Zikir Ya Hu Allah
dan
Keutamaan Surat Al
Ikhlas
Bait
30 :
Ya Hu Dat myang
pamujining wengi,
bale aras sasakane
mulya,
Kirun saka tengen
nggone,
Wana Kirun kang
tunggu,
saka kiwa gadane
wesi,
nulak panggawe
ala,
satru lawan mungsuh,
pengeret tenajul
rijal,
ander-ander kolhu balik
kang linuwih,
ambalik lara roga.
Artinya :
Ya
Hu Dzat (Ya Hu Allah) sebagai puji-pujian di kala malam,
balai
nan terpadu indah dengan lantai kemuliaan,
Kirun
(Qarin?) berada di sebelah kanan,
Wana
Kirun yang menjaga,
di
sebelah kiri (,) dengan gada besi,
menolak
perbuatan buruk,
para
seteru dan musuh,
menguatkan
manusia yang mengenal Allah melalui hati yang terbuka,
dengan
uraian Surat Qulhu (Al Ikhlas) (,) membalikkan dengan hebat,
memulihkan
segala penyakit dan penderitaan.
Bait
30 ini adalah bait yang luar biasa. Sarat kandungan makna dan keutamaan.
Diawali dengan ajaran zikir, keberadaan malaikat yang menjaga kita dan menolak
segala perbuatan buruk, kemudian bagaimana mengenal Gusti Allah dan keutamaan
surat Qulhu atau Al Ikhlas. Bait ini juga menjadi landasan ulah batin bagi para
penganut kejawen, baik yang muslim maupun yang bukan.
Baris
pertama adalah mengajarkan berzikir di kala malam. Zikir artinya mengingat atau
menyebut. Ingat dalam bahasa Jawa adalah eling. Dalam buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 113
sampai dengan 122, penafsir telah mengulas masalah ini dengan judul “Eling Dalam Tasawuf Jawa.” Orang Jawa sering menasihati sanak
saudara yang sedang stres akibat sesuatu musibah agar eling dan nyebut. Eling
atau ingat apa? Nyebut apa? Ingat kepada Gusti Allah. Menyebut asma Allah Yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk kejadian yang sedang kita hadapi.
Ingat bahwa segala sesuatu yang kita alami itu sudah merupakan skenario Allah,
Sutradara Yang Maha Agung. Oleh karena itu kita harus ikhlas, harus berbesar
jiwa untuk menerimanya.
Jadi
eling atau ingat itu sama maknanya dengan zikir, dan zikir yang terbaik adalah
zikrullah atau mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Ahzab (33:
41-42) : “Wahai orang-orang yang beriman,
ingatlah kamu sekalian kepada Allah dengan zikir yang banyak dan bertasbihlah
kamu sekalian pada-Nya di waktu pagi dan petang.”
Dalam
rangka mengajarkan zikir itulah, maka Sunan Kalijaga memulai bait ini dengan
kalimat Ya Hu Dat myang pamujining wengi,
yang bermakna berzikirlah di kala malam kepada Dzat Allah. Kalimat ini di
dalam masyarakat Jawa berlanjut dengan ajaran zikir Ya Hu Allah. Kalimat zikir Ya
Hu Allah, Hu Allah dan Allahu sampai sekarang banyak dijumpai di kalangan
para penganut dan praktisi spiritual muslim Asia Tenggara khususnya Nusantara.
Allah adalah salah satu
bahkan merupakan asma yang utama yang menggenapkan sembilan puluh sembilan (99)
asma-asma Allah yang mulia (asma’ul husna)
menjadi seratus. Penggunaan asma Allah
sering dijumpai secara berdiri sendiri, dan sering pula bersama kata lain
seperti Akbar dan Nur, sehingga menjadi Allahu Akbar (Allah Maha Besar) dan Allahu Nur (Allah adalah Cahaya dari
segala Cahaya). Tak jarang dalam berzikir, kata Allah diberi tambahan Hu, sehingga menjadi Hu Allah yang berarti Dialah Allah.
Ada
sementara aliran yang memiliki pandangan berbeda mengenai ketiga kalimat zikir
tadi, terutama antara Hu Allah dan
Allahu. Namun lebih banyak lagi yang tidak mempersoalkan perbedaannya.
Imbuhan kata ya, banyak dipakai oleh
masyarakat muslim Jawa sesuai dengan ajaran Sunan Kalijaga sebagaimana bait ini.
Aliran
yang berpendapat ada perbedaan menyatakan, zikir Hu Allah akan melahirkan kekuaan supranatural yang kasar dengan
energi yang mudah dideteksi. Di samping itu zikir ini seringkali memunculkan khodim (tunggal) dan khodam (jamak), yaitu pembantu yang berupa
roh gaib, yang bisa jadi bermaksud baik tapi bisa juga buruk. Sedangkan zikir Allahu menurut mereka menghasilkan kekuatan
supranatural yang halus dengan energi yang sulit dideteksi bahkan oleh sang
pengamal. Kekuatan ini lambat datangnya tetapi dahsyat.
Bagi
penganut tasawuf yang sudah mencapai tahap hakikat dan lebih-lebih makrifat,
tidak merpersoalkan perbedaan tersebut. Perihal khodim misalkan, pada hemat
mereka wajar muncul setiap saat pada manusia, terutama yang sedang mengikuti
jalan tasawuf atau para salik. Sebagaimana kisah terkenal yang dialami Penghulu
Tasawuf Syeh Abdul Qadir Jailani, khodim itu bukan mau membantu para salik,
melainkan menggoda dan mengganggu. Oleh karena itu kita tidak perlu menanggapi
serta meladeni kehadirannya, termasuk apabila mereka menawarkan berbagai hadiah
dan bantuan.
Ada
dua versi cerita mengenai kisah godaan iblis terhadap Syeh Abdul Qadir Jailani,
yang sering dikemukakan oleh mursyid
atau guru tasawuf kepada para saliknya.
Versi pertama mengisahkan, pada suatu hari tiba-tiba muncul suatu
makhluk yang memperkenalkan diri sebagai malaikat Jibril, dan berkata: “Aku
membawa buraq dari Allah. Engkau diundang
Allah untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.” Sang Syeh menjawab, baik Jibril maupun buraq takkan
pernah lagi datang ke dunia selain hanya untuk Nabi Suci Muhammad Saw.
Meskipun
demikian makhluk yang tiada lain adalah iblis itu masih tetap menggoda dengan
cara lain. Ia berkata, “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri
dengan keluasan ilmumu.”
“Enyahlah!”,
bentak Syeh, “Percuma kau menggodaku. Aku selamat bukan karena ilmuku, tapi rahmat
Allahlah yang telah menyelamatkanku dari perangkapmu.”
Versi
kedua mengisahkan, tatkala sang wali sedang berada di hutan tanpa makanan dan
minuman untuk jangka waktu yang lama, tiba-tiba pada suatu waktu awan
menggelayut di angkasa dan turunlah hujan. Beliau meredakan dahaganya dengan
tetesan air hujan. Mendadak muncul sosok cahaya terang di cakrawala seraya
berseru, “Akulah Tuhanmu. Hari ini kuhalalkan bagimu segala yang telah
kuharamkan.” Spontan sang wali berucap,
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Maka sosok
itupun segera berubah menjadi awan, dan berkata, “Dengan ilmumu dan rahmat
Allah engkau selamat dari tipuanku. Bagaimana kamu mengenaliku, padahal sudah
ribuan orang aku jebak dan sesatkan dengan cara seperti ini?” Lalu Syeh menjawab,
Allah tidak pernah mengubah hukumnya. Apa yang telah diharamkan tidak akan
mungkin dihalalkan. (Kisah Nyata &
Ajaran Para Sufi halaman 37-38, Mb.Rahimsyah AR, Penerbit Indah Surabaya,
1998)
Akan
halnya kekuatan supranatural, para salik yang berkhidmat menekuni suluk-suluk
tasawuf pun berpendapat, tidak peduli dengan hal itu, lantaran bukan itu
tujuannya dalam berzikir mengingat Allah. Yang mereka harapkan adalah dapat bertawajuh,
melepaskan kerinduan dengan memperoleh belaian kasih sayang Allah. Baik Hu Allah atau pun Allahu pada hematnya akan menghasilkan bunyi serta pemaknaan yang
sama saja, jika kita zikirkan secara ritmis berulang-ulang.
Berzikir kepada Allah sesuai dengan firman
Allah dalam Surat A Ra’du ayat 28, adalah untuk membersihkan hati. Allah juga telah berfirman dalam hadis qudsi,“Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan
langit-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang mukmin, lunak dan tenang "(HR
Abu Dawud ). Sungguh tepat ungkapan, hati yang bersih yang dimiliki orang-orang
mukmin adalah istana Allah.
Baris ketiga dan keempat bait 30,
menyebutkan tentang adanya dua malaikat yaitu Kirun di sebelah kanan kita dan
Wana Kirun di sebelah kiri, membawa gada besi dan bertugas menolak semua
perbuatan buruk pada diri kita. Nama malaikat Kirun tidak dijumpai di dalam
Qur’an maupun hadis. Melihat tugasnya terhadap manusia, kemungkinan besar
mereka adalan Qorin dari golongan setan yang senantiasa menggoda dan mengajak
manusia untuk berbuat buruk, serta Qorin dari golongan malaikat yang mengajak
pada kebajikan. Pada hemat penafsir, Sunan Kalijaga dalam kidung menyebut
Qorin, tapi pada pendengaran masyarakat adalah Kirun.
Hal itu dikuatkan dengan baris kedelapan
yang menguraikan tugas Qirun membuka hati manusia agar bisa mengenal Allah.
Tenajul berasal dari kata tanazul yang berarti mengenal Allah melalui hati yang
terbuka bersih. Sedangkan rijal memiliki beberapa makna yaitu lelaki, orang
yang berani, tulus, taat azas, berani berkorban untuk berdakwah. Dalam kaitan
bait ini tenajul rijal bisa dimaknai menjadi orang yang bisa mengenal Allah
melalui hati yang bersih yang sudah terbuka untuk itu.
Semua hal baik yang diuraikan dalam
bait-bait Kidung Kawedar, adalah berkat keutamaan kolhu. Kolhu adalah
pengucapan orang Jawa terhadap Surat Qulhu atau Surat Al Ikhlas, sebagaimana
juga menyebut Patekah untuk Al Fatihah.
Kandungan makna dan keutamaan Surat
Al Ikhlas dari berbagai hadis dan riwayat, bisa disebut istimewa. Mari coba
kita segarkan kembali pemahaman atas surat ini:
“Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Qul huwallaahu ahad.
Allaahush shamad.
Lam yalid wa lam yuulad.
Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad.
Artinya:
Dengan asma Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha
Esa.
Allah tempat bergantung segala
sesuatu
Dia tidak beranak dan tidak
diperanakkan.
Dan tiada seorang pun yang setara
dengan Dia.”
Surat Al Ikhlas menegaskan ketulusan
pengakuan umat atas kemurnian keesaan dan kekuasaan Gusti Allah Swt, menolak
segala macam kemusyrikan dan menerangkan tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya.
Semua pengakuan dan keyakinan atas keesaan beserta kekuasaan Tuhan itulah yang
dinamai tauhid, yang merupakan induk atau inti sari dari ajaran Islam.
Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar
yang termasyhur menyatakan, Surat ini turun karena pernah ada orang musyrikin
yang meminta kepada Nabi untuk menjelaskan “ macam apa Tuhanmu itu, emaskah dia
atau tembaga atau loyangkah?” (Juz XXIX – XXX halaman 303). Menurut hadis
riwayat Tarmidzi, memang ada orang yang meminta kepada Nabi agar menguraikan
nasab, yaitu keturunan atau sejarah Tuhannya. Maka datanglah surat yang tegas
ini tentang Tuhan.
Ayat 1 dan ayat 2 menjelaskan
keesaan, kesempurnaan serta kekuasaan Tuhan, sekaligus menegaskan bahwa yang
tidak mempunyai kedua sifat tersebut bukan Tuhan, tidak pantas dan tidak bisa
disebut Tuhan. Sedangkan ayat ketiga dan keempat menegaskan perbedaan Tuhan
dengan manusia dan makhluknya. Dia sudah ada sebelum yang lain ada, bukan anak
siapa-siapa dan tidak memiliki seorang anak pun. Begitu sempurnanya sifat dan
kekuasaan Allah, sehingga tiada siapa pun dan tiada sesuatu pun menyamainya.
“Qul
Huwallaahu Ahad, katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”, adalah puncak
ilmu tentang akidah. Oleh sebab itu pula ada sejumlah hadis yang menyatakan
sabda Rasulullah bahwa nilai Surat Al Ikhlas sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Sejumlah hadis yang cukup sahih sebagaimana diuraikan antara lain dalam Tasir
Al Azhar, mengungkapkan berbagai keutamaan surat ini, misalkan siapa yang
membacanya akan disenangi Allah (Hadis Riwayat Bukhari), dan “wajib orang itu
masuk surga” (Hadis Riwayat Tarmidzi).
Dengan keutamaan-keutamaan Surat
Ikhlas tadi, maka tidak berlebihan apabila Sunan Kalijaga memberikan kabar
gembira kepada siapa yang mempercayainya, ambalik
lara roga. Kembali atau tertolak semua penyakit dan penderitaannya.
Allahumma aamiin.
5 Komentar:
matursuwun atas wejangane
bapak nyuwun kontak panjenengan menawi pareng, kagem penelitian. matur nuwun
LUAR BIASA.......Manfaat berzikir Huu Allah sangat Multifungsi akan bahagia Dunia Akherat.....diberi kecukupan Sandang Pangan Papan....selalu mendapatkan nikmat Iman, Islam dan selalu sehat wal'afiat.........
LUAR BIASA.......Manfaat berzikir Huu Allah sangat Multifungsi akan bahagia Dunia Akherat.....diberi kecukupan Sandang Pangan Papan....selalu mendapatkan nikmat Iman, Islam dan selalu sehat wal'afiat.........
Adakah tata cara yang khusus untuk mengamalkan zikir yang agung ini?
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda