Premis ini menjadi pegangan dwitunggal pejabat tinggi yang
waktu itu bertanggungjawab langsung atas masalah perpajakan. Mereka adalah
Menteri Keuangan Radius Prawiro (alm) dan Direktur Jenderal Pajak Salamun AT
(alm). Dengan senantiasa mengingat premis ini, mereka mengantarkan dua paket
RUU Perpajakan tadi untuk dibahas di DPR, dan kemudian juga memasyarakatkan.
Kebetulan keduanya adalah orang-orang yang penyabar dan pandai mendengar
kata-kata orang, meski itu kata-kata kritis yang keras bahkan cenderung kasar.
Bahkan semua politikus juga tidak menyukai pajak, demikian
catatan Radius Prawiro tentang pembahasan RUU Pajak di DPR, dalam bukunya
“Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi” hal 334. Ia
menulis lebih lanjut, memang benar
keluwesan teknis serta kemantapan
ekonomi dari undang-undang perpajakan baru Indonesia tidak cukup untuk
menjamin sambutan yang hangat di kalangan politisi. Banyak di antara anggota
DPR yang gigih menentang undang-undang baru tersebut karena banyak alasan, yang
didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru tentang dampak undang-undang terhadap
wajib pajak.
Dalam DPR yang diwakili 460 orang, terdapat
pandangan-pandangan yang sama banyak tentang bagaimana undang-undang ini harus
dimodifikasi. Salah satu kelompok
politik ingin menambah lebih dari tiga tarif, kelompok yang lain tidak percaya
bahwa asas menilai sendiri (self assessment) dapat berhasil. Ada lagi yang menginginkan lebih banyak
pengurangan. Ada
pula kelompok-kelompok yang menentang PPN, dan yang lain lagi lebih menyukai
status quo. Kelihatannya akan terjadi pertengkaran sengit menuju jalan buntu.
Melihat reaksi seperti itu, Radius melakukan
pendekatan-pendekatan dengan meminta para pimpinan fraksi-fraksi DPR
mengunjungi Radius di kantornya secara pribadi. Dalam pertemuan atau
lobby-lobby personal yang jauh dari luapan emosi serta tekanan kelompok yang
semakin meningkat di DPR, Ia mengingatkan
partner kerjanya di DPR itu, bahwa undang-undang lama yang harus dan
akan diganti dengan undang-undang baru,
adalah undang-undang warisan orang-orang Belanda, dan dirancang untuk mendukung rezim kolonial. Sebagai
mantan anggota Tentara Pelajar di masa revolusi kemerdekaan, Radius menggunakan
pendekatan semangat patriotisme dalam lobby-lobby tersebut.
Ia mengatakan, sistem warisan Belanda itu sama sekali tidak
cocok untuk kebutuhan-kebutuhan sebuah
negara modern yang berhasrat menjadi sebuah negara industri. Radius
mengingatkan bahwa kita semua telah turut berperang untuk kemerdekaan, dan
sebagai patriot-patriot, saat itu kita telah berjanji, sebagaimana kita perlu
tetap berjanji sekarang, untuk membasmi segala sisa-sisa yang merugikan serta
menghambat kemajuan negara kita.
Dengan mengobarkan nostalgia perjuangan para politisi
Senayan itu, Radius memohon mereka
bergabung dengan pendapat Kabinet dalam menciptakan sebuah dasar baru untuk kemerdekaan
fiskal. Sistem perpajakan yang dianjurkan, katanya, dirancang bukan saja untuk
menggantikan sebuah sistem perpajakan kuno, tetapi juga perlu untuk usaha pemerintah menghilangkan
ketergantungan nya pada minyak yang telah begitu lama mendominasi perekonomian Indonesia.
Setelah percakapan yang berjam-jam lamanya, banyak di
antara penentang dapat diyakinkan, dan sistem perpajakan baru akhirnya diterima
dengan hanya sedikit sekali perubahan. Paket I undang-undang baru mulai
diberlakukan pada tanggal 31 Desember 1983, kira-kira satu tahun lebih cepat
dari yang diperkirakan orang.
RUU-KUP ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UUKUP), mulai berlaku sejak 1
Januari 1984. RUU-PPh ditetapkan menjadi UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (UUPPh) dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1984, sedangkan RUU PPN ditetapkan
menjadi UU nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (UUPPN) dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1984. Tetapi
karena sejumlah hambatan serta persiapan yang belum cukup, maka pada tanggal 16
Juni 1984 pelaksanaan UU PPN ditunda selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1986.
Dalam kenyataannya UU PPN sudah bisa diberlakukan mulai 1 April 1985.
Selama pembahasan RUU di DPR, memang banyak pihak – dari
berbagai displin ilmu, kalangan masyarakat – yang memberikan tanggapan, saran
dan juga kritik tajam. Pemberitaan, tajuk rencana dan artikel-artikel di
berbagai media massa
dengan gencar menampilkan pandangan yang beraneka ragam. Ada yang menulis dengan judul besar yang
membesarkan hati, tapi ada juga yang menyatakan tergesa-gesa bahkan menolak.
Dari banyak tanggapan spontan yang muncul pada hari-hari
pertama pengajuan RUU ke DPR, menurut
Dirjen Pajak Salamun AT, secara jujur harus diakui, sebagian besar menekankan pentingnya agar masalah mental aparatur pajak mendapat
perhatian pemerintah. Wakil Ketua Komisi VII DPR, anggota Fraksi Karya
Pembangunan, yang kemudian menjabat sebagai Ketua Panitia Khusus Bidang
Perpajakan yang membahas RUU tersebut – Novyan Kaman SH – misalnya mengatakan : “Selama ini acapkali terjadi
pembukuan ganda dan cara-cara damai di tempat antara petugas pajak dan Wajib
Pajak. Bahkan tidak jarang terjadi aparat pajak tidak menghayati tugas dan
fungsinya. Wajib Pajak selalu berada di pihak yang lemah, sedang aparat pajak menjadikan
diri bagai dewa”
Akan halnya Paket II yang terdiri dari dua RUU, pembahasan
lebih alot lagi, berlangsung intensif siang-malam selama 47 hari atau tujuh
hari lebih lama dibanding Paket I yang hanya 40 hari untuk tiga RUU. Ini
disebabkan RUU PBB menyangkut pajak kebendaan, dalam hal ini bumi dan bangunan.
Pajak kebendaan pada umumnya bersifat kaku dan lebih-lebih karena benda itu
adalah bumi atau tanah dan bangunan yang mencakup kepentingan masyarakat luas,
tidak peduli kaya atau miskin, maka bisa dimengerti kalau baik Pemerintah
maupun DPR amat hati-hati dalam menanganinya. Bahkan pada awal pembahasan
hampir semua fraksi di DPR menentang, termasuk fraksi pendukung Pemerintah
yaitu Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi ABRI.
Namun dengan dialog yang baik serta didukung oleh berbagai
alasan dan bahan-bahan referensi yang memadai, akhirnya RUU-PBB berhasil
dirumuskan dengan berbagai penyesuaian, serta ditetapkan menjadi Undang-Undang
nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UUPBB) yang mulai berlaku
tanggal 1 Januari 1986, sementara RUU-BM ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai
(UUBM) dan mulai berlaku 1 Januari 1986. (bersambung)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda