Senin, 09 Januari 2017

TASAWUF DI ZAMAN EDAN : KISAH PERJALANAN MENCARI HAKIKAT










Pengantar
KISAH PERJALANAN MENCARI HAKIKAT
Oleh Parni Hadi*

Buku ini berjudul “Bertasawuf  Di Zaman Edan (Era Globalisasi)”.  Buku ini mencerminkan penulisnya adalah seorang pelaku dan pencari kebenaran dan  kesejatian. Kebenaran (yang ) Sejati, hakikat Tuhan, Allah Swt.  Ini adalah sebuah kisah dari seorang pencari  substansi sekaligus  inti kebenaran.  Kebenaran Tertinggi. Kebenaran Mutlak Tanpa Batas  (A Truth Seeker’s Story).

Bentuk, cara dan gaya penyajian kisah pencarian ini diwarnai oleh latar belakang budaya, agama dan profesi sang penulis, yakni Bambang Wiwoho,  saya biasa memanggilnya Mas Wie, seorang Jawa, beragama Islam dan berprofesi sebagai wartawan.
Namanya sudah menunjukkan ia seorang Jawa. Bambang artinya satria yang hidup, dibesarkan dan tumbuh berkembang  di pertapaan, padepokan atau  perguruan bersama  sang pertapa dan sang guru sekaligus. Wiwoho berarti dimuliakan, dihormati.
Tasawuf adalah sebuah ajaran cabang ilmu dalam agama Islam untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah ilmu, cara dan sekaligus jalan menuju Kebenaran Mutlak dengan laku-laku tertentu, yang  berintikan dan dimulai dengan pengenalan diri sendiri melalui  pengendalian nafsu, penataan batin dan berakhir pada pasrah kepada Allah.
Sebagai orang Jawa, yang  budayanya terkenal suka meramu segala macam ilmu dan laku menjadi satu padu, Mas Wie membingkai keislamannya dengan nama Islam Jawa. Ada yang menyebut “Islam rasa Jawa” dan atau  “Jawa rasa Islam”. Ada juga:  “ Wadah Islam rasa Jawa” dan atau “Wadah Jawa rasa Islam”.  Wadah  dan isi telah menyatu. Syariat dan hakikat telah saling mengikat. Keduanya adalah tajali (pengejawantahan) Sang Maha Hakikat.

Sebagai wartawan, Mas Wie menulis kisah perjalanannya secara sistematis, runtut, runut, kohesif, komprehensif, holistik  dengan diksi yang  gampang, jelas dan lugas. Gaya penyajiannya enak dan perlu (dibaca, lebih bagus lagi dengan membeli dulu buku ini). Konsisten dari judul sampai konklusi menuju kepada tujuan buku ini:  dapat dipahami (dengan mudah) oleh pembaca.

Seorang wartawan adalah sosok yang senang mempertanyakan segala sesuatu. “A questioning mind” atau Bathin Yang Selalu Bertanya. Tidak gampang percaya begitu saja pada segala hal, selalu resah, gelisah, ingin membuktikannya sendiri. Minimal,  ingin melakukan klarifikasi, penjelasan, dari ahlinya. Di sini sebagai pelaku, pencari dan pejalan (traveller) menuju hakikat, Mas Wie perlu pemandu yang bertindak sebagai guru.

Tanda Bakti untuk Guru

Alhamdulillah, Allah mempertemukan Mas Wie dengan Sang Guru, yakni Profesor  Kyai Haji Ali Yafie, seorang tokoh Islam nasional berasal dari Sulawesi Selatan. Karena itu, Mas Wie lebih suka memanggilnya Puang Ali Yafie, yang kebetulan tahun ini genap berusia 93 tahun. Tampilnya sang Guru yang non Jawa menunjukkan bahwa hakikat itu bersifat universal, tidak mengenal SARA (suku,   agama (aliran), Ras dan Antargolongan), istilah top jaman Pak (Presiden) Harto (Suharto) serta kebangsaan, ideologi,  apalagi partai politik.
 Kyai Ali Yafie memenuhi syarat  untuk menjadi guru Mas Wie sesuai ajaran Jawa yang termaktub dalam  “Serat Wulangreh”  buku  karya Kanjeng Sinuhun Pakubuwono IV, raja Surakarta. Sang pujangga-raja atau raja-pujangga dalam Tembang Dhandhanggla menasehatkan:  jika mencari guru pilihlah manusia yang nyata, yang bagus martabatnya, tahu hukum (syariah), yang beribadah dan “wirangi” (wara),  syukur petapa, yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak berpikir lagi tentang pemberian orang lain.
Ditilik  dari usia, senioritas dengan aneka ragam pengalaman hidupnya , Kyai Ali Yafie sangat pantas menyandang gelar “mursyid” (guru tasawuf). Laku hidup Pak Kyai diperas, ringkas  dan bernas,  oleh Mas Wie, sang murid, menjadi BSM (Bersih, Sederhana dan Mengabdi).

Laku sangat penting dalam menempuh jalan (tarekat)  menuju hakikat dan makrifat  seperti ajaran Sri Mangku Negoro IV, raja Puri Mangkunegaran, Surakarta dalam karyanya “Serat Wedhatama”. Ajaran itu menyebut “ngelmu  iku kalakone kanthi  laku” (ilmu itu mewujudnya dengan laku).

BSM  sebagai laku menjiwai, menjelujuri kisah perjalanan sang murid dalam buku ini dari awal sampai akhir.  Ada yang berpendapat, mursyid dan murid adalah satu: ya mursyid, sekaligus ya murid, saling mengisi, saling melengkapi atau “tumbu oleh tutup” dalam ungkapan Jawa. Jadi klop.

Contoh menyatunya guru dan murid itu mengejawantah dalam tokoh Kresna dan Arjuna dalam kisah  Perang Bharatayudha, lakon wayang kulit Jawa.  Sang guru dan murid selalu sejalan seperti permukaan dan punggung daun sirih,  jika digigit sama rasanya (Pindha suruh,lumah lan kurebe, yen ginigit padha rasane).

Kebetulan wartawan dan guru adalah pewaris tugas kenabian, yakni menyampaikan kabar gembira dan peringatan seperti tersurat dalam Al Khafi, QS 18:56 (lihat “Jurnalisme Profetik”)  demi terwujudnya kesejahteraan  untuk seluruh alam semesta beserta isinya. Orang Jawa bilang:  Memayu hayuning bawono”.  Semuanya diniatkan sebagai ibadah kepada Al Khalik.

Sebagai teman Mas Wie, saya ketika dimita untuk memberi kata sambutan buku ini menyarankan  agar ada kata-kata di sampul depan : “Tanda bhakti untuk Kyai Haji Ali Yafie”. Sebagai hadiah ulang tahun beliau  yang ke 93. Semoga beliau panjang usia, terus bermakna dan berbahagia. Semoga Puang diberi kesehatan dan kekuatan untuk terus menjadi obor, penyuluh, penerang perjalanan bangsa Indonesia dalam menempuh Perang Bharatayudha dalam pusaran globalisasi.

Kanjeng Nabi  Muhammad, Rasulullah Saw, telah bersabda bahwa musuh terbesar kita adalah hawa nafsu kita sendiri.  Setiap manusia pada hakikatnya setiap saat melakukan perang Bharatayudha, melawan hawa nafsunya sendiri. BSM adalah pedoman hidup yang perlu difahami dan diamalkan oleh setiap orang, terutama oleh para pemimpin negeri ini.
Islam mengajarkan pengendalian nafsu, bukan penghilangan nafsu,  karena nafsu adalah perangkat hidup sebagai sunatullah.  Berkat adanya nafsu, kehidupan dapat berkembang: maju atau rusak. Kata kuncinya  adalah pengendalian berdasar ajaran budaya dan agama sesuai tuntunan Kitab Suci yang diturunkan Allah kepada para rasul, utusannya dan orang-orang yang  dipilih-Nya .

BSM perlu menjadi pedoman setiap insan, terutama para pemimpin,  dalam mengarungi “Zaman Edan”, mengutip Pujangga Ronggowarsito, dalam era globalisasi ini.  Ini gampang diomongkan, tapi sulit diamalkan. Banyak orang mendapat gelar “Jarkoni”, bisa berujar, tidak bisa melakoni. Sederet gelar akademis dan keagamaan tidak menjamin dan mencerminkan kualitas intelektualitas dan religiusitas seseorang.

Era globalisasi yang dipicu oleh kapitalisme mempengaruhi sikap hidup hampir semua orang sejagat menjadi: individualis, egoistis, egosentris, “sopo siro, sopo ingsun”, tidak satunya kata dan perbuatan, semua memperturutkan hawa nafsunya masing-masing. Pengendalian nafsu terkait erat dengan disiplin diri yang ketat. Berlatih “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Tetap bekerja keras selama hidup di dunia ini, tapi niatnya semata sebagai ibadah. “Topo ngrame” (bertapa di tempat ramai). 
  
Perang, fisik dan bathin, terbuka atau tertutup, pada galibnya adalah “purgatorio” (cleansing atau penyucian) dari unsur-unsur kebathilan menuju penyempurnaan.  Ini akan terus terjadi berulang kali  di sepanjang jaman dan tempat sesuai kodrat Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. 

Seorang teman,  dosen tasawuf, baru-baru ini bilang:  Hanya sufi (pengamal Tasawuf)  yang lurus  dapat memandu menyelamatkan perjalanan bangsa ini dan seluruh umat manusia menuju kebahagiaan melewati jalan Cinta untuk semua (rahmatan lil alamin).
Prof. Dr. KH Ali Yafie adalah suri teladan untuk banyak orang dalam melakoni BSM. Beliau konsisten suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan (butir terakhir Dasadharma) dalam kehidupan sehari-hari.  Mas Wie, selamat atas terbitnya buku ini dan selamat menempuh perjalanan lebih lanjut! Tabik Puang Ali Yafie! (Pengantar untuk buku Bertasawuf di Zaman Edan, penerbit BukuRepublika, telp 081285304767)
Jakarta, 2 November, 2016.
*Wartawan, inisiator/pendiri/ketua Dewan Pembina Dompet Dhufa dan penulis “Jurnalisme Profetik”.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda