Kamis, 30 Oktober 2014

Tafsir Kidung "Rumekso Ing Wengi" Sunan Kalijaga (2) : ORANG JAWA MULAI MEMPELAJARI SEJARAH PARA NABI, SAHABAT dan KELUARGANYA.



Bait 4 :
Napasku Nabi Ngisa linuwih,
Nabi Yakuub pamiyarsaning wang,
Yusup ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Jeng Suleman kasekten mami,
Nabi Ibrahim nyawa,
Idris ing rambutku,
Bagendhali kuliting wang,
getih daging Abubakar Ngumar singgih,
balung Bagendha Ngusman.

Artinya:

Nabi Isa dengan kelebihannya merasuk dalam napasku,
Nabi Yakob di pendengaranku,
Yusuf ke wajahku,
Nabi Dawud suaraku,
Kanjeng Nabi Suleman kesaktianku,
Nabi Ibrahim nyawaku,
Idris rambutku,
Baginda Ali kulitku,
Abubakar dan Umar sebagai panutan menjadi darah daging,
tulang Baginda Usman.

Bait 5 :

Sungsum ingsun Patimah linuwih,
kang minangka rahayuning angga (ada versi lain: Siti Aminah rahyuning angga),  
Ayub minangka ususe, 
Nabi Nuh ing jejantung,
Nabi Yunus ing otot mami,
netraku ya Muhammad, panduluku Rasul,
pinayungan Adam sarak,
sampun pepak sakathahing para Nabi,
dadya sarira tunggal.

Artinya:

Fatimah dengan segala kelebihannya merasuk dalam sumsumku,
sebagai keselamatan diri (versi lain: Siti Aminah menjadi keselamatan diri),
Ayub sebagai usus,
Nabi Nuh berada di jantung,
Nabi Yunus di urat saya,
mataku adalah Muhammad,
pandanganku Rasul, dinaungi syariat Adam,
sudah lengkap semua Nabi,
menyatu dalam diriku.

Dalam tafsir sebelumnya telah kita bahas, Sunan Kalijaga mulai memperkenalkan istilah dan nama-nama baru kepada masyarakat, yaitu malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa. Pengenalan istilah, tokoh dan sejarah Islam tersebut dilanjutkan dalam bait keempat dan kelima, dengan sekaligus menjelaskan hikmah dan karomahnya di dalam diri manusia, apabila kita mempercayai dan mampu menghayatinya.

Dalam kedua bait tersebut, kata linuwih dipakai untuk mengakhiri baris pertama. Linuwih arti sebenarnya adalah kemampuan lebih atau di atas rata-rata orang pada umumnya, atau bisa juga berarti utama. Namun demikian  tidak berarti Nabi Isa (Ngisa) dan Fatimah, puteri Kanjeng Nabi Muhammad lebih utama dibanding tokoh-tokoh yang disebut di bawahnya termasuk Nabi Muhammad Saw. sendiri, melainkan sekedar sebagai daya tarik serta untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam membuat puisi Jawa yang berupa tembang macapat itu.

Kidung Kawedar adalah sebuah kidung pujian dalam bentuk puisi Jawa, yang cara mengungkapkannya dilakukan dengan menyanyi yang disebut sebagai macapat, dalam irama Dhandanggula. Macapat sebagai metrum atau irama puisi Jawa, berasal dari kata maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu cara membacanya berirama dalam setiap empat suku kata.

Di beberapa daerah di Indonesia, dengan nama lain macapat juga ditemukan dalam kebudayaan Bali, Madura, Sunda, Palembang dan Banjarmasin. Kapan sesungguhnya macapat itu mulai ada di daerah-daerah tersebut, khususnya di pulau Jawa, belum ada kata sepakat di antara para peneliti. Poerbotjaraka dan Zoetmulder (sumber Wikipedia, diunduh Sabtu  20 Septemeber 2014), memperkirakan sudah ada semenjak sebelum masa Kerajaan Majapahit, namun pada waktu itu kalah dengan tembang Kakawin yang bermetrum India.

Setelah kekuasaan Majapahit memudar dan agama Islam mulai menyebar, Sunan Bonang yang diikuti para Wali lainnya, melakukan dakwah dengan cara menciptakan tembang-tembang macapat dalam berbagai irama yang baku, ada yang bernuansa kontemplatif meditatif, ada yang menggelora mengobarkan semangat, ada yang bernuansa dimabok asmara dan ada pula yang jenaka. Masing-masing irama memiliki aturan baku antara lain setiap pupuh atau bait terdiri dari sejumlah baris atau gatra tertentu, setiap baris terdiri dari sejumlah suku kata dan pada suku kata terakhir dicirikan dengan sesuatu huruf hidup tertentu. 

Irama Dhandanggula yang dipakai dalam Kidung Kawedar ini misalkan, dicirikan dalam setiap bait harus terdiri 10 (sepuluh) baris. Baris atau gatra I terdiri dari 10 suku kata (guru wilangan) dengan suku kata terakhir (guru lagu) yang memiliki huruf hidup i. Baris II terdiri dari 10 suku kata dengan suku kata terakhir memiliki huruf hidup a. Gatra III terdiri dari 8 guru wilangan dengan guru lagu e, dibaca seperti kita membaca nama kota Ende atau benua  Eropa. Gatra IV terdiri dari 7 guru wilangan dengan guru lagu u. Gatra V terdiri dari 9 guru wilangan dengan guru lagu i. Gatra VI terdiri dari 7 guru wilangan dengan guru lagu a. Gatra VII terdiri dari 6 guru wilangan dengan guru lagu u. Gatra VIII terdiri dari 8 guru wilangan dengan guru lagu a. Gatra IX terdiri dari 12 guru wilangan dengan guru lagu i, dan gatra terakhir atau yang X, terdiri dari 7 guru wilangan dengan guru lagu a.

Guna memperindah serta menyesuaikan dengan aturan baku jumlah suku kata dalam sesuatu baris, seorang pengarang seringkali harus menggabungkan dua kata menjadi satu atau mencari padanannya. Contohnya adalah bait keempat di atas,  baris ke 8 tertulis Bagendhali kuliting wang. Bagendhali adalah gabungan dua kata Bagendha atau baginda dan Ali, maksudnya adalah Khalifah Ali bin Abu Thalib. Tapi karena baris tersebut harus terdiri dari 8 suku kata, maka Bagendha Ali, digabung menjadi Bagendhali. Baris kedelapan ini terjemahannya adalah Baginda Ali menjadi kulit saya. Juga penggabungan Abubakar Ngumar, adalah untuk Khalifah Abubakar dan Khalifah Umar, guna memenuhi ketentuan guru wilangan sebanyak 12. Contoh lain lagi akan ditemukan di bait 6 baris ke 9 yaitu kata-kata  kinarya dus, adalah singkatan dari kinarya adus.

Masih di baris kedelapan, ada sejumlah sinonim untuk kata saya  dalam bahasa Jawa, antara lain ingsun, aku, mami dan wang. Tetapi mengingat guru lagu atau huruf hidup pada suku kata terkahir baris tersebut adalah a, maka dipilihlah kata wang yang kurang lazim dipakai sehari-hari dibanding kata ingsun, aku dan mami.

Menterjemahkan apalagi menafsirkan karya sastra puisi Jawa abad XV – XVI, meskipun oleh orang Jawa seperti penulis, ternyata tidak sesederhana yang semula saya bayangkan. Karena masa itu adalah masa peralihan besar kebudayaan yang ditandai dengan hidup bersamanya tiga bahasa Jawa, yaitu akhir dari Jawa Kuno, Jawa Tengahan dan awal dari Jawa Baru. Bahasa Jawa Baru yang masih berlaku sekarang pun sudah banyak berbeda dengan yang berlaku pada masa kanak-kanak saya tahun 1950-an. Sudah banyak kata-kata dan istilah Jawa Baru yang hilang digantikan oleh kata dan istilah bahasa daerah lain bahkan istilah bahasa asing. Apalagi kata-kata Jawa Kuno dan Jawa Tengahan, banyak yang tidak dimengerti oleh masyarakat sekarang.

Akan halnya kata linuwih untuk Nabi Ngisa (Isa) dan Patimah (Fatimah) serta singgih untuk Abubakar Ngumar (Abubakar dan Umar), tidaklah menggambarkan kelebihan dari keempatnya dibanding yang lain. Penambahan kata linuwih dan singgih dimaksudkan untuk memenuhi unsur guru wilangan dan guru lagu pada ke dua baris kalimat yang bersangkutan. Sedangkan penulisan Ngisa dan Patimah untuk Nabi Isa dan Fatimah, puteri Rasulullah Saw, serta Ngumar untuk Khalifah Umar, adalah kelaziman pengucapan pada masyarakat Jawa pada saat itu, bahkan di beberapa kalangan masyarakat masih berlangsung sampai sekarang. Seperti bila mereka mengucapkan Patekah untuk Fatihah, ngarokhmanirokhim untuk arrahmaanirrahiim.

Demikanlah, Sunan Kalijaga menceriterakan tentang sejarah Islam dan para nabi sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an, serta para sahabat dan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad. Nama-nama mereka disebutkan seraya mengikuti pola pikir orang Jawa yang menyenangi cerita wayang, terutama tentang tokoh-tokoh sakti yang manjing, merasuk menyatu dalam jiwa raga seorang tokoh wayang yang lain, sehingga tokoh yang dirasuki menjadi sakti mandraguna.

Para Nabi dengan keutamaan masing-masing mulai dari Nabi Adam, Nabi Ibrahim yang merupakan bapak dari para nabi agama samawi, agama langit dan pencetus monoteisme, sampai ke Nabi Muhammad dan para sahabat serta keluarganya,  diperkenalkan melalui suatu tembang Dhandanggula yang indah memukau, kontemplatif meditatif bagai sebuah mantera sakti.

Bisa dibayangkan, pasti banyak pertanyaan dari masyarakat tentang hal-hal baru tersebut. Jika selama ini mereka hanya mengenal para dewa dan roh gaib sebagai sesembahan mereka, dengan Kidung Kawedar mereka diperkenalkan kepada sesembahan baru, yang tunggal lagi maha kuasa, yang para utusannya saja sudah sakti luar biasa.

Namun demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga tidak langsung mengecam dan membuang nilai-nilai agama dan kepercayaan lama masyarakat, terutama yang sudah menjadi kebiasaan hidup sehari-hari. Beliau menyusupkan nilai-nilai baru ke dalam agama, kepercayaan, tatacara dan adat kebiasaan hidup yang sudah ada sebelumnya. Nilai-nilai lama, dibungkus selapis demi selapis, digeser sedikit demi sedikit. Dengan metode dakwah yang seperti itulah maka Nusantara khususnya pulau Jawa diislamkan, sehingga sekarang menjadi negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia.

Subhanallaah walhamdulillaah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda