Senin, 10 Juli 2017

Kidung Rumekso Ing Wengi/Sariro Ayu/Kawedar: ISLAM, SEJARAH DAN BUDAYA



ISLAM, SEJARAH DAN BUDAYA
Oleh  Anis Sholeh Ba’asyin

Suatu hari KH. Chudlori Tegalrejo Magelang didatangi dua kelompok warga desa yang sedang berselisih tentang penggunaan kas desa. Satu kelompok menghendaki dana tersebut digunakan untuk memperbaiki masjid; kelompok lain menghendaki agar digunakan untuk membeli seperangkat gamelan.
Kalau ditinjau hanya dari satu sisi, tentu ini bukan soal yang pelik, karena persoalan yang terkait dengan ibadah pasti berada pada skala prioritas yang lebih tinggi dari persoalan kesenian. Untuk memutuskan pun tak perlu pendapat seorang kiai, tapi cukup level santri.
Namun, sebagai seorang kiai yang faham betul peta masyarakatnya, KH. Chudlori tidak serta merta menyikapi masalah ini hanya dari satu sudut pandang, tapi menimbang seluruh sisinya dengan matang. Dengan pertimbangan tersebut, beliau akhirnya memutuskan: kas desa sebaiknya lebih dahulu digunakan untuk membeli gamelan.
Tentu saja keputusan ini mengejutkan kalangan santri, yang semula berharap KH. Chudlori akan membela dan menguatkan pendapat mereka. Meski terkejut, mereka tak menentang, karena percaya bahwa kiainya pasti punya pertimbangan matang.
Di kemudian hari terbukti bahwa keputusan tersebut memang tepat: masjid makin penuh jamaah. Tak lama kemudian, dengan gotong-royong seluruh elemen masyarakat, masjid pun akhirnya diperbaiki sehingga menjadi lebih megah.
Semangat di balik keputusan KH. Chudlori inilah yang sepertinya kini sedang coba diangkat kembali ke permukaan dan diberi tajuk Islam Nusantara (saya sendiri lebih nyaman menyebutnya dengan istilah Muslim Nusantara).
Semangat ini dipautkan dengan pola awal proses pengIslaman Nusantara, yang di Jawa diidentikkan dengan pola Wali Songo (Sembilan Wali); juga semangat kiai-kiai sepuh dahulu dalam merangkul dan mengembangkan Islam.
***
Tafsir Kidung Kawedar yang ditulis Pak Wie -panggilan akrab saya untuk pak Bambang Wiwoho- ini memberi kita perspektif baru dalam menyikapi karya sastra dan sejarah. Ketika kita memperlakukan sebuah teks sekedar sebagai dokumen sejarah, yang paling jauh akan kita temukan hanyalah data-data kering tanpa rekonstruksi konteks-konteks sosio-historisnya. Mungkin kita akan manggut-manggut, atau paling banter memahami latar tindakan atau tulisan tertentu; tapi akan menyikapinya tak lebih sekedar sebagai monumen dari masa lalu yang sangat mungkin sulit kita cari korelasinya dengan masa hidup kita sendiri; sehingga sebagai konsekuensinya kita tak bisa menarik pelajaran darinya.
Apa yang digali dan ditulis Pak Wie, agak berbeda. Lewat antaran-antaran yang mengajak kita membayangkan lanskap sosial-budaya masa lampau, meski pendek dan kadang singkat, kita diajak untuk membayangkan situasi-situasi dimana teks-teks ini lahir. Dari sana kita diajak untuk membangun penghargaan sekaligus pemaknaan yang lebih tepat dari teks yang dibahas.
Apa yang dilakukan pak Wie ini nyaris sama sebangun dengan metode pembacaan berbasis asbabun nuzul dalam ilmu tafsir, atau asbabul wurud dalam mempelajari hadits; dimana kita diajak untuk lebih memahami teks lewat konteks-konteksnya. Tanpa memahami konteks kita punya potensi untuk salah atau gagal atau setidaknya salah memahami secara tepat makna sebuah teks.
Dalam kaitan ini, sebenarnya sangat menarik menempatkan hasil tulisan pak Wie ini dalam bingkai besar pemahaman ulang atas upaya penerapan Islam dalam ruang budaya (dalam hal ini Jawa terutama) yang dilakukan oleh para wali, terutama Sunan Kalijaga. Hal ini menjadi sangat penting, setidaknya mengingat fakta bahwa semakin kesini semakin banyak generasi baru yang bukan saja tidak memahami bagaimana para pendahulu dulu berjuang menerapkan Islam secara bertahap lewat jalur budaya; tapi bahkan lebih jauh lagi, malah menganggap para pendahulu tersebut seolah sebagai peletak dasar dari apa yang secara tergesa mereka kategorikan sebagai kesyirikan atau setidaknya tradisi bid’ah.
Kekurang-fahaman atau bahkan penghakiman semacam ini, tampaknya muncul karena selama ini ada keterputusan ummat Islam atas sejarahnya sendiri. Bahkan, sangat mungkin, tanpa memahami lanskap sosial-budaya Jawa awal abad 20, kita juga akan gagal memahami kebijakan KH. Chudlori di atas. Padahal semangat dasar kebijakan yang diambil KH. Chudlori tersebut taklah berbeda dengan semangat dasar para penyebar Islam di Nusantara dulu.
Mengingat kenyataan tersebut, kita berharap semoga buku ini mampu memancing para sejarahwan untuk lebih fokus menyambung keterputusan penulisan sejarah dan budaya Islam di Nusantara; keterputusan yang dampaknya sangat terasa di masa sekarang, bukan saja bagi ummat Islam tapi juga bagi keberadaan bangsa Indonesia; karena, sebagaimana diyakini banyak sejarahwan, sejatinya Islam dan kaum Muslim-lah landasan dasar sekaligus perekat bangunan kebangsaan yang kini kita sebut Indonesia. 
{ Pengantar untuk buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA: JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar, diterbitkan oleh Pustaka IIMaN (0851-0000-76920).}


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda