Bait 4 :
Napasku Nabi Ngisa linuwih,
Nabi Yakuub pamiyarsaning wang,
Yusup ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Jeng Suleman kasekten mami,
Nabi Ibrahim nyawa,
Idris ing rambutku,
Bagendhali kuliting wang,
getih daging Abubakar Ngumar singgih,
balung Bagendha Ngusman.
Artinya:
Nabi Isa dengan
kelebihannya merasuk dalam napasku,
Nabi Yakob di
pendengaranku,
Yusuf ke wajahku,
Nabi Dawud suaraku,
Kanjeng Nabi Suleman
kesaktianku,
Nabi Ibrahim
nyawaku,
Idris rambutku,
Baginda Ali kulitku,
Abubakar dan Umar
sebagai panutan menjadi darah daging,
tulang Baginda
Usman.
Bait 5
:
Sungsum ingsun Patimah linuwih,
kang minangka rahayuning angga (ada versi lain: Siti Aminah rahyuning angga),
Ayub minangka ususe,
Nabi Nuh ing jejantung,
Nabi Yunus ing otot mami,
netraku ya Muhammad, panduluku Rasul,
pinayungan Adam sarak,
sampun pepak sakathahing para Nabi,
dadya sarira tunggal.
Artinya:
Fatimah dengan
segala kelebihannya merasuk dalam sumsumku,
sebagai keselamatan
diri (versi lain: Siti Aminah menjadi keselamatan diri),
Ayub sebagai usus,
Nabi Nuh berada di
jantung,
Nabi Yunus di urat
saya,
mataku adalah
Muhammad,
pandanganku Rasul,
dinaungi syariat Adam,
sudah lengkap semua
Nabi,
menyatu dalam
diriku.
Dalam tafsir sebelumnya telah kita bahas, Sunan Kalijaga
mulai memperkenalkan istilah dan nama-nama baru kepada masyarakat, yaitu
malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa. Pengenalan istilah, tokoh dan sejarah
Islam tersebut dilanjutkan dalam bait keempat dan kelima, dengan sekaligus
menjelaskan hikmah dan karomahnya di dalam diri manusia, apabila kita
mempercayai dan mampu menghayatinya.
Dalam kedua bait tersebut, kata linuwih dipakai untuk
mengakhiri baris pertama. Linuwih arti sebenarnya adalah kemampuan lebih atau
di atas rata-rata orang pada umumnya, atau bisa juga berarti utama. Namun
demikian tidak berarti Nabi Isa (Ngisa)
dan Fatimah, puteri Kanjeng Nabi Muhammad lebih utama dibanding tokoh-tokoh
yang disebut di bawahnya termasuk Nabi Muhammad Saw. sendiri, melainkan sekedar
sebagai daya tarik serta untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam membuat puisi
Jawa yang berupa tembang macapat itu.
Kidung Kawedar adalah sebuah kidung pujian dalam bentuk
puisi Jawa, yang cara mengungkapkannya dilakukan dengan menyanyi yang disebut
sebagai macapat, dalam irama Dhandanggula. Macapat sebagai metrum atau irama
puisi Jawa, berasal dari kata maca
papat-papat (membaca empat-empat), yaitu cara membacanya berirama dalam
setiap empat suku kata.
Di beberapa daerah di Indonesia, dengan nama lain
macapat juga ditemukan dalam kebudayaan Bali, Madura, Sunda, Palembang dan
Banjarmasin. Kapan sesungguhnya macapat itu mulai ada di daerah-daerah
tersebut, khususnya di pulau Jawa, belum ada kata sepakat di antara para
peneliti. Poerbotjaraka dan Zoetmulder (sumber
Wikipedia, diunduh Sabtu 20 Septemeber
2014), memperkirakan sudah ada semenjak sebelum masa Kerajaan Majapahit,
namun pada waktu itu kalah dengan tembang Kakawin yang bermetrum India.
Setelah kekuasaan Majapahit memudar dan agama Islam
mulai menyebar, Sunan Bonang yang diikuti para Wali lainnya, melakukan dakwah
dengan cara menciptakan tembang-tembang macapat dalam berbagai irama yang baku,
ada yang bernuansa kontemplatif meditatif, ada yang menggelora mengobarkan
semangat, ada yang bernuansa dimabok asmara dan ada pula yang jenaka.
Masing-masing irama memiliki aturan baku antara lain setiap pupuh atau bait terdiri
dari sejumlah baris atau gatra tertentu, setiap baris terdiri dari sejumlah
suku kata dan pada suku kata terakhir dicirikan dengan sesuatu huruf hidup
tertentu.
Irama Dhandanggula yang dipakai dalam Kidung Kawedar ini misalkan,
dicirikan dalam setiap bait harus terdiri 10 (sepuluh) baris. Baris atau gatra
I terdiri dari 10 suku kata (guru wilangan) dengan suku kata terakhir (guru
lagu) yang memiliki huruf hidup i. Baris II terdiri dari 10 suku
kata dengan suku kata terakhir memiliki huruf hidup a. Gatra III terdiri dari 8 guru wilangan dengan guru lagu e, dibaca seperti kita membaca nama kota
Ende atau benua Eropa. Gatra IV terdiri
dari 7 guru wilangan dengan guru lagu u. Gatra V terdiri dari 9 guru wilangan dengan guru lagu i. Gatra VI terdiri dari 7 guru wilangan
dengan guru lagu a. Gatra VII terdiri
dari 6 guru wilangan dengan guru lagu u. Gatra VIII terdiri dari 8 guru
wilangan dengan guru lagu a.
Gatra IX terdiri dari 12 guru wilangan dengan guru lagu i, dan gatra terakhir
atau yang X, terdiri dari 7 guru wilangan dengan guru lagu a.
Guna memperindah serta menyesuaikan dengan aturan baku
jumlah suku kata dalam sesuatu baris, seorang pengarang seringkali harus
menggabungkan dua kata menjadi satu atau mencari padanannya. Contohnya adalah
bait keempat di atas, baris ke 8
tertulis Bagendhali kuliting wang. Bagendhali
adalah gabungan dua kata Bagendha atau baginda dan Ali, maksudnya adalah
Khalifah Ali bin Abu Thalib. Tapi karena baris tersebut harus terdiri dari 8
suku kata, maka Bagendha Ali, digabung menjadi Bagendhali. Baris kedelapan ini
terjemahannya adalah Baginda Ali menjadi
kulit saya. Juga penggabungan Abubakar Ngumar, adalah untuk Khalifah
Abubakar dan Khalifah Umar, guna memenuhi ketentuan guru wilangan sebanyak 12.
Contoh lain lagi akan ditemukan di bait 6 baris ke 9 yaitu kata-kata kinarya
dus, adalah singkatan dari kinarya
adus.
Masih di baris kedelapan, ada sejumlah sinonim untuk
kata saya
dalam bahasa Jawa, antara lain ingsun,
aku, mami dan wang. Tetapi
mengingat guru lagu atau huruf hidup pada suku kata terkahir baris tersebut
adalah a, maka dipilihlah kata wang
yang kurang lazim dipakai sehari-hari dibanding kata ingsun, aku dan mami.
Menterjemahkan apalagi menafsirkan karya sastra puisi
Jawa abad XV – XVI, meskipun oleh orang Jawa seperti penulis, ternyata tidak
sesederhana yang semula saya bayangkan. Karena masa itu adalah masa peralihan
besar kebudayaan yang ditandai dengan hidup bersamanya tiga bahasa Jawa, yaitu
akhir dari Jawa Kuno, Jawa Tengahan dan awal dari Jawa Baru. Bahasa Jawa Baru
yang masih berlaku sekarang pun sudah banyak berbeda dengan yang berlaku pada
masa kanak-kanak saya tahun 1950-an. Sudah banyak kata-kata dan istilah Jawa
Baru yang hilang digantikan oleh kata dan istilah bahasa daerah lain bahkan
istilah bahasa asing. Apalagi kata-kata Jawa Kuno dan Jawa Tengahan, banyak
yang tidak dimengerti oleh masyarakat sekarang.
Akan halnya kata linuwih
untuk Nabi Ngisa (Isa) dan Patimah (Fatimah) serta singgih untuk Abubakar Ngumar (Abubakar dan Umar), tidaklah
menggambarkan kelebihan dari keempatnya dibanding yang lain. Penambahan kata
linuwih dan singgih dimaksudkan untuk memenuhi unsur guru wilangan dan guru
lagu pada ke dua baris kalimat yang bersangkutan. Sedangkan penulisan Ngisa dan
Patimah untuk Nabi Isa dan Fatimah, puteri Rasulullah Saw, serta Ngumar untuk
Khalifah Umar, adalah kelaziman pengucapan pada masyarakat Jawa pada saat itu,
bahkan di beberapa kalangan masyarakat masih berlangsung sampai sekarang.
Seperti bila mereka mengucapkan Patekah
untuk Fatihah, ngarokhmanirokhim untuk arrahmaanirrahiim.
Demikanlah, Sunan Kalijaga menceriterakan tentang
sejarah Islam dan para nabi sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an, serta para
sahabat dan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad. Nama-nama mereka disebutkan seraya
mengikuti pola pikir orang Jawa yang menyenangi cerita wayang, terutama tentang
tokoh-tokoh sakti yang manjing, merasuk
menyatu dalam jiwa raga seorang tokoh wayang yang lain, sehingga tokoh yang
dirasuki menjadi sakti mandraguna.
Para Nabi dengan keutamaan masing-masing mulai dari Nabi
Adam, Nabi Ibrahim yang merupakan bapak dari para nabi agama samawi, agama
langit dan pencetus monoteisme, sampai ke Nabi Muhammad dan para sahabat serta
keluarganya, diperkenalkan melalui suatu
tembang Dhandanggula yang indah memukau, kontemplatif meditatif bagai sebuah
mantera sakti.
Bisa dibayangkan, pasti banyak pertanyaan dari
masyarakat tentang hal-hal baru tersebut. Jika selama ini mereka hanya mengenal
para dewa dan roh gaib sebagai sesembahan mereka, dengan Kidung Kawedar mereka
diperkenalkan kepada sesembahan baru, yang tunggal lagi maha kuasa, yang para
utusannya saja sudah sakti luar biasa.
Namun demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga tidak langsung
mengecam dan membuang nilai-nilai agama dan kepercayaan lama masyarakat,
terutama yang sudah menjadi kebiasaan hidup sehari-hari. Beliau menyusupkan
nilai-nilai baru ke dalam agama, kepercayaan, tatacara dan adat kebiasaan hidup
yang sudah ada sebelumnya. Nilai-nilai lama, dibungkus selapis demi selapis,
digeser sedikit demi sedikit. Dengan metode dakwah yang seperti itulah maka
Nusantara khususnya pulau Jawa diislamkan, sehingga sekarang menjadi negara
dengan penganut agama Islam terbesar di dunia.
Subhanallaah walhamdulillaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda