Kamis, 06 Juli 2017

TEMBANG PENGANTAR MEMAHAMI TUHAN SECARA ISLAMI ALA SUNAN KALIJAGA


Tembang Pengantar Memahami Tuhan Secara Islami Ala Sunan Kalijaga.

Oleh: Parni Hadi. 

Ini lebih soal rasa daripada rasio. Perasaan lebih berperanan daripada pikiran.Menurut kajian psikologi, pikiran dan perasaan saling mempengaruhi dan atamelengkapi. Karena itu, sebagian orang berujar: “ Saya rasa”. Padahal, maksudnya: “Saya pikir”. Kedua kata secara maknawi sering saling berkelindan.

Berbicara soal agama dan keyakinan serta hal-hal yang bersifat spiritual, menurut saya, menyoal sesuatu beyond logic. Di luar atau melampaui logika atau jangkauan akal. Perasaan, lebih tepatnya, penghayatan memegang peranan penting.

Demikian pula ketika membaca buku “Suluk Kidung Kawedar: Jalan Makrifat Sunan Kalijaga karya Mas Bambang Wiwoho, yang biasa saya panggil Mas Wie, ini.

Suluk berasal dari kata Arab yang berarti cara, jalan dan atau laku untuk mendekatkan diri kepada Alah, Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam, Suluk adalah bagian Tasawuf, yang berarti ajaran tentang tata laku untuk memahami dan mendekatkan diri menuju kepada Allah. Pelaku Tasawuf disebut sufi.

Suluk yang saya kenal sejak kecil adalah nyanyian oleh dalang sebelum membuka dan atau memulai babak (adegan) baru dalam pertunjukan wayang. Cara menyanyi sang dalang berbeda dengan para penyanyi lainnya, yakni pesinden (penyanyi wanita) dan wirasawra (penyanyi pria) sekalipun dalam pertunjukan yang sama.

Suluk terdengar lain, menggiring ke sebuah suasana batin pendengarnya sesuai suasana yang akan ditampilkan dalam pertunjukan: gembira, sedih, mengibur dan memberi semangat. Suluk berfungsi memimpin, membuka jalan. Sama dengan dalang yang juga berfungsi sebagai pemimpin dan penangungjawab seluruh pertunjukan dan para pendukung pertunjukan. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah dalang atau mastermind, otak, sebuah peristiwa, yang sering tidak kelihatan atau tidak mau muncul alias di belakang layar.

Dalam pertunjukan wayang kulit, dalang duduk di depan layar, membelakangi penonton, yang berada di depan, di halaman luar. Sang dalang hanya tampak blangkon (tutup kepala)-nya punggung dan keris yang diselipkan dalam sabuknya. Ia menghadap layar atau kelir (tabir) dan penonton yang duduk di dalam rumah, biasanya sang tuan rumah, yang menanggap, sesepuh, tokoh yang dihormati dan kerabat dekatnya.

Sang dalang tidak dapat melihat dengan jelas wajah penonton di depannnya karena terhalang layar atau kelir (tabir atau hijab). Demikian pula para penonton. Namun tentu dalang dan sang penanggap tempat duduknya lebih dekat dan lebih mudah berkomunikasi dibanding penonton umum.

Dalam dunia spiritual, Tuhan sering dilukisan sebagai dalang, sedangkan manusia dan makhluk lain ciptannya sebagai wayang.

Kidung sama dengan tembang, nyanyian atau lagu. Tapi, karena didahului dengan kata suluk, ini lagu tidak sembarang lagu. Ini lagu tentang tata laku mencapai makrifat, memahami hal-ihwal yang gaib-gaib, misterius dan bersifat spiritual. Kidung ini diyakini mengandung tuah atau daya yang membawa keselamatan bagi yang menyanyikan, mendengarkan dan bahkan hanya menyimpannya. Kidung ini mengandung kekuatan magis. Kidung ini diyakini oleh penggubah dan pengikutnya sebagai mantera tolak bala.

Kawedar berasa dari kata bahasa Jawa. Artinya: tergelar atau digelar, terbuka atau dibuka agar mudah difahami. Jadi, Suluk Kidung Kawedar bisa dimaknai sebagai penjelasan tentang cara atau laku mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui kidung tembang (dan atau mengidung/ menembang).

Manusia Terpilih

Orang yang memberi penjelasan atau juru penerang dalam bahasa Jawa disebut pamedhar. Karena itu, dalam kosa kata bahasa Jawa ada pamedhar sabda atau penceramah atau orang yang menyampaikan pidato. Biasanya, yang berpidato itu orang yang dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih daripada rata-rata hadirin atau pendengarnya.

Umumnya, tugas memberikan pidato diserahkan kepada orang yang usianya sudah tua, sesepuh atau pinisepuh, seorang yang dianggap memiliki banyak pengetahuan karena pengalaman hidupnya yang lama, dan atau seorang ahli di bidangnya. Tegasnya, orang yang mumpuni.

Nah, yang medhar (menjelaskan) kidung ini adalah Kanjeng Sunan Kalijaga, salah seorang dari “Wali Songo”, penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 Masehi. Seorang Wali, biasa disebut Waliyullah atau Awliya (jamak) adalah wakil Allah. Seorang wali adalah manusia terpilih (janma pinilih). Yang memilih Allah sendiri. Manusia pilihan ini umumnya pernah mengalami  beban hidup yang tidak tertahankan oleh orang biasa. Ia tahan ujian fisik, otak dan mental lewat berbagai macam godaan.

Hal itu dilakoni oleh Sunan Kalijaga (diduga lahir tahun 1430M) yang bernama kecil Raden Mas Said, putra Adipati Tuban, Wilwatika. Berdarah biru, tapi pernah menjalani hidup sebagai kecu (begal, berandal, maling) dengan nama Begal Lokajaya, sebelum berjumpa dengan Sunan Bonang, waliyullah, yang kemudian menjadi gurunya.

Menurut sejumlah legenda dan atau mitos, Lokajaya disuruh sang guru menunggui tongkatnya di pinggir kali selama beberapa waktu (tahun), hingga tongkat itu tumbuh menjadi dhapuran pring (serumpun pohon bambu). Ia setia menunggui tongkat itu dan sekaligus menjaga kali, hingga ia mendapat julukan Sunan Kalijaga.

Apa yang dituangkan dalam kidung yang tediri dari 46 pupuh (bait) itu adalah pengalaman batin (spiritual) ketika beliau menunggu tongkat dan kali itu. Di situ Lokajaya mendapat pencerahan batin, spiritual enlightenment, penglihatan batin. Ia dikaruniai kemampuan melihat sesuatu yang gaib-gaib, tidak kasat mata, berkat kasih sayang Allah, yang telah memilihnya. Ia mencapai makrifatullah, memahami rahasia Allah, Sang Maha Gaib.

Ia sudah merasa mengalami asarira tunggal (beberapa dzat Tuhan menyatu dalam dirinya) atau Manunggaling Kawula-Gusti, bersatunya hamba dan Khalik (Sang Pencipta) dalam  rasa, bukan seperti menyatunya benda-benda yang kasat mata.

Bagi manusia terpilih, semuanya telah manunggal menjadi satu seperti hakikat Allah Yang Tunggal adanya, sekalipun disebut dengan berbagai nama oleh manusia sesuai tempat, budaya dan keyakinannya. Bagi Sunan Kalijaga, Suluk, Kidung, Wedaran (ajaran), dan dirinya telah menjadi satu terliput dalam dzat Allah. “The song, the content, the composer and the singer are one in God” (Lagu, pesan, komponis dan penyanyinya adalah satu dalam liputan dzat Tuhan). Ini tercermin dalam ungkapan salah satu bait “kidung angidung” (tembang yang menembang). “A singing song” (lagu yang menyanyikan dirinya sendiri).

Jadi Sunan Kalijaga adalah penggubah dan pelantun, sekaligus isi lantunan itu sendiri berkat kuasa Allah yang terlibat di dalamnya. Sunan Kalijaga berfungsi sebagai  penafsir dan sekaligus juru penerang apa yang dialaminya sendiri berkat kehendak Allah. Beliau manusia terpilih.

Demikian pula, Mas Wie, penulis buku Suluk Kawedar Sunan Kalijaga. Ia menafsirkan apa yang telah ditafsirkan oleh Jeng Sunan Kali atas apa yang difahaminya tentang Allah. Mas Wie telah terpilih oleh Allah sebagai penafsir ajaran Sunan Kalijaga.

Mas Wie, sama dengan Sunan Kali, tapi dengan derajat (maqam) mungkin berbeda, adalah salah satu dari penafsir Allah, yang tak pernah bakal bisa ditafsirkan secara sempurna oleh manusia karena Tuhan  bersifat “tan kena kinoyo ngopo” (laisa kamitslihi syai’un) alias Allah tidak sama dengan sesuatupun atau tak terlukiskan dengan apa pun jua. Saya yakin, Mas Wie juga pernah mendapat pengalaman batin luar biasa, yang tak sembarang orang memperolehnya. Kalau ditanya, Mas Wie tentu tidak akan mau menceritakannya karena itu pantangan, kecuali sesama murid tunggal guru dan tunggal ilmu (pemahaman atas suatu ajaran)

Sebetulnya, karya Mas Wie sudah lengkap. Setiap pupuh (bait) yang tertulis dalam bahasa Jawa diikuti terjemahan artinya dalam bahasa Indonesia. Rujukan atau referensi pustakanya juga berjibun. Maklum ia seorang wartawan senior, yang kini berusia 68 tahun. Rujukan utama adalah Al Quran dan Hadits, buku-buku karya tokoh sufi tingkat dunia, termasuk Al-Ghazali, dan kitab-kitab karya tokoh Islam Indonesia terkemuka Prof. Dr. Hamka, mistikus Islam Jawa, terutama Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Bertebaran kutipan dari buku piwulang (ajaran) faslafah Jawa seperti Wedhatama, Wulangreh dan Centhini. Juga beberapa ajaran yang disebut Kejawen, Islam Jawa atau Islam “rasa” Jawa perguruan ilmu kebathinan dan spiritual merujuk atau bersumber dari Suluk Kidung Kawedar.

Mas Wie mengutip langsung dari buku-buku dan atau yang sudah tersiar di media on-line. Jadi, sebenarnya buku karyanya ini tidak perlu kata pengantar lagi. Ibarat nguyahi segara (menggarami lautan). Tapi, dengan rendah hati ia meminta saya tetap membuat pengantar. Alasannya, tidak ada sesuatu yang dapat dibilang sudah legkap kalau berbicara tentang Tuhan. Ibarat daun seluruh jagad sebagai kertas dan air seluruh samudera sebagai tinta tidak akan cukup untuk mengulas tentang Allah, yang maha segalanya.

Pendekatan Budaya

Sunan Kalijaga melakukan penyebaran Islam dengan cara yang up to date, paling mutakhir waktu itu nut jaman kelakone (menurut semangat jaman) seperti kata Ki Dalang Narto Sabdo (alm) atau Zeitgeist, kata orang Jerman.

Njeng Sunan Kali (jaga) memperkenalkan Islam selapis demi selapis melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal (local wisdoms) Jawa, yang waktu itu masih didominasi oleh agama Syiwa-Budha. Beliau tidak sekaligus memperkenalkan Islam secara frontal, melainkan dengan memadukan istilah-istilah Islam dengan istilah-istilah dalam agama yang masih berlaku. Hasilnya, Islam diadopsi orang Jawa secara damai, tanpa kekerasan dan perang yang memakan korban jiwa dan harta benda serta trauma.

Banyak teori yang menyatakan mudahnya orang Jawa masuk agama Islam. Antara lain, karena Islam tidak mengenal kasta, tidak seperti agama yang mereka anut sebelumnya. Beberapa bentuk seni budaya diadopsi dan disinergikan dengan seni budaya yang berasal dan bernuansa Arab, tempat asal Islam.

Beliau  menciptakan seni-budaya baru, yang menggabungkan keduanya. Gamelan, tembang dan wayang dipertahankan dan bahkan diperkaya dengan perangkat dan lakon-lakon baru. Misalnya, lakon Wahyu Jamus Kalimasada untuk memperkenalkan Kalimat Syahadat.

Ia mempergunakan falsafah empan papan atau local setting, di mana bumi dipijak, di situ adat dijunjung. Sunan Drajat, juga seorang wali, yang berdakwah di Lamongan, pantura Jawa Timur, menyampaikan nasihat agar orang suka tolong menolong dengan idiom-idiom lokal, bukan Arab. Berikut adalah nasihatnya: “Menehana payung marang wong kang kodanan, menehana teken marang wong kang kalunyon, menehana pangan marang wong kang kaluwen lan menehana sandang marang wong kang kawudan”.

Nasihat itu mengandung ajakan:  Berilah payung kepada orang yang kehujanan, berilah tongkat kepada orang yang berjalan di tempat licin, berilah makan kepada orang yang kelaparan dan berilah pakaian kepada orang yang telanjang. Yang banyak hujan dan tanahnya licin kalau kena air adalah Pulau Jawa, termasuk Lamongan dan sekitranya, Arab Saudi jarang mendapat hujan dan wilayahnya berupa padang pasir, jadi orang jarang mengalami berjalan di tanah yang licin. Sunan Drajat tidak langsung menyebut ayat Al-Quran yang mewajibkan muslim untuk membayar zakat, infaq dan sedekah serta wakaf.


Tawarkan Keselamatan

Dengan piawinya, Njeng Sunan Kali meramu kidungnya dengan pembukaan yang pas untuk semua orang di setiap jaman, lebih-lebih waktu itu, yakni keselamatan. Islam sendiri bermakna selamat dan pasrah kepada kehendak Allah.

Kidung itu dibuka dengan kata-kata yang bermakna mistis, magis untuk menolak bala: penyakit, bencana dan gangguan makhluk halus. Guna-guna, tenung, teluh, santet, niat jahat, pencuri, binatang buas, senjata tajam, kayu dan tanah wingit dan hama penyakit semuanya menyingkir, tidak mempan. Perawan tua dapat segera dapat jodoh dan orang gila dapat sembuh. Semua musuh menjadi sayang, jatuh cinta kepada membaca kidung ini.

Maka tembang itu juga disebut sarira ayu (badan sehat segar, bugar, cantik). Pengidung dikelilingi bidadari, dijaga malaikat, semua rasul. Semua “manunggal”, menyatu dalam dirinya. Sejumlah nama nabi disebut: Adam sebagai hati, Syits sebagai otak, Musa sebagai ucapan, Isa sebagai nafas, Yakub sebagai telinga, Yusuf sebagai rupa, Daud sebagai suara, Sulaiman sebagai kesaktian, Ibrahim sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunus di otot dan Muhammad (saw) sebagai mata/penglihatan.

Disebut juga nama para sahabat dan keluarga Muhammad telah menyatu dalam dirinya. Patimah (Fatimah) putri Nabi Muhammad sebagai sumsum, Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah, Ngumar (Umar) daging dan Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.

Penyebutan nama-nama dalam bait 3 sampai 5 itu, masih perlu tafsir atau penjelasan lebih luas, walau itu mungkin pemahaman atas pengalaman gaib pribadi, yang tidak bisa difahami orang lain, lebih-lebih  bagi banyak orang sekarang. Setiap “salik” (pelaku suluk) mempunyai pengalaman masing-masing yang unik. Mungkin, nama-nama mulia itu disebut karena semangat, sifat dan karomah mereka agar masuk, merasuk dalam diri sang pengidung sebagai pelindung atau tolak bala, sesuai sikon lokal dan keperluan masyarakat saat itu, yakni keselamatan. Penyebutan nama itu mungkin juga dikaitkan dengan ungkapan; “Allah melihat, mendengar dan berucap dengan mata, telinga dan mulut saya”. Inti maknanya, merasuk Islam berarti terjaminnya keselamatan lahir-batin.

Penyebutan nama-nama itu jelas untuk mempermudah cara memperkenalkan malaikat, para nabi, Muhammad (saw), keluarga dan empat sahabatnya dalam penyebaran Islam kepada orang Jawa yang semula beragama Syiwa-Budha.

Kidung itu diyakini punya banyak kesaktian: mudah cari rezeki, jodoh, mudah mencari pekerjaan (mengabdi), mau terkena denda bebas dan yang punya hutang atau tidak jadi ditagih. Musuh menyingkir, semuannya takluk. Pokoknya, banyak deh, manfaatnya. Kalau tidak percaya, ya silahkan membaca sendiri!

Sunan Kali melalui kidung juga memperkenalkan beberapa surat dan ayat Al-Quran, yang dianggap ampuh. Di antaranya surat Al-Ikhlas, yang disebutnya Surat Kulhu, karena dibuka dengan Qulhu, surat An’Aam, yang disebut suratul Ngam Ngam. Maklum, orang Jawa dulu sulit mengucap bunyi huruf Arab ‘ain. Sehingga, ada orang Jawa yang namanya Sangidu (dari Sayyidu), Sangit (dari Sayyid),  Fatongah (dari Fathonah). Ayat Kursi yang dikenal luas ampuh untuk mengusir segala macam godaan juga disebut. Kidung itu diyakini begitu ampuh, hingga jika dibaca di laut, air laut pun mengering (segara asat). Mungkin berlebihan. Tapi, itulah yang tertulis dan dipercaya banyak orang untuk mencapai keselamatan hidup.

Tapi keampuhan atau kesaktian itu akan mewujud jika yang menyanyikan kidung itu menjalani laku tertentu, seperti berpuasa “mutih” (makan nasi putih tanpa garam), berpuasa selama 40 hari dan kidung itu disenandungkan pada malam hari tatkala sunyi-sepi. Artinya, pelantun harus menjalani “laku”, seperti berpuasa dengan mengurangi tidur (tentang ini bisa dilihat di buku tulisan Mas Wie dengan pengantar antara lain dari saya, yaitu Bertasawuf di Zaman Edan, bab Bila Mati Dengan Sesuap Haram, halaman 243).

Sunan Kali juga mengenalkan Allah, sebutan Tuhan dalam bahasa Arab, bahasa yang dipakai Al Quran. Orang Jawa sebelummya sudah mempunyai beberapa sebutan untuk Tuhan, seperti Pangeran, Gusti Pangeran, Hyang Widhi Wasa, Hyang Kang Murbeng Dumadi, Gusti Kang Maha Kuwasa, Hyang Tunggal (nama dewa dalam pewayangan), Hyang Suksma Kawekas dan setelah Islam masuk, yang sering digunakan adalah Gusti Allah. Beberapa sebutan itu dipakai Sunan Kali. Maksud dari berbagai sebutan nama Tuhan itu adalah sama, yakni Yang Satu, Yang Tunggal, Yang Maha Esa itu seperti disebut  dalam Suratul Kulhu.

Tumbuh Di Tanah Yang Subur

Pendekatan budaya yang dilakukan Njeng Sunan Kali dalam memperkenalkan Islam ibarat menyebar biji di tanah yang subur. Orang Jawa, penduduk Pulau Jawa, menurut buku “Bawarasa Kawruh Kejawen: Ngelmu Hidup” (Senandung rasa tentang Ilmu Kjawen; Falsafah Bekal Hidup) karya Ki Sondong Mandali, menyebutkan, sebelum agama Syiwa (Hindu)-Budha dan Islam masuk, orang Jawa sudah memiliki sistem religi sendiri.

Orang Jawa memiliki ritual menyembah (manembah) Tuhan berdasar tiga konsep:
1.   Menyembah/berbakti kepada Tuhan, penguasa alam semesta dengan selalu eling (sadar) terus menerus.
2.   Melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan  berbagai ritul ‘sesaji’.
3.   Melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.

Ketiga konsep itu sama dengan ajaran Islam. Konsep pertama disebut hablum-minallah, konsep kedua terkait dengan rahmatan lil ‘alamiin dan konsep ketiga hablum-minannas. Yang banyak disebut hanya yang pertama dan kedua, yakni hablum-minallah dan hablum-minannas. Seorang ustadz yang tertarik dengan tasawuf, mengatakan mestinya hablum-min’alam perlu juga disebut.

Jadi, ada trilogi semboyan mengabdi kepada Alllah:
1 Hablum-minallah
2. Hablum-min’alam
3. Hablum-minannas

Dengan alasan semua makhluk isi alam semesta ini, termasuk makhluk halus, binatang dan tanaman adalah sesama saudara ciptaan Allah, orang Jawa melakukan sesaji untuk menghormati saudaranya dan para leluhurnya, bukan untuk menyembah. Praktek sesaji ini dianggap musyrik atau klenik.

Sunan Kalijaga mengubah sesaji ini dengan sedekah. Toh, makanan dan minuman yang disajikan untuk makhluk halus halus dan arwah para leluhur itu akhirmya juga dimakan manusia dan atau binatang, makhluk hidup ciptaan Allah jua. Makhluk halus hanya ingin dan cukup menghirup bau atau sarinya saja. Wallahu a’lam.

Sunan Kali juga menggunakan simbol burung yang diberi nama “Segara Rob” dalam melukiskan betapa sulitnya mencari, menemukan dan manunggal dengan Tuhan. Mistikus Islam, Abū Ḥamīd bin Abū Bakr Ibrāhīm Farīd ud-Dīn ʿAṭṭār (1145-1221) menggunakan simbol burung “Simurgh”. Dikisahkan, ribuan Simurgh ingin mencari Tuhan. Dari ribuan, tinggal 40 dan tersaring lagi tinggal empat ekor. Dan burung itu menemukan Tuhan itu ternyata dirinya sendiri. Jumlah empat itu dalam khasanah budaya spiritual Jawa dikemas dengan istilah “sedulur papat kelima pancer“ (empat saudara, kelima pusat, dirinya sendiri).

Angka empat juga dikaitkan dengan arah mata angin, empat unsur bahan manusia, yakni bumi (tanah), air, api dan angin, dan empat nafsu manusia, yakni amarah, lawwamah, sufiah dan mutmainah dengan empat warna masing-masing, yakni merah, hitam, kuning dan putih. Juga dikaitkan dengan empat sahabat Nabi Muhammad (saw). Mungkin serba “othak-athikl, mathuk-gathuk” atau dicocok-cocokkan. Yang jelas, penyebaran Islam di Tanah Jawa bisa mudah masuk berkat pendekatan budaya local.

Fenomena Universal

Prinsip-prinsip Islam purba, istilah yang digunakan dalam buku “Nonviolent Soldier of Islam” karya Eknath Easwaran, menyebut persaudaraan universal, ketakwaan kepada Tuhan dan mengabdi kepada Tuhan dengan cara memelihara seluruh ciptaan-Nya. Buku itu diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta, 2008 itu dengan judul Badshah Khan, Kisah Pejuang Muslim Anti Kekerasan yang terlupakan. Ia adalah sahabat, pengikut setia Mahatma Gandhi, sehingga ada yang menjuluki keduanya sebagai “Dua Gandhi”.

Menggubah tembang  (dan atau puisi) sebagai alat penyampai gagasan dalam pendidikan tasawuf, sufisme dan makrifat dilakukan sejak dulu kala, sebelum Sunan Kali Jaga lahir (diperkirakan lahir 1430 M). Berikut adalah beberapa contoh: Bhagavad Gita (bagian Mahabaratha) karya Resi Vyasa, Minhajul’ Abidin (Menuju Mukmin Sejati) karya Al Ghazali (1058-1111M), Mastnawi karya Jalaluddin Rumi (1207-1273M), Gitanjali karya Rabindranath Tagore, peraih hadiah Nobel bidang sastra pertama dari Asia tahun 1913 dan para penyair pemula, perintis sastra Indonesia (Nusantara) seperti Nuruddin Araniri dan Hamzah Fansuri. Sunan Bonang, guru Sunan Kalijaga juga menggubah tembang “Suluk Wujil” dan mencipta alat musik gamelan Jawa, yakni bonang.

Tentang penyatuan dengan Tuhan, Kidung Sunan Kali mulai membahasnya di bait 15 sampai 18.  Manunggaling Kawula Gusti adalah hal yang musykil. Banyak orang yang mencela itu keliru dengan alasan tidak mungkin hamba bertmu dengan Khalik, Tuhan Sang  Maha Pencipta. Yang pro menjawab, ini bukan pertemuan fisik, tetapi pertemuan “rasa”, sesuatu yang gaib, misterius, mistik, unik dan hanya bisa dicapai para salik dan manusia terpilih dan hanya dengan ijin Tuhan belaka.

Soal manunggalnya manusia dengan Tuhan itu, seorang tua pernah berkata “Allah iku sak jatine ora liya ya Ingsun”. Artinya, Allah itu sejatinya tidak lain saya Ingsun (Saya). Konon itu kutipan dari sebuah hadits, yang berbunyi “waman ‘arafa nafsahu faqad’ arafa rabbahum. (Siapa yang tahu dirinya, sungguh ia tahu Tuhannya”. Ungkapan ini jika diterima harfiah bisa geger, Syeh Siti Jenar, salah seorang wali, konon dihukum mati karena ucapannya tentang itu, yang menganggap dirinya Allah.

Karena itu, buku “Kunci Swarga” (Miftahul Jannati), melengkapi ungkapan itu dengan:  waman ‘ arafa rabbahu faqad jahilla nafsahu”, Artinya, Siapa (yang merasa) tahu Tuhannya sejatinya ia benar-benar bodoh dalam ilmu).

Buku karya Ki Brata Kesawa dalam Bahasa Jawa yang terbit tahun 1952 ini mengungkapkan, yang dianggap sebagai Allah oleh orang yang mengaku tadi hanyalah “bayangan”-Nya.  Buku ini mengibaratkan ada seribu “jembangan” (tempayan dari tanah liat) berisi air di alun-alun, di masing-masing jembangan ada “bayangan” matahari. Mataharinya, tetap satu, bukan seribu. Ini ajaran tentang Tauhid (ke-Maha-Esa-an Tuhan). Agar bisa melihat bayangan matahari dengan jelas, air harus dijaga tetap bening, tidak keruh, dan tenang, tidak beriak.

Sunan Kali dalam kidung itu mempergunakan diksi Mami,Wang (ingwang) dan Ingsun, yang berarti aku atau saya. Ini sesuatu yang pelik, rumit dan susah, tapi dilukiskan secara indah dengan ungkapan “bertanya tentang  sarangnya angin, “galih kangkung” (inti batang kangkung), mengambil air dengan pikulan yang terbuat dari air”, mengambil api dengan pelita dan batas antara samudera dan langit. Sesuatu yang  sudah “jumbuh” (manunggal).

Dalam cerita wayang kulit, kisah itu terdapat dalam lakon “Dewa Ruci”. Bima menyemplungkan dirinya ke dalam samudra yang bergolak (lambang nafsu)  dan di kedalaman samudera ia menemukan Dewa Ruci, Tuhannya, yang rupanya persis seperti dirinya. Walau wujudnya kecil, sepert “anak bajang” sebesar kelingking Bima, tapi Bima bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui kuping kirinya dan di dalam diri Dewa Ruci, ia mendapatkan ajaran kesempurnaan hidup. Bima telah mencapai makrifat dan katrem (tenggelam) dalam nikmat Ilahiah yang tidak ada bandingannnya. Ia tidak merasa lapar, haus, khawatir. Yang ada hanya perasaan tenteram, aman dan damai. Ia tidak punya keinginan apapun. Ia minta ijin untuk menetap di dalam diri Dewa Ruci, tapi ditolak karena tugas atau darma hidupnya di dunia belum selesai, yakni melalukan amar ma’ruf dan nahi mungkar untuk membinasakan angkara murka yang menjelma dalam wujud Kurawa lewat Perang Bharatayudha. Istilahnya Bima harus “tapa ngrame” (bertapa di tempat ramai dengan melalukannya tanpa pamrih.

Untuk mengendalikan hawa nafsu dan menjernihkan serta menenangkan pikiran, perasaan dan jiwa, Sunan Kalijaga menyarankan sang pencari Allah berpuasa, menahan hawa nafsu sambil berzikir. Zikirnya berbunyi :” Ya Hu Dat (Dzat)”, yang kemudian berkembang dalam praktek menjadi: “Ya Hu Allah, Hu Allah, Allahu”.

Rumi (1207-1273M) dalam “Fihi ma Fihi” melukiskan dualisme yang manunggal itu. Dr. Wheeler Thackson menerjemahkan “Fihi ma Fihi”, yang berisi ceramah, diskursus and dialog tentang berbagai topik sebagai “Signs of the Unseen” (Tanda-Tanda Yang Tidak Dapat Dilihat). “ In It, What is In It” (Di dalam, tapi apa yang di dalam). Orang Jawa memilih ungkapan “Ana ning ora ana, ora ana ning ana” (Ada, tapi tidak ada, tidak ada, tapi ada). Bingung? Tidak perlu bingung, coba lakukan mengidung dan atau berzikir dengan penuh perasaan (penghayatan), Insya Allah, akan terbuka hijab atau tabir itu dengan bimbingan seorang guru (mursyid), yang sudah mengalami sendiri. 

Selalu bersama Tuhan.

Zikir dan wirid adalah mengucapkan (reciting) secara berulang-ulang sebagai sarana untuk mengingat Tuhan. Ada yang berpendapat zikir atau wirid di dalam hati (batin) dan atau boleh sambil berguman lebih baik daripada dibaca keras-keras. Isi zikir dan wirid adalah puji-pujian persembahan kepada  keagungan Tuhan, sekaligus doa. Demikian pula kidung. Di agama Hindu dikenal ada mantra dan Mazmur di agama Kristen. Tujuan semuanya adalah agar kita selalu ingat kepada Tuhan. Orang Jawa bilang eling (sadar, terjaga, waspada) atas kehadiran Tuhan di sembarang tempat dan waktu, karena Tuhan tidak pernah mengantuk dan tidur. Bagi kaum pencari hakikat, sholat (sembahyang) yang terbaik adalah “sholat daim”, yakni sholat sepanjang waktu, di sembarang tempat dan sedang melakukan apa saja. Apa yang dipikirkan, dikatakan dan dikerjakan diniatkan sebagai ibadah, menyembah Tuhan dalam pengawasan, penjagaan, penyelenggaraan dan pemeliharaan Allah.

Apa manfaat Suluk Kidung Kawedar di era modern, teknologi digital dan medsos (media sosial) yang serba instan kini. Tentu ada dan bahkan banyak, di-antaranya memperluas wawasan pemikiran, mengetahui sejarah bangsa yang kaya, mempelajari strategi penyebaran ilmu secara damai dengan pendekatan budaya (keaifan) lokal dengan khasanah tak terbayangkan yang perlu dilestarikan dan dapat “dijual” sebagai obyek wisata spiritual. Yang paling pokok, kidung itu menawarkan keselamatan sebagai sumber kebahagiaan dan kedamaian batin (peace of mind).

Yang saya maksud dengan wisata spiritual, tentu bukan “klenik”, tapi sesuatu yang bisa diverifikasi secara ilmu pengetahuan modern, terutama medis. Bentuknya, layanan pengobatan holistis (menyeluruh), yang menggabungkan cara pengobatan medis Barat dan Timur, khususnya Nusantara, meliputi obat herbal, pijat (fisioterafi), layanan kesehatan jiwa (psikologi) dalam bentuk kontemplasi dan meditasi dengan mengidung dan berzikir yang diiringi alunan musik Nusantara yang ritmistis, kontemplatif dan meditatif. Gamelan Jawa, hanya dengan beberapa alat, yakni siter, gender dan gambang, mampu menyajikan situasi kebersamaan, kerukunan dan keselarasan hidup bersama seluruh alam semesta (hablun min’alam). Untuk gamelan Sunda, mungkin bisa dengan kecapi dan suling. Untuk jenis musik  Nusantara lainnya dapat menyesuaikan. Perlu keterlibatan etnomusikolog. Untuk Itu, Mas Wie dkk tengah menyusun Jejaring Macapatan Nusantara, sebab Macapat (membaca empat-empat dengan bersenandung dan iringan music/gamelan terdapat di beberapa wilayah Nusantara.

Pelayanan pengobatan holistik, perlu keterlibatan dokter, ahli farmasi, psikolog,  fisioterafis, budayawan dan ruhaniawan, terutama “salikien” (para pelaku suluk), lintas agama/keperacayaan. Plus peralatan uji klinis modern.

Apa Suluk Kidung Kawedar tidak perlu “purifikasi” (pemurnian), mengingat sudah berusia lima abad lebih dan ada kesan bernuansa campuran praktek ritual berbasis budaya Jawa dan Islam? Sebagai orang yang bukan ahli agama Islam, saya lebih cenderung memakai istilah “penyempurnaan”.  Peminat, pembelajar dan mungkin pengikut (yang mempraktekkan) kidung meliputi berbagai pengikut agama dan kepercayaan. Sejumlah “romo” (pastur), pimpinan agama Katholik melakukan riset mendalam tentang budaya Jawa. Diantaranya, Romo J.P. Zoetmulder, yang desertasinya berjudul “Manunggaling Kawula Gusti”, yang sudah dibukukan. Sebelumnya, ia menulis buku “Kalangwan” (Mempesembahkan yang serba indah). 

Pengalaman batin merasa bersatu dengan Tuhan, bagi yang pernah mencicipinya, sungguh sangat menggairahkan, membahagiakan dan mendamaikan, tiada bandingannya dengan kenikmatan duniawi. Serba indah dan damai.

Rabindranath Tagore dalam salah satu puisinya melukiskan dengan indah kemanunggalan setiap saat dengan Tuhan sbb:

They who are sitting near me, do not know that You are nearer than they are,
They who are speaking with me, do not know that my heart is full with Your unspoken words,
They who are crowding in my path, do not know that I am walking only with You,
And they who love me, their loves bring You into my heart.

Terjemahan bebasnya:

Mereka yang duduk di dekat saya tidak tahu bahwa Engkau lebih dekat daripada mereka,
Mereka yang berbicara denganku, tidak tahu bahwa hatiku penuh dengan kata-kata Mu yang tak terucapkan,
Mereka yang berjubel di jalanku, tidak tahu bahwa aku berjalan sendirian bersama Engkau,
Dan, mereka yang mencintaiku, cinta mereka membawa Mu ke dalam hatiku.

Yang dimaksud You atau Engkau di sini adalah Tuhan. Tentu selalu mengingat Tuhan membuat seseorang selamat, terjaga dari perbuatan tercela atau maksiat, seperti korupsi.

Selalu eling memang penting. Tapi, tidak berarti sholat wajib, lima waktu tidak perlu atau boleh ditinggalkan. Tetap perlu, bahkan harus. Kitab piwulang (ajaran) Wedhatama sendiri menganjurkan agar Syariat (terutama sholat wajib, yang disebut sembah raga ) harus tetap dijalani sebagai tangga pertama, sebelum Tarekat (sembah cipta/kalbu) dan Hakikat (sembah jiwa) menuju Makrifat (sembah rasa).

Nabi Muhammad Saw, sang sufi agung, tetap menjalankan syariat. Contoh kongkrit dari manusia biasa, yang terpilih dan masih hidup kini dan dapat dijadikan “mursyid (guru pembimbing) dalam belajar Tasawuf adalah Prof. Kyai Ali Yafie yang terkenal dengan motto hidupnya BSM (Bersih, Sederhana dan Mengabdi). Mas  Bambang Wiwoho pernah menuliskan itu dalam bukunya “Bertasawuf di Zaman Edan”.

Rumi yang dikenal sebagai mistikus Islam paling top di dunia saja, sebagai penganjur CINTA, saja pernah dikutip sebagai mengatakan: “Saya cuma debu di jalan Muhammad”. Kanjeng Nabi Muhammad diyakini para pengikutnya sebagai manusia terpilih, paling mulia sedunia, yang pernah mencapai puncak makrifat tertinggi melalui peristiwa spiritual paling agung, Isra’ Mi’raj

Ada orang Jawa yang menyamakan dan menyebut “Isra’ Mi ‘raj” dengan laku  “merogoh suksma”
(ngrogoh suksma”, melakukan “mati sajroning urip” (mati dalam hidup), masih berbadan wadag, tapi suksma (nyawa) nya bisa pergi mengembara ke alam gaib. Nabi Muhammad dikisahkan dalam “mi’raj” dapat berjumpa Allah. Tapi karena tugas hidupnya belum selesai, suksmanya diperintahkan Allah untuk kembali lagi ke dunia untuk mengajak pengikutnya, kaum Muslimin, melakukan sholat lima waktu. Begitu ceramah yang sering saya denngar dari kyai di kampung sekitar 60 tahun lalu.

Imam Al Ghazali menegaskan kaum Muslimin perlu “thaat”, disiplin dalam melaksanakan tata tertib, untuk menyembah Allah, mulai tertib bangun tidur, wudhu, sholat, berpuasa dsb sampai tetib dalam pergaulan. Itu tertuang dalam salah satu buku Al Ghazali yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bimbingan Permulaan Mencapai Hidayah”, karya alih bahasa Hm. Asa’ad EH. Jadi, untuk belajar Suluk Kidung Kawedar karya Sunan Kalijaga juga perlu pembimbing. Wallahu alam. 
{Pengantar untuk buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA: JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar, diterbitkan oleh Pustaka IIMaN (0851-0000-76920).}




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda