Sabtu
malam Minggu, 23 September 1995 itu mendung menggelayut di langit Jakarta. Meskipun
demikian, lebih seribu undangan dan panitia memenuhi halaman Masjid Istiqlal
guna mengikuti upacara pembukaan Festival Istiqlal II, yang semula direncanakan
hanya akan berlangsung selama satu bulan, tapi karena pengunjung terus
membludak maka akhirnya diperpanjang menjadi dua bulan.
Dalam
suasana mendung seperti itu, Presiden Soeharto menabuh bedug Sunan Ampel menandai
pembukaan Festival, yang langsung disambut oleh “rampak bedug”, bunyi alunan
berirama dari puluhan bedug yang membahana sampai membuat bulu roma berdiri.
Alhamdulillah
bersamaan dengan itu mendung sirna dan beberapa bintang mulai menampakkan diri.
Padahal sore menjelang maghrib, 3 orang panitia yaitu Ponco Sutowo (Ketua
Harian) Parni Hadi dan saya, dalam pengecekan akhir di depan panggung acara
mencemaskan cuaca yang mulai gerimis. Sempat mas Parni bertanya, “Upacara kita
ini open air, ngomong-omong kita pakai pawang hujan nggak?”. Saya langsung
menjawab, “Marilah kita bertiga yang menjadi pawangnya.” Yang disambut mas Parni “ Okey mari kita
berdoa memohon agar hujannya ditunda sampai selesai acara pembukaan”. Spontan
kami bertiga menengadahkan tangan seraya membaca Al Fatihah.
Rampak
bedug usai, disusul gerakan dinamis puluhan penari yang dipimpin oleh seniman
tari Tom Ibnur, yang selanjutnya disambung lagi oleh dentingan piano oleh
pianis dan komposer musik Trisuci Juliati Kamal yang mengalunkan tembang
“Ilir-Ilir”. Selesai acara dipanggung kehormatan, Presiden Soeharto dan tamu
negara Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad serta para undangan lainnya,
memasuki Masjid Istiqlal, yang langsung disambut oleh alunan gending dari
“Gamelan Sekaten” yang khusus didatangkan dari Surakarta.
Demikianlah,
ada tiga jenis senibudaya peninggalan masa lalu yang dipakai dalam menandai
pembukaan Festival Istiqlal II, yaitu festival senibudaya yang bernafaskan
Islam. Ketiga jenis senibudaya tersebut adalah bedug peninggalan Sunan Ampel,
tembang Ilir-Ilir dan gamelan Sekaten.
Tidak
ada tahun yang pasti kapan bedug mulai dikenal dan dipakai di Indonesia. Dari “google search”,
kata bedug itu konon disebut di dalam “Kidung Malat” (maaf, saya belum pernah
membaca sendiri naskah Kidung ini), sebuah karya sastra tentang cerita-cerita
Panji yang lazim di daerah Jawa Timur, yang diperkirakan ditulis pada sekitar abad 14 – 16 Masehi. Bedug
disebut sebagai alat komunikasi dan
penanda waktu.
Cornelis
de Houtman dalam catatan perjalanannya “D’eerste Boek” juga menyebutkan tentang
keberadaan bedug yang sudah meluas penggunaannya di abad ke-16. Di setiap
perempatan jalan di daerah Banten, ia melihat
bedug digantung dan di bunyikan sebagai penanda waktu serta alat
komunikasi. Namun demikian, jauh sebelum Masehi, yaitu sekitar 600 tahun
sebelum Masehi, sejenis alat yang menyerupai bedug tetapi dibuat dari bahan
baku perunggu, sudah ditemukan hampir di
seluruh Nusantara, dari Sumatera sampai ke pulau Alor di Nusa Tenggara Timur.
Alat itu disebut “nekara” atau “moko”. Begitu banyaknya moko di pulau Alor,
sehingga dalam dunia pariwisata pulau Alor disebut pulau ‘Seribu Moko”. Nekara
atau moko, dikenal pula sebagai “ metal drum” atau “kettle gong”. Nekara
terbesar di Asia Tenggara dan tertua di dunia ditemukan di Kabupaten Kepulauan
Selayar, dengan garis tengah 126 cm dan tinggi 95 cm.
Pemakaian
bedug sebagai penanda tibanya waktu 5
salat wajib dalam Islam adalah khas Nusantara, yang tidak dijumpai di
negara-negara lain. Alat komunikasi tradisional lainnya yang juga digunakan
seperti itu, adalah kentongan yang seluruhnya terbuat dari bahan baku kayu.
Menurut
kepercayaan masyarakat pantai utara Jawa khususnya Semarang, bedug pertama kali
dipakai sebagai penanda waktu salat di masjid Semarang, pada masa Adipati
Pandanaran atas petunjuk gurunya yaitu Sunan Kalijaga. Bedug yang ditabuh
Presiden Soeharto tadi, adalah bedug yang khusus didatangkan dari Masjid Ampel,
Surabaya, yang diyakini oleh masyarakat Surabaya sebagai
peninggalan Sunan Ampel.
Akan
halnya gamelan sekaten, dipercaya
sebagai gagasan Sunan Kalijaga tetapi dibuat pertama kali oleh Sunan Giri pada
masa pemerintahan Sultan Demak I, Raden Patah. Pada masa pemerintahan Sultan
Trenggana, gamelan ini dibawa ke Cirebon
sebagai hadiah perkawinan puterinya dengan Sunan Gunung Jati. Kata “sekaten”
berasal sahadaten atau dua kalimat
syahadat. Penciptaan gamelan ini dimaksudkan sebagai daya tarik masyarakat, dan
dibunyikan dalam bulan Maulud sebagai dakwah tentang Kanjeng Nabi Muhammad
Saw.
Masyarakat
yang tertarik mendengar bunyi gamelan yang unik, mendatangi mesjid Demak dengan
melalui pintu gerbang yang diberi nama gapuro, dari kata “Ghoffur”, yaitu salah
satu asma Allah yang berarti Yang Maha Pengampun. Di pintu ini rakyat mulai
diajari beristighfar, memohon ampun atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu.
Masuk pintu gapura, kemudian diajak bersuci mengambil air wudhu dan masuk ke
masjid.
Di
dalam masjid, kepada mereka diceritakan kisah Nabi Muhammad dan pakaian
keimanan (agama) yang baru. Agama dalam bahasa Jawa disebut agami, akronim dari
agemaning iman (pakaian keimanan). Selanjutnya masyarakat dibimbing mengucapkan
dua kalimat syahadat. Pulangnya mereka diberi oleh-oleh seperangkat kapur
sirih, kamal atau telor asin dan cambuk. Seperangkat kapur sirih yang terdiri
dari 5 macam bahan yaitu kapur, gambir,
tembakau, pinang atau jambe dan daun sirih, melambangkan 5 rukun Islam. Telor
asin atau kamal, mengisyaratkan rukun Islam tersebut harus segera diamalkan,
sedangkan cambuk mengandung makna harus
dilecut, dicambuk atau disegerakan.
Kebiasaan
ini sekarang masih dilestarikan. Di jajaran keraton Cirebon
dikenal sebagai acara “Panjang Jimat”, sedangkan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta tetap disebut
sebagai “Sekatenan”.
Setelah
gamelan “sekaten” yang pertama dibawa ke Cirebon, kemudian dibuat dua perangkat
gamelan yang baru, satu gamelan Kyai Guntur Madu yang sekarang ada di
Yogyakarta dan Kyai Guntur Sari yang sekarang ada di Surakarta. Namun demikian
ada dua pendapat yang berbeda tentang masa pembuatan kedua gamelan tersebut, yang pertama pada
masa Demak dan yang kedua pada masa Sultan Agung.
Sewaktu
Kerajaan Mataram di masa Raja Pakubuwono III pecah pada tahun 1754, menjadi
Kasunanan Surakarta dibawah Pakubuwono III dan Yogyakarta
dibawah Hamengkuwono I, gamelan itu pun dibagi dua. Kyai Guntur Sari di
Surakarta dan Kyai Guntur Madu di Yogyakarta. Agar masing-masing tetap bisa
memiliki dua perangkat, maka Pakubuwono IV membuat tiruan Kyai Guntur Madu,
sedangkan Hamengkubuwono I membuat tiruan Kyai Guntur Sari yang kemudian diberi
nama baru Kyai Nagawilaga.
Adapun
gamelan sekaten yang dibunyikan di Festival Istiqlal, adalah juga gamelan
tiruan yang dibuat oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta,
dengan para penabuh atau niyaga gabungan dari Kasunanan Surakarta dan ISI. Mereka resmi mewakili
Kasunanan dan dilepas dengan upacara resmi dari Keraton Kasunanan Surakarta
oleh Sinuwun Pakubuwono XII dan Ketua Umum Panitia Festival Istiqlal Mar’ie
Muhammad. Dari Solo gamelan ini dikirab atau dibawa dalam truk trailer besar
secara terbuka menuju Rembang, bertemu dan disatukan dalam satu rangkaian
dengan kirab bedug Sunan Ampel yang beberapa jam sebelumnya dilepas oleh Pak
Mar’ie Muhammad dari Surabaya.
Dari
Rembang, keduanya dibawa bagaikan sebuah pawai besar menuju Jakarta melalui pantai utara Jawa. Sampai di
Cirebon berbelok ke arah Bandung melalui
Sumedang, selanjutnya ke Jakarta melalui Bogor. Di setiap ibukota kabupaten yang disinggahi
dan beristirahat, diadakan penyambutan dengan tabligh akbar dan pertunjukan
kesenian daerah yang bernuansa Islami, termasuk membunyikan bedug Sunan Ampel
dan gamelan Sekaten. Di sepanjang jalan, masyarakat menyambut dengan gegap
gempita “Kirab Gamelan Sekaten dan Bedug
Sunan Ampel” yang juga diliput penuh oleh para wartawan tersebut.
Alhamdulillah, meskipun berparade secara terbuka hampir sepanjang pulau Jawa,
semuanya berjalan lancar, selamat dan sehat. Sebelum dan sesudah kirab tadi,
sampai sekarang saya belum pernah menyaksikan lagi ada parade seni budaya
dengan truk-truk trailer terbuka “segila”, eh, seluar biasa itu.
Depok, 25 Maret 2013.
1 Komentar:
jual bedug
jual bedug masjid
pengrajin bedug
harga bedug
harga bedug masjid
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda