Tembang Pengantar Memahami Tuhan
Secara Islami Ala Sunan Kalijaga.
Oleh: Parni Hadi.
Ini lebih soal rasa daripada rasio. Perasaan
lebih berperanan daripada pikiran.Menurut kajian psikologi, pikiran dan
perasaan saling mempengaruhi dan atamelengkapi. Karena itu, sebagian orang
berujar: “ Saya rasa”. Padahal, maksudnya: “Saya pikir”. Kedua kata secara
maknawi sering saling berkelindan.
Berbicara soal agama dan keyakinan serta
hal-hal yang bersifat spiritual, menurut saya, menyoal sesuatu beyond logic. Di luar atau melampaui
logika atau jangkauan akal. Perasaan, lebih tepatnya, penghayatan memegang
peranan penting.
Demikian pula ketika membaca buku “Suluk
Kidung Kawedar: Jalan Makrifat Sunan Kalijaga karya Mas Bambang Wiwoho, yang
biasa saya panggil Mas Wie, ini.
Suluk berasal dari kata Arab yang berarti
cara, jalan dan atau laku untuk mendekatkan diri kepada Alah, Tuhan yang Maha
Kuasa. Dalam agama Islam, Suluk adalah bagian Tasawuf, yang berarti ajaran
tentang tata laku untuk memahami dan mendekatkan diri menuju kepada Allah.
Pelaku Tasawuf disebut sufi.
Suluk yang saya kenal sejak kecil adalah
nyanyian oleh dalang sebelum membuka dan atau memulai babak (adegan) baru dalam
pertunjukan wayang. Cara menyanyi sang dalang berbeda dengan para penyanyi
lainnya, yakni pesinden (penyanyi wanita) dan wirasawra (penyanyi pria)
sekalipun dalam pertunjukan yang sama.
Suluk terdengar lain, menggiring ke sebuah
suasana batin pendengarnya sesuai suasana yang akan ditampilkan dalam
pertunjukan: gembira, sedih, mengibur dan memberi semangat. Suluk berfungsi
memimpin, membuka jalan. Sama dengan dalang yang juga berfungsi sebagai
pemimpin dan penangungjawab seluruh pertunjukan dan para pendukung pertunjukan.
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah dalang atau mastermind, otak, sebuah peristiwa, yang sering tidak kelihatan
atau tidak mau muncul alias di belakang layar.
Dalam pertunjukan wayang kulit, dalang duduk
di depan layar, membelakangi penonton, yang berada di depan, di halaman luar.
Sang dalang hanya tampak blangkon
(tutup kepala)-nya punggung dan keris yang diselipkan dalam sabuknya. Ia
menghadap layar atau kelir (tabir)
dan penonton yang duduk di dalam rumah, biasanya sang tuan rumah, yang
menanggap, sesepuh, tokoh yang dihormati dan kerabat dekatnya.
Sang dalang tidak dapat melihat dengan jelas
wajah penonton di depannnya karena terhalang layar atau kelir (tabir atau
hijab). Demikian pula para penonton. Namun tentu dalang dan sang penanggap
tempat duduknya lebih dekat dan lebih mudah berkomunikasi dibanding penonton
umum.
Dalam dunia spiritual, Tuhan sering dilukisan
sebagai dalang, sedangkan manusia dan makhluk lain ciptannya sebagai wayang.
Kidung sama dengan tembang, nyanyian atau
lagu. Tapi, karena didahului dengan kata suluk, ini lagu tidak sembarang lagu.
Ini lagu tentang tata laku mencapai makrifat, memahami hal-ihwal yang
gaib-gaib, misterius dan bersifat spiritual. Kidung ini diyakini mengandung
tuah atau daya yang membawa keselamatan bagi yang menyanyikan, mendengarkan dan
bahkan hanya menyimpannya. Kidung ini mengandung kekuatan magis. Kidung ini
diyakini oleh penggubah dan pengikutnya sebagai mantera tolak bala.
Kawedar berasa dari kata bahasa Jawa. Artinya: tergelar atau digelar, terbuka atau
dibuka agar mudah difahami. Jadi, Suluk Kidung Kawedar bisa dimaknai sebagai
penjelasan tentang cara atau laku mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang
Maha Kuasa, melalui kidung tembang (dan atau mengidung/ menembang).
Manusia
Terpilih
Orang yang memberi penjelasan atau juru
penerang dalam bahasa Jawa disebut pamedhar.
Karena itu, dalam kosa kata bahasa Jawa ada pamedhar
sabda atau penceramah atau orang yang menyampaikan pidato. Biasanya, yang
berpidato itu orang yang dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih
daripada rata-rata hadirin atau pendengarnya.
Umumnya, tugas memberikan pidato diserahkan
kepada orang yang usianya sudah tua, sesepuh atau pinisepuh, seorang yang dianggap memiliki banyak pengetahuan karena
pengalaman hidupnya yang lama, dan atau seorang ahli di bidangnya. Tegasnya,
orang yang mumpuni.
Nah, yang medhar
(menjelaskan) kidung ini adalah Kanjeng Sunan Kalijaga, salah seorang dari
“Wali Songo”, penyebar agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16
Masehi. Seorang Wali, biasa disebut Waliyullah atau Awliya (jamak) adalah wakil
Allah. Seorang wali adalah manusia terpilih (janma pinilih). Yang memilih Allah sendiri. Manusia pilihan ini
umumnya pernah mengalami beban hidup
yang tidak tertahankan oleh orang biasa. Ia tahan ujian fisik, otak dan mental
lewat berbagai macam godaan.
Hal itu dilakoni oleh Sunan Kalijaga (diduga
lahir tahun 1430M) yang bernama kecil Raden Mas Said, putra Adipati Tuban, Wilwatika.
Berdarah biru, tapi pernah menjalani hidup sebagai kecu (begal, berandal, maling) dengan nama Begal Lokajaya, sebelum
berjumpa dengan Sunan Bonang, waliyullah, yang kemudian menjadi gurunya.
Menurut sejumlah legenda dan atau mitos,
Lokajaya disuruh sang guru menunggui tongkatnya di pinggir kali selama beberapa
waktu (tahun), hingga tongkat itu tumbuh menjadi dhapuran pring (serumpun pohon bambu). Ia setia menunggui tongkat
itu dan sekaligus menjaga kali, hingga ia mendapat julukan Sunan Kalijaga.
Apa yang dituangkan dalam kidung yang tediri
dari 46 pupuh (bait) itu adalah pengalaman batin (spiritual) ketika beliau
menunggu tongkat dan kali itu. Di situ Lokajaya mendapat pencerahan batin, spiritual enlightenment, penglihatan
batin. Ia dikaruniai kemampuan melihat sesuatu yang gaib-gaib, tidak kasat
mata, berkat kasih sayang Allah, yang telah memilihnya. Ia mencapai
makrifatullah, memahami rahasia Allah, Sang Maha Gaib.
Ia sudah merasa mengalami asarira tunggal (beberapa dzat Tuhan
menyatu dalam dirinya) atau Manunggaling
Kawula-Gusti, bersatunya hamba dan Khalik (Sang Pencipta) dalam rasa, bukan seperti menyatunya benda-benda
yang kasat mata.
Bagi manusia terpilih, semuanya telah
manunggal menjadi satu seperti hakikat Allah Yang Tunggal adanya, sekalipun
disebut dengan berbagai nama oleh manusia sesuai tempat, budaya dan
keyakinannya. Bagi Sunan Kalijaga, Suluk, Kidung, Wedaran (ajaran), dan dirinya
telah menjadi satu terliput dalam dzat Allah. “The song, the content, the composer and the singer are one in God”
(Lagu, pesan, komponis dan penyanyinya adalah satu dalam liputan dzat Tuhan).
Ini tercermin dalam ungkapan salah satu bait “kidung angidung” (tembang yang
menembang). “A singing song” (lagu
yang menyanyikan dirinya sendiri).
Jadi Sunan Kalijaga adalah penggubah dan
pelantun, sekaligus isi lantunan itu sendiri berkat kuasa Allah yang terlibat
di dalamnya. Sunan Kalijaga berfungsi sebagai
penafsir dan sekaligus juru penerang apa yang dialaminya sendiri berkat
kehendak Allah. Beliau manusia terpilih.
Demikian pula, Mas Wie, penulis buku Suluk
Kawedar Sunan Kalijaga. Ia menafsirkan apa yang telah ditafsirkan oleh Jeng
Sunan Kali atas apa yang difahaminya tentang Allah. Mas Wie telah terpilih oleh
Allah sebagai penafsir ajaran Sunan Kalijaga.
Mas Wie, sama dengan Sunan Kali, tapi dengan
derajat (maqam) mungkin berbeda, adalah salah satu dari penafsir Allah, yang
tak pernah bakal bisa ditafsirkan secara sempurna oleh manusia karena
Tuhan bersifat “tan kena kinoyo ngopo” (laisa kamitslihi syai’un) alias Allah tidak
sama dengan sesuatupun atau tak terlukiskan dengan apa pun jua. Saya yakin, Mas
Wie juga pernah mendapat pengalaman batin luar
biasa, yang tak sembarang orang memperolehnya. Kalau ditanya, Mas Wie tentu
tidak akan mau menceritakannya karena itu pantangan, kecuali sesama murid
tunggal guru dan tunggal ilmu (pemahaman atas suatu ajaran)
Sebetulnya, karya Mas Wie sudah lengkap. Setiap pupuh (bait) yang tertulis dalam bahasa Jawa diikuti
terjemahan artinya dalam bahasa Indonesia. Rujukan atau referensi pustakanya
juga berjibun. Maklum ia seorang wartawan senior, yang kini berusia 68 tahun.
Rujukan utama adalah Al Quran dan Hadits, buku-buku karya tokoh sufi tingkat
dunia, termasuk Al-Ghazali, dan kitab-kitab karya tokoh Islam Indonesia
terkemuka Prof. Dr. Hamka, mistikus Islam Jawa, terutama Raden Ngabehi
Ronggowarsito.
Bertebaran kutipan dari buku piwulang (ajaran) faslafah Jawa seperti
Wedhatama, Wulangreh dan Centhini. Juga beberapa ajaran yang disebut Kejawen,
Islam Jawa atau Islam “rasa” Jawa perguruan ilmu kebathinan dan spiritual
merujuk atau bersumber dari Suluk Kidung Kawedar.
Mas Wie mengutip langsung dari buku-buku dan
atau yang sudah tersiar di media on-line. Jadi, sebenarnya buku karyanya ini
tidak perlu kata pengantar lagi. Ibarat nguyahi
segara (menggarami lautan). Tapi, dengan rendah hati ia meminta saya tetap
membuat pengantar. Alasannya, tidak ada sesuatu yang dapat dibilang sudah
legkap kalau berbicara tentang Tuhan. Ibarat daun seluruh jagad sebagai kertas
dan air seluruh samudera sebagai tinta tidak akan cukup untuk mengulas tentang
Allah, yang maha segalanya.
Pendekatan
Budaya
Sunan Kalijaga melakukan penyebaran Islam
dengan cara yang up to date, paling
mutakhir waktu itu nut jaman kelakone
(menurut semangat jaman) seperti kata Ki Dalang Narto Sabdo (alm) atau Zeitgeist, kata orang Jerman.
Njeng Sunan Kali (jaga) memperkenalkan Islam
selapis demi selapis melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal (local wisdoms) Jawa, yang waktu itu
masih didominasi oleh agama Syiwa-Budha. Beliau tidak sekaligus memperkenalkan
Islam secara frontal, melainkan dengan memadukan istilah-istilah Islam dengan
istilah-istilah dalam agama yang masih berlaku. Hasilnya, Islam diadopsi orang
Jawa secara damai, tanpa kekerasan dan perang yang memakan korban jiwa dan
harta benda serta trauma.
Banyak teori yang menyatakan mudahnya orang
Jawa masuk agama Islam. Antara lain, karena Islam tidak mengenal kasta, tidak
seperti agama yang mereka anut sebelumnya. Beberapa bentuk seni budaya diadopsi
dan disinergikan dengan seni budaya yang berasal dan bernuansa Arab, tempat
asal Islam.
Beliau
menciptakan seni-budaya baru, yang menggabungkan keduanya. Gamelan,
tembang dan wayang dipertahankan dan bahkan diperkaya dengan perangkat dan
lakon-lakon baru. Misalnya, lakon Wahyu
Jamus Kalimasada untuk memperkenalkan Kalimat Syahadat.
Ia mempergunakan falsafah empan papan atau local setting, di mana bumi dipijak, di situ adat dijunjung. Sunan
Drajat, juga seorang wali, yang berdakwah di Lamongan, pantura Jawa Timur,
menyampaikan nasihat agar orang suka tolong menolong dengan idiom-idiom lokal,
bukan Arab. Berikut adalah nasihatnya: “Menehana
payung marang wong kang kodanan, menehana teken marang wong kang kalunyon,
menehana pangan marang wong kang kaluwen lan menehana sandang marang wong kang
kawudan”.
Nasihat itu mengandung ajakan: Berilah payung kepada orang yang kehujanan,
berilah tongkat kepada orang yang berjalan di tempat licin, berilah makan
kepada orang yang kelaparan dan berilah pakaian kepada orang yang telanjang.
Yang banyak hujan dan tanahnya licin kalau kena air adalah Pulau Jawa, termasuk
Lamongan dan sekitranya, Arab Saudi jarang mendapat hujan dan wilayahnya berupa
padang pasir, jadi orang jarang mengalami berjalan di tanah yang licin. Sunan
Drajat tidak langsung menyebut ayat Al-Quran yang mewajibkan muslim untuk
membayar zakat, infaq dan sedekah serta wakaf.
Tawarkan
Keselamatan
Dengan piawinya, Njeng Sunan Kali meramu
kidungnya dengan pembukaan yang pas untuk semua orang di setiap jaman,
lebih-lebih waktu itu, yakni keselamatan. Islam sendiri bermakna selamat dan
pasrah kepada kehendak Allah.
Kidung itu dibuka dengan kata-kata yang
bermakna mistis, magis untuk menolak bala: penyakit, bencana dan gangguan
makhluk halus. Guna-guna, tenung, teluh, santet, niat jahat, pencuri, binatang
buas, senjata tajam, kayu dan tanah wingit dan hama penyakit semuanya
menyingkir, tidak mempan. Perawan tua dapat segera dapat jodoh dan orang gila
dapat sembuh. Semua musuh menjadi sayang, jatuh cinta kepada membaca kidung
ini.
Maka tembang itu juga disebut sarira ayu (badan sehat segar, bugar,
cantik). Pengidung dikelilingi bidadari, dijaga malaikat, semua rasul. Semua
“manunggal”, menyatu dalam dirinya. Sejumlah nama nabi disebut: Adam sebagai
hati, Syits sebagai otak, Musa sebagai ucapan, Isa sebagai nafas, Yakub sebagai
telinga, Yusuf sebagai rupa, Daud sebagai suara, Sulaiman sebagai kesaktian, Ibrahim
sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunus di otot dan Muhammad
(saw) sebagai mata/penglihatan.
Disebut juga nama para sahabat dan keluarga
Muhammad telah menyatu dalam dirinya. Patimah (Fatimah) putri Nabi Muhammad
sebagai sumsum, Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah, Ngumar (Umar) daging
dan Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.
Penyebutan nama-nama dalam bait 3 sampai 5
itu, masih perlu tafsir atau penjelasan lebih luas, walau itu mungkin pemahaman
atas pengalaman gaib pribadi, yang tidak bisa difahami orang lain,
lebih-lebih bagi banyak orang sekarang.
Setiap “salik” (pelaku suluk) mempunyai pengalaman masing-masing yang unik.
Mungkin, nama-nama mulia itu disebut karena semangat, sifat dan karomah mereka
agar masuk, merasuk dalam diri sang pengidung sebagai pelindung atau tolak
bala, sesuai sikon lokal dan keperluan masyarakat saat itu, yakni keselamatan.
Penyebutan nama itu mungkin juga dikaitkan dengan ungkapan; “Allah melihat,
mendengar dan berucap dengan mata, telinga dan mulut saya”. Inti maknanya,
merasuk Islam berarti terjaminnya keselamatan lahir-batin.
Penyebutan nama-nama itu jelas untuk
mempermudah cara memperkenalkan malaikat, para nabi, Muhammad (saw), keluarga
dan empat sahabatnya dalam penyebaran Islam kepada orang Jawa yang semula
beragama Syiwa-Budha.
Kidung itu diyakini punya banyak kesaktian:
mudah cari rezeki, jodoh, mudah mencari pekerjaan (mengabdi), mau terkena denda
bebas dan yang punya hutang atau tidak jadi ditagih. Musuh menyingkir,
semuannya takluk. Pokoknya, banyak deh,
manfaatnya. Kalau tidak percaya, ya silahkan membaca sendiri!
Sunan Kali melalui kidung juga memperkenalkan
beberapa surat dan ayat Al-Quran, yang dianggap ampuh. Di antaranya surat
Al-Ikhlas, yang disebutnya Surat Kulhu, karena dibuka dengan Qulhu, surat
An’Aam, yang disebut suratul Ngam Ngam. Maklum, orang Jawa dulu sulit mengucap
bunyi huruf Arab ‘ain. Sehingga, ada orang Jawa yang namanya Sangidu (dari
Sayyidu), Sangit (dari Sayyid), Fatongah
(dari Fathonah). Ayat Kursi yang dikenal luas ampuh untuk mengusir segala macam
godaan juga disebut. Kidung itu diyakini begitu ampuh, hingga jika dibaca di
laut, air laut pun mengering (segara asat). Mungkin berlebihan. Tapi, itulah
yang tertulis dan dipercaya banyak orang untuk mencapai keselamatan hidup.
Tapi keampuhan atau kesaktian itu akan
mewujud jika yang menyanyikan kidung itu menjalani laku tertentu, seperti
berpuasa “mutih” (makan nasi putih tanpa garam), berpuasa selama 40 hari dan
kidung itu disenandungkan pada malam hari tatkala sunyi-sepi. Artinya, pelantun
harus menjalani “laku”, seperti berpuasa dengan mengurangi tidur (tentang
ini bisa dilihat di buku tulisan Mas Wie dengan pengantar antara lain dari
saya, yaitu Bertasawuf di Zaman Edan, bab
Bila Mati Dengan Sesuap Haram,
halaman 243).
Sunan Kali juga mengenalkan Allah, sebutan
Tuhan dalam bahasa Arab, bahasa yang dipakai Al Quran. Orang Jawa sebelummya
sudah mempunyai beberapa sebutan untuk Tuhan, seperti Pangeran, Gusti Pangeran,
Hyang Widhi Wasa, Hyang Kang Murbeng Dumadi, Gusti Kang Maha Kuwasa, Hyang
Tunggal (nama dewa dalam pewayangan), Hyang Suksma Kawekas dan setelah Islam
masuk, yang sering digunakan adalah Gusti Allah. Beberapa sebutan itu dipakai
Sunan Kali. Maksud dari berbagai sebutan nama Tuhan itu adalah sama, yakni Yang
Satu, Yang Tunggal, Yang Maha Esa itu seperti disebut dalam Suratul Kulhu.
Tumbuh Di
Tanah Yang Subur
Pendekatan budaya yang dilakukan Njeng Sunan
Kali dalam memperkenalkan Islam ibarat menyebar biji di tanah yang subur. Orang
Jawa, penduduk Pulau Jawa, menurut buku “Bawarasa Kawruh Kejawen: Ngelmu Hidup” (Senandung rasa tentang Ilmu Kjawen; Falsafah Bekal Hidup) karya
Ki Sondong Mandali, menyebutkan, sebelum agama Syiwa (Hindu)-Budha dan Islam
masuk, orang Jawa sudah memiliki sistem religi sendiri.
Orang Jawa memiliki ritual menyembah
(manembah) Tuhan berdasar tiga konsep:
1. Menyembah/berbakti kepada Tuhan, penguasa alam semesta dengan selalu eling (sadar) terus menerus.
2. Melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk
melakukan berbagai ritul ‘sesaji’.
3. Melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.
Ketiga konsep itu sama dengan ajaran Islam.
Konsep pertama disebut hablum-minallah,
konsep kedua terkait dengan rahmatan lil
‘alamiin dan konsep ketiga hablum-minannas.
Yang banyak disebut hanya yang pertama dan kedua, yakni hablum-minallah dan hablum-minannas.
Seorang ustadz yang tertarik dengan tasawuf, mengatakan mestinya hablum-min’alam perlu juga disebut.
Jadi, ada trilogi semboyan mengabdi kepada
Alllah:
1 Hablum-minallah
2. Hablum-min’alam
3. Hablum-minannas
Dengan alasan semua makhluk isi alam semesta
ini, termasuk makhluk halus, binatang dan tanaman adalah sesama saudara ciptaan
Allah, orang Jawa melakukan sesaji untuk menghormati saudaranya dan para
leluhurnya, bukan untuk menyembah. Praktek sesaji ini dianggap musyrik atau
klenik.
Sunan Kalijaga mengubah sesaji ini dengan
sedekah. Toh, makanan dan minuman yang disajikan untuk makhluk halus halus dan
arwah para leluhur itu akhirmya juga dimakan manusia dan atau binatang, makhluk
hidup ciptaan Allah jua. Makhluk halus hanya ingin dan cukup menghirup bau atau
sarinya saja. Wallahu a’lam.
Sunan Kali juga menggunakan simbol burung
yang diberi nama “Segara Rob” dalam
melukiskan betapa sulitnya mencari, menemukan dan manunggal dengan Tuhan.
Mistikus Islam, Abū Ḥamīd bin Abū Bakr Ibrāhīm Farīd ud-Dīn ʿAṭṭār (1145-1221)
menggunakan simbol burung “Simurgh”.
Dikisahkan, ribuan Simurgh ingin mencari Tuhan. Dari ribuan, tinggal 40 dan tersaring
lagi tinggal empat ekor. Dan burung itu menemukan Tuhan itu ternyata dirinya
sendiri. Jumlah empat itu dalam khasanah budaya spiritual Jawa dikemas dengan
istilah “sedulur papat kelima pancer“
(empat saudara, kelima pusat, dirinya sendiri).
Angka empat juga dikaitkan dengan arah mata
angin, empat unsur bahan manusia, yakni bumi (tanah), air, api dan angin, dan
empat nafsu manusia, yakni amarah, lawwamah, sufiah dan mutmainah dengan empat
warna masing-masing, yakni merah, hitam, kuning dan putih. Juga dikaitkan
dengan empat sahabat Nabi Muhammad (saw). Mungkin serba “othak-athikl,
mathuk-gathuk” atau dicocok-cocokkan. Yang jelas, penyebaran Islam di Tanah
Jawa bisa mudah masuk berkat pendekatan budaya local.
Fenomena
Universal
Prinsip-prinsip Islam purba, istilah yang
digunakan dalam buku “Nonviolent Soldier
of Islam” karya Eknath Easwaran, menyebut persaudaraan universal, ketakwaan
kepada Tuhan dan mengabdi kepada Tuhan dengan cara memelihara seluruh
ciptaan-Nya. Buku itu diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta, 2008 itu dengan
judul Badshah Khan, Kisah Pejuang Muslim Anti Kekerasan yang terlupakan. Ia
adalah sahabat, pengikut setia Mahatma Gandhi, sehingga ada yang menjuluki
keduanya sebagai “Dua Gandhi”.
Menggubah tembang (dan atau puisi) sebagai alat penyampai
gagasan dalam pendidikan tasawuf, sufisme dan makrifat dilakukan sejak dulu
kala, sebelum Sunan Kali Jaga lahir (diperkirakan lahir 1430 M). Berikut adalah
beberapa contoh: Bhagavad Gita (bagian Mahabaratha) karya Resi Vyasa, Minhajul’
Abidin (Menuju Mukmin Sejati) karya Al Ghazali (1058-1111M), Mastnawi karya
Jalaluddin Rumi (1207-1273M), Gitanjali karya Rabindranath Tagore, peraih
hadiah Nobel bidang sastra pertama dari Asia tahun 1913 dan para penyair
pemula, perintis sastra Indonesia (Nusantara) seperti Nuruddin Araniri dan Hamzah Fansuri. Sunan Bonang, guru Sunan Kalijaga juga
menggubah tembang “Suluk Wujil” dan mencipta alat musik gamelan Jawa, yakni
bonang.
Tentang penyatuan dengan Tuhan, Kidung Sunan
Kali mulai membahasnya di bait 15 sampai 18.
Manunggaling Kawula Gusti
adalah hal yang musykil. Banyak orang yang mencela itu keliru dengan alasan
tidak mungkin hamba bertmu dengan Khalik, Tuhan Sang Maha Pencipta. Yang pro menjawab, ini bukan
pertemuan fisik, tetapi pertemuan “rasa”, sesuatu yang gaib, misterius, mistik,
unik dan hanya bisa dicapai para salik dan manusia terpilih dan hanya dengan ijin Tuhan belaka.
Soal manunggalnya manusia dengan Tuhan itu,
seorang tua pernah berkata “Allah iku sak
jatine ora liya ya Ingsun”. Artinya, Allah itu sejatinya tidak lain saya
Ingsun (Saya). Konon itu kutipan dari sebuah hadits, yang berbunyi “waman ‘arafa nafsahu faqad’ arafa rabbahum.
(Siapa yang tahu dirinya, sungguh ia tahu Tuhannya”. Ungkapan ini jika diterima
harfiah bisa geger, Syeh Siti Jenar, salah seorang wali, konon dihukum mati
karena ucapannya tentang itu, yang menganggap dirinya Allah.
Karena itu, buku “Kunci Swarga” (Miftahul Jannati), melengkapi ungkapan itu
dengan: waman ‘ arafa rabbahu faqad jahilla nafsahu”, Artinya, Siapa (yang
merasa) tahu Tuhannya sejatinya ia benar-benar bodoh dalam ilmu).
Buku karya Ki Brata Kesawa dalam Bahasa Jawa
yang terbit tahun 1952 ini mengungkapkan, yang dianggap sebagai Allah oleh
orang yang mengaku tadi hanyalah “bayangan”-Nya. Buku ini mengibaratkan ada seribu “jembangan”
(tempayan dari tanah liat) berisi air di alun-alun, di masing-masing jembangan
ada “bayangan” matahari. Mataharinya, tetap satu, bukan seribu. Ini ajaran
tentang Tauhid (ke-Maha-Esa-an Tuhan). Agar bisa melihat bayangan matahari
dengan jelas, air harus dijaga tetap bening, tidak keruh, dan tenang, tidak
beriak.
Sunan Kali dalam kidung itu mempergunakan
diksi Mami,Wang (ingwang) dan Ingsun, yang
berarti aku atau saya. Ini sesuatu yang pelik, rumit dan susah, tapi dilukiskan secara indah dengan ungkapan “bertanya tentang sarangnya angin, “galih kangkung” (inti
batang kangkung), mengambil air dengan pikulan yang terbuat dari air”,
mengambil api dengan pelita dan batas antara samudera dan langit. Sesuatu
yang sudah “jumbuh” (manunggal).
Dalam cerita wayang kulit, kisah itu terdapat
dalam lakon “Dewa Ruci”. Bima menyemplungkan dirinya ke dalam samudra yang
bergolak (lambang nafsu) dan di
kedalaman samudera ia menemukan Dewa Ruci, Tuhannya, yang rupanya persis
seperti dirinya. Walau wujudnya kecil, sepert “anak bajang” sebesar kelingking
Bima, tapi Bima bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui kuping kirinya dan
di dalam diri Dewa Ruci, ia mendapatkan ajaran kesempurnaan hidup. Bima telah
mencapai makrifat dan katrem (tenggelam)
dalam nikmat Ilahiah yang tidak ada bandingannnya. Ia tidak merasa lapar, haus, khawatir. Yang ada hanya perasaan
tenteram, aman dan damai. Ia tidak punya keinginan apapun. Ia minta ijin untuk
menetap di dalam diri Dewa Ruci, tapi ditolak karena tugas atau darma hidupnya
di dunia belum selesai, yakni melalukan ‘amar ma’ruf dan nahi mungkar’ untuk membinasakan angkara murka yang menjelma dalam wujud Kurawa lewat Perang
Bharatayudha. Istilahnya Bima harus “tapa
ngrame” (bertapa di tempat ramai dengan melalukannya tanpa pamrih.
Untuk mengendalikan hawa nafsu dan menjernihkan
serta menenangkan pikiran, perasaan dan jiwa, Sunan Kalijaga menyarankan sang pencari Allah berpuasa, menahan
hawa nafsu sambil berzikir. Zikirnya berbunyi :” Ya Hu Dat
(Dzat)”, yang kemudian berkembang dalam praktek menjadi: “Ya Hu Allah, Hu
Allah, Allahu”.
Rumi (1207-1273M) dalam “Fihi ma Fihi”
melukiskan dualisme yang manunggal itu. Dr. Wheeler Thackson menerjemahkan
“Fihi ma Fihi”, yang berisi ceramah, diskursus and dialog tentang berbagai
topik sebagai “Signs of the Unseen” (Tanda-Tanda Yang Tidak Dapat Dilihat). “ In It,
What is In It” (Di dalam, tapi apa yang di dalam). Orang Jawa memilih ungkapan “Ana ning
ora ana, ora ana ning ana” (Ada, tapi tidak ada, tidak ada, tapi ada). Bingung?
Tidak perlu bingung, coba lakukan mengidung dan atau berzikir dengan penuh
perasaan (penghayatan), Insya Allah, akan terbuka hijab atau tabir itu dengan
bimbingan seorang guru (mursyid), yang sudah mengalami sendiri.
Selalu bersama Tuhan.
Zikir dan wirid adalah mengucapkan (reciting) secara berulang-ulang sebagai
sarana untuk mengingat Tuhan. Ada yang berpendapat zikir atau wirid di dalam
hati (batin) dan atau boleh sambil berguman lebih baik daripada dibaca
keras-keras. Isi zikir dan wirid adalah puji-pujian persembahan kepada keagungan Tuhan, sekaligus doa. Demikian pula
kidung. Di agama Hindu dikenal ada mantra dan Mazmur di agama Kristen. Tujuan
semuanya adalah agar kita selalu ingat kepada Tuhan. Orang Jawa bilang eling (sadar, terjaga, waspada) atas
kehadiran Tuhan di sembarang tempat dan waktu, karena Tuhan tidak pernah
mengantuk dan tidur. Bagi kaum pencari hakikat, sholat (sembahyang) yang
terbaik adalah “sholat daim”, yakni sholat sepanjang waktu, di sembarang tempat
dan sedang melakukan apa saja. Apa yang dipikirkan, dikatakan dan dikerjakan
diniatkan sebagai ibadah, menyembah Tuhan dalam pengawasan, penjagaan,
penyelenggaraan dan pemeliharaan Allah.
Apa manfaat Suluk Kidung Kawedar di era
modern, teknologi digital dan medsos (media
sosial) yang serba
instan kini. Tentu ada dan bahkan banyak, di-antaranya memperluas wawasan
pemikiran, mengetahui sejarah bangsa yang kaya, mempelajari strategi penyebaran
ilmu secara damai dengan pendekatan budaya (keaifan) lokal dengan khasanah tak
terbayangkan yang perlu dilestarikan dan dapat “dijual” sebagai obyek wisata
spiritual. Yang paling pokok, kidung itu menawarkan keselamatan sebagai sumber
kebahagiaan dan kedamaian batin (peace of
mind).
Yang saya
maksud dengan wisata spiritual, tentu bukan “klenik”, tapi sesuatu yang bisa
diverifikasi secara ilmu pengetahuan modern, terutama medis. Bentuknya, layanan
pengobatan holistis (menyeluruh), yang menggabungkan cara pengobatan medis
Barat dan Timur, khususnya Nusantara, meliputi obat herbal, pijat
(fisioterafi), layanan kesehatan jiwa (psikologi) dalam bentuk kontemplasi dan meditasi
dengan mengidung dan berzikir yang diiringi alunan musik Nusantara yang
ritmistis, kontemplatif dan meditatif. Gamelan Jawa, hanya dengan beberapa
alat, yakni siter, gender dan gambang, mampu menyajikan situasi kebersamaan,
kerukunan dan keselarasan hidup bersama seluruh alam semesta (hablun min’alam).
Untuk gamelan Sunda, mungkin bisa dengan kecapi dan suling. Untuk jenis
musik Nusantara lainnya dapat
menyesuaikan. Perlu keterlibatan etnomusikolog. Untuk Itu, Mas Wie dkk tengah
menyusun Jejaring Macapatan Nusantara, sebab Macapat (membaca empat-empat
dengan bersenandung dan iringan music/gamelan terdapat di beberapa wilayah
Nusantara.
Pelayanan
pengobatan holistik, perlu keterlibatan dokter, ahli farmasi, psikolog, fisioterafis, budayawan dan ruhaniawan,
terutama “salikien” (para pelaku suluk), lintas agama/keperacayaan. Plus
peralatan uji klinis modern.
Apa Suluk
Kidung Kawedar tidak perlu “purifikasi” (pemurnian), mengingat sudah berusia
lima abad lebih dan ada kesan bernuansa campuran praktek ritual berbasis budaya
Jawa dan Islam? Sebagai orang yang bukan ahli agama Islam, saya lebih cenderung
memakai istilah “penyempurnaan”.
Peminat, pembelajar dan mungkin pengikut (yang mempraktekkan) kidung
meliputi berbagai pengikut agama dan kepercayaan. Sejumlah “romo” (pastur),
pimpinan agama Katholik melakukan riset mendalam tentang budaya Jawa.
Diantaranya, Romo J.P. Zoetmulder, yang desertasinya berjudul “Manunggaling
Kawula Gusti”, yang sudah dibukukan. Sebelumnya, ia menulis buku “Kalangwan”
(Mempesembahkan yang serba indah).
Pengalaman batin merasa bersatu dengan Tuhan,
bagi yang pernah mencicipinya, sungguh sangat menggairahkan, membahagiakan dan
mendamaikan, tiada bandingannya dengan kenikmatan duniawi. Serba
indah dan damai.
Rabindranath Tagore dalam salah satu puisinya
melukiskan dengan indah kemanunggalan setiap saat dengan Tuhan sbb:
They who are sitting near me, do not know that You are nearer than they
are,
They who are speaking with me, do not know that my heart is full with Your
unspoken words,
They who are crowding in my path, do not know that I am walking only with
You,
And they who love me, their loves bring You into my heart.
Terjemahan bebasnya:
Mereka yang duduk di dekat saya tidak tahu
bahwa Engkau lebih dekat daripada mereka,
Mereka yang berbicara denganku, tidak tahu
bahwa hatiku penuh dengan kata-kata Mu yang tak terucapkan,
Mereka yang berjubel di jalanku, tidak tahu
bahwa aku berjalan sendirian bersama Engkau,
Dan, mereka yang mencintaiku, cinta mereka
membawa Mu ke dalam hatiku.
Yang dimaksud You atau Engkau di sini
adalah Tuhan. Tentu selalu mengingat Tuhan membuat seseorang selamat, terjaga
dari perbuatan tercela atau maksiat, seperti korupsi.
Selalu eling
memang penting. Tapi, tidak berarti sholat wajib, lima waktu tidak perlu atau
boleh ditinggalkan. Tetap perlu, bahkan harus. Kitab piwulang (ajaran)
Wedhatama sendiri menganjurkan agar Syariat (terutama sholat wajib, yang
disebut sembah raga ) harus tetap dijalani sebagai tangga pertama, sebelum
Tarekat (sembah cipta/kalbu) dan Hakikat (sembah jiwa) menuju Makrifat (sembah
rasa).
Nabi Muhammad Saw, sang sufi agung, tetap
menjalankan syariat. Contoh kongkrit dari manusia biasa, yang terpilih dan
masih hidup kini dan dapat dijadikan “mursyid (guru pembimbing) dalam belajar
Tasawuf adalah Prof. Kyai Ali Yafie yang terkenal dengan motto hidupnya BSM
(Bersih, Sederhana dan Mengabdi). Mas
Bambang Wiwoho pernah menuliskan itu dalam bukunya “Bertasawuf di Zaman Edan”.
Rumi yang dikenal sebagai mistikus Islam
paling top di dunia saja, sebagai penganjur CINTA, saja pernah dikutip sebagai
mengatakan: “Saya cuma debu di jalan Muhammad”. Kanjeng Nabi Muhammad diyakini
para pengikutnya sebagai manusia terpilih, paling mulia sedunia, yang pernah
mencapai puncak makrifat tertinggi melalui peristiwa spiritual paling agung,
Isra’ Mi’raj
Ada orang
Jawa yang menyamakan dan menyebut “Isra’ Mi ‘raj” dengan laku “merogoh suksma”
(ngrogoh suksma”, melakukan “mati sajroning urip” (mati dalam hidup), masih
berbadan wadag, tapi suksma (nyawa) nya bisa pergi mengembara ke alam gaib.
Nabi Muhammad dikisahkan dalam “mi’raj” dapat berjumpa Allah. Tapi karena tugas
hidupnya belum selesai, suksmanya diperintahkan Allah untuk kembali lagi ke
dunia untuk mengajak pengikutnya, kaum Muslimin, melakukan sholat lima waktu.
Begitu ceramah yang sering saya denngar dari kyai di kampung sekitar 60 tahun
lalu.
Imam Al
Ghazali menegaskan kaum Muslimin perlu “thaat”, disiplin dalam melaksanakan
tata tertib, untuk menyembah Allah, mulai tertib bangun tidur, wudhu, sholat,
berpuasa dsb sampai tetib dalam pergaulan. Itu tertuang dalam salah satu buku
Al Ghazali yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bimbingan
Permulaan Mencapai Hidayah”, karya alih bahasa Hm. Asa’ad EH. Jadi, untuk
belajar Suluk Kidung Kawedar karya Sunan Kalijaga juga perlu pembimbing.
Wallahu alam.
{Pengantar untuk buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA: JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar, diterbitkan oleh Pustaka IIMaN (0851-0000-76920).}
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda