Manunggaling
Kawulo Gusti
Bait 15 :
Panunggale kawulo lan Gusti,
nila hening arane duk gesang,
duk mati nila arane,
lan suksma ngumbareku,
ing asmara mong raga yekti,
durung darbe peparab,
duk rarene iku,
awayah bisa dedolan,
aran Sang Hyang Jati iya sang Hartati,
yeka sang arta daya.
Artinya :
Penyatuan sang hamba dengan Gusti
Allah,
nila
hening namanya tatkala hidup,
ketika
mati nila namanya,
dan
suksma yang mengembara,
yang
senang mengasuh raga,
belum
punya nama,
sewaktu
masih kecil,
saat
masih suka bermain-main,
disebut
Sang Hyang Jati atau Sang Hartati,
yakni
sang arta daya.
Bait
16 :
Dadya
wisa mangkya amartani,
lamun marta atemahan
wisa,
marma arta daya
rane,
duk lagya aneng
gunung,
ngalih aran Asmara
Jati,
wayah tumekang tuwa,
emut ibunipun,
ni Panjari lunga
ngetan,
ki Hartati nurut
gigiring Marapi,
anulya mring
Sundara.
Artinya:
Jadilah bisa (racun
yang berasal dari binatang) yang dapat bermanfaat bagi kehidupan,
tapi
kehidupan yang tenang dapat pula berubah menjadi bisa (racun),
Itulah
rahasia yang disebut arta daya,
ketika
berada di gunung,
kemudian
berganti nama Asmara Jati,
teringat
ibunya,
ni
Panjari pergi ke timur,
ki
Hartati menyusuri punggung Marapi,
kemudian
sampai di Sundara.
Bait
17:
Ana
pandhita akarya wangsit,
mindha kombang
angajap ing tawang,
susuh angin ngendi
nggone,
lawan
galihing kangkung,
watesane langit
jaladri,
isining wuluh
wungwang,
lan
gigiring punglu,
tapaking kuntul
nglayang,
manuk miber uluke
ngungkuli langit,
kusuma jrah ing
tawang.
Artinya:
Ada pendeta menciptakan ilham,
bagai kumbang menggapai langit,
di manakah sarang angin berada,
serta inti batang kangkung,
batas antara langit dan lautan,
isi dari buluh kosong,
dan punggung bola besi,
jejak burung kuntul melayang,
burung terbang melampaui langit,
bunga mekar memenuhi angkasa.
Bait
18:
Ngampil
banyu apikulan warih,
amek geni sarwi adedamar,
kodhok ngemuli elenge,
miwah kang banyu denkum,
myang dahana murub kabesmi,
bumi pinethak ingkang,
pawana katiup,
tanggal pisan kapurnaman,
yen anenun senteg pisan anegesi,
kuda ngrap ing pandengan.
Artinya:
Membawa air dengan pikulan yang
terbuat dari air,
mengambil
api dengan pelita,
katak
menyelimuti liangnya,
dan
air direndam air,
membakar
api menyala,
bumi
yang dikuburkan,
angin
ditiup,
bulan
tanggal satu memperoleh purnama,
bila
menenun sekali gerak selesai,
kuda
berderap dalam pandangan.
Bait
15 sampai dengan 18 ini menguraikan tentang manunggaling
kawulo - Gusti atau penyatuan sang
hamba dengan Tuhannya. Sebagaimana kelaziman penyair-penyair sufi di berbagai
negara, penggambaran hubungan antara sang hamba dengan Sang Khalik itu
dilakukan dengan menggunakan bahasa-bahasa kiasan serta ungkapan-ungkapan
simbolik dan metaforis. Begitu pula dalam Kidung Kawedar yang merupakan suluk
yang berupa tembang puisi yang kontemplatif-meditatif ini.
Agar
segera bisa menarik perhatian khalayak, Sunan Kalijaga seperti gurunya Sunan
Bonang, juga menggunakan kiasan-kiasan yang lazim berlaku pada saat itu,
sehingga langsung bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat yang masih
menganut Syiwa-Buddha, berbagai aliran kepercayaan serta percaya pada roh-roh gaib.
Berbeda
dengan bait-bait awal, dalam bait 15 - 18 tidak disisipkan sama sekali istilah
dan kata-kata dari bahasa Arab atau pun Islam, sehingga karenanya, bagi
penganut berbagai aliran kepercayaan dan Syiwa-Buddha, juga bisa ditafsirkan
sesuai metode meditasi mereka. Keempat bait itu selanjutnya dan bahkan sampai
sekarang, menjadi pegangan dari banyak aliran kebatinan dan Kejawen.
Bait
15 dan 16 ditafsirkan sebagai keadaan manusia semenjak masih di alam ruh, di
dunia tatkala ruh dan raga menyatu maupun setelah kematian. Di alam ruh ia
bagai cahaya kebiruan yang jernih, bening, suci tak bernoda. Tatkala mengembara
di dunia, nafsunya yang menyenangi pesona dunia, dapat menjadi racun yang
menyebar dalam kehidupannya. Bisa atau racun itu dapat bermanfaat bagi
kehidupan, sebaliknya kehidupan yang semula tenang juga bisa berubah menjadi
racun. Namun sesungguhnya ia memiliki
kekuatan tersembunyi yang disebut arta daya atau kebijaksanaan dan kekuatan
batin dengan rasa belas kasihnya, yang mampu menjadi daya kekuatan jiwa yang
luar biasa, yang sebenarnya selalu berusaha mengingatkan pada asal mula dan
jati dirinya.
Bait
17 – 18 adalah bait yang yang menggambarkan kemustahilan sekaligus kekosongan
atau suwung. Semuanya dilukiskan
dalam kalimat yang dimulai dari, ada pendeta yang ingin menciptakan ilham sehingga
diibaratkan kumbang menggapai langit. Dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang sarang angin, inti batang (empulur yang mengeras seperti batu) kangkung, letak cakrawala, isi buluh
atau batang bambu yang kosong, jejak burung yang sedang terbang
serta punggung dari bola besi dan seterusnya, yang pada dasarnya tidak ada,
kosong dan mustahil.
Bait
18 masih melanjutkan kemustahilan dan kekosongan yang diuraikan di bait 17,
namun sudah mulai memasukkan isyarat-isyarat pencarian manusia terhadap jati
diri dan Sang Pencipta. Pencarian itu ibarat mau mengambil air dengan pikulan
yang terbuat dari air, mengambil api dengan pelita yang menyala sampai merendam
air dalam air, membakar api yang membara, mengubur bumi dan seterusnya.
Sesungguhnya apa yang dicari dan diinginkan, sudah ada pada dirinya.
Bagi
penganut aliran-aliran kebatinan dan kejawen, keadaan kemustahilan itu adalah tan kena kinaya ngapa, tidak
tergambarkan atau tidak dapat
disepertikan. Jadi hakikat Tuhan adalah kekosongan yang tak terbayangkan
tetapi memiliki energi yang luar biasa, sehingga mampu mengatur kehidupan serta
keserasian alam raya.
Energi
yang luar biasa itu memancar dan masuk ke dalam mahluk-makhluk hidup. Pada
manusia, energi itu adalah cahaya kehidupan atau atman atau ruh atau jiwa.
Hubungan sumber asal energi dengan ruh dikiaskan sebagai Brahman dengan atman,
atau matahari dengan cahaya-cahayanya yang memancar menerangi serta menghidupi
alam raya dan makhluk-makhluknya.
Dalam
mencapai tingkatan penyatuan antara atman dengan Brahman, antara cahaya dan
sumber cahaya yang kosong tak terbayangkan itu, maka manusia harus terlebih
dulu mengosongkan dirinya dari berbagai nafsu
dan keinginan yang membebani, yang mewarnai atmannya. Cara membersihkan
atman yang bak nila hening dari berbagai
kotoran dunia kehidupan tersebut, bisa dilakukan dengan melakukan berbagai
semedi, tapa brata dan tirakat , yaitu puasa dengan berpantang aneka makanan dan
minuman 24 jam tanpa henti sehari semalam selama suatu periode tertentu, misalkan
satu minggu dan empat puluh hari. Dengan semedi dan tirakat diharapkan semua
nafsu dan keinginan manusiawi dapat dimatikan sehingga atman menjadi kosong. Kosong akan mudah menyatu, manunggal dengan
yang sama kosongnya pula. Dengan pemahaman yang seperti itulah Kidung Kawedar
sampai sekarang bisa diterima, bahkan dijadikan sumber referensi utama oleh
semua kalangan masyarakat Jawa yang menyenangi olah batin, baik yang Islam
maupun bukan.
Sunan
Kalijaga adalah murid kesayangan Sunan Bonang. Keduanya merupakan wali-Allah
yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, dengan menggunakan metode
komunikasi yang hebat termasuk memanfaatkan seni budaya, menyusup masuk ke
dalam adat istiadat dan kepercayaan masyarakat tanpa menimbulkan gejolak besar
(Tonggak-tonggak awal Tasawuf Jawa, http://islamjawa.wordpress.com).
Bersama para wali lainnya, mereka menciptakan suluk-suluk khas Jawa dalam
bentuk tembang-tembang puisi dengan metrum atau irama-irama tertentu seperti
halnya Kidung Kawedar dengan metrum dhandanggula ini.
Kata
suluk berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti cara, jalan,
kelakukan dan tingkah laku. Dalam
tasawuf, suluk berarti jalan atau cara mendekatkan diri ke Gusti Allah Swt yang
pada umumnya ditempuh secara tahap demi tahap, tanjakan demi tanjakan, tapi
secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua tahap.
Tahap
pertama adalah tahap penyucian diri antara lain dengan bertobat dan berhenti
melakukan dosa serta berbagai perbuatan tercela lebih-lebih yang dilarang Gusti
Allah. Tahap kedua yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah swt. Jika
diibaratkan salon kecantikan, tahap pertama adalah tahap membersihkan wajah
sedangkan tahap kedua adalah tahap membuat pondasi yang dilanjutkan dengan merias
wajah agar menjadi cantik. Sementara itu bila diibaratkan dunia kesehatan, maka
tahap pertama adalah mengenali dan membuang semua penyakit, sedangkan tahap
kedua adalah perbaikan dan perawatan menuju manusia yang sehat lahir dan batin.
Tahap
pertama disebut juga tahapan takhalli atau pengosongan jiwa dari sifat-sifat
tercela. Tahap kedua disebut tahali atau mengisi kembali setelah kosong, dengan
sifat-sifat terpuji seperti ikhlas, sabar, jujur, taat, tawakal, tawadlu, ridho
dan merasa cukup atau qanaah. Hasil dari kedua tahapan ini adalah tajalli,
yaitu manusia baru dengan wajah batin
yang nampak indah sempurna, yang dengan itu ia bisa melihat serta merasakan
keagungan Gusti Allah (Tasawuf, Salon
Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi, http://islamjawa.wordpress.com).
Perjalanan
seorang salik, yaitu sang penempuh jalan menuju Allah, digambarkan oleh guru
Sunan Kalijaga yakni Sunan Bonang dalam Suluk Gentur atau Suluk Bentur, yang
juga diperjelas secara saling melengkapi dengan karya-karyanya yang lain
seperti Gita Suluk Lastri, Suluk Khalifah, Suluk Jebeng dan terutama Suluk
Wujil (Memahami Suluk-Suluk Sunan Bonang,
http://islamjawa.wordpress.com).
Dalam
Suluk Gentur, Sunan Bonang antara lain membuat tamzil, garam jatuh ke laut dan
lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang dalam
kekosongan atau suwung. Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’,
maka tidak lantas tercerap ke dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap adalah kesadaran
akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
Pencapaian
tertinggi seorang salik, lanjutnya, ialah fana’ ruh idafi, yaitu keadaan dapat
melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir. Di sini
ia mencapai makrifat dengan kesadaran intuitif, yang menyempurnakan
penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal. Dalam fana’
ruh idafi, seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat Al Qur’an 28
: 88, “Segala sesuatu binasa kecuali
Wajah Allah.”
Mengapa
Sunan Kalijaga tidak memperjelas makna kekosongan (suwung) sebagaimana sudah
dilakukan oleh Gurunya? Kemungkinan pertama, pada saat menciptakan Kidung
tersebut, beliau belum memperoleh referensi yang lengkap. Kedua wali ini memang
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sunan Bonang semenjak lahir sudah
dididik dalam suasana kehidupan yang Islami termasuk mempelajari Al Qur’an,
hadis serta berbagai kitab dan ajaran para ulama pendahulunya dari TimurTengah.
Sedangkan Sunan Kalijaga, baru mempelajari Islam secara sungguh-sungguh setelah
melewati tahap penyadaran oleh Sunan Bonang, dari seorang pemuda yang
berandalan, langsung menjadi seorang salik yang berjuang keras mencapai hakikat
dan makrifat, tanpa terlebih dulu membaca berbagai kitab . Sementara itu,
karena ia adalah putera Adipati Tuban, Sunan Kalijaga menguasai tata
pemerintahan dan seni budaya, yang kemudian dijadikan sarana andalan dalam
berdakwah.
Kemungkinan
kedua, memang beliau sengaja membuat multi tafsir supaya bisa menarik perhatian
masyarakat luas yang masih dalam suasana
peralihan, yang masih kuat menganut animisme, Syiwa-Buddha dan percaya
pada roh-roh gaib, agar mau mendengarkan, menerima dan selanjutnya menyenangi
Kidungannya.
Suasana
peralihan itu juga digambarkan Sunan Bonang antara lain dalam Suluk Wijil, yang
dikupas dan ditafsirkan oleh DR.Abdul Hadi WM ( dalam
jamaluddinab.blogspot.com, diunduh pada 13.02.2012), sebagai berikut: “Wujil
menjadi tenang setelah mendengarkan
pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan
keagamaan yang dijumpainya di Bonang. Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk
mencapai rahasia Yang Satu, orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi
jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekerasan ragawi.
Di
Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Shalat fardu
lima waktu dijalankan dengan tertib. Majelis-majelis untuk membicarakan
pengalaman kerohanian dan penghayatan
keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan
pekerjaan sehari-hari di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan
tembang.”
Mengenai
manunggaling kawula – Gusti, Kitab Al
Hikam yang tersohor dan menjadi salah satu pegangan penganut tasawuf, karya
Al Imam Ibnu Athaillah Askandary menyatakan apabila jiwa manusia suci dari
segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah jiwa tersebut ke
alam jabarut, yaitu alam yang dihuni para malaikat. Dalam keadaan begitu, tidak
ada dinding penghalang antara sang jiwa dan Sang Pencipta. Di mata orang yang
memiliki jiwa seperti itu, alam raya nampak begitu kecil bagaikan sebutir biji
sawi. Alam atau jagad raya yang tertangkap oleh pancainderanya menjadi jagad
kecil, sedangkan dirinya menjadi jagad besar. Maka berlangsunglah apa yang
disebut manunggaling kawula – Gusti.
Manusia menyatu dengan Tuhannya, dalam arti jiwa manusia mampu mengendalikan
segala nafsu dan keinginannya, sehingga menyatu dengan kehendak Allah, mampu
melaksanakan dengan baik tugas-tugasnya selaku wakil dan utusan Allah di muka
bumi (Pengembaraan Batin Orang Jawa di
Lorong Kehidupan, halaman 100 – 115 dan 143, serta Memaknai Kehidupan halaman 32 – 33).
Al
Ghazali dalam Raudhatut Thalibien wa
‘Umdatus Saalikien atau Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi, menggambarkan suasana
penyatuan antara sang hamba dengan Sang Pencipta, tercapai tatkala dzat dari
sang hamba mencapai tahap fana’, sifatnya telah sirna dan kefanaannya lebur dalam
keabadian-Nya. Maka bagi sang hamba bisa berlaku “ dengan diri-Ku ia mendengar dan dengan diri-Ku ia melihat”. Jadilah
Dia yang melimpahkan kewalian sang hamba dan menjadi wali (kekasih) sang hamba.
Jika sang hamba berkata, maka berkata dengan zikir-zikir-Nya. Jika memandang
dengan cahaya-cahaya-Nya. Jika bergerak maka akan bergerak dengan
kekuasaan-Nya. Jika memukul dengan limpahan keperkasaan-Nya.
Sangat
mudah diucapkan oleh siapa pun, namun tidak sembarang orang bisa
melakukannya. Semoga kita wahai
sahabat-sahabatku, termasuk golongan yang langka dan sedikit itu.
Subhanallaah
walhamdulillaah, aamiin.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda