Bait 12 :
Lawan rineksa dening Hyang Widhi,
sasedyane tinekan dening Hyang,
kinedhep mring janma akeh,
kang maca kang angrungu,
kang anurat miwah nyimpeni,
yen nora bisa maca,
simpenana iku,
temah ayu kang sarira,
yen linakon dinulur sasedyaneki,
lan rineksa dening Hyang.
Artinya :
Dan dijaga oleh Tuhan Yang Maha
Esa,
segala keinginannya
dikabulkan Tuhan,
disayang banyak
orang,
bagi yang membaca
dan yang mendengar,
yang menulis dan
menyimpan,
bila tidak bisa
membaca,
simpanlah itu,
tentu akan selamat
dirimu,
bila diamalkan akan
terkabul segala keinginannya,
dan dijaga oleh
Tuhan.
Bait 13 :
Kang sinedya tenekan Hyang Widhi,
kang kinarsan dumadakan kena,
tur sinihan Pangerane,
nadyan tan weruh iku,
namun nedya muja
semedi,
sasaji ing segara,
dadya ngumbareku,
dumadi sarira tunggal,
tunggal jati swara awor ing Hartati,
aran sekar jempina.
Artinya :
Kemauannya dikabulkan Tuhan,
keinginannya mendadak terwujud,
lagi disayang Tuhan,
meski tidak nampak,
apabila hendak bersemedi,
sesaji di lautan,
jadi sadar diri,
menjadi diri nan menyatu,
menyatukan jati (hakikat) suara di
dalam karsa yang utama,
disebut bunga jempina.
Bait 14 :
Somahira
ing ngaran penjari,
melu urip lawan melu pejah,
tan pisah ing saparane,
paripurna satuhu,
anirmala waluya jati,
kena ing kene kana,
ing wasananipun,
ajejuluk adi Suksma,
cahya hening jumeneng aneng Hartati,
anom tan keno tuwo.
Artinya :
Pasangannya disebut penjari,
menyertai hidup dan
mati,
tak berpisah ke mana
pun pergi,
sempurna
ketulusannya,
tanpa cacat cela
senantiasa pulih sejati,
bisa di sana-sini,
yang pada akhirnya,
disebut adi sukma
(sukma nan mulia),
cahaya hening
bersemayam di hartati (daya kekuatan hidup yang istimewa),
senantiasa muda tak
bisa menjadi tua.
Dalam
pembahasan bait 9 – 11, kita sudah sedikit mengulas mengenai tujuan hidup
manusia atau untuk apa Tuhan menciptakan manusia. Masalah ini sesungguhnya
telah banyak saya tulis dalam buku Memaknai
Kehidupan halaman 19 – 22 dan buku Pengembaraan
Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 96 – 101 yang bisa diunduh
dari e-book http://islamjawa.wordpress.com .
Filosofi hakikat dan tujuan hidup, sangat populer dan
menjadi panduan kehidupan bagi orang-orang Islam Kejawen. Folosofi ini dinamai “sangkan paraning dumadi”, yang berarti
asal mula dan tujuan dijadikannya manusia atau kehidupan manusia. Filosofi ini menggambarkan perjalanan
kehidupan manusia sedari masih di dalam alam ruh sampai dengan kehidupan di
akhirat kelak.
Perjalanan kehidupan itu dilukiskan secara sederhana ke
dalam lima stasiun pengembaraan manusia. Stasiun I adalah stasiun kota asal
atau alam ruh. Di dalam alam ruh, manusia masih berupa ruh suci yang memiliki
arta-daya atau kebijaksanaan dan kekuatan yang luar biasa hebat, yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata.
Tatkala Gusti Allah Yang Maha Kuasa hendak menugaskan
salah satu ruh untuk turun ke dunia nan fana, yang tidak kekal ini, maka
diberikanlah kepada sang ruh skenario perannya sebagai hamba Allah, sekaligus
selaku khalifah fil ard, wakil dan utusan-Nya di muka bumi. Sebagaimana orang
yang hendak berpergian, Sang Ruh
dibekali pula dengan berbagai perlengkapan dan aturan. Setelah itu ditiupkanlah
ia ke rahim seorang ibu.
Di dalam rahim ibu yang merupakan Stasiun II, Sang Ruh
mulai digembleng dengan berbagai pengalaman. Dia yang semula bagaikan kain
kanvas bahan lukisan yang putih bersih, disapu oleh kuas-kuas sang bunda dengan
warna-warna dasar, berupa emosi-emosi kejiwaan dan energi-energi ragawi.
Dari Stasiun II, Sang Ruh lahir ke dunia, menjadi
manusia yang mengembara di Stasiun III. Kehidupan di Stasiun III digambarkan
oleh almarhum Ki Nartosabdo (1925 – 1985), yaitu dalang wayang kulit
legendaris, juga dalam tembang Dhandanggula sebagai berikut:
Kawruhana sajatining urip,
manungsa urip ing donya,
prasasat mung mampir ngombe,
umpama manuk mabur,
oncat saking kurunganeki,
ngendi pencokan benjang,
ywa kongsi keliru,
umpama wong lunga sanja,
njan sinanjan nora wurung mesthi mulih,
mulih mula mulanya.
Artinya
:
Ketahuilah
perihal hakikat hidup,
manusia
hidup di dunia,
ibarat
hanya singgah untuk minum,
ibarat
burung terbang,
lepas
dari sangkar,
akan
hinggap di mana nanti,
jangan
sampai salah,
ibarat
orang bertandang,
kunjung-mengunjungi
tapi toh akhirnya harus pulang,
pulang
ke tempat asal mula.
Ungkapan
yang menyatakan manusia hidup ibarat sekedar singgah untuk minum, amat populer
bagi orang Jawa. Sama populernya dengan ungkapan, Gusti Allah ora sare atau Gusti
Allah tidak tidur. Yang pertama
berasal dari sabda Kanjeng Nabi Muhammad, sedangkan yang kedua berasal dari Al
Qur’an ayat Kursi. Karena hanya sekedar singgah minum dalam
suatu perjalanan seorang musafir, maka
waktu untuk singgah adalah pendek. Waktu yang pendek ini harus digunakan
sebaik-baiknya, serta diisi dengan kegiatan dan hal-hal yang bermanfaat sebagai
bekal demi sukses dan tercapainya maksud dan tujuan perjalanan.
Bait
kedua tembang Ki Nartosabdo di atas selanjutnya menyatakan, manusia dan semua
makhluk diciptakan oleh Sang Maha Pencipta Alam Raya Yang Maha Agung. Dialah
asal mula sekaligus tujuan akhir dari semua yang ada.
Di
Stasiun III ini manusia diuji apakah taat dan teguh pada perjanjian serta
menjalankan tugas sesuai skenario Tuhan. Dalam menguji manusia, Tuhan juga
memberikan mandat kepada setan untuk menggodanya. Selanjutnya dari Stasiun III
manusia wafat, dan jiwanya yaitu kinerja dari ruh dan raganya, masuk ke Stasiun
IV yakni alam kubur atau alam barzah untuk menunggu peradilan Tuhan. Setelah
sampai pada gilirannya diadili, ditimbang amal perbuatannya selama di Stasiun
III, Sang Jiwa menyelesaikan pengembaraan masuk ke Stasiun V, stasiun terakhir
yang tiada lain adalah Kampung Ahirat. Di Kampung ini ia akan tinggal di rumah
sesuai amal perbuatannya, apakah Istana Surga ataukah Neraka.
Manusia
akan bisa menghayati tujuan serta hakikat kehidupan apabila selalu ingat serta
menyatukan segala potensi dirinya, terutama karsa utamanya dengan Sang Maha
Pencipta. Manusia yang seperti itu akan selalu dijaga dan disayang Tuhan,
sehingga keinginan-keinginannya mudah
dikabulkan. Untuk bisa memahami tujuan serta hakikat hidup, tidaklah harus bisa
membaca dan menuliskan Kidung Kawedar ini, namun yang paling penting adalah menyimpan di
hati nuraninya pemahaman dan makna Kidung, dan selanjutnya, ini justru yang terpenting,
mengamalkan dalam kehidupan (bait 12 dan 13).
Bait
13 adalah bait yang banyak menggunakan kata-kata Jawa Kuno dan Jawa Tengahan
yang multi tafsir, misalkan muja semedi,
sasaji ing segara, dadya ngumbareku, hartati dan sekar jempina. Muja semedi
dalam kidung ini tidaklah berarti
bersemedi dalam pemahaman Syiwa – Buddha, melainkan mengingat dan berdoa
kepada Tuhan. Sedangkan yang dimaksud dengan sasaji ing segara adalah
menyiapkan diri sebelum memasuki arena kehidupan yang amat sangat luas yang digambarkan
dengan lautan.
Lautan
bagi orang Jawa adalah sesuatu yang tanpa batas, yang mampu menelan serta
menampung apa saja, mulai dari makhluk-makhluk yang hanya bisa dilihat dengan
mikroskop sampai dengan ikan paus dan kapal-kapal raksasa. Begitu pula lautan
kehidupan, bisa menampung hawa nafsu yang tak terbatas besarnya, termasuk
segala kebaikan dan keburukan.
Ada
pun sesaji, dalam bahasa Jawa Kuno bisa berarti barang untuk sesajian atau
piranti upacara ritual, tapi bisa juga berarti menyiapkan.
Ngumbareku
secara umum berarti membiarkan bebas, membuka, melepaskan atau memperhatikan
dan sadar diri. Tentang hartati sudah dibahas di bagian depan, yakni karsa yang
utama, yaitu daya kekuatan jiwa yang luar biasa yang mendorong makhluk hidup
untuk berkehendak. Sementara sekar jempina atau bunga jempina, berasal dari
kata jampi atau obat.
Demikianlah,
meskipun Tuhan itu tidak nampak. Tetapi bila manusia bisa senantiasa ingat dan
berdoa kepada-Nya, sadar serta menyiapkan dirinya dengan baik dalam kehidupan
yang membentang luas, maka ia bisa menyatu dengan Tuhan, menyatukan hakikat nyanyian
kehidupannya ke dalam karsa yang utama. Dalam situasi seperti itu ia bisa
disebut bunga pengobatan, yang langsung bisa mengobati segala penyakit
kehidupannya, sehingga tidak akan pernah merasa sakit, tidak akan pernah merasa
susah dan menderita.
Bait
14 masih melanjutkan keutamaan-keutamaan yang diuraikan di bait 13. Manusia
memiliki pasangan setia, yang dalam kidung disebut penjari. Penulis masih belum bisa menemukan makna yang
tepat untuk kata penjari. Kata penjari atau panjari akan ditemukan lagi pada
bait 16. Ki Wiryapanitra menyebut penjari itu sebagai rahsa atau inti sari ruh.
Rahsa merupakan pasangan setia manusia, yang
senantiasa menyertai tatkala hidup maupun mati. Rahsa itu sempurna dan bisa
disebut pula sebagai sukma nan indah-mulia, yang luar biasa, yang istimewa,
yang muda dan tidak bisa menjadi tua, yang berupa cahaya dari cahaya yang
bersemayam di karsa utama manusia.
Rahsa
atau sirr juga berarti rahasia. Dalam kitab Wirid Hidayat Jati terbitan Dahara
Prize, rahsa diartikan sebagai rahasia. Pada wejangan ketiga halaman 20 – 21
disebutkan, “Sajatine manungsa iku
rahsaningsun. Lan Ingsun iki rahsaning manungsa. (Sesungguhnya manusia itu
adalah rahasia-Ku. Dan Aku ini rahasia manusia ). Ini sesuai bunyi Surat Al
Israa ayat 85, “Dan mereka bertanya
kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘ruh itu urusan Rab-ku, dan tidaklah kamu
diberi ilmu melainkan hanya sedikit’.
Subhanallaah, maasyaa-Allaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda