Bait 6 :
Wiji sawiji mulane dadi,
apan pencar saisining jagad,
kasamadan dening Date,
kang maca kang angrungu,
kang anurat miwah nyimpeni,
dadi ayuning badan,
kinaryo sesembur, yen winacakna ing toya,
kinarya dus rara tuwa aglis rabi,
wong edan nuli waras.
Artinya :
Semula hanyalah
sebuah benih,
kemudian tersebar
memenuhi alam raya,
karena berkah dari
Dzat (Yang Maha Kuasa),
siapa yang membaca
dan mendengar (tentang hal itu),
siapa yang
menuliskan maupun yang menyimpan,
akan memperoleh
keselamatan, bisa dijadikan doa,
yang bila dibacakan
di air,
dipakai mandi
perawan tua akan cepat menikah,
orang gila pun
menjadi sembuh.
Bait 7
:
Lamun ana wong kadhendha kaki,
wong kabanda lan
kabotan utang,
yogya wacanen den age,
ing wanci tengah dalu,
ping salawe wacanen ririh, l
uwar ingkang kabanda,
kang kadhendha wurung,
aglis nuli sinauran,
mring Hyang Suksma kang utang puniku singgih,
kang agring dadi waras.
Artinya :
Bila ada orang yang
didenda (maksudnya di sini dihukum),
orang yang diikat
tangannya (maksudnya ditangkap) dan terbelit hutang, baik bila segera membaca
(kidung ini),
di kala tengah
malam,
sebanyak 25 kali
secara lirih,
yang ditangkap akan
dilepaskan,
yang dihukum akan
bebas,
(yang berhutang)
akan segara dibayarkan,
oleh Sang Hyang
Suksma (Tuhan Yang Maha Kuasa) sehingga yang berhutang menjadi baik namanya,
yang sakit menjadi
sembuh.
Bait 8 :
Sapareke bisa anglakoni,
amutiha lawan anawaa,
patang puluh dina wae,
lan tangi wektu subuh,
miwah sabar sukur ing Widhi,
Insya Allah tinekanan,
sakarsa nireku,
tumrap sanak rayatira,
awit saking sawab pangiketing ngelmi,
duk aneng Kalijaga.
Artinya :
Barang siapa dapat
melakukan,
berpuasa dengan
hanya makan nasi dan air putih saja (tawar serta tanpa garam dan gula),
selama 40 hari,
dan bangun di kala
subuh,
serta sabar dan
bersyukur kepada Yang Maha Esa,
Insya Allah
terkabul,
segala kehendaknya,
bagi sanak saudara
dan kerabat,
berkat karomah ilmu,
yang diperoleh
tatkala menjadi Penjaga Sungai (beruzlah di pinggir sungai).
Kidung
Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi ini disyiarkan ke masyarakat pada saat budaya
tulis belum berkembang, maka sungguh tepat dibuat dalam bentuk tembang macapat
sehingga segera disenangi masyarakat. Bahkan sampai sekarang, bisa dipastikan
semua grup kesenian Jawa khususnya karawitan atau gamelan Jawa, para dalang
pewayangan dan pesinden (penyanyi tembang-tembang Jawa), bisa menyanyikan
Kidung Kawedar.
Namun
demikian lantaran panjang, yaitu terdiri dari 46 pupuh atau bait, jarang yang
hafal semuanya di luar kepala. Begitu pun dalam hal isi baris, banyak perbedaan
meski pun hanya beda kecil dan tidak terlalu mendasar. Sebagai contoh pada bait
2, kata terakhir dari baris kedua ada yang menyebut mirunda dan ada yang miruna,
baris ketiga pangulune dan ada yang pandulune, baris ketujuh ada yang
menyebut tutut ada pula yang lulut. Kemudian baris kesembilan bait 6,
ada yang menyebut rabi dan ada pula yang laki. Baris kelima bait 8, ada yang menyebut miwah tapi ada juga yang lan
den. Yang agak berbeda makna adalah bait 5 baris kedua, karena ada yang
berbunyi kang minangka rahayuning
ngangga, sedangkan versi lain Siti
Aminah rahyuning angga.
Dalam hal versi tulis, kita bersyukur seni sastra di
Keraton Kasunan Surakarta berkembang pesat pada abad XVII – XIX, sehingga
Kidung Kawedar ini bisa dihimpun dalam huruf Jawa. Selanjutnya oleh pujangga
Kyai Ronggo Sutrasno, himpunan tersebut diterjemahkan ke dalam huruf Latin, dan
oleh R.Wiryapanitra Kusumodiningrat, dibuatkan tafsirnya. Terjemahan serta
tafsir pertama Kidung Kawedar itu pada tahun 1912 dicetak oleh Penerbit Tan
Koen Swi, Kediri.
Dari versi penerbit Tan Koen Swi inilah kita sekarang
bisa menemukan Kidung Kawedar secara lengkap 46 bait, baik dalam bentuk
berbagai cetakan maupun versi media sosial online,
antara lain di blog http://alangalangkumitir.wordpress.com/2010/10/27/serat-kidungan-kawedar/ sebagaimana penulis baca
pada 20 September 2014. Dalam bentuk buku saku, versi R.Wiryapanitra tersebut
dengan beberapa perbedaan kecil, juga diterbitkan oleh Dahara Prize, Semarang
1995. Meski berasal dari sumber yang sama terdapat sejumlah perbedaan antara
versi Dahara dan versi online Alangalangkumitir.
Dalam tafsir ini, penulis menggunakan semua sumber
tersebut, terutama bait-bait versi cetak Dahara Prize, dengan beberapa
perubahan sesuai pengalaman serta rasa batin penulis, sebagai orang yang
dilahirkan dan dibesarkan di daerah Pantura Jawa, yang semenjak kecil sudah
agak akrab dengan tembang-tembang ciptaan Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga.
Dalam bait ketiga sampai dengan kelima, Sunan Kalijaga
memperkenalkan istilah dan nama-nama tokoh yang bagi orang Jawa betul-betul
baru sama sekali. Ada malaikat, rasul, Adam, Musa, Isa, Yakob, Yusuf, Dawud,
Sulaeman, Ibrahim, Idris, Ayub, Nuh, Yunus, Muhammad, Abubakar, Umar, Usman,
Ali dan Fatimah.
Memang Kidung Kawedar tidak menjelaskan secara terinci
sejarah dari para nabi, sahabat dan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad tersebut.
Tetapi marilah kita coba menerapkan pada diri kita sendiri, baik dalam posisi
sebagai penutur atau pun sebagai pendengar. Selaku pendengar, kita pasti ingin
tahu lebih jauh tentang tokoh yang disebut penutur memiliki kemampuan dan
karomah luar biasa, sehingga patut menyatu dalam diri kita, yang selanjutnya
akan kita jadikan sebagai senjata andalan dalam kehidupan.
Sebaliknya sebagai penutur, kita pun akan berusaha
menjelaskan lebih terperinci siapa tokoh-tokoh atau orang-orang yang kita
jagokan, dan mengapa patut kita jadikan panutan serta andalan. Oleh sebab itu
tidak mengherankan apabila bagi masyarakat Jawa kebanyakan meskipun Islam
Abangan, sedikit banyak akan mengenal misalkan Nabi Nuh dengan kisah perahunya
dan Nabi Yusuf yang selalu dijadikan idola dalam berdoa selamatan atau
tasyakuran tujuh bulan kehamilan.
Dalam doa memohon keselamatan bagi ibu dan bayi yang
sedang dikandungnya, sekaligus juga dipanjatkan harapan agar sang bayi memiliki
aura ketampanan Nabi Yusuf, yang dikisahkan di dalam suatu perjamuan ibu-ibu,
para hadirin diminta masing-masing mengupas buah-buahan dengan sebilah pisau
nan tajam. Guna menguji reaksi ibu-ibu itu, maka pada saat seperti itu Nabi
Yusuf diminta melintas. Apa yang terjadi? Hadirin terpana dengan ketampanan
Nabi Yusuf, sampai-sampai tanpa sadar mereka salah kupas apel, melainkan
menggores tangannya sehingga terluka.
Siapakah yang tidak ingin anak keturunannya tampan atau
cantik? Begitu luar biasa ketampanan Nabi Yusuf, sampai menjadi idaman agar
Gusti Allah berkenan mengaruniakan kepada sang jabang bayi, agar jika lahir
pria akan tampan dan bila perempuan akan cantik jelita.
Pengetahuan terhadap agama baru dengan para tokoh
panutannya tersebut, menjadi benih keyakinan. Meskipun baru atau hanya sebutir,
benih itu akan tumbuh sumbur beranak pinak menyebar ke segenap penjuru dunia,
ke jagad raya, karena memperoleh berkah dari Dzat Yang Maha Kuasa. Keyakinan
itu akan membuahkan keselamatan kepada siapa saja yang membaca, yang menyimak
mendengarkan, yang menuliskan dan yang menyimpannya. Bahkan bisa menjadi sumber
segala doa, yang bila dibacakan di air dan airnya dipakai mandi oleh seorang
perawan tua, maka sang perawan akan segera menemukan jodohnya dan segera
menikah. Jika diberikan kepada orang gila maka akan segera sembuh (bait 6).
Dalam bait 6 terdapat kata sesembur, yaitu salah satu
cara pengobatan atau pemberian doa restu, yang biasa dilakukan oleh orang yang
dituakan atau yang dianggap memiliki kemampuan batin yang tinggi. Setelah
berdoa, si orang tua kemudian dengan mulutnya meniup sampai mengeluarkan bunyi
desis ke ubun-ubun atau dahi atau bagian-bagian tertentu si sakit atau orang
yang didoakan.
Dengan berkah Dzat Yang Maha Kuasa itu pula, keyakinan
yang ditanamkan oleh Kidung Kawedar, mampu menolong orang-orang yang sedang
berperkara, yang dihukum, ditahan dan yang terbebani hutang (bait 7). Persis
seperti Gusti Allah menolong para nabi dan rasul yang menghadapi kesulitan
betapa pun beratnya. Api yang dinyalakan oleh punggawa Raja Namrud untuk
membakar Nabi Ibrahim, dengan pertolongan
Dzat Yang Maha Esa, Yang Maha Gaib,
berubah sedingin air; bahtera Nabi Nuh mampu menampung dan menyelamatkan
makhluk-makhlukNya demi meneruskan kehidupan; Nabi Yunus yang ditelan ikan bisa
keluar dengan selamat; demikian pula pertolongan Allah Swt kepada para Nabi
yang lain termasuk Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya.
Dalam upaya menghayati dan memperoleh hakikat dari
Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung mengajarkan tatacara peribadatan yang
baru, melainkan mengikuti adat kebiasaan masyarakat, yaitu dengan menjalankan
puasa mutih selama 40 hari penuh siang malam (bait 8). Puasa mutih yaitu
pantang tidak memakan makanan dan meminum minuman yang diberi rasa nikmat
seperti asin dan manis. Orang yang sedang mutih, hanya boleh makan nasi putih,
meminum air putih dan buah-buahan segar yang tidak diolah. Mengenai puasa mutih
ini, lebih lanjut bisa dilihat di buku kami Pengembaraan
Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 33, 35 dan 105, yang juga bisa
diunduh melalui e-book di blog
http://bwiwoho.blogspot.com.
Selama 40 hari si pelaku harus bangun di waktu subuh, serta senantiasa bersikap sabar
dan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Jika ia bisa melakukan itu semua, insya Allah, keinginannya akan
dikabulkan dan akan memberikan manfaat kepada sanak keluarga dan kaum
kerabat bahkan rakyat. Semua itu
berdasarkan karomah yang dianugerahkan kepada sang pengarang kidung tatkala
sedang menjalani uzlah dan bermunajat di pinggir sungai, bagaikan seorang
penjaga sungai atau kali. Dialah Sang Kalijaga yang beruzlah di tengah hutan di
pinggir kali di daerah Cirebon selama beberapa tahun.
Kembali dalam bait 8 ini, Sunan Kalijaga memperkenalkan
dua istilah baru yakni subuh dan insya Allah. Pembahasan secara lebih
rinci tentang insya Allah, juga bisa dilihat di buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 142 –
143. Bagi kita sekarang, 5 – 6 abad kemudian, dua istilah itu bukanlah sesuatu
yang baru lagi asing, lantaran sudah menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tetapi bagi masyarakat abad ke XV – XVI, tentu menimbulkan pertanyaan dan
memancing rasa ingin tahu.
Subhanallaah, maasyaa-Allaah.
1 Komentar:
aku percaya
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda