Bait 9 :
Lamun
arsa tulus nandur pari,
puwasaa
sawengi sadina,
iderana galengane,
wacanen kidung iku,
kabeh ama pan samya wedi,
yen sira lunga
aprang,
wateken ing sekul,
antuka tigang
pulukan,
mungsuhira sirep
datan nedya wani,
rahayu
ing payudan.
Artinya :
Bila menghendaki sukses dalam
bertanam padi,
berpuasalah semalam
sehari,
kelilingi pematang
sawahnya,
seraya membaca
Kidung ini,
maka semua hama akan
takut,
bila kau hendak
berangkat perang,
bacakan kidung ini
pada nasi,
makanlah sebanyak
tiga suap,
maka keberanian
musuhmu akan lenyap,
sehingga selamat di
medan perang.
Bait 10 :
Ana kidung rekeki Hartati,
sapa weruh reke araning wang,
duk ingsun ana ing ngare,
miwah duk aneng gunung,
ki Samurta lan ki Samurti,
ngalih aran ping tiga,
arta daya engsun,
araning duk jejaka,
ki Hartati mengko araningsun ngalih,
sapa wruh araning wang.
Artinya
:
Ada kidung bernama Hartati,
siapa yang tahu itu
adalah namaku,
tatkala aku masih
tinggal di ngarai,
dan ketika tinggal
di gunung,
ki Samurta dan ki
Samurti (samurta berasal dari kata samur atau samar atau tidak nampak jelas.
Samurta menunjukkan jenis laki-laki, sedangkan samurti adalah perempuan),
berganti nama tiga
kali,
aku adalah
arta-daya,
namaku tatkala masih
perjaka,
kelak namaku
berganti ki Hartati,
siapa yang tahu
namaku.
Bait 11 :
Sapa weruh tembang tepus kaki,
sasat weruh reke arta daya,
tunggal pancer ing uripe,
sapa weruh ing panuju,
sasat sugih pagere wesi,
rineksa wong sajagad,
kang angidung iku,
lamun dipun apalena,
kidung iku den tutug padha sawengi (ada versi sedasa wengi),
adoh panggawe ala.
Artinya :
Siapa yang tahu bunga tepus,
tentu tahu yang
dimaksud dengan arta daya,
yang menyatu dengan
kehidupannya,
siapa yang tahu
tujuan hidup,
berarti kaya dan
dipagari besi,
dijaga orang
sejagad,
yang melantunkan
kidung itu,
bila dihafalkan,
dibaca selesai dalam
semalam ( versi lain: dibaca selama
sepuluh malam),
jauh dari perbuatan
buruk ( terutama maksud buruk pihak lain).
Bait 9 Kidung,
masih menunjukkan betapa besar fadilah serta hikmah dari Kidung Kawedar
atau Kidung Rumekso Ing Wengi. Begitu besar manfaatnya, mulai dari untuk urusan
bercocok tanam misalkan padi, sampai dengan hendak berangkat ke medan perang.
Semuanya bisa diatasi dengan daya perbawa atau hikmah dan fadilah Kidung yang
tiada lain merupakan berkah dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa.
Bait 10 adalah bait yang tergolong sulit menafsirkannya,
bisa banyak tafsir. Bait ini penuh tamzil, apalagi jika di benak kita sudah
memiliki tujuan tersendiri tanpa bisa mengosongkannya. Apabila semata-mata
menelaah berdasarkan huruf dan kata-kata, bisa jadi itu menggambarkan
pengembaraan Sunan Kalijaga semenjak masih sebagai remaja yang nakal luar biasa
di daerah Tuban, Jawa Timur, sampai disadarkan oleh saudaranya yakni Sunan
Bonang sehingga kemudian berguru kepadanya, dan selanjutnya beruzlah
bertahun-tahun di tengah hutan di pinggir sungai (kali) di daerah Cirebon, Jawa
Barat. Sehingga diberi sebutan Sang Penjaga Kali atau Kalijaga. Kanjeng Sunan
Kali yang nama aslinya Raden Mas Said dan merupakan putera Adipati Tuban, harus
banyak berjalan naik-turun gunung dengan segala daya kemampuannya, mencari jati
diri dan Tuhannya. Di banyak tempat ia memiliki banyak nama panggilan,
sebagaimana kebiasaan rakyat jelata di Jawa memanggil nama seseorang
berdasarkan penampakan fisik, perilaku dan atau kelebihannya. Tentu saja itu
semua adalah nama yang semu, nama yang samar atau samur, terutama guna
menyamarkan dirinya agar tidak dikultuskan masyarakat.
Sementara tidak ditemukan naskah tertulis yang
menceritakan apa dan bagaimana Sunan Kalijaga
menjelaskan Kidung Kawedar, sebagian penganut Islam Kejawen memiliki
banyak versi tafsir khususnya mengenai bait ini. Mereka pada umumnya memaknai
berdasarkan Serat Wirid Hidayat Jati ( Hidayat Jati Kawedar, penerbit Citra
Jaya Murti, Surabaya dan Wirid Hidayat
Jati, penerbit Dahara Prize, Semarang), yang ditulis oleh ulama-pujangga
Keraton Kasunanan Surakarta yang lahir pada 23 Maret 1802 atau tiga abad
kemudian, yakni Raden Ngabehi Ronggowarsito.
Bait tersebut dimaknai sebagai penggambaran hubungan
Gusti Allah dan manusia tatkala masih dalam alam ruh, serta gambaran tentang
singgasana dan kediaman Allah di Baitul Makmur, Baitul Muharram dan Baitul
Muqaddas. Di Baitul Makmur, para malaikat setiap hari silih berganti memohon
ampun dan bertawaf seperti orang bertawaf di Ka’bah. Dari baitul Makmur pula
Allah bertitah serta mengatur alam raya, dunia akhirat dan para makhlukNya.
Baitul Muharram digambarkan sebagai rumah tempat Allah
menyendiri, tempat terlarang sehingga bahkan malaikat pun tidak boleh masuk.
Sedangkan Baitul Muqaddas adalah tempat yang disucikan.
Ketiga rumah Gusti Allah tersebut banyak diulas dalam
kajian-kajian kebatinan Jawa, namun tidak demikian halnya di dalam Al Qur’an
maupun hadis. Dalam kedua sumber rujukan utama umat Islam itu, Baitul Haram
atau rumah suci tiada lain adalah ka’bah yang berada di Mekah., yang disebut
dalam Surat Al Maidah dan sebelumnya juga dalam Surat Ali Imron ayat 96. “ Ja’ alallaahul ka’batal baital haraama
qiyaamal lin naasi, (Allah telah menjadikan ka’bah rumah suci itu sebagai pusat
peribadatan manusia,” (Al Maidah: 97).
Sedangkan mengenai Baitul Makmur, Surat At-Thur : 4 – 6
Gusti Allah berfirman, “ dan demi Baitul
Makmur, dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam
tanahnya terdapat api,” . Uraian
lebih lanjut tentang Baitul Makmur diterangkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw
tatkala mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’rajnya. Beliau bersabda, “ Saat melewati langit ke tujuh, aku
diangkat menuju Baitul Makmur. Padanya datang setiap hari 70.000 malaikat yang
tidak akan kembali lagi. Mereka beribadah dan berthawaf sebagaimana penduduk
bumi berthawaf di Ka’bah. Demikianlah Baitul Makmur, ia adalah ka’bah bagi
penduduk langit ke tujuh. Di situ terlihat Nabi Ibrahim Al Khalil alihisshalatu
wasalam menyandarkan badannya (Shahihain).
Ada pun Baitul Maqdis, disebut dalam hadis riwayat
Muslim dari Abu Dzar, Baginda Rasul menyatakan Baitul Maqdis di Palestina itu
adalah rumah suci yang kedua di bumi, yang dibangun 40 tahun setelah Baitul
Haram.
Kembali pada pokok bahasan yaitu Kidung Kawedar menurut
penafsiran terdahulu, manusia yang masih berupa ruh dan berada di alam ruh
digambarkan kekuatan dan perjalanannya sampai ditiupkan ke rahim ibu. Kidung Kawedar juga bisa disebut Kidung
Hartati, yaitu Kidung yang memiliki karsa yang utama. Karsa adalah daya
kekuatan jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Ruh ini
dianugerahi arta daya, yakni kebijaksanaan dan kekuatan batin termasuk rasa
belas kasih.
Setelah turun ke bumi menjadi manusia, Gusti Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, membekali manusia dengan hakikat
kediamannya yaitu hakikat Baitul Makmur di kepala dan otak, Baitul Muharram di
dada dan kalbu, serta Baitul Muqaddas di dalam kemaluan berupa inti sari benih
kehidupan.
Bagi penafsir, sungguh masalah ruh adalah masalah yang
sangat rumit dan tetap merupakan misteri, sebagaimana firman Gusti Allah Swt
dalam Surat Al Israa ayat 85, “Dan mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘ruh itu urusan Rab-ku, dan tidaklah
kamu diberi ilmu melainkan hanya sedikit’ “.
Sahabatku, bait 11 mengajarkan kepada manusia untuk
memahami diri dan tujuan hidupnya. Siapa yang bisa memahami diri dalam
bertindak, bisa tepa slira atau mencoba
terlebih dahulu menerapkan pada dirinya sendiri terutama apabila mau berbuat
yang kurang baik terhadap orang lain, ibarat orang yang tahu kebijaksanaan dan
kekuatan hidup. Orang yang tahu tujuan perjalanan kehidupannya, ke mana dan
mengapa Allah menurunkan ke dunia, berarti
bagaikan orang kaya yang rumahnya berpagar besi. Di masa lalu, hanya
Raja yang mampu memagari istananya dengan besi atau tembok. Rakyat kebanyakan
hanya bisa membuat pagar hidup dari tetumbuhan yang hidup subur atau pagar kayu
dan bambu yang dipotong-potong ditata rapi. Orang yang tahu tujuan hidupnya,
akan dijaga oleh orang sejagad. Pembahasan perihal tujuan hidup ini insya Allah
kita lanjutkan di seri berikutnya.
Bait kesebelas ini kembali ditutup dengan fadilah dan
hikmah bagi siapa yang melantunkan dan menghafalnya. Jika dibaca tamat dalam semalam maka yang membacanya akan dihindarkan dari
perbuatan jelek, baik dirinya sendiri yang tidak akan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk atapun perbuatan buruk dari orang lain kepadanya.
Di bagian atas sudah kita singgung versi lain yang
menyatakan membaca selama sepuluh malam.
Masalah angka dan hitungan juga disinggung dalam bait 7 baris kelima “bacalah 25 kali dengan lembut”, serta
bait 8 baris ketiga “selama 40 hari saja.” Pada hemat serta pengalaman penafsir,
hitungan angka seperti halnya kita sering berzikir, sangat bermanfaat guna
melatih indera pendengaran dan batin kita. Tetapi yang lebih penting lagi
adalah memahami serta menghayati makna dan hakikat sesuatu bacaan zikir di
dalam pikiran dan perbuatan kita. Itu bisa terjadi jika kita sudah bisa
melaksanakan zikir kalbu, yaitu kalbu kita senantiasa mengingat Allah, mengikuti denyut jantung
serta tarikan nafas kita. Semoga.
Subhanallaah walhamdulillaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda