Senin, 23 Januari 2017

Tasawuf di Kancah Pragmatisme dan Hedonisme Masyarakat






   

Tasawuf di Kancah Pragmatisme dan Hedonisme Masyarakat
 
Zaman Edan.
Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada.

Artinya:

Mengalami hidup di zaman edan (gila)
Sungguh repot lagi serba sulit
Mau ikut edan tidak tahan (tidak bisa)
Jika tidak (mau) ikut menjalani (edan)
Tidak akan kebagian
Akhirnya kelaparan
Namun sudah (menjadi) ketetapan Allah
Sebesar apa pun keberuntungan orang yang lupa (diri karena edan)
Masih lebih beruntung (bahagia) orang yang ingat (Tuhan) dan waspada.
(Pujangga Ranggawarsita, Serat Kalatida bait ke 7).

Bismillahirrahmanirrahim,
Shalawat dan salam bagi Junjungan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya.
     Bagaimana kehidupan individu-individu dan komunitas masyarakat Indonesia sekarang, khususnya yang beragama Islam? Apakah benar kita masih patut disebut sebagai bangsa yang santun, ramah, sabar, rendah hati, hemat, menghargai idealisme, senang bergotongroyong membantu sesamanya dan menjaga tali silaturahmi? Yang islami, yang iklhas, tawadhu, tawakal dan seimbang dalam mengelola kepentingan dunia dan akhirat?
Marilah kita belajar dari kehidupan. Lihatlah gambaran keadaan di tempat-tempat umum, di mana individu-individu berinteraksi dalam suatu komunitas. Banyak gambaran kehidupan sehari-hari yang bisa dijadikan pelajaran. Ambil saja satu contoh yaitu jalanan. Perhatikan mulai dari baliho, poster dan pamflet narsis dari para elit baik tingkat kelurahan, kabupaten, propinsi sampai dengan nasional. Di pasang di mana-mana seenaknya, dipaku menyakiti serta merusak pepohonan, mengotori tembok dan jembatan, melintang sembarangan mengganggu jarak pandang pengemudi. Belum lagi isinya, pamer, membanggakan diri dan mengumbar seribu janji: ujub, riya dan mengobral amanah. Penyakit-penyakit hati yang ditakuti oleh umat Islam, yang merupakan umat mayoritas di Indonesia. Naudzubillah.
Selanjutnya amati perilaku pengemudi kendaraan bermotor dan suasana jalanannya.Trotoar untuk rakyat kecil pejalan kaki, tersita habis oleh keserakahan pemilik toko dan para pedagang, sehingga rakyat khususnya yang tak mampu harus berjalan ekstra hati-hati. Sementara banyak kendaraan yang main serobot mengambil jalan atau hak pengendara lainnya. Ada yang jalan seenaknya tak peduli menganggu pengendara di belakang dan sekitarnya, karena sambil menelpon atau memainkan telpon genggam. Ada pula yang melaju sembari membuang sampah di jalanan.
Bagaimana angkutan umum? Banyak yang berhenti mendadak seenaknya. Juga banyak yang ngetem, berhenti menunggu-menaikkan-menurunkan penumpang di tempat-tempat yang terpampang larangan berhenti. Namun demikian, hati-hati bila timbul masalah di perjalanan. Meskipun anda benar, tidak serta merta anda bisa menagih hak berlalulintas anda, salah-salah bisa berujung pada perkelahian yang berbuntut penyesalan. Naudzubillah.
Sungguh, ciri-ciri masyarakat Indonesia yang dulu diunggulkan yaitu sopan, sabar, tertib, penuh toleransi serta menghargai hak orang lain, gotongroyong, idealis, hemat dan sejumlah budi luhur lainnya, ternyata tanpa kita sadari telah berubah menjadi pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis.
Jika kita pelajari sejarah strategi pembangunan, awal pergeseran tata nilai budi luhur tersebut, dimulai pada awal Orde Baru tahun 1967, dengan digantinya secara dramatis filosofi pembangunan yang menganut faham ideologi secara ekstrim dan emosional, menjadi faham pragmatisme yang fokus pada hal-hal yang bisa membuahkan hasil nyata. Tak pelak lagi, pragmatisme telah menghasilkan perilaku “tujuan menghalalkan cara,” karena yang terpenting itu hasil dan bukan caranya. Sungguh bagai ciri-ciri “Zaman Edan”, yang tidak ikut edan tak kebagian.
Pragmatisme mengubah tata nilai idealis menjadi tata nilai yang materialis. Karena itu tidak mengherankan, bila dalam suatu pertemuan kekerabatan, tidak jarang topik pembicaraan banyak berkisar pada soal rumah, villa, kendaraan dan sejumlah masalah pesona dunia lainnya, yang di masa lalu dianggap tabu. Sungguh memprihatinkan. 

Indonesia Sebagai Pasar
Dengan Individu yang
Konsumtif.

Namun demikian kita tidak perlu cepat kecil hati. Karena masyarakat yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis tersebut ternyata bukan hanya monopoli Indonesia saja, tapi juga masyarakat dunia pada umumnya dewasa ini.
Tanpa kita sadari, kita telah menjadi bagian dari Masyarakat Tata Dunia Baru yang dibentuk oleh Kapitalisme Global, baik dari Kapitalis Barat maupun Utara khususnya China, dengan Divisi-Divisi Perang Semestanya, terutama Divisi-Divisi Perang Asymetris atau non militer.
Beberapa tahun sebelum Indonesia menggelorakan faham pragmatisme, seorang filsuf Jerman , Herbert Marcuse, telah menerbitkan buku yang amat terkenal yang berjudul One Dimensional Man, Manusia Satu Dimensi, untuk menggambarkan perkembangan dari “kapitalisme lanjut” yang akan melancarkan perang dalam bentuk non militer (sekarang terkenal dengan sebutan perang asymetris), dengan mendendangkan musik jiwa yang dahsyat, yang menggalang alam pikiran manusia agar terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia dengan kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.
Alunan musik jiwa itu ternyata segera terbukti menerjang bergulung-gulung berupa Gelombang Globalisasi, bak Perang Semesta, yaitu perang yang tergolong paling dahsyat, baik dalam bentuk perang asymetris (non militer) maupun Perang Militer yang konvensional (http:// bwiwoho.blogspot.co.id/2014/02/kapitalisme-global-kekuatan-perang.html).
Gambaran tentang masyarakat yang memuja pesona dunia bagi umat Islam, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, sebab jauh sebelumnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sudah pernah memperingatkan akan datangnya hal itu.
Syahdan seusai Perang Badar yang heroik, Rasulullah meluruskan anggapan para sahabatnya yang menyatakan Perang Badar sebagai perang besar yang menghasilkan kemenangan dari segala kemenangan. Menurut beliau, kembali dari Perang Badar itu adalah kembali dari perang yang sekecil-kecilnya.”Kita ini kembali dari peperangan yang pal-ing kecil, menuju peperangan yang lebih besar, yaitu peperangan melawan hawa nafsu.” Seorang sahabat bertanya, perang apa yang paling utama. Baginda Rasul menjawab, “Engkau perangi hawa nafsumu.” Abu Daud meriwayatkan sabda beliau, “Bukanlah orang yang gagah berani itu lantaran dia cepat melompati musuhnya di dalam pertempuran, tetapi orang yang berani ialah yang bisa menahan dirinya dari kemarahan.”
Demikianlah, Perang Semesta yang menyertai Gelombang Globalisasi-II di akhir paruh abad 20, merupakan perang moderen terdahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh dan meriam, melainkan perang dalam segala bentuk, khususnya perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.
Demi memenangkan peperangannya, para Kapitalis Global, baik Barat maupun Utara yang pada umumnya non-muslim,  terus berusaha menggelorakan pesona gaya hidup beserta produk-produk konsumtifnya, dengan akibat di samping kerusakan tata nilai budi luhur dan  keagamaan, juga terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup. Masyarakat luas hanya dijadikan sebagai pasar dengan individu-individunya yang konsumtif.
Sebagai masyarakat yang sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis, kini kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas. Pedoman hidup halal dan thoyib menjadi kabur.
Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong serta bahan pokok di pedesaan, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin.
Karena kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka dengan memahami Perang Semesta Global, kita bisa menarik kesimpulan,  gempuran perang asymetris dengan alunan musik jiwanya masih akan terus berlangsung; sehingga agar kita bisa tetap eksis bertahan sebagai umat Islam sekaligus sebagai negara bangsa , kita harus membuat antisipasi yang memadai. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi kuli bagi bangsa-bangsa lain (dijajah dalam berbagai bentuk) atau kuli di negara lain (buruh di negara lain – Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri).

Tasawuf & Revolusi Mental 

Tata nilai kehidupan yang dibentuk oleh Kapitalisme Global tersebut, jika tidak segera dihentikan dan direvolusi, sudah pasti akan segera menghancurkan diri kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu sangat dimungkinkan sejalan dengan kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang menyatakan sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia ternyata tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hambatan Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).
Perubahan total atas tata nilai hedonis dan lain-lainnya tadi, apakah disebut sebagai Revolusi Mental, Revolusi Moral atau yang lain, sungguh sudah merupakan keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan sekutunya tersebut, pada hakikatnya adalah krisis moral yang akan  membawa bangsa Indonesia dan umat Islam masuk ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.
Demi menjadi bangsa dan umat yang besar, kuat, jaya dan makmur sejahtera di kancah globalisasi, baik secara individu maupun secara kolektif, kita harus mampu merevolusi mental dan moral yang merusak tadi, serta membangun kembali jatidirinya yang mulia, selaku insan kamil yang senantiasa jujur dan apa adanya, tahu diri, tahu menempatkan diri dan tahu membawa diri, yang hidup dengan prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu BSM : “Bersih – Sederhana – Mengabdi”. Tasawuf tidak berarti harus hidup menyepi, tinggal di gunung, gua dan tempat-tempat sunyi dengan mengenakan pakaian amat sederhana dan makan seadanya. Tasawuf adalah jalan kehidupan yang dilandasi pada kebulatan hati pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dilakukan dengan tekun ibadah dalam arti yang luas dan tidak cenderung pada kemewahan. Itulah BSM yang akan banyak dikupas dalam buku ini.
Dengan BSM maka segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian kepada masyarakat banyak, kepada kemaslahatan umum dan bukan untuk kesenangan diri sendiri. Pola hidup BSM yang sudah pernah dicanangkan oleh Yayasan Amanah Umat, Jakarta dan dibacakan oleh Ketua Dewan Pembinanya Prof.K.H.Ali Yafie 12 Oktober 2005, harus dikembangkan menjadi moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan ke sektor-sektor kehidupan lainnya terutama dalam kebudayaan.
Dalam budaya ekonomi, kita harus bisa mengobarkan perang terhadap sikap hidup yang konsumtif dan boros, dengan membudayakan sikap hidup hemat, sederhana dan menabung. Kita harus teguh memperjuangkan terwujudnya rahmatan lil alamin dengan menggalang etos dan budaya industri secara hakikat dalam makna yang luas yakni pola pikir, sikap hidup dan perilaku untuk mendayagunakan sumber daya alam, ketrampilan, peralatan dan ketekunan kerja dalam suatu mata rantai produksi yang luas, berkesinambungan serta mengutamakan nilai tambah, dan bukan dalam arti sempit sebagaimana kita kenal selama ini, yang dibatasi hanya semata-mata sebagai suatu proses pabrikasi.
Etos dan budaya industri serta semangat mengabdi pada rakyat dan komunitas, yang produktif berkesinambungan, mendayagunakan keunggulan lokal, yang melestarikan eko sistem dan melakukan konservasi itu harus dikembangkan dalam sistem kebersamaan dan kekeluargaan yang kita kenal sebagai gotongroyong, sehingga mampu menggetarkan setiap pori-pori kehidupan anak bangsa dan umat.
Dalam rangka Revolusi Mental dan Moral dengan prinsip-prinsip kehidupan yang sesuai dengan ajaran tasawuf, maka para pemimpin umat, pemimpin negara, pemimpin pemerintahan dengan segenap aparat birokrasi, penegak hukum, TNI – Polri serta para elite nasional tingkat pusat dan daerah harus terlebih dahulu merevolusi mental dan moralnya sendiri, serta menjadikan dirinya sebagai suri tauladan. Revolusi Mental dan Moral harus menggelinding bagaikan bola salju yang makin lama makin besar, dengan para pemimpin sebagai intinya. Revolusi Mental dan Moral harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan cara berfikir serta moralitas pemimpin masyarakat atau pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya para ulama dan umara.
Para tokoh masyarakat harus bangkit menghidupkan kembali budaya serta kearifan-kearifan lokal suku-suku bangsa di Nusantara yang hidup rukun, damai, penuh toleransi, gotongroyong dan unggul dalam seni dan ketrampilan. Para ulama khususnya ulama muslim harus bisa membumikan ajaran dan kesalehan formal umatnya dalam berbagai kegiatan dan perilaku amal saleh.
Apabila para pemimpin dan rakyat bisa sama-sama hidup BSM: bersih – sederhana dan mengabdi, niscaya solidaritas sosial dan saling kepercayaan yang kini kian menipis, bisa digalang kembali. Sejarah di berbagai belahan bumi telah mengajarkan, para pemimpin yang hebat adalah mereka yang senasib sepenanggungan dengan rakyat serta bisa menghayati penderitaan rakyatnya. Jangan sampai misalkan kepada umat, anak buah dan masyarakat diminta hidup hemat dan pesta sederhana, sementara pemimpinnya berpesta pora hidup bergelimang kemewahan. Jangan sampai bersemboyan sebagai abdi masyarakat, namun dalam praktek kesaharian kita minta dilayani dan memeras masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, di bidang usaha saja, boro-boro dilayani dengan baik, belum apa-apa, baru mengurus ijin usaha saja sudah dikenai berbagai pungutan. Padahal usahanya belum berjalan dan belum tentu memperoleh keuntungan, bahkan mungkin bisa bangkrut.
Para ulama dan pemimpin yang menghayati penderitaan rakyat dan visioner, akan dengan mudah membangkitkan harapan rakyat atas masa depan yang gemilang di kancah perang dan kompetisi global yang tak mungkin dihindari. Ulama dan pemimpin-pemimpin yang seperti itu, yang pola hidupnya bersih-sederhana-mengabdi, akan dengan mudah menggalang dukungan serta mengajak umat dan rakyatnya bersama-sama mengatasi “Zaman Edan”, mewujudkan masa depan nan gemilang.
Tetapi jangan lupa, Pemimpin itu sesungguhnya bukan hanya Presiden, Gubernur dan Bupati, melainkan kita semua, sebagaimana Sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw., “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan (juga pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaan (majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (Hadis Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, marilah kita bangun kepedulian dan kebersamaan kita sebagai bangsa dengan jalan mempraktekkan pola hidup BSM. Pola hidup BSM akan membuat perekonomian Indonesia bergeser dari perekonomian yang konsumtif menjadi perekonomian yang produktif. Korupsi yang lebih berbahaya dan lebih jahat dibanding terorisme akan dapat diberantas. Ekonomi berbiaya tinggi akan dapat ditekan, sehingga daya saing In-donesia menjadi bagus. Devisa kita akan bisa banyak dihemat dan dihimpun. Lapangan kerja akan banyak tersedia karena sektor produksi tumbuh bagaikan pohon industri yang menjulang tinggi, berdahan dan berbuah lebat serta kokoh subur tertanam dalam alam Nusantara yang sesuai.
Pengangguran ditekan sekecil mungkin, sumber daya alam terkelola dengan baik dan tidak dieksploitasi secara sembarangan. Lingkungan hidup terjaga dan terpelihara, pertumbuhan sosial ekonomi akan merata ke segenap pelosok tanah air, kesenjangan sosial terjembatani, keadilan sosial dapat ditegakkan, keamanan dan ketertiban umum terpelihara baik lagi terkendali. Ekonomi rakyat, ekonomi umat dengan demikian pasti akan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Nusantara Raya, negeri maritim di zamrud khatulistiwa, yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera jaya sentosa. Allahumma aamiin. (Dari buku Bertasawuf di Zaman Edan, penerbit BukuRepublika, telp 081285304767)

1 Komentar:

Blogger Unknown mengatakan...

Emang yah..masalah itu gak perna selesaii kalau gak berani mencoba,saya hampir bunuh diri gara-gara dililit hutang,saya sudah cari kemana-mana nomor togel gak perna tembus,dan secara kebetulan saya buka-buka internet,saya melihat postingan seseoran tentan MBAH SERO,katanya bisa memberikan angaka jitu ,jadi saya tlpn saya menceritakan semua kekurangan saya,dan beliau membantu saya 4d sgp tembus 100%,syukur alhamdulillah saya sudah bisa bayar hutang,rencana mau bangun rumah sendiri,karna cuma tinggal di kontrakan,anda terlilit hutang sudah lama belum terlunasi,jangan pusing lansung hubungi no: 082370357999 MBAH SERO..info lebih lengkap buka blog MBAH silahkan KLIK DISINI
dan dengan penuh harapan yakin dan percaya insya allah apa yang anda ingingkan pasti tercapai..

11 April 2017 pukul 21.27  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda