Wali Songo dan Penyebaran Islam di Jawa : Oleh Helmy Ali Yafie
Para Sarjana berbeda pendapat,
tentang kedatangan Islam di Indonesia. Tetapi ada satukenyataan,
yang tampaknya disepakati, adalah bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan
secara damai.
Islam, dalam batas-batas tertentu, di sebarkan oleh pedagang, bersama atau kemudian
dilanjutkan oleh para guru dan pengembara sufi. Tampaknya orang yang terlibat
dalam kegiatan penyebaran agama (Islam), pada tahap-tahap awal kedatangan
Islam, tidak bertendensi apapun selain bertanggung bertanggung jawab menunaikan
kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan-catatan sejarah atau
prasasti pribadi yang sengaja dibuat
oleh mereka untuk mengabadikan apa yang telah mereka lakukan.
Oleh karena itu wajar jika terjadi
perbedaan pendapat tentang kapan, dari mana dan dimana pertama kali Islam
datang ke Indonesia. Yang dapat dikatakan adalah bahwa para penyebar agama yang
berdatangan bersama atau menyusul para pedagang, dan kebanyakan adalah para
sufi pengembara. Pada proses berikutnya terjadi perkawinan antara para pedangang
dan para penyebar agama tersebut dengan penduduk setempat dan anak bangsawan Indonesia, yang kemudian membentuk keluarga,
komunitas inti, keluarga Muslim dan kemudian
masyarakat Muslim.
Perkawinan dengan para anak
bangsawan, membuat status social mereka menjadi meningkat lebih tinggi. Apalagi
jika mereka kawin dengan putri Raja,
maka keturunannya menjadi pejabat kerajaan, syahbandar, qadi dan lain-lain,
bahkan menjadi putra mahkota.
Pada periode berikutnya, setelah
para pedagangan dan para penyebar agama itu mempunyai kedudukan cukup kuat, para pedagang menguasai perekonomian terutama
bandar-bandar seperti Gresik, mereka kemudian membangun pusat-pusat pendidikan,
yang kini disebut pesantren. Di Jawa, pusat-pusat pendidikan itu menjadi
semacam tempat penggemblengan kader-kader ulama dan politik. Misalnya Raden
Patah, Raja Demak pertama, adalah santri
Ampeldenta. Proses penyebaran agama Islam, peran dan asal usul aktor yang
terlibat di dalamnya, juga terdapat perbedaan diantara para ahli, tetapi gambaran
umum tampaknya kurang lebih seperti yang disebutkan secara sederhana diatas. Tampaknya
hal itu kemudian yang mempercepat proses perkembangan Islam di Indonesia.
Tahap awal penyebaran Islam terlihat
lamban, terbatas pada kota-kota pelabuhan. Lalu kemudian pada periode
berikutnya memasuki daerah pesisir
lainnya dan pedalaman. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum kedatangan
Islam, kepercayaan masyarakat di Nusantara
didominasi agama Hindu, Budha dan agama-agama atau kepercayaan lokal. Abad ke-5
sampai dengan abad-14 M dapat dikatakan sebagai abad dominasi Hindu Budha di
Nusantara. Bahkan pada satu masa tertentu
kedua agama (yang pada dasarnya bertentangan) itu bergabung, yang
dikenal dengan nama Syiwa-Budha, dan hal
ini hanya ditemui di Indonesia.
Beberapa kerajaan Hindu dan Budha
yang berkembang dan menguasai beberapa daerah, pusat-pusat jalur perdagangan di
Nusantara. Di tanah Jawa pelabuhan-pelabuhan
penting yang merupakan daerah pusat jalur perdagangan internasional pada masa
berada dibawah pengaruh Hindu-Budha tersebut. Artinya, ketika Islam masuk agama Hindu dan Budha, disamping kerecayaan
local masyarakat, mendominasi kepercayaan dan dianut oleh masyarakat Jawa saat itu. Dengan
adanya system kepercayaan, yang sudah begitu mengakar kuat dalam dalam
masyarakat, di dukung oleh system kerajaan,
seperti itu maka menjadi logis jika penyebaran Islam terlihat lamban.
Tetapi pada masa-masa berikutnya terlihat terjadi perubahan, penyebaran Islam
berjalan relatif cepat.
Terlihat
ada bentangan waktu yang cukup panjang. Kalau patokannya diambil abad ke 11 M sebagai tahun kedatangan dan
abad ke 15, tepatnya tahun 1481 M, tahun berdirinya kerajaan Islam yang pertama
di tanah Jawa yaitu Kerajaan Demak. Maka terdapat jarak waktu selama kurang
lebih empat abad lamanya. Atau kalau ditarik lebih jauh kebelakang, sampai pada
abad pertama Hijriyah, maka perkembangannya terlihat sangat lamban. Tetapi dalam perkembangan berikut, terlihat
proses berjalan lebih cepat. Islam
berkembang dengan cepatnya di tanah Jawa, antara abad 15 sampai 17 M, yang ditandai dengan adanya beberapa kerajaan Islam yang
mendominasi di tanah Jawa yang wilayah kekuasaannya sangat luas, hampir mencakup seluruh pulau
tersebut.
Tampaknya semua itu terkait langsung
dengan dengan adanya proses yang lebih terencana dan sistematis. Di beberapa daerah
di tanah Jawa, misalnya, pada masa-masa itu, berdiri beberapa pusat-pusat penyiaran agama Islam. Di
Jawa Timur, dipelopori oleh Sunan Ampel, di daerah Gresik Jawa Timur dipelopori
oleh Sunan Giri. Hal yang sama terjadi di Jawa Barat, dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, di Jawa Tengah bagian
utara di pelopori oleh Sunan Kudus dan Sunan Muria, sedangkan di Jawa Tengah
bagian selatan dipelopori oleh Sunan Kalijaga
Kemungkinkan
hal itu karena adanya kepemimpinan para wali yang konsisten dan solid. Dengan
kata lain pada periode itu, ketika para wali, yang dikenal dengan nama Wali
Sembilan (Wali Songo), melanjutkan memimpin penyebaran agama Islam di seluruh
pulau Jawa, maka penyebaran agama Islam relative berlangsung lebih cepat.
Wali
Songo adalah sebuah dewan wali yang
memiliki otoritas tertinggi pada jamannya, dalam keagaman dan penyebaran agama,
yang secara berkala melakukan pertemuan (musyawarah), untuk menentukan strategi
dan mengeluarkan fatwa. Sesuai namanya, Wali
Songo, jumlah wali di
Jawa sembilan orang dan menurut urutan dari Timur ke Barat adalah : Sunan Ampel (Raden Rahmat), makamnya
terdapat di Ampel dalam kota Surabaya; Malik Ibrahim (Maulana Magribi) di
Gersik, Sunan Drajad (makamnya terletak di Sidayu Lawas); Sunan Giri (Raden
Paku) makamnya terletak di Giri tempatnya di Gersik; Sunan Bonang (Raden
Maulana Makdum Ibrahim), makamnya terletak di Tuban; Sunan Kudus (konon adalah panglima bala
tentara para wali yang menyerbu Majapahit), Sunan Murya (pejuang melawan
Majapahit), Sunan Kalijaga (Jaka Syaid, atau Raden Mas Syahid), Jawa Tengah; Sunan Gunung Jati (adalah Putera Pasai yang
kawin dengan saudara perempuan Sultan Trenggana), di Cirebon, Jawa Barat.
Jelas bahwa Wali Songo memiliki
peran yang sangat besar dalam proses penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Mereka
tidak hanya berdakwah menyebarkan agama Islam tetapi juga menjadi penasehat raja-raja
yang memerintah. Bahkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah juga raja.
Dia mendapat julukan Pandita Ratu. Pada umumnya Wali Sembilan itulah yang mendirikan
pesantren-pesantren atau padepokan, yang menjadi pusat-pusat pendidikan untuk
melakukan kaderisasi. Santrinya datang
dari berbagai daerah, dari seluruh pelosok Nusantara. Itu menjadi bagian penting bagi perkembangan Islam di tanah Jawa.
Tentang Sang Wali
Sunan Kalijaga dapat dikatakan salah
satu tokoh sentral dalam proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Pendekatannya
unik. Sunan Kalijaga, melihat keadaan
masyarakat Jawa pada waktu itu dimana masyarakatnya masih kental dengan tradisi
Hindu, Budha dan kepercayaan-kepercayaan lama maka dia melakukan pendekatan seni dan budaya,
dalam arti mencoba menyerap budaya dan tradisi yang sudah ada dalam menyebarkan
ajaran-ajarannya. Dia berkeliling dari satu tempat ketempat lain, memasuki
daerah-daerah terpencil.
Ada beberapa versi silsilah Sunan
Kalijaga. Hal itu karena memang tidak ada catatan atau bahan–bahan yang secara
penuh dan datail memberikan informasi secara jelas mengenai asal usul Sunan
Kalijaga. Salah satu versi mengatakan bahwa Dia diperkirakan ia lahir sekitar tahun
1450 M. Nama kecilnya adalah Raden Mas
Syahid, putera Tumenggung Wilatika, Bupati Tuban dari Ibu bernama Dewi Ningrum.
Sunan Kalijaga kawin dengan Sarah binti Maulana Ishaq dan berputra tiga orang,
yakni Raden Umar Said (kelak menjadi Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi
Sofihah.
Sunan Kalijaga terkenal,
karena berjiwa besar, toleran, berpandangan tajam dan juga seorang
pujangga. Sunan Kalijaga juga dikenal dalam Babad Tanah Jawi. Ia dipandang
salah satu dari Sembilan wali yang banyak memperlihatkan mu’jizat. Menurut riwayatnya, masa
remajanya nakal, sehingga dia diusir oleh orang tuanya. Dia menadapt julukan
Lokajaya, karena sakti dan tidak ada dapat mengalahkannya. Oleh karena itu,
sebagai perampok dan penyamun, sangat ditakuti sampai dia bertemu dengan Sunan
Bonang yang kemudian dapat menaklukkannya.
Sunan Kalijaga ingin menjadi murid Sunan Bonang, tetapi Sunan Bonang menolaknya,
dan hanya mau menerimanya sebagai murid apabila dia sanggup menjaga tongkatnya
yang dia tancapkan di tepi sungai. Dengan setia Raden Mas Syahid menjaga
tongkat itu, menepati janjinya, sehingga karena itu dis disbeut Kalijaga
(penjaga kali/sungai). Setelah menjadi Wali dia juga disebut Syekh Malaya,
karena dia berdakwah sambil berkelana. Masa hidupnya cukup panjang, dari akhir
masa kerajaan Majapahit sampau pada masa kerajaan Pajang (akhir abad ke 15
sampai pertengahan abad 16).
Jasanya bagi Demak cukup besar. Pada
waktu pendirian Mesjid Demak, dia salah seorang wali yang berkewajiban
menyediakan salah satu dari 4 tiang pokok (soko guru) yang menurut lagenda dia
buat dari tatal (serpihan-serpihan kayu sisa). Konon tiang itu dibuat
menurut konstrukti tiang kapal, terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang sangat
tepat dan rapi. Sangat kuat dapat menahan angina topan. Kalau difahami secara
simbolik, maka peranan dalam pendirian masjid itu sangatlah penting.
Dalam menyebarkan agama, Sunan
Kalijaga berbeda dengan Sunan Giri. Menurut Sunan Kalijaga, menyampaikan ajaran
Islam perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, sedikit demi sedikit.
Kepercayaan, adat istiadat dan kebudayaan lama tidak harus dihapus, bahkan
diisu dengan unsur dan roh ke Islaman.
Sunan Giri, sebaliknya, berpendapat
bahwa Islam harus disampaikan menurut aslinya. Kepercayaan lama harus
diberantas. Demikian pula dengan adat istiadat dan kebudayaan lama yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Tampaknya kedua Wali ini memang berbeda
pendekatannya. Sunan Kalijaga lebih beroientasi dan mendekati rakyat, sedangkan
Sunan Giri lebih dekat dengan kaum bangsawan dan hartawan. Tetapi tidak berarti
bahwa Sunan Kalijaga anti terhadap kaum bangsawan. Karena dia merupakan salah
seorang penasehat raja-raja Demak, sejak Raden Patah sampai Sultan Trenggana,
sehingga diberi tanah perdikan (tanah bebas pajak) di Kadilangu. Kesepakatan kemudian
tercapai bahwa dakwah memang perlu dua pendekatan, ada yang dari atas dan ada
pula yang dari bawah.
Sebagai budayawan dan seniman,
banyak yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan itu menggambarkan pendiriannya
tersebut. Dia menciptakan dua perangkat gamelan yang semula bernama Nagawilaga
dan Guntur Madu, kemudian dikenal dengan nama Nyai Sekati (lambang dua kalimat
syahadat). Wayang yang pada zaman Majapahit dilukis diatas kertas yang lebar
sehingga disebut wayang beber, oleh Sunan Kalijaga dijadikan satu-satu dan
dibuat dari kulit kambing, yang sekarang dikenal dengan nama wayang kulit. Banyak lakon-lakon yang
digubah untuk kepentingan ini. Diantaranya yang terkenal adalah lakon Jimat
Kalimasada dan Dewa Ruci.
Menurut Hazim Amir, setelah agama Islam datang ke Indonesia (pulau
Jawa), lakon wayang mengalami perubahan. Wali Songo mengubah sistem hirarki kedewaan yang menempatkan para
dewa sebagai pelaksana perintah Tuhan saja,
bukan sebagai Tuhan. Untuk itu disusunlah cerita-cerita baru yang
bernafas Islami, seperti lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada dan
lakon-lakon wahyu.
Sunan Kalijaga, menjadikan wayang
kulit sebagai media pendidikan atau dakwah, dengan menampilkan tokoh-tokoh
pewayangan yang menjadi favorit rakyat, ke dalam pewayangan hampir keseluruhan
kisahnya dipentaskan ceritera dan dialog-dialog tentang tashawuf dan akhlakul
karimah. Karena dia faham betul bahwa yang dihadapi itu (audiens) adalah
pemeluk Hindu ataupun Budha, yang keseluruhan ajarannya berpusat pada ajaran
kebatinan. Mungkin karena itu, maka
Sunan Kalijaga mengekspose unsur-unsur tashawuf dan akhlaqulkarimah.
Sebagai tahap awal dari suatu
proses, tampaknya itu berhasil dalam dakwahnya. Kepercayaan kebatinan memang
sangat penting, akan tetapi arti agama (Islam) tidaklah hanya itu. Satu personifkasi yang
sangat dekat dengan masyarakat Jawa adalah diciptakannya tokoh Punakawan dalam
cerita pewayangan yang terdiri atas Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong,
adalah tokoh-tokoh yang selalu ditunggu-tunggu dalam setiap pergelaran
Wayang di Jawa, dan tokoh-tokoh ini tidak ditemui pada cerita Wayang asli yang
berasal dari India. Para tokoh Punakawan dibuat sedemikian rupa
mendekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam.
Awalnya, apa yang dikembangkan oleh
Sunan Kalijaga pada awalnya tidak memperoleh dukungan dari beberapa Wali
lainnya.
Sunan Giri, misalnya berpendapat
bahwa wayang itu itu hukumnya haram, karena gambarnya menyerupai manusia. Maka
terjadi debat. Tetapi Sunan Kalijaga, mengemukakan jalan keluar yang bijaksana.
Gambar wayang dirubah bentuknya, agar tidak haram. Ukurannya tangannya dibuat
menjadi lebih panjang, begitu pula kakinya. Hidung dibuat panjang, kepala
dibuat menyerupai binatang. Gagasan itu disetujui oleh para Wali, bahkan
membantu dengan menciptakan gamelannya. Maka menjadilah wayang
itu media dakwah yang efektif.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh
Sunan Kalijaga. Dia menciptakan baju yang disebut takwo (artinya: Takwa). Kain
batik bermotifkan burung, konon dari Sunan Kalijaga juga. Pemanfataan
kebudayaan dalam bentuk ide-ide lainnya dapat dijumpai pada makna-makna yang
terkandung dalam suluk, seperti Kidung Rumeksa Ing Wengi dan Dhandanggula. Dandanggula,
yang dia ciptakan adalah salah satu jenis macapat, yang setiap baitnya terdiri
dari 10 baris, dengan guru lagu (jumlah suku kata) dan guru swara (bunyi akhir
bait).
Agaknya karena Sunan Kalijaga adalah
asli Jawa maka pengaruhnya lebih merata di kalangan rakyat. Dia wafat pada usia
relative tua, dan di makamkan di desa Kalidangu, sebelah timur kota Demak.
Warisan Sang Wali
Sunan
Kalijaga, adalah salah seorang dari Wali Sembilan (Wali Songo). Salah seoarng tokoh sentral dalam proses
penyebaran Islam di Tanah Jawa. Terkenal,
karena berjiwa besar, toleran, berpengatahuan luas dan dalam, serta
berpandangan tajam. Dia juga seorang pujangga. Dia adalah gabungan dari seorang ulama dan
budayawan. Dia tampak unik dengan pendekatannya. Dia meninggalkan banyak karya,
meninggalkan banyak jejak dengan apa yang telah dilakukannya, pada
tempat-tempat tertentu yang masih
dipelajari dan digunakan sampai sekarang.
Buku
yang berjudul SULUK KIDUNG KAWEDAR SUNAN
KALIJAGA, di tulis oleh B. Wiwoho, berisi salah satu warisan dari Sunan
Kalijaga. Buku ini memuat, mengurai, menafsirkan dan mencoba menempatkan posisi
karya Sunan Kaligjaga tersebut dalam peta penyebaran Islam.
Suluk
Kidung Kawedar disusun dalam bentuk
Kidung, sebagaimana sudah disebutkan diatas adlah sebuah bentuk karya sastra
dalam bahasa Jawa Tengahan yang digubah dalam bentuk puisi menggunakan metrum
Jawa Tengahan atau tembang tengahan (sekar madya). Kawedar
adalah kidung pujian dalam bentuk puisi Jawa, yang dilagukan dengan apa
yang disebut macapat (maca papat-papat; membaca empat-empat).
Suluk Kidung Kawedar juga memberikan
gambaran tentang keadalaman pengetahuan keagamaannya dan pemahamanannya
terhadap masyarakatnya. Kita bisa
membayangkan bagaimana sulitnya masyarakat ketika itu untuk memahami bahasa dan
tradisi keagamaan (Islam) yang baru bagi mereka; sementara mereka hidup dalam
tradisi keagamaan dan pemahan keagamaan yang sudah mengakar kuat dalam diri
diri dan lingkungan mereka. Bagi orang
Jawa tidak mudah mengucapkan dan memahami doa dalam bahasa Arab, maka Sunan
Kalijaga menyusun doa dalam bahasa Jawa, dengan bentuk kalimat dan gaya bahasa
kidung sesuai dengan alam pikiran Jawa.
Buku
ini terdiri dari dua bagian. Bagian Pertama, berisi kidung-kidung SULUK KIDUNG KAWEDAR, tentang ajaran Islam. Uniknya, dimulai dengan kidung mantra penolak bala, yang secara
sepintas seperti tidak begitu prinsipil. Tetapi ketika dibaca dengan teliti, direnungkan
maknanya, ternyata ini merupakan ajaran tentang keimanan kepada Ke Maha Esaan,
Ke Maha Kuasaan dan Ke Maha Besaran Allah SWT. Bahwa semua hal yang ada
disekitar kita ini; penyakit, senjata tajam, hama, binatang buas, bisa
ditaklukkan. Kawasan-kawasan angker,
keadaan gawat, kekeringan bisa dirubah menjadi keadan yang indah damai, subur,
damai dan penuh kebahagiaan. Jika kita
bersandar kepada Allah SWT. Ini adalah pesan keimanan, keimanan yang tidak
terbagi. Bahwa Allah Swt mengatasi segalanya, hanya dengan menyebut
namanya. Ini juga tentang konsistensi,
dengan mengacu Nabi Adam (perasaan),
Nabi Sis (pemikiran) dan Nabi Musa (Ucapan).
Lalu
dengan cara yang sama Sunan Kalijaga lebih jauh mengenalkan Islam, dengan mengenalkan para Nabi, sejarah
Nabi Saw, para sabahatnya dan keluarganya.
Bagian
berikutnya, menggambarkan hubungan antara Allah Swt dengan hamba-hambaNya dan
ciptaanNya. Bahwa hidup yang berasal
dari Allah, sebenarnya hanya berlangsung singkat. Dunia ini hanya tempat
persingahan untuk sejenak beristirahat, bagi seorang musafir, penuh dengan
godaan dan jebakan yang membuat orang bisa terpeleset dan tersesat, sehingga
kesulitan mencapai tujuan. Maka hidup yang singkat itu, digunakan
sebaik-baiknya dengan aktivitas yang bermanfaat bagi sesama, bagi diri sendiri,
sebagi bekal untuk menuju tujuan. Untuk kepentingan itu, sebaiknya manusia
selalu mengingat dan berdoa kepada Tuhan. Ini penting karena setan atau iblis
diberi mandat untuk menggoda manusia selama dalam perjalanannya.
Ada
ajaran yang sangat mendalam, yang membutuhkan perenungan mendalam dengan
menangkap tanda-tanda yang disekitar kita,
yakni ‘mangunggaling kawulo gusti’. Ini soal pengetahuan dan pemahaman hubungan antara manausia dengan
Sang Pencipta. Penyatuan di sini bisa bermakna penyatuan kehendak, dan itu bisa
dilakukan jika manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan kemauan. Manusia
yang menyatu dengan Tuhannya bisa berarti manusia bisa mengendalikan segala
macam nafsu dan kemauannya, sehingga menyatu dengan kehendak Allah Swt. Dan ini
mencapai derajat yang dicapai para wali Allah.
Manusia yang bisa memahami, menaklukann dan mengendalikan hawa nafsunya
juga akan memiliki arta daya, atau kebijakan atau kekuatan batin yang luar
biasa. Proses dan cara penyatuan, begitu juga dampak dari penyatuan itu,
tergambar pada Kidung Dewa Ruci.
Kembali tentang kandungan Suluk Kidung Kawedar, penulis melihat pendekatan atau metode
yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga. Sebagaimana di ketahui bahwa pada abad
ke 15 - 16 adalah zaman dimana ajaran-ajaran dominan, Hindu Budha, atau
kepercayaan lama yang memuja roh-roh halus, mempercayai hal-hal gaib dan
mistis. Dalam situasi seperti itulah Sunan Kalijaga menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang di dendangkan
dengan irama dhandanggula yang bernuansa kontemplatif, untuk mengatasai segala macam problem kehidupan
sehari-hari. Itu semua dikemas dengan bahasa dan tradisi yang sudah dikenal
masyarakat.
Keakraban semakin terasa karena
kidung ini juga terkait dengan problem-peroblem kehidupan sehari-hari. Jadi kidung dibangun dengan bentuk kalimat
dan gaya bahasa kidung sesuai dengan alam pikiran Jawa. Tidak salah jika
kemudian menggunakan istilah ‘menyusup’. Maksudnya, Sunan Kalijaga mengajarkan
Islam tanpa menghadap-hadapkannya dengan
budaya dan tradisi yang sudah ada. Bahkan beberapa bagian diangkat dan
diberi landasan dan roh Islam.
Sunan
Kalijaga, dengan Suluk Kidung Kawader,
seperti datang memberi energi baru kepada kepercayaan masyarakat. Dia tidak
mengecam kepercayaan yang sudah ada
dalam masyarakat. Bahkan seperti menguatkannya. Tetapi sesungguhnya dia menggantikan
nilai-nilai dan makna-makna dasar. Kalau dikembalikan kepada pertanyaan,
‘kenapa pada abad-abad 15-17 Islam tampak cepat diterima dan menyebar,
dibanding dengan sebelumnya?’. Mungkin salah satu jawaban adalah sosok Sunan
Kalijaga. Maka, kalau kita berkaca pada masa kita ini yang penuh dengan
benturan, kita bisa memahami ajakan penulis
Bagian Kedua di
beri judul “Berguru pada Sunan Kalijaga”.
Kalau dilihat sub judul terakhir pada
bagian kedua ini, tampak penulis berefleksi,
melihat kembali dan merenungkan apa yang sudah dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Ini merupakan bagian penting, kalau bukan yang terpenting, dalam proses membangun
peradaban Jawa yang berpijak pada ajaran dan nilai-nilai Islam.
Pada
masa itu adalah masa ketika masyarakat masih sangat kuat dipengaruhi kepercayaan-kepercayaan
kepada hal-hal yang gaib, mistis. Alam masih dipengaruhi atau didominasi oleh
kekuatan-kekuatan gaib, yang ada di mana-mana, dan menentukan nasib manusia. Situasinya
mirip dengan keadaan sekarang, ketika masyarakat sangat kuat dipengaruhi oleh
nilai-nilai individuliasme, henodisme dan pragmatisme. Mesikipun nuansanya
berbeda, tetapi cengkermannya kurang lebih sama. Bahkan mungkin lebih kuat
karena kondisi sosial ekonomi, politik dan budaya, yang mendukung.
Sunan
Kalijaga mengambil sikap yang berbeda
dengan para Wali lainnya, seperti Sunan Bonang atau Sunan Giri, yang cenderung
tidak mau konpromi dalam situasi seperti itu. Sesungguhnya Sunan Kalijagatidak
hanya berhadapan dengan situasi masyarakat, tetapi juga menghadapi persoalan-persoalan
dengan sesama Wali. Dia mendapat tantangan dari dalam. Pendekatannya
dipertanyakan. Jalan yang dilaluinya
cukup terjal dan berliku.
Tetapi
situasi itu dihadapi dengan bijaksana penuh empati, sesuai dengan
prinsip-prinsip pendidikan dan dakwah dalam Islam. Maka ke dalam dia membangun
dialog, menjawab kritik dengan memberikan alternatif pemecahan yang logis dan
realistis. Keluar, kepada masyarakat dan lingkungan luar, dia mencari inspirasi
dari kepercayaan atau tradisi yang sudah, bahkan yang dianggap harus diberantas
oleh kawan-kawannya. Ketika dia berhadapan dengan masyarakat yang tidak kenal
dengan Islam, dia tidak langsung mengajarkan tentang rukun Islam, syahadat dan
shalat, melainkan dengan terlebih dahulu menanamkan sugesti, bernuansa magis, sesuai
dengan kondisi batin orang-orang Jawa pada umumnya, pada masa itu. Kemudian
mengenalkan tokoh-tokoh panutan dalam Islam, dan beberapa istilah penting
(istilah kunci). Baru kemudian mengenalkan rukun Iman.
Walisongo,
khususnya Sunan Kalijaga, melakukan pendekatan atau cara yang sangat bijaksana,
masuk melalui pendidikan dan budaya, dalam arti memberikan warna dasar pada
budaya. Bukan dengan cara yang frontal, membongkar atau menendang agama dan
kepercayaan, ada istiadat dan kearifan lokal. Tetapi dengan cara bijak
menyusup, menggeser setapak demi setapak atau membungkus selapis dengan selapis
dengan Islam atau dengan nilai-nilai Islam.
Catatan
akhir
Betul
kata penulis bahwa tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada sesuatu yang
sempurna, apalagai kalau itu adalah cara atau sratagi atau pendekatan. Karena
ia selalu terikat pada waktu tertentu, pada tempat dan masa tertentu. Ia ada
untuk menjawab kebutuhan zamannya di tempatnya dilahirkan. Pendekatan Sunan
Kalijaga, pada bagian tertentu, terlihat
berhasil melahirkan peradaban yang harmonis, yang nyaris sempurna. Tetapi juga mendapat
banyak kritik, karena dianggap melahirkan sinkritisme, yang mengaburkan ajaran
yang murni.
Pendekatan
Sunan Kalijaga cenderung sufistik, dan itu ditegaskan dengan menggunakan
istilah suluk. Pendekatan ini mengajak orang untuk lebih banyak merenungkan makna
kata dan realitas. Dalam situasi yang relatif tenangpun cara ini memerlukan
waktu dan ketenangan. Orang tidak bisa merenungan realitas sambil bekerja atau
beraktivitas. Oleh karena itu perlu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk
merenungkan makna-makna dari realitas untuk memperoleh makna baru atau
pembelajaran yang mencerahkan. Disamping itu juga perlu seorang pendamping,
atau seorang pembimbing. Kalau dalam istilah tarekat, perlu seorang mursyid.
Tanpa pendamping, atau kawan berdiskusi, maka orang bisa memiliki tafsir
sendiri tentang apa yang dibaca, dan itu bisa berarti jauh dari apa yang
dimaksudkan oleh penulis atau sang Guru.
Buku
ini sangat menarik, menginspirasi, tetapi ini bukan bacaan yang ringan. Untuk
mencernanya, perlu melengkapi diri dengan pengetahuan sejarah, khususnya
sejarah tentang masuknya Islam di Nusantara khususnya di Jawa, pengetahuan
tentang sufisme, dan posisinya dalam Islam, tentang Wali Sanga sendiri. Karena
buku ini tidak secara spesifik menyebut menyentuh itu secara memadai. Mungkin
pembaca tertolong jika sudah terbiasa dengan bacaan tentang Wali Sembilan, atau
memiliki pengetahuan memadai tentang sejarah penyebaran Islam.
Wamaa
taufiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wailaihi unib.
Jakarta, 2 November
2016.
Helmy Ali Yafie
Sekjen Darud Dakwah
wal Irsyad (DDI)
Pengantar untuk
buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA: JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk
Kidung Kawedar, diterbitkan oleh Pustaka IIMaN (0851-0000-76920).
___________________________________________
Catatan kaki:
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda