LAMBAT ATAU CEPAT DOMINASI AKAN MEMBANGKITKAN PERLAWANAN.
Masalah kesenjangan sosial ekonomi
di Indonesia, nampaknya dalam waktu dekat belum akan reda, apalagi teratasi.
Jika pada tahun 1990-an indeks kesenjangan yang dikenal sebagai gini ratio itu
ada di sekitar angka 0,3 sampai 0,33 kini semakin memburuk menjadi di atas
0,43. Pada akhir dasa warsa 1980-an sampai awal 1990-an, sentimen rasial akibat
kesenjangan tersebut sangat terasa, sehingga berbagai upaya untuk mengatasinya
gencar dilakukan oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat ada periode itu
misalkan, Presiden Soeharto menggariskan kebijakan delapan jalur pemerataan,
serta beberapa kali mengadakan pertemuan dengan para konglomerat keturunan
Cina, yang kemudian dikenal sebagai pertemuan Tapos. Juga dilancarkan kebijakan
untuk menggunakan sekitar 5% keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buat
membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, kebijakan bapak angkat dengan
anak angkat di bidang usaha serta tambahan pungutan terhadap wajib pajak
menengah atas untuk masyarakat tidak mampu.
Di kalangan masyarakat, Pimpinan
Pusat Muhammadiyah yang dimotori oleh Wakil Ketua Umum, Lukman Harun, merangkul
sejumlah tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa dan tokoh
pembauran antara lain Junus Jahja, menyelenggarakan berbagai dialog dan
kerjasama dengan pengusaha-pengusaha ke- turunan Cina, untuk bersama-sama
mencari jalan keluar demi mewujudkan persatuan dan kehidupan berbangsa serta
bernegara yang aman, tenteram, damai sejahtera.
Rangkaian pertemuan tersebut mengilhami
sejumlah tokoh dari NU, Muhammadiyah, Al – Wasliyah, HMI, KAHMI, Al. Irsyad dan
LSM untuk kemudian pada tanggal 9 April 1991 mendirikan Yayasan Haji Karim Oei
Tjeng Hien, yang selanjutnya disingkat Yayasan Karim Oei atau YHKO, sebuah nama
yang kental dengan nuansa Islam, Indonesia dan Cina sekaligus. Ini sejalan
dengan alasan utama pendirian, yakni mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
melalui pembauran bisnis dan agama, terutama agama mayoritas masyarakat yaitu
Islam. Para pendiri meyakini, memperkuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat
pribumi juga harus dilaksanakan secara sistemis dan keberpihakan yang nyata,
kuat tapi sehat, karena pribumi yang kuat akan menjadi kunci utama bagi
pembauran. Three in One (3 in 1), tiga dalam satu wadah, satu gerakan, satu
perjuangan. Begitu kami sering menyebutnya.
Tak terasa, kini sudah 25 (dua puluh
lima) tahun usia YHKO. Banyak dari 20 pendiri dan perintisnya yang kini sudah
almarhum, uzur atau sepuh, dan hanya sekitar 3 sampai 7 orang saja yang masih
aktif. Demikian pula para sahabat pendukung termasuk para pejabat tinggi
negara.
Alhamdulillah selama 25 tahun, telah
banyak kegiatan yang dilaksanakan dan lebih dari seribu lima ratus orang yang
sudah kita bantu memeluk agama Islam. Pelbagai kegiatan yang terkait dengan 3
in 1 tadi, baik yang berskala lokal atau internal, nasional maupun
internasional telah kami selenggarakan, secara sendiri atau pun bekerjasama
dengan lembaga-lembaga lain. YHKO telah dan akan selalu memperjuangkan agar
bisa menjadi rumah yang indah lagi nyaman bagi segenap anak bangsa, terutama
bagi WNI keturunan Cina, dan lebih khusus agar menjadi muslimin dan muslimat
yang taat, nasionalis sejati yang sukses dalam kehidupan sosial ekonominya.
ASING – ASENG MEREBAK KEMBALI.
Bersamaan dengan kelahiran YHKO,
tata kehidupan dunia juga mengalami perubahan yang semakin mencolok. Semenjak
akhir abad ke 20, sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan
ilmu-teknologi yang super canggih, terjadi Gelombang Globalisasi yang
mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu
secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui
kebutuhan- kebutuhan palsu yang menyihir.
Dimensi rasionalitas yang ditata
dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik
demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah
mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup
masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.
Musik jiwa dimensi rasionalitas
dengan 3 (tiga) paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat
negara-negara bangsa, diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu
bangsa termasuk Indonesia, terutama pada aspek nasionalisme, sosial budaya,
kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme. Dalam hal
nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan
nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan
separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat,
menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan
vertikal.
Dalam aspek sosial budaya, Gelombang
Globalisasi menggelora- kan sex bebas dan sex sejenis dengan apa yang sekarang
kita kenal sebagai LGBT (Lesbian, Gay, Bisex dan Transexual), mengobarkan
budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-mate- rialitis dan
narsis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan –
gotong-royong, merusak serta meng- hancurkan moral masyarakat, kebudayaan,
adat, tradisi dan ke- arifan lokal,
Dalam aspek agama dan spiritualisme,
Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral
spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang memperkuat
spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat,
mengembangkan sekularisme dan secara khusus melakukan deislamisasi terhadap
pemeluk agama terbesar dan militan ini.
Gempuran dahsyat tersebut kini sudah
bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan bahkan peradaban
masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini sedang mabok dalam alunan
musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita
mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri,
yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa
“berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.”
Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan
kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.
Pola hidup masyarakat sedang
berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah
dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca
pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor
lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita
sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai
dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor.
Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral
dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik
semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal
asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di
sekitarnya tetap miskin.
Tak pelak lagi, kesenjangan sosial
ekonomi kembali merebak bahkan semakin melebar, sebagaimana ditunjukkan oleh
indeks kesenjangan di atas tadi, yang mendekati tanda bahaya. Suhariyanto,
Deputi Bidang Neraca dan Analisa Statistik BPS, dalam diskusi dengan para
pemimpin redaksi media massa April 2014 menjelas- kan, angka ketimpangan sosial
ekonomi Indonesia saat ini ter- cermin secara nyata dalam gini ratio Indonesia
yang tidak membaik sejak 2011 silam, yang berada di level 0,41.
Rasio gini berada di angka 0 hingga
1, yang dalam pengertian awam mencerminkan seberapa besar porsi orang kaya
menikmati kue ekonomi nasional. Semakin besar gini rasio, semakin besar tingkat
ketimpangan.
Gini rasio hingga 0,3 dianggap masih
aman, tetapi 0,4 hingga 0,6 sudah dianggap lampu kuning, sedangkan lebih dari
0,6 adalah rasio yang berbahaya, yang menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi
tak lagi bisa ditoleransi. Kondisi gini rasio yang masih relatif “hijau”
terjadi hingga tahun 2010, di mana posisinya masih di angka 0,38. Di era Orde
Baru, gini rasio berkisar 0,31-0,38.
Data BPS juga mengindikasikan
kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang makin melebar, jika dikonfrontasikan
dengan laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5%-6% dalam beberapa tahun
terakhir. Kelompok kaya lebih mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi
tersebut. Pada 2008, 40% penduduk di kelompok pendapatan terendah masih
menikmati PDB antara 21%- 23%. Namun porsi itu anjlok menjadi hanya 16% pada
2012.
Sebaliknya, 20% penduduk terkaya,
yang pada 2008 sudah menikmati 40% produk domestik bruto atau kue ekonomi
nasional, melonjak menjadi penikmat 49% kue ekonomi nasional pada 2012.
Ini terjadi, karena dari rata-rata
laju pertumbuhan ekonomi 6%, penduduk miskin hanya menikmati kenaikan
pendapatan maksimal 2% per tahun. Sebaliknya penduduk terkaya menikmati
kenaikan pendapatan hingga 8%. Artinya kenaikan pendapatan penduduk yang kaya
melonjak signifikan, sedangkan penduduk miskin meski pendapatannya naik tetapi
tidak besar. (http://finansial.bisnis.com/
read/20140419/9/220506/kesenjangan-kaya-miskin-vs-indeks-kebahagiaan-biar-
timpang-asal-bahagia). Kesenjangan tersebut semakin mengkuatirkan
jika kita menyimak laporan World Bank (Harian Kompas 8 Desember 2015) yang
menyatakan 1% keluarga terkaya di Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional.
Ini berarti sebagian besar yaitu 99%
keluarga Indonesia berebut kue nasional yang 49.7% . (catatan tambahan per
Januari 2017).
Ironisnya, di negeri kita tercinta
Indonesia ini, yang justru memprihatinkan, kelompok-kelompok yang paling
menikmati sumber daya alam dan kue pembangunan, adalah kelompok yang oleh
berbagai media massa terutama media sosial yang sangat luas jaringan dan
jangkauannya, dicirikan dan disebut Asing–Aseng, yang tiada lain adalah
orang-orang asing dan WNI keturunan Cina, yang secara kebetulan dalam keyakinan
beragama juga banyak berbeda dengan mayoritas penduduk.
Jadi berbeda dengan kaum minoritas
di banyak negara lain yang hanya mengandung satu unsur minoritas misalnya
suku/ras saja atau hanya agama saja, di Indonesia tidak demikian halnya. Mereka
mengumpulkan dua unsur minoritas sekaligus yaitu suku/ras dan agama, sehingga
dengan demikian potensi kerawanan sosialnya jauh lebih besar.
Posisi strategis Asing - Aseng
khususnya WNI keturunan Cina yang non muslim pada kegiatan ekonomi, dalam
praktek kehidupan adalah merupakan kekuasaan potensial dan aktual, yang
selanjutnya mudah merambah ke penguasaan sumber daya alam, penguasaan media
massa kemudian ke politik dan pemerintahan dan lain sebagainya, yang apabila
tidak diatasi secara sistemis strategis, maka akan menjadi gurita kekuasaan
yang mendominasi. Padahal dominasi hanya akan melahirkan pertentangan. Cepat
atau lambat, dominasi akan membangkitkan perlawanan.
Demi ikut mewujudkan persatuan dan
keharmonisan nasional antara lain dengan mengantisipasi dan mengatasi
kesenjangan sosial ekonomi yang menajam, serta dominasi kekuasaan yang berbasis
ekonomi yang diwarnai dengan perbedaan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan)
tersebutlah maka Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) pada tahun 1991 didirikan.
Dalam berbagai kesempatan, para
pendiri YHKO disamping berusaha keras mewujudkan pembauran, juga berkeyakinan
dan oleh sebab itu selalu menyatakan bahwa Indonesia harus memiliki pribumi
yang kuat, karena pribumi yang kuat merupakan kunci pembauran. Untuk itu pula
Pemerintah harus memiliki serta melaksanakan kebijakan strategis yang
menyeluruh dan terpadu, bukan hanya bersifat tambal sulam, emosional, dan
manipulatif, serta tidak pernah menyentuh persoalan utama yakni penguasaan
modal yang menyebabkan peta kompetisi menjadi sangat tidak seimbang. Yang juga
tidak kalah penting, adalah secara sungguh- sungguh tidak pandang bulu,
memberantas KKN (Korupsi – Kolusi - Nepotisme).
KEJAYAAN & KEHANCURAN PERADABAN.
Para pendiri Yayasan Karim Oei
memahami sejarah panjang dunia termasuk Indonesia, yang mengajarkan adanya
siklus kejajayaan dan kehancuran nan silih berganti tanpa henti akibat bencana
alam, perang dengan negara lain, perang saudara ataupun karena
pergolakan-pergolakan di dalam negara bahkan juga akibat kemerosotan
peradabannya. Demikian pula sejarah Nusantara.
Sejumlah peninggalan sejarah di Indonesia
membuktikan pernah berlangsungnya peradaban tinggi misalkan sejumlah candi di
pegunungan tinggi Dieng, candi Borobudur, puluhan candi di Prambanan dan
puing-puing rerentuhan Keraton Boko, semuanya di Jawa Tengah. Sementara itu
sejumlah candi serta bukti peninggalan peradaban yang sudah maju lainnya, juga
terdapat di berbagai pelosok Nusantara.
Di bidang pelayaran dan perdagangan,
beberapa sumber tulisan dari Barat sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas
Walisongo, Pustaka IIMaN, Trans Pustaka dan LTN PBNU, 2012, menyatakan pada
tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma,
dan semenjak abad ketiga Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah
menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di
antaranya bermigrasi ke Madagaskar.
Bukan hanya dari para pencatat
perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di
relief Candi Borobudur. Pada tahun 2003, pengrajin kapal dari Madura telah
membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat
tiruannya, sekaligus napaktilas pelayarannya. Kapal yang dinamai “Samudraraksa”
ini berlayar ke Afrika dengan selamat dan kini disimpan di Musium Kapal
Samudraraksa di Borobudur. (http:// www.tempo.co/read/news/2003/07/03/05521575/Ekspedisi-Kapal-Borobudur-
Dapat -Memberdayakan - Budaya dan http://setuparch.blogspot.com/2013/09/ kapal
- kapal-sriwijaya.html ). Replika berikutnya diberi nama “Spirit of Majapahit”,
diluncurkan menuju Jepang dari dermaga Marina, Jakarta pada 4 Juli 2010.
(http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=67324).
Pencatat sejarah China anak buah Fa
Hsien di akhir abad III dan awal abad IV Masehi menerangkan pula bahwa
pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya sekitar 200
kaki (65 meter), tinggi 20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu dimuati 600 – 700
orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara pada masa itu panjang jung
China tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki (3
– 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak
ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.
Ahli Javanologi Belanda, Van Hien
tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh
Capt. R.P. Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007
halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke
China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia berdiam lima bulan di
Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan
kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas Walisongo halaman 20).
Berbagai catatan sejarah menyatakan,
pada sekitar abad VII – XII Masehi, di pulau Sumatera juga berlangsung
pemerintahan Kerajaan Sriwijaya yang kekuasaannya meliputi Asia Tenggara
termasuk pulau Jawa. Puncak kejayaan Sriwijaya terjadi pada abad VIII.
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M),
seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan
sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah,
yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yangdapat
menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya.
Surat itu dikutip dalam Al-‘Iqd Al-Farid
karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit
berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu
Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir” Dari Raja sekalian para raja yang juga
adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja,
yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri
dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan
jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang
tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu
bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi
mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya
kepadaku.” (Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya, 1 Mei 2015 pukul 18.45 ).
Bukti tentang peradaban yang cukup
maju lainnya ditemukan pula melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan,
yang men- jelaskan mengenai setidaknya ada lima sistem irigasi yang tertata
baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9 sampai 14 di lembah Sungai
Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128).
Pun demikian kondisi pada sekitar abad
XV – XVI, tatkala para ulama gencar berdakwah ke Nusantara. Pamor Kerajaan
Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur, memang sedang
memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran kebesaran
peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires
dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah
Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit
oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283
dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar
Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477),
sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan
untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung
besar dari Jawa.
Demikianlah, dari sekilas gambaran
tadi kita bisa mempelajari siklus kejajayaan dan kehancuran negeri kita di masa
lampau sampai menjadi negara modern Indonesia sekarang ini, yang sudah barang
tentu memakan korban yang tidak sedikit. Kita tidak ingin kesenjangan sosial
ekonomi yang disertai unsur-unsur SARA menerpa Indonesia yang sekarang, yang
sedang mengalami ledakan penduduk menjadi sekitar 250 juta jiwa ini. Harus kita
syukuri, telah banyak kemajuan dan hal-hal postif yang kita capai. Namun begitu
masih banyak lagi tantangan dan ancaman di depan mata yang kita hadapi, yang
semoga dengan ridho dan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, akan kita atasi dengan kerja
keras, cepat dan tepat.
Kenyataan yang menuntut antisipasi
penanganan yang cepat dan tepat tersebut, mendorong Rapat Badan Pembina dan
Pengurus Karim Oei akhir 2015 yang lalu, untuk meningkatkan sumbangsihnya
dengan antara lain menerbitkan buku, yang kemudian kami beri judul : “Yayasan H
Karim Oei & Masjid Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA dan KETURUNAN
TIONGHOA.”, sekaligus mensyukuri ulang tahun YHKO yang ke 25 (duapuluh lima),
pada tanggal 9 April 2016. (Pengantar
buku: Yayasan H.Karim Oei & Masjid
Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA & KETURUNAN TIONGHOA, penerbit Teplok
Prees, telp 081382896969. Yayasan Karim Oei : 0216257413 dan 085717649127)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda