Ilmu Makdum Sarpin
Sedulur Papat Lima
Pancer
Bait 41 :
Ana
kidung akadang premati,
among
tuwuh ing kawasanira,
nganakaken
saciptane,
kakang
kawah punika,
kang
rumeksa ing ngawak mami,
anekakaken
sedya,
ing
kawasanipun,
adhi
ari-ari ika,
kang
mayungi ing laku kawasaneki,
anekakaken
pangarah.
Artinya
:
Ada kidung yang berhubungan erat
dengan penjagaan diri,
bertugas mengatur kehidupan,
mewujudkan apa yang dikehendaki,
itulah dia Kanda Ketuban (kakang
kawah),
yang menjaga diriku,
memenuhi kehendakku,
merupakan kewenangannya,
Adinda Ari-Ari (plasenta),
berwenang menaungi segala perbuatan,
memberikan arahan.
Bait 42 :
Ponang
getih ing rina wengi,
ngrewangi
Allah kang kuwasa,
andadekaken
karsane,
puser
kawasanipun,
nguyu-uyu
sabawa mami,
nuruti
ing panedha,
kawasanireki,
jangkep
kadang ingsun papat,
kalimane
pancer wus dadi sawiji,
tunggal
sawujuding wang.
Artinya
:
Adapun darah, siang malam bertugas,
membantu Gusti Allah Yang Maha Kuasa,
mewujudkan keinginan,
sedangkan tentang pusar (tali
pusar),
memperhatikan setiap gerak-gerikku,
memenuhi permohonan,
itulah kewenangannya,
lengkap sudah empat saudaraku,
yang kelima yang lurus langsung sudah
menjadi satu,
menyatu dalam wujudku.
Bait 43 :
Yeku
kadangingsun kang umijil,
saking
marga ina (versi
lain hina) sareng samya,
sadina
awor enggone,
sekawan
kadangingsun,
ingkang
ora umijil saking,
marga
ina (hina) punika,
kumpule
lan ingsun,
dadya
makdum sarpin sira,
wewayanganing
dat samya dadya kanthi,
saparan
datan pisah.
Artinya
:
Yaitu saudaraku yang keluar,
dari jalan ibu (jalan yang buruk atau
kotor) bersama-sama,
sehari tinggal bersama,
keempat saudaraku,
yang tidak keluar,
dari jalan ibu (jalan yang buruk atau
kotor) itu ,
berkumpul denganku,
menjadi makdum sarpin (pemimpin yang
dihormati),
bayangan dzat yang menyertai,
ke mana pun tiada berpisah.
Bait
41 - 43 ini adalah bait-bait yang cukup fenomenal bagi orang Jawa, terutama
yang mengikuti faham Kejawen. Dari sini berkembang kepercayaan akan adanya
empat saudara gaib yang selalu menyertai kelahiran setiap manusia. Meskipun
zaman sudah berkembang pesat, minat orang untuk mengetahuinya masih terus
berlangsung. Perihal sedulur papat lima pancer sesungguhnya sudah pernah
penafsir tulis dan dimuat di blog Tasawuf Jawa (http://islamjawa.wordpress.com/2012/05/30/sedulur-papat-lima-pancer/).
Alhamdulillah,
sungguh luar biasa, semenjak kami sampaikan ke publik 30 Mei 2012 sampai dengan
sekarang, artikel tersebut setiap hari selalu dibaca belasan bahkan sampai
puluhan pengunjung.
Bersumber dari kidung tersebut
muncul berbagai penafsiran beserta amalan-amalannya. Penulis mencatat selama
ini ada lima penafsiran yakni, pertama,
penafsiran fisik ragawi persis sebagaimana yang disebut dalam kidung. Artinya, sedulur papat lima pancer yaitu ketuban, ari-ari, darah (yang
tumpah atau keluar menyertai kelahiran kita) dan tali pusar, sedangkan yang kelima adalah ruh yang menyatu di diri kita. Keempat saudara yaitu ketuban,
ari-ari (plasenta), darah dan tali pusar, setia mendampingi dan menyertai kita
semasa bayi, baik tatkala masih di dalam perut maupun sewaktu lahir ke dunia.
Meskipun sesudah kita lahir secara fisik keempat saudara itu sudah tidak
berguna lagi, sesungguhnya secara spiritual tidaklah demikian. Apalagi secara
zat, mereka telah merasuk ke dalam diri kita. Secara spiritual mereka akan
menyertai kita dengan kemampuan dan kewenangan seperti diuraikan tembang
tadi. Sebagaimana layaknya sebuah hubungan, mereka akan setia membantu apabila
kita juga senantiasa peduli terhadapnya.
Penafsiran versi kedua
ialah berupa empat macam nafsu yang berada di dalam diri manusia, yaitu (1). Nafsu supiyah, berhubungan dengan
masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan akan menyesatkan jalan hidup
kita. (2). Nafsu amarah yang
berkaitan dengan emosi. Jika tidak dikendalikan, ia sangat berbahaya karena
akan mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku yang keji dan rendah.
(3). Nafsu aluamah, yaitu nafsu yang
sudah mengenal baik dan buruk. (4) Nafsu
mutmainah, yaitu nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan, yang membawa
sang pemilik menjadi berjiwa tenang, ridho dan tawakal. Sedangkan saudara yang
kelima (5) yaitu hati nurani.
Penafsiran versi ketiga
adalah empat unsur atau anasir alam yang membentuk jasad manusia, yaitu tanah, air, api dan angin. Sedangkan
unsur yang kelima adalah diri dan jiwa
manusia itu sendiri.
Penafsiran keempat,
yaitu cipta, rasa, karsa, karya dan jati
diri manusia. Hal itu disimbolkan dengan tokoh-tokoh dalam cerita wayang.
Cipta disimbolkan sebagai tokoh Semar,
rasa sebagai tokoh Gareng, karsa
sebagai Petruk, karya sebagai Bagong dan jati diri manusia sebagai
tokoh ksatria Arjuna.
Penafsiran kelima
yaitu 4 (empat) malaikat yang menjaga setiap orang. Malaikat Jibril menjaga keimanan, malaikat Izrail menjaga kita agar senantiasa
berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, malaikat Israfil menerangi qalbu dan
malaikat Mikail mencukupi kebutuhan
hidup kita sehari-hari. Sedangkan yang kelima adalah Sang Guru Sejati yang tiada lain adalah Gusti Allah Yang Maha
Kuasa. Penafsiran versi kelima ini merunut ajaran Sunan Kalijaga sendiri
sebagaimana diuraikan dalam Kidung Kawedar, khususnya bait ke 28 dan 29. Bait
tersebut menuturkan adanya keempat malaikat tadi beserta tugasnya dalam menjaga
setiap manusia. Tentang Sang Guru Sejati,
juga berkembang dua penafsiran. Yang pertama adalah Gusti Allah yang
bersemayam di kalbu kita, sedangkan versi lain berpendapat Sang Guru Sejati adalah sang pembawa pesan dari Allah kepada rahsa
sejati manusia. Pembawa pesan itu bisa berupa malaikat, tapi bisa pula ruh suci
lainnya.
Dari kelima versi tersebut, versi
pertama adalah yang paling berkembang dan diyakini masyarakat sampai sekarang.
Sementara itu karena wilayah dakwah Sunan Kalijaga merentang terutama di
sepanjang pantai utara Jawa, bahkan tempat uzlahnya selama bertahun-tahun
berada di wilayah Cirebon, maka versi pertama juga dipercaya oleh sebagian
masyarakat Jawa semenjak dari Banten, Jawa Barat sampai dengan Jawa Timur. Ciri
khas dari penganut pemahaman ini adalah keyakinan terhadap amalan ilmu gaib makdum sarpin.
Kata makdum sarpin disebut dalam baris kedelapan bait 43. Sulit
mengartikan kedua kata tersebut. Makdum
berasal dari bahasa Arab yang berarti tuan atau majikan, tapi juga bisa berarti
kosong atau tiada, sebagaimana makna yang sudah kita bahas dalam bait ke 28 (Tafsir seri ke 9: Sang Hyang Guru dan Sang
Hyang Hayu), yang juga dapat dijumpai dalam Serat Wirid Hidayat Jati bab 2 perihal Wedharan Wahananing Dzat). Sementara itu kata sarpin belum bisa penulis artikan secara pas, karena belum diketemukan
baik dalam bahasa Arab, Sansekerta, Jawa Kuno apalagi Baru sekarang. Boleh jadi
itu berasal dari bahasa Arab: (1) syafiq
belas kasih atau penyayang. (2) syafir atau
terhormat, istimewa dan (3) syafina
atau mutiara. Namun dari mempelajari Serat
Wirid Hidayat Jati, penafsir menyimpulkan yang dimaksud Jawa dengan makdum
sarpin adalah jati diri manusia yang mampu mengenali sangkan paraning dumadi atau asal mula dan tujuan kehidupan.
Berikut ini penafsir sajikan tiga
contoh amalan ajian ilmu gaib makdum
sarpin, agar kita bisa mengetahui lebih jauh tentang versi pertama
tersebut. Contoh kesatu adalah amalan ajian yang biasa dibaca oleh penganutnya
apabila sudah merasa dekat dengan ajalnya, untuk mengajak bersama-sama empat
saudara (sedulur papat) memohon maaf kepada Gusti Allah, dan kemudian pulang
kembali ke hadirat-Nya sesuai kodrat-Nya, secara bersama-sama pula dengan
lancar dan enak. “Ingsun
angruwat kadangingsun papat kalima pancer kang dumunung ana ing badaningsun
dewe. Mar marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser, sakehing kadangingsun
kang ora katon, lan kang ora karawatan, utawa kadangingsun kang metu saka marga
hina lan ora metu saka ing marga hina, sarta kadangingsun kang metu bareng
sadina kabeh pada sampurna nirmala waluya ing kahanan jati, dening kudratingsun”.
Contoh amalan ajian atau mantra yang
kedua di bawah nanti, selain dimaksudkan oleh para penganutnya agar kelak bila
sudah saatnya dipanggil kembali oleh Gusti Allah, bisa memperoleh kemudahan
menjalani sakaratul maut bersama sedulur papatnya, juga diyakini dapat
memanggil sedulur papat dan ruh sejati kita, serta membuat sakti yang
mengamalkan dan segala keinginannya mudah dikabulkan oleh Gusti Allah Yang Maha
Kuasa. Mantra itu adalah sebagai berikut:
“Bismillahirrahmanirrahim
sang guru putih nu herang nu lenggang muga katona sang rupa maya putih. Kun dzat kun aja angalingi ing dzat, suksma atapa
sajroning wewayangan, rahsa suksma angemban wewayangan, sira metuwa ingsun arep
weruh sejatining urip.”
Selanjutnya
mereka membaca:
“Sang
reka maya rupa maya asih.
Bur cahya rupa cahya
rupa sapalinggihaning cahya bur dzat sang kaleter putih, dzat sa dzat les.
Rupa cahya sang
ngindel putih mulya kang langgeng cahya sampurna, iya ingsun sajatining
tajallullah kang luwih sampurna, sah dzat sah sifate sadege salinggihe saosike,
hu wa iya Allah
Si wellada anake tan
ana ndeleng sirik, dhewek hahak langak ya aki kasumaran
Bismillahirrahmanirrahim,
bur cahya rupa cahya sapalungguhaning cahya sang pelatuk putih bur dzat lar
dzat les hu
Bur tan ana putih
dzat sucine lagi ana ing suci, bur putih nu gumeter putih bala putih ider putih
les putih
Suksma mulya cahya
putih alingana ingsun, ya ingsun reksanen kang abecik, sira angreksa ingsun
Suksma mulya cengeng
alingana ingsun, rereksanira den abecik, sira ngreksa ingsun makdum sarpin,
alingana ingsun, ingsun rereksanira, den abecik sira angreksa ingsun.
Contoh
amalan lain yang para penghayatnya juga menyebut sebagai amalan atau wiridan
ilmu makdum sarpin adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmaanirrahiim
….2x
bismillahi laa illaaha illallah anta,
laa illaaha illallah anta,
laa illaaha illallah inni uhro
laa illaaha illallah amana billahi
laa illaaha illallah amanatan min indillahi
laa illaaha illallahu muhammadun rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
allahuma ya jibrillu, wa mikaillu, wa isrofillu, wa ijroillu
kollu hairil min sulthoni washrif ‘anna syarrihi
kaf, ha, ya, ‘ain, shod
ha, mim, ‘ain, sin, khof
ya allah ‘ain, sin, khof
ya muhammad ‘ain, sin khof
ya mustafa ‘ain, sin khof
shallallahu ‘alaihi wasallam birrohmatika ya ‘arhamar rohimin
Sahabatku, dengan menuliskan mantra
atau pun wiridan tersebut, penafsir tidak bermaksud mengajari pembaca
mengamalkan sesuatu ajian ilmu gaib, namun sekedar untuk memberikan wawasan dan
pengetahuan.
Demikianlah, selain kelima versi
penafsiran di atas, mungkin masih ada lagi penafsiran yang lain. Tapi yang
sudah penafsir ketahui baru lima itu tadi. Sementara penafsir sendiri
memberikan catatan atas tafsir kelima. Penafsir cenderung memilih tafsir ini tapi
malaikatnya bukan Jibril, Izrail, Israfil dan Mikail, melainkan malaikat Hafazhah atau malaikat Penjaga
sesuai firman Gusti Allah dalam Al Qur’an Surat Ar-Ra’ad ayat 11 dan Surat
Al Infithar ayat 10 - 12, tentang adanya malaikat-malaikat yang menjaga dan
memelihara manusia secara bergiliran.
Dalam Tafsir Al Azhar mengenai Surat
Ar-Ra’ad ayat 11, Buya Hamka menulis giliran tugas malaikat-malaikat
tersebut sesuai hadis adalah pada waktu subuh dan sehabis waktu asar. Dalam
suatu riwayat yang lain (namun saya belum menemukan sumber rujukan yang sahih,
kecuali dalam kisah-kisah), diceritakan jumlah malaikat Hafazhah yang menjaga
dan memelihara kita sebanyak 5 (lima) orang. Dua bertugas di siang hari, dua di
malam hari dan yang satu lagi tidak pernah berpisah dengan diri kita.
Mengenai malaikat ini, Kanjeng Nabi
Muhammad Saw dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Muslim bersabda
kepada Abdullah Mas’ud: "Setiap kamu
ada Qarin daripada bangsa jin, dan juga Qarin daripada bangsa malaikat. Sahabat
bertanya: ‘Engkau juga Ya Rasulullah.’ Sabdanya: ‘Ya aku juga ada, tetapi Allah
telah membantuku sehingga Qarin itu dapat kuislamkan dan hanya menyuruh aku
dalam hal kebajikan saja”.
Kepedulian yang bagaimana dan apa
yang harus kita lakukan agar malaikat “sedulur” kita, menjaga kita dengan
sebaik-baiknya? Buya Hamka menjelaskan dengan mengingatkan Surat Az-Zukhruf ayat 36, yaitu “Barangsiapa
yang berpaling dari mengingat Allah Yang Maha Pengasih, niscaya Kami sertakan
setan sebagai temannya (yang selalu menyertainya).” Maka menurut Buya,
selama zikir kita kepada Allah masih kuat dan ibadah masih teguh, pengawalan
dari malaikatlah yang bertambah banyak, dan jika kita lalai dari jalan Tuhan,
datanglah teman dari iblis, jin dan setan.
Selain itu, pada hemat panafsir,
janganlah lupa sewaktu membaca salam di akhir shalat, untuk bermurah hati
dengan meniatkan menyedekahkan salam yang pada hakikatnya adalah doa, di
samping kepada makhluk-makhluk Allah yang nampak mata, juga kepada yang tak
nampak mata termasuk para malaikat penjaga kita.
Demikianlah, beberapa penafsiran
terhadap sedulur papat lima pancer. Mana
yang paling tepat, yang paling benar? Hanya Gusti Allah Yang Maha Tahu.
Subhaanallaah walhamdulillaah.
3 Komentar:
masya allah
amin semoga berkah salm sejahtera
PADEPOKAN MLIWIS PUTIH PUSAT GEMBLENGAN ILMU JAWA INSTAN PERMANEN DAN BIAYA TERJANGKAU HUBUNGI: 081567662466
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda