Kajian & Latihan
Seni Mocopat Seri 4, Sabtu Wage, 7 Mulud 1951 (25 November 2017).
Kajian Mocopat Paguyuban Suluk Nusantara Sabtu tg 28
Oktober 2017 tentang Serat Centhini Bab Obat-Obatan, ditutup dengan uraian
bahwa ramuan obat hanyalah salah satu sarana.Masih ada sarana lain seperti
disinggung dalam Bab 253 Centhini yaitu waktu pengobatan yang tepat. Di samping
itu masih diperlukan jalan yang berupa penyatuan secara harmonis antara cipta-rahsa-karsa.
Itu pun masih belum cukup. Demi memperoleh kesembuhan dan kesehatan yang
barokah, harus punya landasan hakikat penyembuhan, yakni kersaning Allah, ridho
Gusti Allah. Bagaimana meraihnya? Insya Allah dalam Kajian Bagaimana
Mengamalkan Ajaran Suluk Kidung Kawedar Sunan Kalijaga hal tersebut akan kita
bahas secara bertahap, setapak demi setapak. Untuk itu marilah kita simak dan
tembangkan:
Bait 6 :
Wiji
sawiji mulane dadi,
apan
pencar saisining jagad,
kasamadan
dening Date,
kang
maca kang angrungu,
kang
anurat miwah nyimpeni,
dadi
ayuning badan,
kinaryo
sesembur,
yen
winacakna ing toya,
kinarya
dus rara tuwa aglis rabi,
wong
edan nuli waras.
Artinya
:
Semula hanyalah sebuah benih,
kemudian tersebar memenuhi alam raya,
karena berkah dari Dzat (Yang Maha
Kuasa),
siapa yang membaca dan mendengar
(tentang hal itu),
siapa yang menuliskan maupun yang
menyimpan,
akan memperoleh keselamatan,
bisa dijadikan doa,
yang bila dibacakan di air,
dipakai mandi perawan tua akan cepat
menikah,
orang gila pun menjadi sembuh.
Bait 7 :
Lamun
ana wong kadhendha kaki,
wong
kabanda lan kabotan utang,
yogya
wacanen den age,
ing
wanci tengah dalu,
ping
salawe wacanen ririh,
luwar
ingkang kabanda,
kang
kadhendha wurung,
aglis
nuli sinauran,
mring
Hyang Suksma kang utang puniku singgih,
kang
agring dadi waras.
Artinya
:
Bila ada orang yang didenda
(maksudnya di sini dihukum),
orang yang diikat tangannya
(maksudnya ditangkap) dan terbelit
hutang,
baik bila segera membaca (kidung
ini),
di kala tengah malam,
sebanyak 25 kali secara lirih,
yang ditangkap akan dilepaskan,
yang dihukum akan bebas,
(yang berhutang) akan segara
dibayarkan,
oleh Sang Hyang Suksma (Tuhan Yang
Maha Gaib)
sehingga yang berhutang menjadi baik
namanya,
yang sakit menjadi sembuh.
Bait 8 :
Sapareke
bisa anglakoni,
amutiha
lawan anawaa,
patang
puluh dina wae,
lan
tangi wektu subuh,
miwah
sabar sukur ing Widhi,
Insya
Allah tinekanan,
sakarsa
nireku,
tumrap
sanak rayatira,
awit
saking sawab pangiketing ngelmi,
duk
aneng Kalijaga.
Artinya
:
Barang siapa dapat melakukan,
berpuasa dengan hanya makan nasi dan
air putih saja
(tawar serta tanpa garam dan gula),
selama 40 hari,
dan bangun di kala subuh,
serta sabar dan bersyukur kepada Yang
Maha Esa,
Insya Allah terkabul,
segala kehendaknya,
bagi sanak saudara dan kerabat,
berkat karomah ilmu,
yang diperoleh tatkala menjadi
Penjaga Sungai (beruzlah di pinggir sungai).
Bait 9 :
Lamun
arsa tulus nandur pari,
puwasaa
sawengi sadina,
iderana
galengane,
wacanen
kidung iku,
kabeh
ama pan samya wedi,
yen
sira lunga aprang,
wateken
ing sekul,
antuka
tigang pulukan,
mungsuhira
sirep datan nedya wani,
rahayu
ing payudan.
Artinya
:
Bila menghendaki sukses dalam
bertanam padi,
berpuasalah semalam sehari,
kelilingi pematang sawahnya,
seraya membaca Kidung ini,
maka semua hama akan takut,
bila kau hendak berangkat perang,
bacakan kidung ini pada nasi,
makanlah sebanyak tiga suapan tangan,
maka keberanian musuhmu akan lenyap,
sehingga selamat di medan perang.
Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso
Ing Wengi ini disyiarkan ke masyarakat pada saat budaya tulis belum berkembang,
maka sungguh tepat dibuat dalam bentuk tembang mocopat sehingga segera
disenangi masyarakat. Bahkan sampai sekarang, bisa dipastikan semua grup
kesenian Jawa khususnya karawitan atau gamelan Jawa, para dalang pewayangan dan
pesinden (penyanyi tembang-tembang Jawa), tak peduli Islam atau bukan, bisa
menyanyikan Kidung Kawedar.
Namun demikian lantaran panjang,
yaitu terdiri dari 46 pupuh atau bait, jarang yang hafal semuanya di luar
kepala. Begitu pun dalam hal isi baris, kadang-kadang ada perbedaan meski pun hanya
kecil dan tidak terlalu mendasar. Sebagai contoh pada bait 2, kata terakhir
dari baris kedua ada yang menyebut mirunda
dan ada yang miruna, baris ketiga pangulune dan ada yang pandulune, baris ketujuh ada yang
menyebut tutut ada pula yang lulut. Kemudian baris kesembilan bait 6,
ada yang menyebut rabi dan ada pula yang laki. Baris kelima bait 8, ada yang menyebut miwah tapi ada juga yang lan
den. Yang agak berbeda makna adalah bait 5 baris kedua, karena ada yang
berbunyi kang minangka rahayuning
ngangga, sedangkan versi lain Siti
Aminah rahyuning angga.
Dalam hal versi tulis, kita bersyukur
seni sastra di Keraton Kasunan Surakarta berkembang pesat pada abad XVII – XIX,
sehingga Kidung Kawedar ini bisa dihimpun dalam huruf Jawa. Selanjutnya oleh
pujangga Kyai Ronggo Sutrasno, himpunan tersebut disalin ke dalam huruf Latin,
dan oleh R.Wiryapanitra Kusumodiningrat, dibuatkan terjemahannya. Terjemahan
serta tafsir pertama Kidung Kawedar itu pada tahun 1912 dicetak oleh Penerbit
Tan Koen Swi, Kediri.
Dari versi penerbit Tan Koen Swi
inilah kita sekarang bisa menemukan Kidung Kawedar secara lengkap 46 bait, baik
dalam bentuk berbagai cetakan maupun versi media sosial online, antara lain di blog http://alangalangkumitir.wordpress.com/2010/10/27/serat-kidungan-kawedar/ sebagaimana penulis baca pada 20
September 2014. Dalam bentuk buku saku, versi R.Wiryapanitra tersebut dengan
beberapa perbedaan kecil, juga diterbitkan oleh Dahara Prize, Semarang 1995. Meski
berasal dari sumber yang sama terdapat sejumlah perbedaan antara versi Dahara
dan versi online Alangalang Kumitir.
Dalam tafsir ini, penulis menggunakan
semua sumber tersebut, terutama bait-bait versi cetak Dahara Prize, dengan
beberapa perubahan sesuai pengalaman serta rasa batin penulis, sebagai orang
yang dilahirkan dan dibesarkan di daerah Pantura Jawa, yang semenjak kecil
sudah agak akrab dengan tembang-tembang ciptaan Walisongo, khususnya Sunan
Kalijaga.
Dalam bait ketiga sampai dengan
kelima, Sunan Kalijaga memperkenalkan istilah dan nama-nama tokoh yang bagi
orang Jawa betul-betul baru sama sekali. Ada malaikat, rasul, Adam, Musa, Isa,
Yakob, Yusuf, Dawud, Sulaeman, Ibrahim, Idris, Ayub, Nuh, Yunus, Muhammad,
Abubakar, Umar, Usman, Ali dan Fatimah.
Memang Kidung Kawedar tidak
menjelaskan secara terinci sejarah dari para nabi, sahabat dan keluarga Kanjeng
Nabi Muhammad tersebut. Tetapi marilah kita coba menerapkan pada diri kita
sendiri, baik dalam posisi sebagai penutur atau pun sebagai pendengar. Selaku
pendengar, kita pasti ingin tahu lebih jauh tentang tokoh yang disebut penutur
memiliki kemampuan dan karomah luar biasa, sehingga patut menyatu dalam diri
kita, yang
selanjutnya akan kita jadikan sebagai senjata andalan dalam kehidupan.
Sebaliknya sebagai penutur, kita pun
akan berusaha menjelaskan lebih terperinci siapa tokoh-tokoh atau orang-orang
yang kita jagokan, dan mengapa patut kita jadikan panutan serta andalan. Oleh
sebab itu tidak mengherankan apabila bagi masyarakat Jawa kebanyakan meskipun
Islam Abangan bahkan Islam KTP, yaitu mengaku beragama Islam sekedar demi
mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk, sedikit banyak akan mengenal
misalkan Nabi Nuh dengan kisah perahunya dan Nabi Yusuf yang selalu dijadikan
idola dalam berdoa selamatan atau tasyakuran tujuh bulan kehamilan.
Dalam doa memohon keselamatan bagi
ibu dan bayi yang sedang dikandungnya, sekaligus juga dipanjatkan harapan agar
sang bayi memiliki aura ketampanan Nabi Yusuf, yang dikisahkan di dalam suatu
perjamuan ibu-ibu, para hadirin diminta masing-masing mengupas buah-buahan
dengan sebilah pisau nan tajam. Guna menguji reaksi ibu-ibu itu, maka pada saat
seperti itu Nabi Yusuf diminta melintas. Apa yang terjadi? Hadirin terpana
dengan ketampanan Nabi Yusuf, sampai-sampai tanpa sadar mereka salah kupas
buah, bukan buah-buahan melainkan menggores tangannya sendiri sehingga terluka.
Siapakah yang tidak ingin anak
keturunannya tampan atau cantik? Begitu luar biasa ketampanan Nabi Yusuf, sampai menjadi idaman
agar Gusti Allah berkenan mengaruniakan kepada sang
jabang bayi, agar jika lahir pria akan tampan dan bila perempuan akan cantik
jelita.
Pengetahuan terhadap agama baru
dengan para tokoh panutannya tersebut, menjadi benih keyakinan. Meskipun baru
atau hanya sebutir, benih itu akan tumbuh subur beranak pinak menyebar ke
segenap penjuru dunia, ke jagad raya, karena memperoleh berkah dari Dzat Yang
Maha Kuasa. Keyakinan itu akan membuahkan keselamatan kepada siapa saja yang
membaca, yang menyimak mendengarkan, yang menuliskan dan yang menyimpannya.
Bahkan bisa menjadi sumber segala doa, yang bila dibacakan di air dan airnya
dipakai mandi oleh seorang perawan tua, maka sang perawan akan segera menemukan
jodohnya dan segera menikah. Jika diberikan kepada orang gila maka insya Allah
akan sembuh (bait 6).
Dalam bait 6 terdapat kata sesembur,
yaitu salah satu cara pengobatan atau pemberian doa restu, yang biasa dilakukan
oleh orang yang dituakan atau yang dianggap memiliki kemampuan batin yang
tinggi. Setelah berdoa, si orang tua kemudian dengan mulutnya, meniup sampai
mengeluarkan bunyi desis ke ubun-ubun atau dahi atau bagian-bagian tertentu si
sakit atau orang yang didoakan.
Dengan berkah Dzat Yang Maha Kuasa
itu pula, keyakinan yang ditanamkan oleh Kidung Kawedar, mampu menolong
orang-orang yang sedang berperkara, yang dihukum, ditahan dan yang terbebani
hutang (bait 7). Persis seperti Gusti Allah menolong para nabi dan rasul yang
menghadapi kesulitan betapa pun beratnya. Api yang dinyalakan oleh punggawa
Raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim, dengan pertolongan Dzat Yang Maha Esa, Yang Maha Gaib, berubah menjadi sedingin air; bahtera
Nabi Nuh mampu menampung dan menyelamatkan makhluk-makhlukNya demi meneruskan
kehidupan; Nabi Yunus yang ditelan ikan bisa keluar dengan selamat; demikian
pula pertolongan Allah Swt kepada para Nabi yang lain termasuk Nabi Muhammad Saw.
dan para sahabatnya.
Dalam upaya menghayati dan memperoleh
hakikat dari Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung mengajarkan tatacara
peribadatan yang baru, melainkan mengikuti adat kebiasaan masyarakat, yaitu
dengan menjalankan puasa mutih selama 40 hari penuh siang malam (bait 8). Puasa
mutih yaitu pantang tidak memakan makanan dan meminum minuman yang diberi rasa
nikmat seperti asin dan manis. Orang yang sedang mutih, hanya boleh makan nasi
putih, meminum air putih dan buah-buahan segar yang tidak diolah. Mengenai
puasa mutih ini, lebih
lanjut bisa dilihat di buku kami Pengembaraan
Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 33, 35 dan 105, yang juga bisa
diunduh melalui e-bookdi blog http://islamjawa.wordpress.com.
Puasa putih bermanfaat buat
mengendalikan hasrat binatang yang kasar atau nafsu hewani, nafsu dan syahwat
akan pesona dunia atau materi, sekaligus membangkitkan kekuatan nabati nan
lembut yang bersemayam dalam hati nurani manusia beserta pikirannya. Orang yang
berhasil mengendalikan karsa dengan nafsu hewaninya yang egois dan kasar,
menjadi karsa dengan nafsu nabatinya yang bersifat rohani dan spiritual nan
lembut penuh kasih sayang, dipercaya memiliki energi dan kemampuan spiritual
yang luar biasa hebat. Tentu saja untuk itu tidak hanya sekedar menjalani puasa
mutih.
Selama 40 hari si pelaku harus bangun
di waktu subuh, serta senantiasa
bersikap sabar dan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Jika ia bisa melakukan itu
semua, insya Allah, ia akan
senantiasa dibimbing dan tercerahkan, sehingga bila memiliki keinginan akan
dikabulkan serta akan memberikan manfaat kepada sanak keluarga dan kaum kerabat bahkan rakyat. Semua itu diajarkan
berdasarkan karomah yang
dianugerahkan kepada sang pengarang kidung tatkala sedang menjalani uzlah dan
bermunajat di pinggir sungai,
bagaikan seorang penjaga sungai atau kali. Dialah Sang Kalijaga yang beruzlah
di tengah hutan di pinggir kali di daerah Cirebon selama beberapa tahun.
Perihal makanan dan minuman ini, Kanjeng Nabi Muhammad saw
juga sudah berpesan, “ Ketika sesuap
haram jatuh pada perut anak cucu Adam , semua malaikat di bumi dan langit
memberi laknat padanya selama suapan itu berada dalam dirinya, dan kalau ia mati
dalam keadaan begitu maka tempatnya adalah jahanam (Hadis riwayat
At-Tabrani, Ibnu Umar dan Ahmad). Lantas berapa lama suapan, dalam hal ini
makanan dan atau minuman itu berada di dalam tubuh manusia? Makanan dan minuman
yang masuk ke tubuh diolah menjadi sel jaringan tubuh dan sel darah merah. Sel
jaringan akan mengalami peremajaan setiap 40 hari, sedangkan sel darah merah
setiap 100 hari. Itu berarti sesuap haram yang masuk ke tubuh kita baru akan
betul-betul hilang setelah 100 hari (Bertasawuf
Di Zaman Edan, halaman 243).
Selanjutnya Kanjeng Nabi juga bersabda, “Demi jiwaku yang berada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang
memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima
amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil
yang haram, maka neraka lebih layak baginya” ( HR.At –Tabrani). Bahkan
lebih tegas lagi beliau menyatakan, “Siapa
saja yang membeli pakaian dengan sepuluh dirham, sedang di dalamnya terdapat
dirham dari barang haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selagi
pakaian itu ada pada dirinya.” (HR Ibnu Umar dan Ahmad).
Apa hakikat dari uraian di atas? Agar keinginan dan doa kita
dikabulkan oleh Gusti Allah, agar kita bisa menjadi hamba-hambaNya yang apabila
mempunyai keinginan dan berdoa dikabulkan Gusti Allah, maka lahir batin kita
harus suci, termasuk suci dari segala barang haram, yang masuk maupun yang
melekat pada tubuh kita. Padahal menyucikan diri tidak mudah. Untuk itu
diperlukan latihan, diperlukan polesan-polesan batin antara lain dengan
berzikir atau senantiasa mengingatNya, baik dengan melantunkan ayat-ayat suci
ataupun kalimat-kalimat dzikir termasuk yang dikemas dalam bentuk Kidung
Kawedar ini. Namun itu pun masih belum cukup, tapi harus disertai dengan jiwa
raga yang bersih, yang suci dari segala zat dan barang yang haram, yang jika
ada yang sudah terlanjur masuk ke dalam
tubuh maka harus dibersihkan, selama 40 hari terhadap sel jaringan tubuh,
bahkan agar lebih sempurna lagi dilanjutkan menjadi selama 100 untuk membuang
sel-sel darah merah yang tercemar tadi, dan menggantinya dengan sel-sel yang
suci sama sekali. Tentu yang paling utama adalah sesudah itu untuk selamanya
kita harus menghindari semua zat dan barang yang haram.
Kembali
dalam bait 8 ini, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah baru yakni subuh dan insya Allah. Pembahasan secara lebih rinci tentang insya Allah,
juga bisa dilihat di buku Pengembaraan
Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 142 – 143. Bagi kita sekarang,
5 – 6 abad kemudian, dua istilah itu bukanlah sesuatu yang baru lagi asing,
lantaran sudah menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi bagi masyarakat abad ke XV – XVI, tentu
menimbulkan pertanyaan dan memancing rasa ingin tahu. Subhanallaah, maasyaa-Allaah.
(B.Wiwoho, Paguyuban
Suluk Nusantara : dikutip dengan sedikit koreksi dari buku penulis : ISLAM
MENCINTAI NUSANTARA, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, penerbit Pustaka IIMaN).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda