Pengantar
KISAH
PERJALANAN MENCARI HAKIKAT
Oleh
Parni Hadi*
Buku ini berjudul “Bertasawuf Di Zaman Edan (Era Globalisasi)”. Buku ini mencerminkan penulisnya adalah
seorang pelaku dan pencari kebenaran dan
kesejatian. Kebenaran (yang ) Sejati, hakikat Tuhan, Allah Swt. Ini adalah sebuah kisah dari seorang
pencari substansi sekaligus inti kebenaran. Kebenaran Tertinggi. Kebenaran Mutlak Tanpa Batas (A Truth Seeker’s Story).
Bentuk, cara dan gaya penyajian kisah pencarian ini diwarnai
oleh latar belakang budaya, agama dan profesi sang penulis, yakni Bambang
Wiwoho, saya biasa memanggilnya Mas Wie,
seorang Jawa, beragama Islam dan berprofesi sebagai wartawan.
Namanya sudah menunjukkan ia seorang Jawa. Bambang
artinya satria yang hidup, dibesarkan dan tumbuh berkembang di pertapaan, padepokan atau perguruan bersama sang pertapa dan sang guru sekaligus. Wiwoho
berarti dimuliakan, dihormati.
Tasawuf adalah sebuah ajaran cabang ilmu dalam agama
Islam untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah ilmu, cara dan
sekaligus jalan menuju Kebenaran Mutlak dengan laku-laku tertentu, yang berintikan dan dimulai dengan pengenalan diri
sendiri melalui pengendalian nafsu,
penataan batin dan berakhir pada pasrah kepada Allah.
Sebagai orang Jawa, yang budayanya terkenal suka meramu segala macam
ilmu dan laku menjadi satu padu, Mas Wie membingkai keislamannya dengan nama
Islam Jawa. Ada yang menyebut “Islam rasa Jawa” dan atau “Jawa rasa Islam”. Ada juga: “ Wadah Islam rasa Jawa” dan atau “Wadah Jawa
rasa Islam”. Wadah dan isi telah menyatu. Syariat dan hakikat
telah saling mengikat. Keduanya adalah tajali
(pengejawantahan) Sang Maha Hakikat.
Sebagai wartawan, Mas Wie menulis kisah perjalanannya
secara sistematis, runtut, runut, kohesif, komprehensif, holistik dengan diksi yang gampang, jelas dan lugas. Gaya penyajiannya enak
dan perlu (dibaca, lebih bagus lagi dengan membeli dulu buku ini). Konsisten
dari judul sampai konklusi menuju kepada tujuan buku ini: dapat dipahami (dengan mudah) oleh pembaca.
Seorang wartawan adalah sosok yang senang mempertanyakan
segala sesuatu. “A questioning mind” atau Bathin Yang Selalu Bertanya. Tidak
gampang percaya begitu saja pada segala hal, selalu resah, gelisah, ingin membuktikannya
sendiri. Minimal, ingin melakukan
klarifikasi, penjelasan, dari ahlinya. Di sini sebagai pelaku, pencari dan
pejalan (traveller) menuju hakikat, Mas Wie perlu pemandu yang bertindak
sebagai guru.
Tanda
Bakti untuk Guru
Alhamdulillah, Allah mempertemukan Mas Wie dengan Sang
Guru, yakni Profesor Kyai Haji Ali Yafie,
seorang tokoh Islam nasional berasal dari Sulawesi Selatan. Karena itu, Mas Wie
lebih suka memanggilnya Puang Ali Yafie, yang kebetulan tahun ini genap berusia
93 tahun. Tampilnya sang Guru yang non Jawa menunjukkan bahwa hakikat itu
bersifat universal, tidak mengenal SARA (suku,
agama (aliran), Ras dan Antargolongan),
istilah top jaman Pak (Presiden) Harto (Suharto) serta kebangsaan,
ideologi, apalagi partai politik.
Kyai Ali Yafie
memenuhi syarat untuk menjadi guru Mas
Wie sesuai ajaran Jawa yang termaktub dalam
“Serat Wulangreh” buku karya Kanjeng Sinuhun Pakubuwono IV, raja
Surakarta. Sang pujangga-raja atau raja-pujangga dalam Tembang Dhandhanggla menasehatkan:
jika mencari guru pilihlah manusia yang
nyata, yang bagus martabatnya, tahu hukum (syariah), yang beribadah dan
“wirangi” (wara), syukur petapa, yang
sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak berpikir lagi tentang pemberian
orang lain.
Ditilik dari usia,
senioritas dengan aneka ragam pengalaman hidupnya , Kyai Ali Yafie sangat
pantas menyandang gelar “mursyid” (guru tasawuf). Laku hidup Pak Kyai diperas, ringkas
dan bernas, oleh Mas Wie, sang murid, menjadi BSM
(Bersih, Sederhana dan Mengabdi).
Laku sangat penting dalam menempuh jalan (tarekat) menuju hakikat dan makrifat seperti ajaran Sri Mangku Negoro IV, raja
Puri Mangkunegaran, Surakarta dalam karyanya “Serat Wedhatama”. Ajaran itu
menyebut “ngelmu iku kalakone kanthi laku” (ilmu itu mewujudnya dengan laku).
BSM sebagai laku menjiwai,
menjelujuri kisah perjalanan sang murid dalam buku ini dari awal sampai
akhir. Ada yang berpendapat, mursyid dan
murid adalah satu: ya mursyid, sekaligus ya murid, saling mengisi, saling
melengkapi atau “tumbu oleh tutup” dalam ungkapan Jawa. Jadi klop.
Contoh menyatunya guru dan murid itu mengejawantah dalam
tokoh Kresna dan Arjuna dalam kisah Perang
Bharatayudha, lakon wayang kulit Jawa.
Sang guru dan murid selalu sejalan seperti permukaan dan punggung daun
sirih, jika digigit sama rasanya (Pindha suruh,lumah lan kurebe, yen ginigit
padha rasane).
Kebetulan wartawan dan guru adalah pewaris tugas
kenabian, yakni menyampaikan kabar gembira dan peringatan seperti tersurat
dalam Al Khafi, QS 18:56 (lihat “Jurnalisme Profetik”) demi terwujudnya kesejahteraan untuk seluruh alam semesta beserta isinya.
Orang Jawa bilang: “Memayu hayuning bawono”. Semuanya diniatkan sebagai ibadah kepada Al
Khalik.
Sebagai teman Mas Wie, saya ketika dimita untuk memberi
kata sambutan buku ini menyarankan agar
ada kata-kata di sampul depan : “Tanda
bhakti untuk Kyai Haji Ali Yafie”. Sebagai hadiah ulang tahun beliau yang ke 93. Semoga beliau panjang usia, terus
bermakna dan berbahagia. Semoga Puang diberi kesehatan dan kekuatan untuk terus
menjadi obor, penyuluh, penerang perjalanan bangsa Indonesia dalam menempuh
Perang Bharatayudha dalam pusaran globalisasi.
Kanjeng Nabi Muhammad, Rasulullah Saw, telah bersabda bahwa
musuh terbesar kita adalah hawa nafsu kita sendiri. Setiap manusia pada hakikatnya setiap saat
melakukan perang Bharatayudha, melawan hawa nafsunya sendiri. BSM adalah
pedoman hidup yang perlu difahami dan diamalkan oleh setiap orang, terutama
oleh para pemimpin negeri ini.
Islam mengajarkan pengendalian nafsu, bukan penghilangan
nafsu, karena nafsu adalah perangkat
hidup sebagai sunatullah. Berkat adanya
nafsu, kehidupan dapat berkembang: maju atau rusak. Kata kuncinya adalah pengendalian berdasar ajaran budaya
dan agama sesuai tuntunan Kitab Suci yang diturunkan Allah kepada para rasul,
utusannya dan orang-orang yang dipilih-Nya
.
BSM perlu menjadi pedoman setiap insan, terutama para
pemimpin, dalam mengarungi “Zaman Edan”,
mengutip Pujangga Ronggowarsito, dalam era globalisasi ini. Ini gampang diomongkan, tapi sulit diamalkan.
Banyak orang mendapat gelar “Jarkoni”, bisa berujar, tidak bisa melakoni.
Sederet gelar akademis dan keagamaan tidak menjamin dan mencerminkan kualitas
intelektualitas dan religiusitas seseorang.
Era globalisasi yang dipicu oleh kapitalisme
mempengaruhi sikap hidup hampir semua orang sejagat menjadi: individualis,
egoistis, egosentris, “sopo siro, sopo
ingsun”, tidak satunya kata dan perbuatan, semua memperturutkan hawa
nafsunya masing-masing. Pengendalian nafsu terkait erat dengan disiplin diri
yang ketat. Berlatih “sepi ing pamrih,
rame ing gawe”. Tetap bekerja keras selama hidup di dunia ini, tapi niatnya
semata sebagai ibadah. “Topo ngrame”
(bertapa di tempat ramai).
Perang, fisik dan bathin, terbuka atau tertutup, pada
galibnya adalah “purgatorio” (cleansing atau penyucian) dari
unsur-unsur kebathilan menuju penyempurnaan.
Ini akan terus terjadi berulang kali
di sepanjang jaman dan tempat sesuai kodrat Tuhan sebagai Yang Maha
Kuasa dan Maha Sempurna.
Seorang teman, dosen tasawuf, baru-baru ini bilang: Hanya sufi (pengamal Tasawuf) yang lurus
dapat memandu menyelamatkan perjalanan bangsa ini dan seluruh umat manusia
menuju kebahagiaan melewati jalan Cinta untuk semua (rahmatan lil alamin).
Prof. Dr. KH Ali Yafie adalah suri teladan untuk banyak
orang dalam melakoni BSM. Beliau konsisten suci dalam pikiran, perkataan dan
perbuatan (butir terakhir Dasadharma) dalam kehidupan sehari-hari. Mas Wie, selamat atas terbitnya buku ini dan
selamat menempuh perjalanan lebih lanjut! Tabik Puang Ali Yafie! (Pengantar untuk buku Bertasawuf di Zaman
Edan, penerbit BukuRepublika, telp 081285304767)
Jakarta, 2 November, 2016.
*Wartawan,
inisiator/pendiri/ketua Dewan Pembina Dompet Dhufa dan penulis “Jurnalisme Profetik”.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda