-rumah tersebut seragam dan berderet rapi
sehingga area penghubung antara bagian pendopo dan pringgitan membentang sambung
menyambung menjadi sebuah jalan kecil, yang pada kedua ujungnya (timur dan
barat) kemudian diberi pintu gerbang. Di siang hari kedua pintu gerbang ini
dibuka dan menjadi lalu lintas umum, namun di malam hari ditutup dan kembali menjadi
kawasan pribadi. Sayang sekali beberapa
rumah yang dibangun sekitar
tahun 1820-an itu, telah direnovasi menyimpang dari arsitektur aslinya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda