Kamis, 14 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (8): TIDAK ADA ORANG YANG SUKA PAJAK.





Premis ini menjadi pegangan dwitunggal pejabat tinggi yang waktu itu bertanggungjawab langsung atas masalah perpajakan. Mereka adalah Menteri Keuangan Radius Prawiro (alm) dan Direktur Jenderal Pajak Salamun AT (alm). Dengan senantiasa mengingat premis ini, mereka mengantarkan dua paket RUU Perpajakan tadi untuk dibahas di DPR, dan kemudian juga memasyarakatkan. Kebetulan keduanya adalah orang-orang yang penyabar dan pandai mendengar kata-kata orang, meski itu kata-kata kritis yang keras  bahkan cenderung kasar.

Bahkan semua politikus juga tidak menyukai pajak, demikian catatan Radius Prawiro tentang pembahasan RUU Pajak di DPR, dalam bukunya “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi” hal 334. Ia menulis lebih lanjut, memang  benar keluwesan teknis  serta kemantapan ekonomi dari undang-undang perpajakan baru Indonesia tidak cukup untuk menjamin sambutan yang hangat di kalangan politisi. Banyak di antara anggota DPR yang gigih menentang undang-undang baru tersebut karena banyak alasan, yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru tentang dampak undang-undang terhadap wajib pajak.

Dalam DPR yang diwakili 460 orang, terdapat pandangan-pandangan yang sama banyak tentang bagaimana undang-undang ini harus dimodifikasi.  Salah satu kelompok politik ingin menambah lebih dari tiga tarif, kelompok yang lain tidak percaya bahwa asas menilai sendiri (self assessment) dapat berhasil. Ada lagi yang menginginkan lebih banyak pengurangan. Ada pula kelompok-kelompok yang menentang PPN, dan yang lain lagi lebih menyukai status quo. Kelihatannya akan terjadi pertengkaran sengit menuju jalan buntu.

Melihat reaksi seperti itu, Radius melakukan pendekatan-pendekatan dengan meminta para pimpinan fraksi-fraksi DPR mengunjungi Radius di kantornya secara pribadi. Dalam pertemuan atau lobby-lobby personal yang jauh dari luapan emosi serta tekanan kelompok yang semakin meningkat di DPR, Ia mengingatkan  partner kerjanya di DPR itu, bahwa undang-undang lama yang harus dan akan  diganti dengan undang-undang baru, adalah undang-undang warisan orang-orang Belanda, dan dirancang  untuk mendukung rezim kolonial. Sebagai mantan anggota Tentara Pelajar di masa revolusi kemerdekaan, Radius menggunakan pendekatan semangat patriotisme dalam lobby-lobby tersebut.

Ia mengatakan, sistem warisan Belanda itu sama sekali tidak cocok  untuk kebutuhan-kebutuhan sebuah negara modern yang berhasrat menjadi sebuah negara industri. Radius mengingatkan bahwa kita semua telah turut berperang untuk kemerdekaan, dan sebagai patriot-patriot, saat itu kita telah berjanji, sebagaimana kita perlu tetap berjanji sekarang, untuk membasmi segala sisa-sisa yang merugikan serta menghambat kemajuan negara kita.
Dengan mengobarkan nostalgia perjuangan para politisi Senayan itu,  Radius memohon mereka bergabung dengan pendapat Kabinet dalam menciptakan sebuah dasar baru untuk kemerdekaan fiskal. Sistem perpajakan yang dianjurkan, katanya, dirancang bukan saja untuk menggantikan sebuah sistem perpajakan kuno, tetapi juga perlu  untuk usaha pemerintah menghilangkan ketergantungan nya pada minyak yang telah begitu lama mendominasi perekonomian Indonesia.

Setelah percakapan yang berjam-jam lamanya, banyak di antara penentang dapat diyakinkan, dan sistem perpajakan baru akhirnya diterima dengan hanya sedikit sekali perubahan. Paket I undang-undang baru mulai diberlakukan pada tanggal 31 Desember 1983, kira-kira satu tahun lebih cepat dari yang diperkirakan orang. 

RUU-KUP ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UUKUP), mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. RUU-PPh ditetapkan menjadi UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UUPPh) dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1984, sedangkan RUU PPN ditetapkan menjadi UU nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UUPPN) dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1984. Tetapi karena sejumlah hambatan serta persiapan yang belum cukup, maka pada tanggal 16 Juni 1984 pelaksanaan UU PPN ditunda selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1986. Dalam kenyataannya UU PPN sudah bisa diberlakukan mulai 1 April 1985.

Selama pembahasan RUU di DPR, memang banyak pihak – dari berbagai displin ilmu, kalangan masyarakat – yang memberikan tanggapan, saran dan juga kritik tajam. Pemberitaan, tajuk rencana dan artikel-artikel di berbagai media massa dengan gencar menampilkan pandangan yang beraneka ragam. Ada yang menulis dengan judul besar yang membesarkan hati, tapi ada juga yang menyatakan tergesa-gesa bahkan menolak.

Dari banyak tanggapan spontan yang muncul pada hari-hari pertama pengajuan RUU  ke DPR, menurut Dirjen Pajak Salamun AT, secara jujur harus diakui, sebagian besar  menekankan pentingnya  agar masalah mental aparatur pajak mendapat perhatian pemerintah. Wakil Ketua Komisi VII DPR, anggota Fraksi Karya Pembangunan, yang kemudian menjabat sebagai Ketua Panitia Khusus Bidang Perpajakan yang membahas RUU tersebut – Novyan Kaman SH – misalnya  mengatakan : “Selama ini acapkali terjadi pembukuan ganda dan cara-cara damai di tempat antara petugas pajak dan Wajib Pajak. Bahkan tidak jarang terjadi aparat pajak tidak menghayati tugas dan fungsinya. Wajib Pajak selalu berada di pihak yang lemah, sedang aparat pajak menjadikan diri bagai dewa”   

Akan halnya Paket II yang terdiri dari dua RUU, pembahasan lebih alot lagi, berlangsung intensif siang-malam selama 47 hari atau tujuh hari lebih lama dibanding Paket I yang hanya 40 hari untuk tiga RUU. Ini disebabkan RUU PBB menyangkut pajak kebendaan, dalam hal ini bumi dan bangunan. Pajak kebendaan pada umumnya bersifat kaku dan lebih-lebih karena benda itu adalah bumi atau tanah dan bangunan yang mencakup kepentingan masyarakat luas, tidak peduli kaya atau miskin, maka bisa dimengerti kalau baik Pemerintah maupun DPR amat hati-hati dalam menanganinya. Bahkan pada awal pembahasan hampir semua fraksi di DPR menentang, termasuk fraksi pendukung Pemerintah yaitu Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi ABRI.

Namun dengan dialog yang baik serta didukung oleh berbagai alasan dan bahan-bahan referensi yang memadai, akhirnya RUU-PBB berhasil dirumuskan dengan berbagai penyesuaian, serta ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UUPBB) yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986, sementara RUU-BM ditetapkan menjadi Undang-Undang  nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (UUBM) dan mulai berlaku 1 Januari 1986. (bersambung)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda