Tasawuf di
Kancah Pragmatisme dan Hedonisme Masyarakat
Zaman Edan.
Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada.
Artinya:
Mengalami hidup di zaman edan
(gila)
Sungguh repot lagi serba sulit
Mau ikut edan tidak tahan (tidak
bisa)
Jika tidak (mau) ikut menjalani
(edan)
Tidak akan kebagian
Akhirnya kelaparan
Namun sudah (menjadi) ketetapan
Allah
Sebesar apa pun keberuntungan orang
yang lupa (diri karena edan)
Masih lebih beruntung (bahagia)
orang yang ingat (Tuhan) dan waspada.
(Pujangga Ranggawarsita, Serat
Kalatida bait ke 7).
Bismillahirrahmanirrahim,
Shalawat dan salam bagi Junjungan Kanjeng Nabi Muhammad Saw,
keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Bagaimana kehidupan individu-individu dan komunitas masyarakat
Indonesia sekarang, khususnya yang beragama Islam? Apakah benar kita masih
patut disebut sebagai bangsa yang santun, ramah, sabar, rendah hati, hemat,
menghargai idealisme, senang bergotongroyong membantu sesamanya dan menjaga
tali silaturahmi? Yang islami, yang iklhas, tawadhu, tawakal dan seimbang dalam
mengelola kepentingan dunia dan akhirat?
Marilah
kita belajar dari kehidupan. Lihatlah gambaran keadaan di tempat-tempat umum,
di mana individu-individu berinteraksi dalam suatu komunitas. Banyak gambaran
kehidupan sehari-hari yang bisa dijadikan pelajaran. Ambil saja satu contoh
yaitu jalanan. Perhatikan mulai dari baliho, poster dan pamflet narsis dari
para elit baik tingkat kelurahan, kabupaten, propinsi sampai dengan nasional.
Di pasang di mana-mana seenaknya, dipaku menyakiti serta merusak pepohonan,
mengotori tembok dan jembatan, melintang sembarangan mengganggu jarak pandang
pengemudi. Belum lagi isinya, pamer, membanggakan diri dan mengumbar seribu
janji: ujub, riya dan mengobral amanah. Penyakit-penyakit hati yang ditakuti
oleh umat Islam, yang merupakan umat mayoritas di Indonesia. Naudzubillah.
Selanjutnya
amati perilaku pengemudi kendaraan bermotor dan suasana jalanannya.Trotoar
untuk rakyat kecil pejalan kaki, tersita habis oleh keserakahan pemilik toko
dan para pedagang, sehingga rakyat khususnya yang tak mampu harus berjalan
ekstra hati-hati. Sementara banyak kendaraan yang main serobot mengambil jalan
atau hak pengendara lainnya. Ada yang jalan seenaknya tak peduli menganggu
pengendara di belakang dan sekitarnya, karena sambil menelpon atau memainkan
telpon genggam. Ada pula yang melaju sembari membuang sampah di jalanan.
Bagaimana
angkutan umum? Banyak yang berhenti mendadak seenaknya. Juga banyak yang
ngetem, berhenti menunggu-menaikkan-menurunkan penumpang di tempat-tempat yang
terpampang larangan berhenti. Namun demikian, hati-hati bila timbul masalah di
perjalanan. Meskipun anda benar, tidak serta merta anda bisa menagih hak
berlalulintas anda, salah-salah bisa berujung pada perkelahian yang berbuntut
penyesalan. Naudzubillah.
Sungguh,
ciri-ciri masyarakat Indonesia yang dulu diunggulkan yaitu sopan, sabar,
tertib, penuh toleransi serta menghargai hak orang lain, gotongroyong, idealis,
hemat dan sejumlah budi luhur lainnya, ternyata tanpa kita sadari telah berubah
menjadi pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis.
Jika
kita pelajari sejarah strategi pembangunan, awal pergeseran tata nilai budi
luhur tersebut, dimulai pada awal Orde Baru tahun 1967, dengan digantinya
secara dramatis filosofi pembangunan yang menganut faham ideologi secara
ekstrim dan emosional, menjadi faham pragmatisme yang fokus pada hal-hal yang
bisa membuahkan hasil nyata. Tak pelak lagi, pragmatisme telah menghasilkan
perilaku “tujuan menghalalkan cara,” karena yang terpenting itu hasil dan bukan
caranya. Sungguh bagai ciri-ciri “Zaman Edan”, yang tidak ikut edan tak
kebagian.
Pragmatisme
mengubah tata nilai idealis menjadi tata nilai yang materialis. Karena itu
tidak mengherankan, bila dalam suatu pertemuan kekerabatan, tidak jarang topik
pembicaraan banyak berkisar pada soal rumah, villa, kendaraan dan sejumlah
masalah pesona dunia lainnya, yang di masa lalu dianggap tabu. Sungguh
memprihatinkan.
Indonesia Sebagai Pasar
Dengan Individu yang
Konsumtif.
Namun
demikian kita tidak perlu cepat kecil hati. Karena masyarakat yang pragmatis,
hedonis, individualis, materialis dan narsis tersebut ternyata bukan hanya
monopoli Indonesia saja, tapi juga masyarakat dunia pada umumnya dewasa ini.
Tanpa
kita sadari, kita telah menjadi bagian dari Masyarakat Tata Dunia Baru yang
dibentuk oleh Kapitalisme Global, baik dari Kapitalis Barat maupun Utara
khususnya China, dengan Divisi-Divisi Perang Semestanya, terutama Divisi-Divisi
Perang Asymetris atau non militer.
Beberapa
tahun sebelum Indonesia menggelorakan faham pragmatisme, seorang filsuf Jerman
, Herbert Marcuse, telah menerbitkan buku yang amat terkenal yang berjudul One
Dimensional Man, Manusia Satu Dimensi, untuk menggambarkan perkembangan
dari “kapitalisme lanjut” yang akan melancarkan perang dalam bentuk non militer
(sekarang terkenal dengan sebutan perang asymetris), dengan mendendangkan musik
jiwa yang dahsyat, yang menggalang alam pikiran manusia agar terpadu secara
total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia dengan
kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.
Alunan
musik jiwa itu ternyata segera terbukti menerjang bergulung-gulung berupa
Gelombang Globalisasi, bak Perang Semesta, yaitu perang yang tergolong paling
dahsyat, baik dalam bentuk perang asymetris (non militer) maupun Perang Militer
yang konvensional (http:// bwiwoho.blogspot.co.id/2014/02/kapitalisme-global-kekuatan-perang.html).
Gambaran
tentang masyarakat yang memuja pesona dunia bagi umat Islam, sesungguhnya bukan
sesuatu yang baru, sebab jauh sebelumnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sudah
pernah memperingatkan akan datangnya hal itu.
Syahdan
seusai Perang Badar yang heroik, Rasulullah meluruskan anggapan para sahabatnya
yang menyatakan Perang Badar sebagai perang besar yang menghasilkan kemenangan
dari segala kemenangan. Menurut beliau, kembali dari Perang Badar itu adalah
kembali dari perang yang sekecil-kecilnya.”Kita ini kembali dari peperangan
yang pal-ing kecil, menuju peperangan yang lebih besar, yaitu peperangan
melawan hawa nafsu.” Seorang sahabat bertanya, perang apa yang paling
utama. Baginda Rasul menjawab, “Engkau perangi hawa nafsumu.” Abu Daud
meriwayatkan sabda beliau, “Bukanlah orang yang gagah berani itu lantaran
dia cepat melompati musuhnya di dalam pertempuran, tetapi orang yang berani
ialah yang bisa menahan dirinya dari kemarahan.”
Demikianlah,
Perang Semesta yang menyertai Gelombang Globalisasi-II di akhir paruh abad 20,
merupakan perang moderen terdahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh
benteng-benteng batu nan kokoh dan meriam, melainkan perang dalam segala
bentuk, khususnya perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke
ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.
Demi
memenangkan peperangannya, para Kapitalis Global, baik Barat maupun Utara yang
pada umumnya non-muslim, terus berusaha
menggelorakan pesona gaya hidup beserta produk-produk konsumtifnya, dengan
akibat di samping kerusakan tata nilai budi luhur dan keagamaan, juga terkurasnya sumber daya alam
dan kerusakan lingkungan hidup. Masyarakat luas hanya dijadikan sebagai pasar
dengan individu-individunya yang konsumtif.
Sebagai
masyarakat yang sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis,
individualis, materialis dan narsis, kini kita mulai berubah menjadi masyarakat
yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi
mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai
formalitas. Pedoman hidup halal dan thoyib menjadi kabur.
Pola
hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif
berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita
senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita
telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan
barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat
sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih,
sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam,
seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit
bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong
serta bahan pokok di pedesaan, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha
besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap
miskin.
Karena
kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka dengan memahami
Perang Semesta Global, kita bisa menarik kesimpulan, gempuran perang asymetris dengan alunan musik
jiwanya masih akan terus berlangsung; sehingga agar kita bisa tetap eksis
bertahan sebagai umat Islam sekaligus sebagai negara bangsa , kita harus
membuat antisipasi yang memadai. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi kuli
bagi bangsa-bangsa lain (dijajah dalam berbagai bentuk) atau kuli di negara
lain (buruh di negara lain – Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri).
Tasawuf & Revolusi Mental
Tata
nilai kehidupan yang dibentuk oleh Kapitalisme Global tersebut, jika tidak
segera dihentikan dan direvolusi, sudah pasti akan segera menghancurkan diri
kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu
sangat dimungkinkan sejalan dengan kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang
menyatakan sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia ternyata
tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat
globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad
Hambatan Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).
Perubahan
total atas tata nilai hedonis dan lain-lainnya tadi, apakah disebut sebagai
Revolusi Mental, Revolusi Moral atau yang lain, sungguh sudah merupakan
keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan sekutunya tersebut, pada
hakikatnya adalah krisis moral yang akan
membawa bangsa Indonesia dan umat Islam masuk ke dalam pusaran krisis
multidimensi yang besar, berat dan kompleks.
Demi
menjadi bangsa dan umat yang besar, kuat, jaya dan makmur sejahtera di kancah
globalisasi, baik secara individu maupun secara kolektif, kita harus mampu
merevolusi mental dan moral yang merusak tadi, serta membangun kembali
jatidirinya yang mulia, selaku insan kamil yang senantiasa jujur dan apa
adanya, tahu diri, tahu menempatkan diri dan tahu membawa diri, yang hidup
dengan prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu BSM :
“Bersih – Sederhana – Mengabdi”. Tasawuf tidak berarti harus hidup menyepi,
tinggal di gunung, gua dan tempat-tempat sunyi dengan mengenakan pakaian amat
sederhana dan makan seadanya. Tasawuf adalah jalan kehidupan yang dilandasi
pada kebulatan hati pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dilakukan dengan tekun
ibadah dalam arti yang luas dan tidak cenderung pada kemewahan. Itulah BSM yang
akan banyak dikupas dalam buku ini.
Dengan
BSM maka segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan
kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan
serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian kepada masyarakat
banyak, kepada kemaslahatan umum dan bukan untuk kesenangan diri sendiri. Pola
hidup BSM yang sudah pernah dicanangkan oleh Yayasan Amanah Umat, Jakarta dan
dibacakan oleh Ketua Dewan Pembinanya Prof.K.H.Ali Yafie 12 Oktober 2005, harus
dikembangkan menjadi moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan ke
sektor-sektor kehidupan lainnya terutama dalam kebudayaan.
Dalam
budaya ekonomi, kita harus bisa mengobarkan perang terhadap sikap hidup yang
konsumtif dan boros, dengan membudayakan sikap hidup hemat, sederhana dan
menabung. Kita harus teguh memperjuangkan terwujudnya rahmatan lil alamin
dengan menggalang etos dan budaya industri secara hakikat dalam makna yang luas
yakni pola pikir, sikap hidup dan perilaku untuk mendayagunakan sumber daya
alam, ketrampilan, peralatan dan ketekunan kerja dalam suatu mata rantai
produksi yang luas, berkesinambungan serta mengutamakan nilai tambah, dan bukan
dalam arti sempit sebagaimana kita kenal selama ini, yang dibatasi hanya
semata-mata sebagai suatu proses pabrikasi.
Etos
dan budaya industri serta semangat mengabdi pada rakyat dan komunitas, yang
produktif berkesinambungan, mendayagunakan keunggulan lokal, yang melestarikan
eko sistem dan melakukan konservasi itu harus dikembangkan dalam sistem
kebersamaan dan kekeluargaan yang kita kenal sebagai gotongroyong, sehingga
mampu menggetarkan setiap pori-pori kehidupan anak bangsa dan umat.
Dalam
rangka Revolusi Mental dan Moral dengan prinsip-prinsip kehidupan yang sesuai
dengan ajaran tasawuf, maka para pemimpin umat, pemimpin negara, pemimpin
pemerintahan dengan segenap aparat birokrasi, penegak hukum, TNI – Polri serta
para elite nasional tingkat pusat dan daerah harus terlebih dahulu merevolusi mental
dan moralnya sendiri, serta menjadikan dirinya sebagai suri tauladan. Revolusi
Mental dan Moral harus menggelinding bagaikan bola salju yang makin lama makin
besar, dengan para pemimpin sebagai intinya. Revolusi Mental dan Moral harus
dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan cara berfikir serta moralitas
pemimpin masyarakat atau pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan
masyarakat, termasuk di dalamnya para ulama dan umara.
Para
tokoh masyarakat harus bangkit menghidupkan kembali budaya serta kearifan-kearifan
lokal suku-suku bangsa di Nusantara yang hidup rukun, damai, penuh toleransi,
gotongroyong dan unggul dalam seni dan ketrampilan. Para ulama khususnya ulama
muslim harus bisa membumikan ajaran dan kesalehan formal umatnya dalam berbagai
kegiatan dan perilaku amal saleh.
Apabila
para pemimpin dan rakyat bisa sama-sama hidup BSM: bersih – sederhana dan
mengabdi, niscaya solidaritas sosial dan saling kepercayaan yang kini kian
menipis, bisa digalang kembali. Sejarah di berbagai belahan bumi telah
mengajarkan, para pemimpin yang hebat adalah mereka yang senasib sepenanggungan
dengan rakyat serta bisa menghayati penderitaan rakyatnya. Jangan sampai
misalkan kepada umat, anak buah dan masyarakat diminta hidup hemat dan pesta
sederhana, sementara pemimpinnya berpesta pora hidup bergelimang kemewahan.
Jangan sampai bersemboyan sebagai abdi masyarakat, namun dalam praktek
kesaharian kita minta dilayani dan memeras masyarakat. Sudah menjadi rahasia
umum, di bidang usaha saja, boro-boro dilayani dengan baik, belum apa-apa, baru
mengurus ijin usaha saja sudah dikenai berbagai pungutan. Padahal usahanya
belum berjalan dan belum tentu memperoleh keuntungan, bahkan mungkin bisa
bangkrut.
Para
ulama dan pemimpin yang menghayati penderitaan rakyat dan visioner, akan dengan
mudah membangkitkan harapan rakyat atas masa depan yang gemilang di kancah
perang dan kompetisi global yang tak mungkin dihindari. Ulama dan
pemimpin-pemimpin yang seperti itu, yang pola hidupnya
bersih-sederhana-mengabdi, akan dengan mudah menggalang dukungan serta mengajak
umat dan rakyatnya bersama-sama mengatasi “Zaman Edan”, mewujudkan masa depan
nan gemilang.
Tetapi
jangan lupa, Pemimpin itu sesungguhnya bukan hanya Presiden, Gubernur dan
Bupati, melainkan kita semua, sebagaimana Sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw., “Semua
kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang imam
adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah
pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang
isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya.
Seorang karyawan (juga pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaan
(majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (Hadis
Bukhari dan Muslim).
Oleh
sebab itu, marilah kita bangun kepedulian dan kebersamaan kita sebagai bangsa
dengan jalan mempraktekkan pola hidup BSM. Pola hidup BSM akan membuat
perekonomian Indonesia bergeser dari perekonomian yang konsumtif menjadi
perekonomian yang produktif. Korupsi yang lebih berbahaya dan lebih jahat
dibanding terorisme akan dapat diberantas. Ekonomi berbiaya tinggi akan dapat
ditekan, sehingga daya saing In-donesia menjadi bagus. Devisa kita akan bisa
banyak dihemat dan dihimpun. Lapangan kerja akan banyak tersedia karena sektor
produksi tumbuh bagaikan pohon industri yang menjulang tinggi, berdahan dan
berbuah lebat serta kokoh subur tertanam dalam alam Nusantara yang sesuai.
Pengangguran
ditekan sekecil mungkin, sumber daya alam terkelola dengan baik dan tidak
dieksploitasi secara sembarangan. Lingkungan hidup terjaga dan terpelihara,
pertumbuhan sosial ekonomi akan merata ke segenap pelosok tanah air,
kesenjangan sosial terjembatani, keadilan sosial dapat ditegakkan, keamanan dan
ketertiban umum terpelihara baik lagi terkendali. Ekonomi rakyat, ekonomi umat
dengan demikian pasti akan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Nusantara Raya,
negeri maritim di zamrud khatulistiwa, yang aman tenteram, adil makmur,
sejahtera jaya sentosa. Allahumma aamiin. (Dari
buku Bertasawuf di Zaman Edan, penerbit
BukuRepublika, telp 081285304767)
1 Komentar:
Emang yah..masalah itu gak perna selesaii kalau gak berani mencoba,saya hampir bunuh diri gara-gara dililit hutang,saya sudah cari kemana-mana nomor togel gak perna tembus,dan secara kebetulan saya buka-buka internet,saya melihat postingan seseoran tentan MBAH SERO,katanya bisa memberikan angaka jitu ,jadi saya tlpn saya menceritakan semua kekurangan saya,dan beliau membantu saya 4d sgp tembus 100%,syukur alhamdulillah saya sudah bisa bayar hutang,rencana mau bangun rumah sendiri,karna cuma tinggal di kontrakan,anda terlilit hutang sudah lama belum terlunasi,jangan pusing lansung hubungi no: 082370357999 MBAH SERO..info lebih lengkap buka blog MBAH silahkan KLIK DISINI
dan dengan penuh harapan yakin dan percaya insya allah apa yang anda ingingkan pasti tercapai..
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda