Senin, 10 November 2014

Tafsir Kidung "Rumekso Ing Wengi" Sunan Kalijaga (4) : MEMAHAMI TUJUAN HIDUP



Bait 9 :
          Lamun arsa tulus nandur pari,
puwasaa sawengi sadina,
iderana galengane,
wacanen kidung iku,
          kabeh ama pan samya wedi,
yen sira lunga aprang,
wateken ing sekul,
antuka tigang pulukan,
mungsuhira sirep datan nedya wani,
          rahayu ing payudan.
Artinya :
            Bila menghendaki sukses dalam bertanam padi,
berpuasalah semalam sehari,
kelilingi pematang sawahnya,
seraya membaca Kidung ini,
maka semua hama akan takut,
bila kau hendak berangkat perang,
bacakan kidung ini pada nasi,
makanlah sebanyak tiga suap,
maka keberanian musuhmu akan lenyap,
sehingga selamat di medan perang.

Bait 10 :
             Ana kidung rekeki Hartati,
sapa weruh reke araning wang,
duk ingsun ana ing ngare,
miwah duk aneng gunung,
ki Samurta lan ki Samurti,
ngalih aran ping tiga,
arta daya engsun,
araning duk jejaka,
ki Hartati mengko araningsun ngalih,
sapa wruh araning wang.

Artinya :
             Ada kidung bernama Hartati,
siapa yang tahu itu adalah namaku,
tatkala aku masih tinggal di ngarai,
dan ketika tinggal di gunung,
ki Samurta dan ki Samurti (samurta berasal dari kata samur atau samar atau tidak nampak jelas. Samurta menunjukkan jenis laki-laki, sedangkan samurti adalah perempuan), 
berganti nama tiga kali,
aku adalah arta-daya,
namaku tatkala masih perjaka,
kelak namaku berganti ki Hartati,
siapa yang tahu namaku.

Bait 11 :
             Sapa weruh tembang tepus kaki,
sasat weruh reke arta daya,
tunggal pancer ing uripe,
sapa weruh ing panuju,
sasat sugih pagere wesi,
rineksa wong sajagad,
kang angidung iku,
lamun dipun apalena,
kidung iku den tutug padha sawengi (ada versi sedasa wengi),
adoh panggawe ala.

Artinya :
              Siapa yang tahu bunga tepus,
tentu tahu yang dimaksud dengan arta daya,
yang menyatu dengan kehidupannya,
siapa yang tahu tujuan hidup,
berarti kaya dan dipagari besi,
dijaga orang sejagad,
yang melantunkan kidung itu,
bila dihafalkan,
dibaca selesai dalam semalam ( versi lain: dibaca selama sepuluh malam),
jauh dari perbuatan buruk ( terutama maksud buruk pihak lain).

Bait 9 Kidung,  masih menunjukkan betapa besar fadilah serta hikmah dari Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi. Begitu besar manfaatnya, mulai dari untuk urusan bercocok tanam misalkan padi, sampai dengan hendak berangkat ke medan perang. Semuanya bisa diatasi dengan daya perbawa atau hikmah dan fadilah Kidung yang tiada lain merupakan berkah dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa.

Bait 10 adalah bait yang tergolong sulit menafsirkannya, bisa banyak tafsir. Bait ini penuh tamzil, apalagi jika di benak kita sudah memiliki tujuan tersendiri tanpa bisa mengosongkannya. Apabila semata-mata menelaah berdasarkan huruf dan kata-kata, bisa jadi itu menggambarkan pengembaraan Sunan Kalijaga semenjak masih sebagai remaja yang nakal luar biasa di daerah Tuban, Jawa Timur, sampai disadarkan oleh saudaranya yakni Sunan Bonang sehingga kemudian berguru kepadanya, dan selanjutnya beruzlah bertahun-tahun di tengah hutan di pinggir sungai (kali) di daerah Cirebon, Jawa Barat. Sehingga diberi sebutan Sang Penjaga Kali atau Kalijaga. Kanjeng Sunan Kali yang nama aslinya Raden Mas Said dan merupakan putera Adipati Tuban, harus banyak berjalan naik-turun gunung dengan segala daya kemampuannya, mencari jati diri dan Tuhannya. Di banyak tempat ia memiliki banyak nama panggilan, sebagaimana kebiasaan rakyat jelata di Jawa memanggil nama seseorang berdasarkan penampakan fisik, perilaku dan atau kelebihannya. Tentu saja itu semua adalah nama yang semu, nama yang samar atau samur, terutama guna menyamarkan dirinya agar tidak dikultuskan masyarakat.

Sementara tidak ditemukan naskah tertulis yang menceritakan apa dan bagaimana Sunan Kalijaga  menjelaskan Kidung Kawedar, sebagian penganut Islam Kejawen memiliki banyak versi tafsir khususnya mengenai bait ini. Mereka pada umumnya memaknai berdasarkan Serat Wirid Hidayat Jati ( Hidayat Jati Kawedar, penerbit Citra Jaya Murti, Surabaya dan Wirid Hidayat Jati, penerbit Dahara Prize, Semarang), yang ditulis oleh ulama-pujangga Keraton Kasunanan Surakarta yang lahir pada 23 Maret 1802 atau tiga abad kemudian, yakni Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Bait tersebut dimaknai sebagai penggambaran hubungan Gusti Allah dan manusia tatkala masih dalam alam ruh, serta gambaran tentang singgasana dan kediaman Allah di Baitul Makmur, Baitul Muharram dan Baitul Muqaddas. Di Baitul Makmur, para malaikat setiap hari silih berganti memohon ampun dan bertawaf seperti orang bertawaf di Ka’bah. Dari baitul Makmur pula Allah bertitah serta mengatur alam raya, dunia akhirat dan para makhlukNya.
Baitul Muharram digambarkan sebagai rumah tempat Allah menyendiri, tempat terlarang sehingga bahkan malaikat pun tidak boleh masuk. Sedangkan Baitul Muqaddas adalah tempat yang disucikan.

Ketiga rumah Gusti Allah tersebut banyak diulas dalam kajian-kajian kebatinan Jawa, namun tidak demikian halnya di dalam Al Qur’an maupun hadis. Dalam kedua sumber rujukan utama umat Islam itu, Baitul Haram atau rumah suci tiada lain adalah ka’bah yang berada di Mekah., yang disebut dalam Surat Al Maidah dan sebelumnya juga dalam Surat Ali Imron ayat 96. “ Ja’ alallaahul ka’batal baital haraama qiyaamal lin naasi, (Allah telah menjadikan ka’bah rumah suci itu sebagai pusat peribadatan manusia,” (Al Maidah: 97).
Sedangkan mengenai Baitul Makmur, Surat At-Thur : 4 – 6 Gusti Allah berfirman, “ dan demi Baitul Makmur, dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya  terdapat api,” . Uraian lebih lanjut tentang Baitul Makmur diterangkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw tatkala mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’rajnya. Beliau bersabda, “ Saat melewati langit ke tujuh, aku diangkat menuju Baitul Makmur. Padanya datang setiap hari 70.000 malaikat yang tidak akan kembali lagi. Mereka beribadah dan berthawaf sebagaimana penduduk bumi berthawaf di Ka’bah. Demikianlah Baitul Makmur, ia adalah ka’bah bagi penduduk langit ke tujuh. Di situ terlihat Nabi Ibrahim Al Khalil alihisshalatu wasalam menyandarkan badannya (Shahihain).

Ada pun Baitul Maqdis, disebut dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar, Baginda Rasul menyatakan Baitul Maqdis di Palestina itu adalah rumah suci yang kedua di bumi, yang dibangun 40 tahun setelah Baitul Haram.

Kembali pada pokok bahasan yaitu Kidung Kawedar menurut penafsiran terdahulu, manusia yang masih berupa ruh dan berada di alam ruh digambarkan kekuatan dan perjalanannya sampai ditiupkan ke rahim ibu.  Kidung Kawedar juga bisa disebut Kidung Hartati, yaitu Kidung yang memiliki karsa yang utama. Karsa adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak. Ruh ini dianugerahi arta daya, yakni kebijaksanaan dan kekuatan batin termasuk rasa belas kasih.

Setelah turun ke bumi menjadi manusia, Gusti Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang, membekali manusia dengan hakikat kediamannya yaitu hakikat Baitul Makmur di kepala dan otak, Baitul Muharram di dada dan kalbu, serta Baitul Muqaddas di dalam kemaluan berupa inti sari benih kehidupan.

Bagi penafsir, sungguh masalah ruh adalah masalah yang sangat rumit dan tetap merupakan misteri, sebagaimana firman Gusti Allah Swt dalam Surat Al Israa ayat 85, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘ruh itu urusan Rab-ku, dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan hanya sedikit’ “.

Sahabatku, bait 11 mengajarkan kepada manusia untuk memahami diri dan tujuan hidupnya. Siapa yang bisa memahami diri dalam bertindak, bisa tepa slira atau mencoba terlebih dahulu menerapkan pada dirinya sendiri terutama apabila mau berbuat yang kurang baik terhadap orang lain, ibarat orang yang tahu kebijaksanaan dan kekuatan hidup. Orang yang tahu tujuan perjalanan kehidupannya, ke mana dan mengapa Allah menurunkan ke dunia, berarti  bagaikan orang kaya yang rumahnya berpagar besi. Di masa lalu, hanya Raja yang mampu memagari istananya dengan besi atau tembok. Rakyat kebanyakan hanya bisa membuat pagar hidup dari tetumbuhan yang hidup subur atau pagar kayu dan bambu yang dipotong-potong ditata rapi. Orang yang tahu tujuan hidupnya, akan dijaga oleh orang sejagad. Pembahasan perihal tujuan hidup ini insya Allah kita lanjutkan di seri berikutnya.

Bait kesebelas ini kembali ditutup dengan fadilah dan hikmah bagi siapa yang melantunkan dan menghafalnya. Jika dibaca tamat dalam semalam  maka yang membacanya akan dihindarkan dari perbuatan jelek, baik dirinya sendiri yang tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk atapun perbuatan buruk dari orang lain kepadanya.

Di bagian atas sudah kita singgung versi lain yang menyatakan membaca selama sepuluh malam. Masalah angka dan hitungan juga disinggung dalam bait 7 baris kelima “bacalah 25 kali dengan lembut”, serta bait 8 baris ketiga “selama 40 hari saja.”  Pada hemat serta pengalaman penafsir, hitungan angka seperti halnya kita sering berzikir, sangat bermanfaat guna melatih indera pendengaran dan batin kita. Tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami serta menghayati makna dan hakikat sesuatu bacaan zikir di dalam pikiran dan perbuatan kita. Itu bisa terjadi jika kita sudah bisa melaksanakan zikir kalbu, yaitu kalbu kita senantiasa  mengingat Allah, mengikuti denyut jantung serta tarikan nafas kita. Semoga.

Subhanallaah walhamdulillaah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda