Sabtu, 11 Oktober 2014

Kotagede (7) : Dilema dan Masa Depan Kotagede.



Dilema dan Masa Depan Kotagede.

Sebagaimana daerah-daerah yang memiliki potensi wisata dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang tinggi, masa depan Kotagede menghadapi dilema, sementara itu baik pemerintah pusat maupun daerah seperti kehabisan akal, terlanjur manja dengan hasil boom kayu, batubara, kelapa sawit, minyak dan gas bumi serta hutang luar negeri. Padahal potensi wisata Nusantara sebagai penghasil devisa sangat besar. Namun untuk untuk mengubah potensi menjadi  sumber kesejahteraan masyarakat dan penghasil devisa yang senyatanya,  dibutuhkan budi dan daya yang tinggi.

Sementara itu perjalanan peradaban dan perkembangan jumlah penduduk yang pesat, bagaikan raksasa yang rakus, siap memangsa apa saja. Demikianlah, Kotagede sekarang cenderung menjadi kampung padat yang sebagaima



na lazimnya, cenderung menuju kumuh serta  rawan kebakaran. Bersyukur, dewasa ini ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyadari kecenderungan tersebut dan tengah berusaha mengatasinya.

Kehidupan Kotagede yang orisinal harus dipertahankan, namun masyarakatnya harus pandai dan cepat menata diri mengantisipasi perkembangan zaman. Kuncinya adalah bagaimana menyongsong masa depan yang terus berubah, tanpa merusak masa lalu. Rumah-rumah adat yang kosong misalkan, alangkah indahnya bila difungsikan sebagai rumah-rumah penginapan dan rumah makan yang dapat membawa para tamunya bernostalgia ke Kotagede masa silam, periode demi periode. Merasa hidup dan bersenang-senang dalam suasana masa lalu yang unik dan berbeda dengan zaman globalisasi yang hingar bingar sekarang ini. Tentu membutuhkan sedikit sentuhan baru terutama di bagian-bagian kamar tidur dan kamar mandi, agar nyaman bagi para turis.

Setidaknya, suatu kawasan tertentu bisa dikembalikan bagaikan suasana kehidupan tempo dulu, misalkan pada suasana tahun 1926, tatakala Hubertus Johannes van Mook muda mengunjungi Kotagede. Tanpa bunyi bising dan asap kendaraan bermotor, kecuali derap tapak kaki kuda. Orang-orang yang tinggal dan masuk ke kawasan tersebut wajib  mengenakan busana adat. Di beberapa tempat ada penjual makanan khas seperti  kue kipo, sate sapi, sate klathak, wedang ronde dan lain-lain yang disajikan dalam angkring-angkring pikulan. Para wisatawan juga bisa belajar kesenian Jawa serta ikut belajar membuat kerajinan perak. Semuanya di tata dalam kemasan Kotagede Tempo Dulu.


Kawasan nostalgia seperti itu insya Allah akan mengundang para wisatawan mancanegara maupun nusantara untuk betah berlama-lama di Kotagede, dan itu berarti pengembangan sosial ekonomi berkelanjutan yang berdampak luas pada penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Semoga.

B. Wiwoho


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda