Kajian
& Latihan Seni Mocopat Seri 5, Sabtu Pahing, 5 Bakda Mulud 1951 ( 23
Desember 2017).
Keutamaan atau keluhuran hidup, menjadi tujuan utama
masyarakat Jawa tempo dulu. Ukuran keutamaan bukanlah harta benda, mobil berapa
dan merek apa serta rumahnya di mana saja. Membicarakan tentang harta benda
apalagi bertanya atau pamer, bahkan dianggap tabu dan tidak sopan. Keutamaan
seseorang dinilai dari budi pekerti yang luhur dan cita-cita hidupnya, serta setinggi
apa masyarakat terutama di sekelilingnya
menghormati dengan sepenuh takzim. Tak jarang menjadi tempat bertanya dan
sering diminta doa restunya.
Pengetahuan dan ajaran tentang keutamaan hidup,
diajarkan turun-temurun atau dari orang
tua ke anak secara lisan. Sejalan dengan perkembangan sastra Jawa yang mencapai
puncak keemasan pada abad ke 19, lahirlah sejumlah karya sastra yang berisi
ajaran dan filosofi kehidupan. Dua
diantaranya yang sangat popular adalah Serat atau Kitab Wulangreh dan Kitab
Wedhatama.
Wulang artinya pitutur atau ajaran, sedangkan reh
berarti jalan atau cara mencapai sesuatu. Dalam hal ini adalah ajaran untuk
mencapai hidup yang sempurna. Kitab Wulangreh selesai disusun oleh Raja
Kasunanan Surakarta Pakubuwana IV (1768 – 1820) pada tahun 1808. Sedangkan
Wedhatama disusun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV
(1809 – 1881). Wedha artinya pengetahuan dan tama berasal dari kata utama yang
berarti keutamaan atau keluhuran. Dengan demikian makna kedua kitab tersebut
pada hakikatnya sama, yakni pelajaran tentang mewujudkan kehidupan yang baik,
yang sarat dengan kandungan-kandungan filosofis, moral, spiritual dan budi
pekerti.
Wedhatama disusun dalam 100 bait tembang macapat, yang
terdiri dari tembang Pangkur sebagai pembuka sebanyak 14 bait, Sinom 18 bait,
Pocung 15 bait, Gambuh 35 bait dan
ditutup dengan Kinanthi 18 bait. Berikut beberapa contoh, sedangkan bait-bait
yang lain insya Allah kita bahas di lain kesempatan:
Tembang Pangkur bait 1 dan 2.
Mingkar-mingkuring angkara
akarana karenan
mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
kang tumrap neng tanah Jawa
agama ageming aji.
Jinejer neng Wedhatama
mrih tan kemba kembenganing pambudi
mangka nadyan tuwa pikun
yen tan mikani rasa
yekti sepi asepa lir sepah samun
samangsane pakumpulan
gonyak-ganyuk nglilingsemi.
Artinya:
Menghindarkan
diri dari angkara (perilaku buruk, jahat)
karena
hendak mendidik anak (dan murid)
yang
tersirat dalam keindahan kidung
dihias
sehingga indah syairnya
demi
menjiwai hakikat ilmu luhur
yang
berlaku di tanah Jawa
agama
sebagai pakaian kehidupan yang mulia.
Diuraikan
dalam Wedhatama
agar
tidak kekurangan pegangan budi
padahal meski tua renta
apabila
tidak memahami perasaan
sungguh
bagaikan sepah (ampas) makanan yang sudah tak ada rasanya
tatkala
di dalam pertemuan
sering
canggung memalukan.
Dua
bait pembuka tersebut menjelaskan manusia harus
menghindarkan dari dari perbuatan angkara (murka), demi mendidik
generasi muda, yang dikemas dalam sebuah tembang dengan syair-syair yang indah.
Tembang yang penuh dengan hakikat ilmu luhur yang menjiwai kehidupan orang
Jawa, bagaikan agama-agami ageming aji. Yakni pakaian kehidupan yang membuat
diri yang memakainya menjadi berharga. Pengetahuan itu dituangkan dalam
Wedhatama, agar hidup kita tidak kekurangan budi (baik). Karena begitulah
kenyataan dalam kehidupan. Ada saja meski orang sudah tua renta, yang jika tidak
bisa memahami budi dan perasaan, sungguh akan bagaikan ampas makanan yang tidak
ada rasanya, jiwanya hampa, yang akan nampak di pertemuan-pertemuan,
tindak-tindak dan pekataannya memalukan.
Di
dalam Serat Wedhatama ini ada bait-bait yang sangat populer yang sering
ditembangkan dalam irama Sinom oleh kelompok-kelompok karawitan dan penggemar
seni mocopat, yaitu bait 15 sampai dengan 20 sebagai berikut:
Bait 15.
Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
wong agung ing Ngeksigondo
Panembahan Senopati
kapati amarsudi
sudaning hawa lan nepsu
pinesu tapa brata
tanapi ing siyang ratri
amamangun karyenak tyasing sasama.
Artinya:
Contohlah
perilaku terbaik
bagi
masyarakat Jawa
tokoh
mulia dari Kerajaan Mataram
Panembahan
Senopati
orang
yang sangat tekun menempa diri
mengurangi
hawa nafsu
dengan
menjalani tapabrata
siang
maupun malam
membangun
kebahagiaan hati sesama.
Bait 16.
Samangane pasamuan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kala-kalaning ngasepi
lalana teki-teki
nggayuh geyonganing kayun
kayungyun eninging tyas
sanityasa pinrihatin
puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.
Artinya
Dalam
setiap pertemuan
membangun
kebahagiaan bersama
secara
teratur memerlukan
pergi
menyepi (uzlah)
berkelana
ke tempat-tempat sunyi
menggalang
cita-cita (membangun cipta)
menguatkan
rahsa (nurani/kalbu)
senantiasa
prihatin
berpegang
teguh mencegah makan dan tidur.
Bait 17.
Saben mendra saking wisma
lelana laladan sepi
ngingsep sepuhing sopana
mrih pana pranaweng kapti
tis-tising tyas marsudi
mardawaning budya tulus
mesu reh kasudarman
neng tepining jalanidhi
sruning brata kataman wahyu dyatmika
Artinya.
Setiap
pergi dari rumah
berkelana
ke tempat sepi
menyerap
(menghisap) energi keutamaan
agar
jelas tujuan hidup (cipta)
meneguhkan
rahsa (nurani/kalbu)
mengokohkan
ketulusan budi
memperdalam
ajaran dalam berdarma (berbakti pada sesama)
sampai
di pinggir samudera
sehingga
pada akhirnya memperoleh wahyu keutamaan.
Bait 18.
Wikan wengkoning samodra
kederan wus den ideri
kinemat kamot ing driya
rinegem sagegem dadi
dumadya angratoni
nenggih Kanjeng Ratu Kidul
ndedel nggayuh nggegana
umara marak maripih
sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.
Artinya.
Paham
keluasaan samudera
semua
(jagat raya) sudah dikitari
diserap
dalam inderanya
digenggam
sekali genggam
sehingga
menjadi penguasa jagat raya
sampai
kemudian Penguasa Alam Gaib Kanjeng Ratu Kidul melesat ke angkasa,
menghadap
mengendap-endap
menghamba
karena kalah wibawa dengan Orang Agung dari Mataram.
Bait 19.
Dahat denira aminta
sinupeket pangkat kanthi
jroning alam palimunan
ing pasaban saben sasi
sumanggem anyanggemi
ing karsa kang wus tinamtu
pamrihe mung aminta
supangate teki-teki
nora ketang teken janggut suku jaja.
Artinya.
Memohon
dengan sangat
agar
direngkuh jadi pengikut
dalam
alam gaib
yang
menghadap di kala sunyi
berjanji
menyanggupi
membantu
upaya (karsa) yang telah dicipta (dirancang)
kehendaknya
hanya mengharap
restu
(ijin) dari sang pertapa
meski
harus menjadikan jangut sebagi tongkat dan dada menjadi kaki.
Bait 20.
Prajanjine abipraya
saturun-turun wuri
mangkono trahing awirya
yen amasah mesu budi
dumadya glis dumugi
iya ing sakarsanipun
wong Agung Ngeksiganda
nugrahane prapteng mangkin
trah tumerah darahe padha wibawa.
Artinya.
Berjanji
mempersembahkan hidupnya demi kelestarian jagat raya
beserta
anak keturunan di kemudian hari
demikian
itu tekad keturunan ksatria (manusia utama)
dalam
mengasah kesempurnaan budi
agar
cepat tercapai
apa
yang diinginkan
orang
Agung dari Mataram
anugrah
pun tiba
semua
keturunannya berwibawa.
Bait
15 sampai 20 ini bait yang sesungguhnya memerlukan renungan khusus yang hening,
mengingat sebagian membahas masalah gaib, yang tidak semua orang percaya. Dan jika ada yang percaya pun belum tentu
sama pemahamannya. Salah mempelajari ilmu gaib, alih-alih memperoleh ilmu
hakikat, malah hidup kita justru bisa tersesat. Namun tidak berarti kita tidak
bisa mempelajari Wedhatama kapan dan di mana saja, karena bait-bait tersebut
juga memuat pengetahuan yang terang benderang bagi kacamata awam yang mau
berpikir.
Wedhatama
mengajak kita meneladani kehidupan pendiri kerajaan Mataram Islam, yaitu
Panembahan Senopati. Ia tekun mengasah jiwa raganya (rahsa), menyatu dengan
alam semesta, mengendalikan hawa nafsu (karsa) dan bercita-cita mewujudkan
kebahagiaan (cipta) bagi sesamanya, bagi
sesama umat Tuhan (rahsa).
Ada
dua versi pemahaman bait ke 19. Disamping versi terjemahan sesuai kata dan
kalimat sebagaimana di atas, ada versi lain yang disebut versi hakekat yang
kurang lebih bermakna sebagai berikut: “ Karena kuatnya keinginan untuk
berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka meskipun sangat berat, bahkan
menjadikan dagu sebagai tongkat dan dada sebagai kaki untuk berjalan
mencapainya, ia terus prihatin, bertirakat, memohon ridho-Nya, agar bisa
berperilaku, bertindak-tanduk yang benar dan suci seusai dengan kehendak-Nya.”
Sebagai
bait penutup dalam kajian seri ini, marilah kita hayati bait ke 33 dalam
tembang Pocung yang terjemahannya sudah sangat gamblang, maknanya sebagai
berikut:
Ngelmu iku
kalakone kanthi laku
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angkara.
Artinya:
Ngelmu
itu
terwujudnya atau hanya bisa dicapai dengan amal perbuatan
diawali
dengan kemauan atau tekad
artinya
tekad yang menguatkan
budidaya
yang teguh akan menghancurkan angkara murka.
Demikianlah
sahabatku, semua ilmu, semua ajaran kebaikan itu hanya akan terwujud dan
bermakna, apabila dipraktekkan serta diamalkan dalam perilaku dan kehidupan
nyata kita. Apalah artinya ilmu, jika itu hanya berada di alam pikiran, dan
paling jauh berhenti di ujung lidah Maka hanya akan seperti peringatan Kanjeng
Nabi Muhammad Saw, “Bagaikan keledai memanggul sekeranjang buku, keledai yang
tidak memahami sama sekali makna dan hakekat ilmu yang dipanggulnya, apalagi
mengamalkannya.” Semoga kita dijauhkan dari gambaran buruk tersebut, dan
sebaliknya senantiasa memperoleh inayah dan hidayah-Nya. Aamiin. *** (B.Wiwoho
Paguyuban Suluk
Nusantara - Depok Mulya I. Kajian & Latihan
Seni Mocopat Seri 5, Sabtu Pahing, 5 Bakda Mulud 1951 ( 23 Desember 2017).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda