Senin, 17 November 2014

Tafsir Kidung "Rumekso Ing Wengi" Sunan Kalijaga (5): KEUTAMAAN ORANG YANG MEMAHAMI TUJUAN HIDUP



Bait 12 :
             Lawan rineksa dening Hyang Widhi,
             sasedyane tinekan dening Hyang,
kinedhep mring janma akeh, 
kang maca kang angrungu,
kang anurat miwah nyimpeni,
yen nora bisa maca,
simpenana iku,
temah ayu kang sarira,
yen linakon dinulur sasedyaneki,
lan rineksa dening Hyang.

Artinya :
             Dan dijaga oleh Tuhan Yang Maha Esa,
segala keinginannya dikabulkan Tuhan,
disayang banyak orang,
bagi yang membaca dan yang mendengar,
yang menulis dan menyimpan,
bila tidak bisa membaca,
simpanlah itu,
tentu akan selamat dirimu,
bila diamalkan akan terkabul segala keinginannya,
dan dijaga oleh Tuhan.



Bait 13 :
           

Kang sinedya tenekan Hyang Widhi,
kang kinarsan dumadakan kena,
tur sinihan Pangerane,
nadyan tan weruh iku,
namun nedya  muja semedi,
sasaji ing segara,
dadya ngumbareku,
dumadi sarira tunggal,
tunggal jati swara awor ing Hartati,
aran sekar jempina.

Artinya :
             Kemauannya dikabulkan Tuhan,
             keinginannya mendadak terwujud,
             lagi disayang Tuhan,
             meski tidak nampak,
             apabila hendak bersemedi,
             sesaji di lautan,
             jadi sadar diri,
             menjadi diri nan menyatu,
             menyatukan jati (hakikat) suara di dalam karsa yang utama,
             disebut bunga jempina.

Bait 14 :
            Somahira ing ngaran penjari,
melu urip lawan melu pejah,
tan pisah ing saparane,
paripurna satuhu,
anirmala waluya jati,
kena ing kene kana,
ing wasananipun, 
ajejuluk adi Suksma,
cahya hening jumeneng aneng Hartati,
anom tan keno tuwo.


Artinya :
             Pasangannya disebut penjari,
menyertai hidup dan mati,
tak berpisah ke mana pun pergi,
sempurna ketulusannya,
tanpa cacat cela senantiasa pulih sejati,
bisa di sana-sini,
yang pada akhirnya,
disebut adi sukma (sukma nan mulia),
cahaya hening bersemayam di hartati (daya kekuatan hidup yang istimewa),
senantiasa muda tak bisa menjadi tua.


Dalam pembahasan bait 9 – 11, kita sudah sedikit mengulas mengenai tujuan hidup manusia atau untuk apa Tuhan menciptakan manusia. Masalah ini sesungguhnya telah banyak saya tulis dalam buku Memaknai Kehidupan halaman 19 – 22 dan buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 96 – 101 yang bisa diunduh dari e-book http://islamjawa.wordpress.com .
             
Filosofi hakikat dan tujuan hidup, sangat populer dan menjadi panduan kehidupan bagi orang-orang Islam Kejawen. Folosofi ini dinamai “sangkan paraning dumadi”, yang berarti asal mula dan tujuan dijadikannya manusia atau kehidupan manusia.  Filosofi ini menggambarkan perjalanan kehidupan manusia sedari masih di dalam alam ruh sampai dengan kehidupan di akhirat kelak.

Perjalanan kehidupan itu dilukiskan secara sederhana ke dalam lima stasiun pengembaraan manusia. Stasiun I adalah stasiun kota asal atau alam ruh. Di dalam alam ruh, manusia masih berupa ruh suci yang memiliki arta-daya atau kebijaksanaan dan kekuatan yang luar biasa hebat, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Tatkala Gusti Allah Yang Maha Kuasa hendak menugaskan salah satu ruh untuk turun ke dunia nan fana, yang tidak kekal ini, maka diberikanlah kepada sang ruh skenario perannya sebagai hamba Allah, sekaligus selaku khalifah fil ard, wakil dan utusan-Nya di muka bumi. Sebagaimana orang yang hendak berpergian, Sang Ruh  dibekali pula dengan berbagai perlengkapan dan aturan. Setelah itu ditiupkanlah ia ke rahim seorang ibu.
Di dalam rahim ibu yang merupakan Stasiun II, Sang Ruh mulai digembleng dengan berbagai pengalaman. Dia yang semula bagaikan kain kanvas bahan lukisan yang putih bersih, disapu oleh kuas-kuas sang bunda dengan warna-warna dasar, berupa emosi-emosi kejiwaan dan energi-energi ragawi.

Dari Stasiun II, Sang Ruh lahir ke dunia, menjadi manusia yang mengembara di Stasiun III. Kehidupan di Stasiun III digambarkan oleh almarhum Ki Nartosabdo (1925 – 1985), yaitu dalang wayang kulit legendaris, juga dalam tembang Dhandanggula sebagai berikut:

Kawruhana sajatining urip,
manungsa urip ing donya,
prasasat mung mampir ngombe,
umpama manuk mabur,
oncat saking kurunganeki, 
ngendi pencokan benjang,
ywa kongsi keliru,
umpama wong lunga sanja,
njan sinanjan nora wurung mesthi mulih,
mulih mula mulanya.

Artinya :

Ketahuilah perihal hakikat hidup,
manusia hidup di dunia,
ibarat hanya singgah untuk minum,
ibarat burung terbang,
lepas dari sangkar,
akan hinggap di mana nanti,
jangan sampai salah,
ibarat orang bertandang,
kunjung-mengunjungi tapi toh akhirnya harus pulang,
pulang ke tempat asal mula.

Ungkapan yang menyatakan manusia hidup ibarat sekedar singgah untuk minum, amat populer bagi orang Jawa. Sama populernya dengan ungkapan, Gusti Allah ora sare  atau  Gusti Allah tidak tidur. Yang pertama berasal dari sabda Kanjeng Nabi Muhammad, sedangkan yang kedua berasal dari Al Qur’an  ayat Kursi.  Karena hanya sekedar singgah minum dalam suatu perjalanan  seorang musafir, maka waktu untuk singgah adalah pendek. Waktu yang pendek ini harus digunakan sebaik-baiknya, serta diisi dengan kegiatan dan hal-hal yang bermanfaat sebagai bekal demi sukses dan tercapainya maksud dan tujuan perjalanan.

Bait kedua tembang Ki Nartosabdo di atas selanjutnya menyatakan, manusia dan semua makhluk diciptakan oleh Sang Maha Pencipta Alam Raya Yang Maha Agung. Dialah asal mula sekaligus tujuan akhir dari semua yang ada.

Di Stasiun III ini manusia diuji apakah taat dan teguh pada perjanjian serta menjalankan tugas sesuai skenario Tuhan. Dalam menguji manusia, Tuhan juga memberikan mandat kepada setan untuk menggodanya. Selanjutnya dari Stasiun III manusia wafat, dan jiwanya yaitu kinerja dari ruh dan raganya, masuk ke Stasiun IV yakni alam kubur atau alam barzah untuk menunggu peradilan Tuhan. Setelah sampai pada gilirannya diadili, ditimbang amal perbuatannya selama di Stasiun III, Sang Jiwa menyelesaikan pengembaraan masuk ke Stasiun V, stasiun terakhir yang tiada lain adalah Kampung Ahirat. Di Kampung ini ia akan tinggal di rumah sesuai amal perbuatannya, apakah Istana Surga ataukah Neraka.

Manusia akan bisa menghayati tujuan serta hakikat kehidupan apabila selalu ingat serta menyatukan segala potensi dirinya, terutama karsa utamanya dengan Sang Maha Pencipta. Manusia yang seperti itu akan selalu dijaga dan disayang Tuhan, sehingga keinginan-keinginannya mudah dikabulkan. Untuk bisa memahami tujuan serta hakikat hidup, tidaklah harus bisa membaca dan menuliskan Kidung Kawedar ini,  namun yang paling penting adalah menyimpan di hati nuraninya pemahaman dan makna Kidung, dan selanjutnya, ini justru yang terpenting, mengamalkan dalam kehidupan (bait 12 dan 13).

Bait 13 adalah bait yang banyak menggunakan kata-kata Jawa Kuno dan Jawa Tengahan yang multi tafsir, misalkan muja semedi, sasaji ing segara, dadya ngumbareku, hartati dan sekar jempina. Muja semedi dalam kidung ini tidaklah berarti  bersemedi dalam pemahaman Syiwa – Buddha, melainkan mengingat dan berdoa kepada Tuhan. Sedangkan yang dimaksud dengan sasaji ing segara adalah menyiapkan diri sebelum memasuki arena kehidupan yang amat sangat luas yang digambarkan dengan lautan.

Lautan bagi orang Jawa adalah sesuatu yang tanpa batas, yang mampu menelan serta menampung apa saja, mulai dari makhluk-makhluk yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop sampai dengan ikan paus dan kapal-kapal raksasa. Begitu pula lautan kehidupan, bisa menampung hawa nafsu yang tak terbatas besarnya, termasuk segala kebaikan dan keburukan.

Ada pun sesaji, dalam bahasa Jawa Kuno bisa berarti barang untuk sesajian atau piranti upacara ritual, tapi bisa juga berarti menyiapkan.
Ngumbareku secara umum berarti membiarkan bebas, membuka, melepaskan atau memperhatikan dan sadar diri. Tentang hartati sudah dibahas di bagian depan, yakni karsa yang utama, yaitu daya kekuatan jiwa yang luar biasa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Sementara sekar jempina atau bunga jempina, berasal dari kata jampi atau obat.

Demikianlah, meskipun Tuhan itu tidak nampak. Tetapi bila manusia bisa senantiasa ingat dan berdoa kepada-Nya, sadar serta menyiapkan dirinya dengan baik dalam kehidupan yang membentang luas, maka ia bisa menyatu dengan Tuhan, menyatukan hakikat nyanyian kehidupannya ke dalam karsa yang utama. Dalam situasi seperti itu ia bisa disebut bunga pengobatan, yang langsung bisa mengobati segala penyakit kehidupannya, sehingga tidak akan pernah merasa sakit, tidak akan pernah merasa susah dan menderita.

Bait 14 masih melanjutkan keutamaan-keutamaan yang diuraikan di bait 13. Manusia memiliki pasangan setia, yang dalam kidung disebut penjari.  Penulis masih belum bisa menemukan makna yang tepat untuk kata penjari. Kata penjari atau panjari akan ditemukan lagi pada bait 16. Ki Wiryapanitra menyebut penjari itu sebagai rahsa atau inti sari ruh.

Rahsa  merupakan pasangan setia manusia, yang senantiasa menyertai tatkala hidup maupun mati. Rahsa itu sempurna dan bisa disebut pula sebagai sukma nan indah-mulia, yang luar biasa, yang istimewa, yang muda dan tidak bisa menjadi tua, yang berupa cahaya dari cahaya yang bersemayam di karsa utama manusia.

Rahsa atau sirr juga berarti rahasia. Dalam kitab Wirid Hidayat Jati terbitan Dahara Prize, rahsa diartikan sebagai rahasia. Pada wejangan ketiga halaman 20 – 21 disebutkan, “Sajatine manungsa iku rahsaningsun. Lan Ingsun iki rahsaning manungsa. (Sesungguhnya manusia itu adalah rahasia-Ku. Dan Aku ini rahasia manusia ). Ini sesuai bunyi Surat Al Israa ayat 85, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘ruh itu urusan Rab-ku, dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan hanya sedikit’.

Subhanallaah, maasyaa-Allaah.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda