Banyak cara dan ukuran untuk menilai peradaban sesuatu
bangsa, antara lain dengan melihat perkembangan kebudayaannya seperti kesenian,
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan,
sastra dan organisasi kenegaraannya. Dari semua itu yang paling mudah adalah
dengan melihat masakannya, pakaian adat, sastra dan musik termasuk alat
musiknya.
Seni musik gamelan Jawa beserta alunan irama yang
dimainkannya, khususnya irama tembang-tembang macapat, harus diakui memiliki
keunggulan yang tinggi dalam hal sastra, seni musik dan teknologi pembuatan
peralatan gamelannya pada masa dahulu kala.
Direktur eksekutif Yayasan Good
Vibrations yang didirikan tahun 2003, Katherine Haigh, mengatakan dari sekitar
4050 peserta - sebagian besar adalah narapidana- 75% di antaranya menyebutkan
bahwa belajar gamelan membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Di Inggris banyak tumbuh
kelompok-kelompok gamelan yang dimotori oleh Catherine Eastburn, yang
sudah mahir bermain antara lain
kelompok The Southbank Gamelan Players
dan Gamelan Naga Mas.
Pakar gamelan dari Inggris lain yaitu Dr.Helen Loth dalam
Seminar “Therapeutic Uses Of Gamelan”
yang diselenggarakan Universitas Pelita Harapan
10 September 2016 (http://musicalprom.com/2016/09/19/musik-terapi-menggunakan-gamelan-hasil-penelitian-dari-inggris/ ), memaparkan hasil penelitian di Inggris mengenai
penggunaan musik termasuk gamelan sebagai sarana terapi bagi kesehatan mental.
Ketua dari Program Magister Bidang Terapi Musik Universitas Anglia Ruskin,
Cambridge, Inggris ini melakukan penelitian doktoralnya dengan judul “ An Investigation Into the Relevance of
Gamelan Music to the Practise of Music Therapy.”
Berdasarkan hasil wawancaranya
dengan berbagai pihak yang berkecimpung dalam dunia gamelan di Inggris,
ternyata gamelan telah digunakan di banyak tempat dan kesempatan seperti
pendidikan, orkestra dan bahkan rumah sakit. Bermain gamelan, katanya,
memberikan banyak manfaat seperti pengembangan kemampuan belajar, kesejahteraan
hidup, kemampuan sosial, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama dan
kesadaran sensoris.
Bagaimana halnya dengan di
Indonesia? Kecuali di Bali, hampir semua seni tradisonal Nusantara makin
meredup keberadaannya. Bukan hanya seni gamelan Jawa dan seni tembang macapat,
tapi juga seni musik suku-suku bangsa kita yang lain, hanya merupakan
kelompok-kelompok kecil yang jarang, dan pada umumnya sekedar tampil melengkapi
upacara-upacara adat pernikahan pada keluarga-keluarga menengah atas.
Gamelan Jawa yang kita kenal sekarang,
memilik sejarah panjang yang memperoleh penyempurnaan dan kelengkapan dari para
ulama penyebar agama Islam yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga abad ke 15 –
16, terutama dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Lebih khas lagi
adalah tembang-tembang macapat, yang memang diciptakan Wali Sanga sebagai media
untuk berdakwah. Irama tembang-tembang macapat, dipakai untuk mengiringi sastra
tutur yang berisi materi-materi dakwah agama Islam khususnya tasawuf, yang pada
masa Kesultanan Demak disebut Sastra Suluk. Suluk berarti jalan menuju Tuhan,
kemudian juga dipakai untuk pengantar sesuatu babak dalam seni pewayangan.
Dengan suluk tembang-tembang macapat
tersebut, agama Islam yang semula diacuhkan masyarakat Jawa, akhirnya diterima
dan kemudian berkembang pesat menjadi umat Islam terbesar di dunia sekarang
ini. Padahal menurut temuan arkeologi, Islam sudah masuk ke Jawa pada awal abad
ke 11, bahkan sejumlah ahli sejarah kini sedang meneliti berbagai data yang
mengindikasikan Islam sudah masuk ke Jawa sejak periode awal Islam, yakni abad
ke 7 Masehi. Jika kita berpatokan pada temuan arkeologi yaitu inskripsi kuno
pada makam Fatimah binti Maimun (1082 M) yang berada di desa Leran,
Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa
Timur, maka Islam sudah masuk ke Jawa padaabad 11, namun seperti tertahan dan
tidak berkembang sampai periode Wali Sanga.
Kidung Kawedar atau Kidung Sariro Ayu
atau Kidung Rumekso ing Wengi, selanjutnya penulis sebut Kidung Kawedar, adalah
sebuah suluk yang memperkenalkan tentang agama Islam pada masyarakat Jawa abad
ke 15 – 16. Masyarakat Jawa penggemar seni gamelan sekarang ini, baik yang
Islam maupun bukan, pada umumnya mengenal Suluk Kidung Kawedar terutama bait pertama sampai ketiga. Sedangkan
bagi penghayat kebatinan dan Kejawen, bait ke 17 dan 18 lebih disenangi. Suluk
ini jika dikidungkan dengan irama Dandhangula yang diiringi lantunan lembut
gamelan, sungguh akan membangun suasana meditatif-kontemplatif yang luar biasa.
Bagi masyarakat umum, meskipun orang
Jawa, makna syair-syair Kidung Kawedar sudah mulai sulit dipahami karena
disajikan dalam bahasa Jawa Tengahan (Bahasa Jawa Madya). Sedangkan yang
berlaku di masyarakat Jawa sekarang adalah bahasa Jawa Baru, yang sudah
gado-gado, campur dengan berbagai bahasa daerah dan asing lainnya. Demi
memahami Kidung Kawedar, melalui buku ini penulis mempersembahkan terjemahan
sekaligus berikut tafsirnya. Sebelum dihimpun menjadi sebuah buku,
tulisan-tulisan tersebut telah dimuat di dalam blog/website
b.wiwoho.blogspot.com dan islamjawa.wordpress.com serta facebook Bambang
Wiwoho, facebook Tasawuf Djawa Full dan grup Tasawuf Djawa.
Tafsir ini diilhami oleh pengalaman
penulis sebagai pengurus harian dalam Festival Istiqlal I (tahun 1991) dan
Festival Istiqlal II, yaitu festival seni budaya yang bernafaskan Islam, serta
nasihat dan dorongan kuat dari ulama sepuh Prof.K.H.Ali Yafie. Untuk itu
penulis menyampaikan rasa takzim dan terima kasih nan tak terhingga. Ungkapan
terima kasih juga wajib disampaikan kepada tiga sahabat yang telah berkenan
memberikan ulasan dan kata pengantar. Pertama kepada putera beliau Helmy
A.Yafie (Sekretaris Jenderal Darud Dakwah wal Irsyad), yang bukan orang Jawa
tapi telah memberikan ulasan Kidung Kawedar secara mendalam. Kedua, sahabat Gus
Anis Sholeh Ba’asyin (pimpinan Suluk Maleman/Orkes Sampak Gusuran dan Rumah
Adab Indonesia di Pati) yang sejumlah sahabat sering memanggilnya Habib Anis.
Ketiga, sahabat penulis selama lebih 40 tahun, wartawan senior yang memiliki
banyak hobi dan pernah menduduki berbagai jabatan penting yaitu mas Parni Hadi.
Ungkapan terima kasih selanjutnya kami sampaikan kepada mas Rachmat Riyadi dan
mas Faried Wijdan serta sahabat-sahabat dari penerbit Pustaka IIMAN. Juga terima
kasih untuk mas Luluk dan mbak Lies Sumiarso pimpinan Rumah Puspo
Budoyo/Nusantara Institute serta mas Djoko Muljono, yang secara bersama-sama
telah bertekad menggelorakan kembali seni macapat Nusantara, dengan mendayagunakan
segenap potensi jejaring seni budaya Nusantara.
Semoga dengan hikmah Kidung Kawedar
ini, beserta ridha, rahmat dan berkah-Nya, kita bisa terus tumbuh dan
berkembang menjadi bangsa dan umat Islam yang sejahtera, tinggi serta mulia
peradabannya. Aamiin.
(Pengantar penulis untuk buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA,
JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda