* Pertama
kali, peluncuran buku dikemas dalam pentas seni tradisional Ketoprak.
·
* Buku
tentang dakwah Islam yang lembut dengan pendekatan budaya.
·
Untuk
pertama kali, sebuah peluncuran buku dilakukan serta dikemas dalam seni
pertunjukkan tradisional Jawa yaitu ketoprak, dengan cerita “Sunan Kalijaga”, Minggu malam 21 Mei 2017 bertempat di Rumah Puspo
Budoyo, Ciputat. Judul cerita tersebut sesuai dengan tema buku yaitu “ISLAM MENCINTAI NUSANTARA, JALAN DAKWAH
SUNAN KALIJAGA: Tafsir Suluk Kidung Kawedar”. Buku ditulis oleh B.Wiwoho
dengan penerbit IIMAN.
Buku
tentang dakwah Islam yang lembut dengan pendekatan budaya ini relevan dengan
situasi di tanah air dewasa ini. Oleh karena itu pemrakarsa peluncuran yakni
Dompet Dhuafa, Rumah Nusantara Puspo Budoyo dan Penerbit IIMAN, menjadikannya
sebagai kegiatan puncak Peringatan Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017, sekaligus
dengan pencanangan Jejaring Macapat Nusantara dan Saresahan Budaya serta
Deklarasi Asosiasi Penari Tradisi Indonesia (APTI).
Sunan
Kalijaga adalah salah satu tokoh sentral dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa.
Pendekatannya unik. Sunan Kalijaga yang melihat keadaan masyarakat pada waktu
itu, yang masih kental dengan tradisi Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan
lama, melakukan pendekatan seni dan budaya. Dia mencoba menyerap budaya dan
tradisi yang sudah ada untuk menyebarkan ajaran-ajarannya. Dia berkeliling dari
satu tempat ke tempat lain, memasuki daerah-daerah terpencil.
Sebagai
ulama, budayawan dan seniman sekaligus, Sunan Kalijaga menciptakan banyak karya
seni. Dia menciptakan dua perangkat gamelan,yang semula bernama Nagawilaga dan
Guntur Madu, kemudian dikenal dengan nama Nyai Sekati (lambang dua kalimat
syahadat). Wayang, yang pada zaman Majapahit dilukis di atas kertas lebar
sehingga disebut wayang beber, oleh Sunan Kalijaga dijadikan satu-satu, dibuat dari
kulit kambing, yang sekarang dikenal dengan nama wayang kulit. Banyak lakon-lakon
yang digubah untukkepentingan ini. Di antaranya
yang terkenal adalah lakon Jimat Kalimasada,
Dewa Ruci dan Petruk Jadi Ratu.
Sunan
Kalijaga melakukan penyebaran Islam dengan cara yang up to date, paling mutakhir waktu itu nut zaman kelakone (menurut semangat jaman) seperti kata Ki Dalang Narto
Sabdo (alm) atau Zeitgeist, kata
orang Jerman. Njeng Sunan Kali (jaga) memperkenalkan Islam selapis demi selapis
melalui pendekatan budaya dan kearifan local (local wisdoms) Jawa, yang waktu
itu masih didominasi oleh agama Syiwa-Buddha. Beliau yang didukung oleh para
ulama lainnya, tidak sertamerta memperkenalkan Islam secara frontal, melainkan menyusup
pelan-pelan, melpis tata kehidupan yang ada selapis demi selapis, memadukan
istilah-istilah Islam dengan istilah-istilah dalam agama yang masih berlaku.
Hasilnya, setelah selama lebih 4 (empat) abad Islam tidak bisa berkembang di
Jawa, hanya dalam hitungan puluhan tahun, pada sekitar abad 15 dan 16, Islam
diterima dan dipeluk secara damai, tanpa kekerasan dan perang yang memakan
korban jiwa dan harta benda serta trauma.
Banyak
teori yang menyatakan mudahnya orang Jawa
masuk agama Islam. Antara lain, karena Islam tidak mengenal kasta, tidak
seperti agama yang mereka anut sebelumnya. Beberapa bentuk seni budaya diadopsi
dan disinergikan dengan seni budaya yang berasal dan bernuansa Arab, tempat
asal Islam. Pendekatan budaya yang dilakukan Njeng Sunan Kali dalam
memperkenalkan Islam ibarat menyebar biji di tanah yang subur.
Ketika
masyarakat Jawa sedang mengalami zaman peralihan, dari Kerajaan Majapahit ke
Kesultanan Demak. Demikian pula dalam hal agama dan kepercayaan. Mereka
menganut agama Hindu-Buddha atau Syiwa-Buddha,
Kapitayan, dan percaya bahkan banyak yang memuja roh-roh halus. Mereka juga
sangat memercayai hal-hal gaib dan mistis, serta mengaitkan hampir semua aspek
kehidupan dengan hal tersebut. Dalam suasana kehidupan yang seperti itulah
agama Islam diperkenalkan oleh para pendakwah, yang kemudian dikenal sebagai
para wali, dan diberi sebutan atau nama panggilan “Sunan”. Dua dari para wali
itu adalah Sunan Bonang dan muridnya, Sunan Kalijaga. Mereka dikenang masyarakat
sampai sekarang karena jago berdakwah menggunakan media kebudayaan, terutama
musik tradisional gamelan berserta tembang-tembang Jawa dan wayang. Salah satu
dari tembang tadi adalah sebuah tembang suluk atau tembang dakwah Islam, yang
dikenal dengan tiga nama, yaitu Kidung
Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi, atau juga Kidung Sariro Ayu.
Kepada
masyarakat yang sangat memercayai hal-hal gaib dan mistis, Sunan Kalijaga
menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang didendangkan dengan irama Dhandanggula bernuansa
meditatif-kontemplatif. Dikemas dan diberi sugesti sebagai mantra sakti, guna
mengatasi segala problem kehidupan masyarakat sehari-hari.
Islam
itu rahmatan
lil alamin. Al-Quran jelas menyebutkan itu dalam banyak ayatnya. Ia
mendatangi siapa saja dengan cinta dan kasih. Sejarah Nusantara pun mencatat
bahwa Islam berhasil merasuk ke dalam jiwa manusia Nusantara, terutama Jawa,
melalui jalur yang sangat lembut. Lelaku dakwah Sunan Kalijaga memberi kita
pelajaran tentang semua itu. B. Wibowo, dalam buku ini, mengupas tuntas salah
satu “jurus” Sunan Kalijaga untuk menanamkan Islam di dada orang Jawa; melalui
taktik modifikasi budaya yang tak menyakiti siapapun—dengan mengajarkan tauhid
melalui Kidung Kawedar. Dari buku ini kita bisa kembali belajar, bahwa
sudah seharusnyalah Islam berwajah ramah. Islam tidak berantitesa dengan
kearifan lokal manapun. Islam justru menyempurnakannya. Islam akan merasuk
paripurna dalam hati melalui jalan yang lembut penuh cinta, bukannya dengan
teriakan kemarahan dan pedang yang terhunus. Inilah DNA Islam di Nusantara,
memposisikan agama sebagai jembatan perekat, bukan penyekat berbagai kehidupan
sosial dan budaya.
Sangat
menarik menempatkan buku Islam Mencintai
Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Tafsir Suluk Kidung Kawedar ini
dalam bingkai besar pemahaman ulang atas upaya penerapan Islam dalam ruang
budaya (dalam hal ini Jawa terutama) yang dilakukan oleh para wali, terutama
Sunan Kalijaga. Hal ini menjadi sangat penting, setidaknya mengingat fakta
bahwa semakin ke sini semakin banyak
generasi baru yang bukan saja tidak memahami bagaimana para pendahulu berjuang
menerapkan Islam secara bertahap lewat jalur budaya; tapi bahkan lebih jauh
lagi, malah menganggap para pendahulu tersebut seolah sebagai peletak dasar
dari apa yang secara tergesa mereka
kategorikan sebagai kesyirikan atau, setidaknya tradisi bid’ah.
Walhasil,
“Tak ada yang abadi termasuk Nusantara. Buku yang mengajak kita tersenyum dalam
beragama ini setidaknya akan menunda kepunahan itu. Biar beragama secara ‘non
Sunan Kalijaga’ saja yang akan mempercepatnya.” Komentar Sujiwo Tejo, penulis
buku Megabestseller Tuhan Maha Asyik terhadap
buku ini.
Informasi Produk Buku
Islam Mencintai Nusantara
Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Tafsir Suluk Kidung
Kawedar
Penulis:
B. Wiwoho
|
Format: 14 X 21 cm,
soft cover
|
ISBN: 978-602-8648-20-2
|
Jumlah
halaman: 306,
kertas isi book paper 57 gram
|
Harga:
Rp 65.000,-
|
Kode
buku: XI-03
|
Penerbit/
terbit: Pustaka IIMaN, Mei 2017
|
Kategori:
SEJARAH ISLAM
|
Sinopsis Cover:
Islam
itu rahmatan
lil alamin. Al-Quran jelas menyebutkan itu dalam banyak ayatnya. Ia
mendatangi siapa saja dengan cinta dan kasih. Sejarah Nusantara pun mencatat
bahwa Islam berhasil merasuk ke dalam jiwa manusia Nusantara, terutama Jawa,
melalui jalur yang sangat lembut. Lelaku dakwah Sunan Kalijaga memberi kita
pelajaran tentang semua itu. B. Wibowo, dalam buku ini, mengupas tuntas salah
satu “jurus” Sunan Kalijaga untuk menanamkan Islam di dada orang Jawa;
melalui taktik modifikasi budaya yang tak menyakiti siapapun—dengan
mengajarkan tauhid melalui Kidung Kawedar. Dari buku ini kita bisa
kembali belajar, bahwa sudah seharusnyalah Islam berwajah ramah. Islam tidak
berantitesa dengan kearifan lokal manapun. Islam justru menyempurnakannya.
Islam akan merasuk paripurna dalam hati melalui jalan yang lembut penuh
cinta, bukannya dengan teriakan kemarahan dan pedang yang terhunus. Inilah
DNA Islam di Nusantara, memposisikan agama sebagai jembatan perekat, bukan
penyekat berbagai kehidupan sosial dan budaya.
|
1 Komentar:
Matur nuwun, bukunipun sampun katampi kanthi remen
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda