Minggu, 24 Desember 2017

WEDHATAMA : KITAB TENTANG KEUTAMAAN




Kajian & Latihan Seni Mocopat Seri 5, Sabtu Pahing, 5 Bakda Mulud 1951 ( 23 Desember 2017).

Keutamaan atau keluhuran hidup, menjadi tujuan utama masyarakat Jawa tempo dulu. Ukuran keutamaan bukanlah harta benda, mobil berapa dan merek apa serta rumahnya di mana saja. Membicarakan tentang harta benda apalagi bertanya atau pamer, bahkan dianggap tabu dan tidak sopan. Keutamaan seseorang dinilai dari budi pekerti yang luhur dan cita-cita hidupnya, serta setinggi apa masyarakat  terutama di sekelilingnya menghormati dengan sepenuh takzim. Tak jarang menjadi tempat bertanya dan sering diminta doa restunya.

Pengetahuan dan ajaran tentang keutamaan hidup, diajarkan turun-temurun  atau dari orang tua ke anak secara lisan. Sejalan dengan perkembangan sastra Jawa yang mencapai puncak keemasan pada abad ke 19, lahirlah sejumlah karya sastra yang berisi ajaran dan filosofi kehidupan.  Dua diantaranya yang sangat popular adalah Serat atau Kitab Wulangreh dan Kitab Wedhatama.
Wulang artinya pitutur atau ajaran, sedangkan reh berarti jalan atau cara mencapai sesuatu. Dalam hal ini adalah ajaran untuk mencapai hidup yang sempurna. Kitab Wulangreh selesai disusun oleh Raja Kasunanan Surakarta Pakubuwana IV (1768 – 1820) pada tahun 1808. Sedangkan Wedhatama disusun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV (1809 – 1881). Wedha artinya pengetahuan dan tama berasal dari kata utama yang berarti keutamaan atau keluhuran. Dengan demikian makna kedua kitab tersebut pada hakikatnya sama, yakni pelajaran tentang mewujudkan kehidupan yang baik, yang sarat dengan kandungan-kandungan filosofis, moral, spiritual dan budi pekerti. 

Wedhatama disusun dalam 100 bait tembang macapat, yang terdiri dari tembang Pangkur sebagai pembuka sebanyak 14 bait, Sinom 18 bait, Pocung 15 bait, Gambuh  35 bait dan ditutup dengan Kinanthi 18 bait. Berikut beberapa contoh, sedangkan bait-bait yang lain insya Allah kita bahas di lain kesempatan:

Tembang Pangkur bait 1 dan 2.
Mingkar-mingkuring angkara
akarana  karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
kang tumrap neng tanah Jawa
agama ageming aji.

Jinejer neng Wedhatama
mrih tan kemba kembenganing  pambudi
mangka nadyan tuwa pikun
yen tan mikani rasa
yekti sepi asepa lir sepah samun
samangsane pakumpulan
gonyak-ganyuk nglilingsemi.

Artinya:

Menghindarkan diri dari angkara (perilaku buruk, jahat)
karena hendak mendidik anak (dan murid)
yang tersirat dalam keindahan kidung
dihias sehingga indah syairnya
demi menjiwai hakikat ilmu luhur
yang berlaku di tanah Jawa
agama sebagai pakaian kehidupan yang mulia.

Diuraikan dalam Wedhatama
agar tidak kekurangan pegangan budi
padahal  meski tua renta
apabila tidak memahami perasaan
sungguh bagaikan sepah (ampas) makanan yang sudah tak ada rasanya
tatkala di dalam pertemuan
sering canggung memalukan.

Dua bait pembuka tersebut menjelaskan manusia harus  menghindarkan dari dari perbuatan angkara (murka), demi mendidik generasi muda, yang dikemas dalam sebuah tembang dengan syair-syair yang indah. Tembang yang penuh dengan hakikat ilmu luhur yang menjiwai kehidupan orang Jawa, bagaikan agama-agami ageming aji. Yakni pakaian kehidupan yang membuat diri yang memakainya menjadi berharga. Pengetahuan itu dituangkan dalam Wedhatama, agar hidup kita tidak kekurangan budi (baik). Karena begitulah kenyataan dalam kehidupan. Ada saja meski orang sudah tua renta, yang jika tidak bisa memahami budi dan perasaan, sungguh akan bagaikan ampas makanan yang tidak ada rasanya, jiwanya hampa, yang akan nampak di pertemuan-pertemuan, tindak-tindak dan pekataannya memalukan.

Di dalam Serat Wedhatama ini ada bait-bait yang sangat populer yang sering ditembangkan dalam irama Sinom oleh kelompok-kelompok karawitan dan penggemar seni mocopat, yaitu bait 15 sampai dengan 20 sebagai berikut:

Bait 15.

Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
wong agung ing Ngeksigondo
Panembahan Senopati
kapati amarsudi
sudaning hawa lan nepsu
pinesu tapa brata
tanapi ing siyang ratri
amamangun karyenak tyasing sasama.

Artinya:

Contohlah perilaku terbaik
bagi masyarakat Jawa
tokoh mulia dari Kerajaan Mataram
Panembahan Senopati
orang yang sangat tekun menempa diri
mengurangi hawa nafsu
dengan menjalani tapabrata
siang maupun malam
membangun kebahagiaan hati sesama.

Bait 16.

Samangane pasamuan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kala-kalaning ngasepi
lalana teki-teki
nggayuh geyonganing kayun
kayungyun eninging tyas
sanityasa pinrihatin
puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.

Artinya

Dalam setiap pertemuan
membangun kebahagiaan bersama
secara teratur  memerlukan
pergi menyepi (uzlah)
berkelana ke tempat-tempat sunyi
menggalang cita-cita (membangun cipta)
menguatkan rahsa (nurani/kalbu)
senantiasa prihatin
berpegang teguh mencegah makan dan tidur.
  
Bait 17.

Saben mendra saking wisma
lelana laladan sepi
ngingsep sepuhing sopana
mrih pana pranaweng kapti
tis-tising tyas marsudi
mardawaning budya tulus
mesu reh kasudarman
neng tepining jalanidhi
sruning brata kataman wahyu dyatmika

Artinya.

Setiap pergi dari rumah
berkelana ke tempat sepi
menyerap (menghisap) energi keutamaan
agar jelas tujuan hidup (cipta)
meneguhkan rahsa (nurani/kalbu)
mengokohkan ketulusan budi
memperdalam ajaran dalam berdarma (berbakti pada sesama)
sampai di pinggir samudera
sehingga pada akhirnya memperoleh wahyu keutamaan.

Bait 18.

Wikan wengkoning samodra
kederan wus den ideri
kinemat kamot ing driya
rinegem sagegem dadi
dumadya angratoni
nenggih Kanjeng Ratu Kidul
ndedel nggayuh nggegana
umara marak maripih
sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

Artinya.

Paham keluasaan samudera
semua (jagat raya) sudah dikitari
diserap dalam inderanya
digenggam sekali genggam
sehingga menjadi penguasa jagat raya
sampai kemudian Penguasa Alam Gaib Kanjeng Ratu Kidul melesat ke angkasa,
menghadap mengendap-endap
menghamba karena kalah wibawa dengan Orang Agung dari Mataram.

Bait 19.

Dahat denira aminta
sinupeket pangkat kanthi
jroning alam palimunan
ing pasaban saben sasi
sumanggem anyanggemi
ing karsa kang wus tinamtu
pamrihe mung aminta
supangate teki-teki
nora ketang teken janggut suku jaja.

Artinya.

Memohon dengan sangat
agar direngkuh jadi pengikut
dalam alam gaib
yang menghadap di kala sunyi
berjanji menyanggupi
membantu upaya (karsa) yang telah dicipta (dirancang)
kehendaknya hanya mengharap
restu (ijin) dari sang pertapa
meski harus menjadikan jangut sebagi tongkat dan dada menjadi kaki.

Bait 20.

Prajanjine abipraya
saturun-turun wuri
mangkono trahing awirya
yen amasah mesu budi
dumadya glis dumugi
iya ing sakarsanipun
wong Agung Ngeksiganda
nugrahane prapteng mangkin
trah tumerah darahe padha wibawa.

Artinya.

Berjanji mempersembahkan hidupnya demi kelestarian jagat raya
beserta anak keturunan di kemudian hari
demikian itu tekad keturunan ksatria (manusia utama)
dalam mengasah kesempurnaan budi
agar cepat tercapai
apa yang diinginkan
orang Agung dari Mataram
anugrah pun tiba
semua keturunannya berwibawa.

Bait 15 sampai 20 ini bait yang sesungguhnya memerlukan renungan khusus yang hening, mengingat sebagian membahas masalah gaib, yang tidak semua orang percaya.  Dan jika ada yang percaya pun belum tentu sama pemahamannya. Salah mempelajari ilmu gaib, alih-alih memperoleh ilmu hakikat, malah hidup kita justru bisa tersesat. Namun tidak berarti kita tidak bisa mempelajari Wedhatama kapan dan di mana saja, karena bait-bait tersebut juga memuat pengetahuan yang terang benderang bagi kacamata awam yang mau berpikir.

Wedhatama mengajak kita meneladani kehidupan pendiri kerajaan Mataram Islam, yaitu Panembahan Senopati. Ia tekun mengasah jiwa raganya (rahsa), menyatu dengan alam semesta, mengendalikan hawa nafsu (karsa) dan bercita-cita mewujudkan kebahagiaan (cipta)  bagi sesamanya, bagi sesama umat Tuhan (rahsa).

Ada dua versi pemahaman bait ke 19. Disamping versi terjemahan sesuai kata dan kalimat sebagaimana di atas, ada versi lain yang disebut versi hakekat yang kurang lebih bermakna sebagai berikut: “ Karena kuatnya keinginan untuk berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka meskipun sangat berat, bahkan menjadikan dagu sebagai tongkat dan dada sebagai kaki untuk berjalan mencapainya, ia terus prihatin, bertirakat, memohon ridho-Nya, agar bisa berperilaku, bertindak-tanduk yang benar dan suci seusai dengan kehendak-Nya.”

Sebagai bait penutup dalam kajian seri ini, marilah kita hayati bait ke 33 dalam tembang Pocung yang terjemahannya sudah sangat gamblang, maknanya sebagai berikut:

Ngelmu iku
kalakone kanthi laku
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angkara.

Artinya:

Ngelmu itu
terwujudnya  atau hanya bisa dicapai dengan amal perbuatan
diawali dengan kemauan atau tekad
artinya tekad yang menguatkan
budidaya yang teguh akan menghancurkan angkara murka.

Demikianlah sahabatku, semua ilmu, semua ajaran kebaikan itu hanya akan terwujud dan bermakna, apabila dipraktekkan serta diamalkan dalam perilaku dan kehidupan nyata kita. Apalah artinya ilmu, jika itu hanya berada di alam pikiran, dan paling jauh berhenti di ujung lidah Maka hanya akan seperti peringatan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, “Bagaikan keledai memanggul sekeranjang buku, keledai yang tidak memahami sama sekali makna dan hakekat ilmu yang dipanggulnya, apalagi mengamalkannya.” Semoga kita dijauhkan dari gambaran buruk tersebut, dan sebaliknya senantiasa memperoleh inayah dan hidayah-Nya. Aamiin. *** (B.Wiwoho
Paguyuban Suluk Nusantara - Depok Mulya I. Kajian & Latihan Seni Mocopat Seri 5, Sabtu Pahing, 5 Bakda Mulud 1951 ( 23 Desember 2017).











0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda