ISLAM, SEJARAH
DAN BUDAYA
Oleh
Anis Sholeh Ba’asyin
Suatu
hari KH. Chudlori Tegalrejo Magelang didatangi dua kelompok warga desa yang
sedang berselisih tentang penggunaan kas desa. Satu kelompok menghendaki dana
tersebut digunakan untuk memperbaiki masjid; kelompok lain menghendaki agar
digunakan untuk membeli seperangkat gamelan.
Kalau
ditinjau hanya dari satu sisi, tentu ini bukan soal yang pelik, karena
persoalan yang terkait dengan ibadah pasti berada pada skala prioritas yang
lebih tinggi dari persoalan kesenian. Untuk memutuskan pun tak perlu pendapat
seorang kiai, tapi cukup level santri.
Namun,
sebagai seorang kiai yang faham betul peta masyarakatnya, KH. Chudlori tidak
serta merta menyikapi masalah ini hanya dari satu sudut pandang, tapi menimbang
seluruh sisinya dengan matang. Dengan pertimbangan tersebut, beliau akhirnya
memutuskan: kas desa sebaiknya lebih dahulu digunakan
untuk membeli gamelan.
Tentu
saja keputusan ini mengejutkan kalangan santri, yang semula berharap KH.
Chudlori akan membela dan menguatkan pendapat mereka. Meski terkejut, mereka
tak menentang, karena percaya bahwa kiainya pasti punya pertimbangan matang.
Di
kemudian hari terbukti bahwa keputusan tersebut memang tepat: masjid makin
penuh jamaah. Tak lama kemudian, dengan gotong-royong seluruh elemen
masyarakat, masjid pun akhirnya diperbaiki sehingga menjadi lebih megah.
Semangat
di balik keputusan KH. Chudlori inilah yang sepertinya kini sedang coba
diangkat kembali ke permukaan dan diberi tajuk Islam Nusantara (saya sendiri lebih
nyaman menyebutnya dengan istilah Muslim Nusantara).
Semangat
ini dipautkan dengan pola awal proses pengIslaman Nusantara, yang di Jawa
diidentikkan dengan pola Wali Songo (Sembilan Wali); juga semangat kiai-kiai sepuh dahulu dalam merangkul dan mengembangkan
Islam.
***
Tafsir Kidung Kawedar yang ditulis Pak
Wie -panggilan akrab saya untuk pak Bambang Wiwoho- ini memberi kita perspektif
baru dalam menyikapi karya sastra dan sejarah. Ketika kita memperlakukan sebuah
teks sekedar sebagai dokumen sejarah, yang paling jauh akan kita temukan hanyalah
data-data kering tanpa rekonstruksi konteks-konteks sosio-historisnya. Mungkin
kita akan manggut-manggut, atau paling banter memahami latar tindakan atau
tulisan tertentu; tapi akan menyikapinya tak lebih sekedar sebagai monumen dari
masa lalu yang sangat mungkin sulit kita cari korelasinya dengan masa hidup
kita sendiri; sehingga sebagai konsekuensinya kita tak bisa menarik pelajaran
darinya.
Apa yang
digali dan ditulis Pak Wie, agak berbeda. Lewat antaran-antaran yang mengajak
kita membayangkan lanskap sosial-budaya masa lampau, meski pendek dan kadang
singkat, kita diajak untuk membayangkan situasi-situasi dimana teks-teks ini
lahir. Dari sana kita diajak untuk membangun penghargaan sekaligus pemaknaan
yang lebih tepat dari teks yang dibahas.
Apa yang
dilakukan pak Wie ini nyaris sama sebangun dengan metode pembacaan berbasis
asbabun nuzul dalam
ilmu tafsir, atau asbabul wurud dalam mempelajari hadits; dimana kita diajak untuk lebih memahami teks lewat
konteks-konteksnya. Tanpa memahami konteks kita punya potensi untuk salah atau
gagal atau setidaknya salah memahami secara tepat makna sebuah teks.
Dalam kaitan
ini, sebenarnya sangat menarik menempatkan hasil tulisan pak Wie ini dalam
bingkai besar pemahaman ulang atas upaya penerapan Islam dalam ruang budaya
(dalam hal ini Jawa terutama) yang dilakukan oleh para wali, terutama Sunan
Kalijaga. Hal ini menjadi sangat penting, setidaknya mengingat fakta bahwa
semakin kesini semakin banyak generasi baru yang bukan saja tidak memahami
bagaimana para pendahulu dulu berjuang menerapkan Islam secara bertahap lewat
jalur budaya; tapi bahkan lebih jauh lagi, malah menganggap para pendahulu
tersebut seolah sebagai peletak dasar dari apa yang secara tergesa mereka
kategorikan sebagai kesyirikan atau setidaknya tradisi bid’ah.
Kekurang-fahaman
atau bahkan penghakiman semacam ini, tampaknya muncul karena selama ini ada
keterputusan ummat Islam atas sejarahnya sendiri. Bahkan, sangat mungkin, tanpa
memahami lanskap sosial-budaya Jawa awal abad 20, kita juga akan gagal memahami
kebijakan KH. Chudlori di atas. Padahal semangat dasar kebijakan yang diambil
KH. Chudlori tersebut taklah berbeda dengan semangat dasar para penyebar Islam
di Nusantara dulu.
Mengingat
kenyataan tersebut, kita berharap semoga buku ini mampu memancing para
sejarahwan untuk lebih fokus menyambung keterputusan penulisan sejarah dan
budaya Islam di Nusantara; keterputusan yang dampaknya sangat terasa di masa
sekarang, bukan saja bagi ummat Islam tapi juga bagi keberadaan bangsa
Indonesia; karena, sebagaimana diyakini banyak sejarahwan, sejatinya Islam dan
kaum Muslim-lah landasan dasar sekaligus perekat bangunan kebangsaan yang kini
kita sebut Indonesia.
{ Pengantar untuk buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA: JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar, diterbitkan oleh Pustaka IIMaN (0851-0000-76920).}
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda