Gelar Budaya Suluk Nusantara dan Wakaf Gamelan
DEPOK – Berbeda dengan biasanya, Sabtu (27/1/2018), Komplek
Perumahan Pondok Mulya I yang tenang, damai, mendadak ramai. Massa
terkosentrasi di salah satu rumah warga, di Blok K No. 90. Di sana adalah rumah
wartawan senior dan budayawan Bambang Wiwoho.
Di belakang rumah Mas Wi, begitu
sang budayawan pemilik rumah itu akrab dipanggil, sebelumnya adalah kebun yang
ditanam pohon rambutan. Kini berdiri kokoh sebuah pendopo. Di pendopo inilah
aktivitas budaya dijalankan. Rumah Mas Wi menjadi tempat warga sekitar
bersilaturrahim dan menyalurkan bakat seni. Di sana mereka juga mengekspresikan
diri melestarikan budaya, warisan leluhur.
Namun bagi Mas Wi, pengarang buku
“Islam Mencintai Nusantara” ini, aktivitas seni di pendopo itu agar tidak
menjadi hiburan biasa, ia sisipkan nilai agama. Berkaca dari Jalan Dakwah para
Sunan, seni yang dikembangan di Pendopo itu pun menjadi aktivitas Budaya Suluk.
Budaya inilah yang menurut Mas Wi, bisa meluluhkan tatanan nilai yang ada di
tanah air, ketika para sunan menyampaikan Dakwah Islam tempo doeloe. Sehingga
Islam dapat diterima di hati masyarakat nusantara, karena ia datang dengan
damai dan masuk dengan seni yang menyenangkan.
“Ketika Islam datang ke nusantara,
penduduknya sudah memiliki perdaban yang tinggi. Ini terlihat dari hasil karya
mereka seperti candi yang luar biasa unggul apabila diukur dari segi apapun,
dari science, arsitek maupun estetikanya. Jika Islam datang dengan kekerasan
tentu tidak akan diterima oleh rakyat nusantara. Tapi Islam yang dibawa para
sunan dengan pendekatan budaya akhirnya Islam pun dapat diterima,” jelas Mas
Wi.
Karena itu pula, Mas Wi berikhtiar
dengan jalan dakwah yang dicontohkan para Sunan itu. Di Pendopo itu Mas Wi
memprakarsai “Gelar Budaya Suluk Nusantara, Eskepresi Seni Memahami Ilahi”,
seperti yang diadakan Sabtu (27/1) itu. Langkah Mas Wi, ini didukung penuh oleh
rekannya Wartawan Senior Parni Hadi, yang juga Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa.
“Aktivitas Dakwah melalui budaya sejalan dengan misi Dompet Dhuafa
yang memperhatikan para kaum dhuafa untuk berdaya dan menjadikan pendekatan
budaya sebagai jalan dakwah yang damai,” jelas Parni.
Tentunya Budaya Suluk yang
mengutamakan dakwah Islam dengan cinta yang diprakarsai Mas Wi, lanjut Parni
Hadi, kita dukung karena kita membangun peradaban yang penuh nilai kasih sayang
dan jauh dari kekerasan.
Dikatakan Parni, suluk itu adalah
jalan mencari tuhan. Syarat dari sebuah suluk dengan menata hati dan bathin.
Sementara ungkapan merupakan utusan atau cermin dari hati dan bathin. Ungkapan
akan bagus terlahir dari hati dan bathin yang tertata. Ungkapan seperti halnya
dakwah Islam tentu akan diterima oleh orang lain kalau berasal dari hati yang
tertata, damai dan penuh cinta.
“Dari situlah kita membangun
peradaban,” terang Parni.
Dikesempatan yang sama, Parni Hadi
mengusulkan nama pada pendopo untuk berkativitas dakwah itu dengan Pendopo
Mulyo Budoyo. Nama itu diaminkan oleh Mas Wi, si empu rumah dan para hadirin.
Bukan hanya Parni Hadi, adik mantan
Presiden Abdurrahman Wahid, Lily Wahid juga mendukung langkah Mas Wi
mengembangkan Budaya Suluk itu. Menurutnya bangsa ini bisa disatukan dengan
seni dan budaya. Salah satunya Suluk bukan hanya sekedar seni yang memberi
hiburan tapi mengandung nilai dakwah yang menentramkan.
“Budaya Suluk ini dapat dikembangkan
ke seluruh nusantara, ia bisa disampaikan dengan bahasa lokal tapi tetap dengan
langgam aslinya seperti para Sunan menembangkan materi dakwah itu,” ungkap Lily
Wahid.
Dukungan lain yang tak kalah
berartinya adalah dari Trusti Mulyono, mantan penari nasional yang sudah menari
keliling dunia. Ia mewakafkan satu set gamelan kuno, melalui Dompet Dhuafa.
Dan bagi Dompet
Dhuafa gamelan itu diamanahkan ke Paguyuban Suluk Nusantara untuk
dirawat dan dimanfaatkan guna mendukung kegiatan seni dan budaya di Pendopo
Mulyo Budoyo itu.
“Gamelan ini sudah menemukan
rumahnya,” ungkap Trusti ketika menyerahkan gamelan itu sebelum Gelar Budaya
Suluk Nusantara dilanjutkan.
Sebagai keluarga seniman, gamelan
ini sangat berarti bagi Trusti. Gamelan itu, katanya, merupakan warisan dari Ki
Nyoto Carito, seorang dalang yang terkenal di Jawa di masa lalu. Ketika ia
wafat gamelan itu diwarisan ke anaknya. Nah dari anaknya, gamelan itu
diamanahkan ke Bu Trusti dan keluarga, dengan cara tukar guling dengan sebuah
rumah.
Setelah Trusti pensiun jadi penari
dan sibuk dalam aktivitas sosial, gamelan ini sempat mangkrak di rumah. Supaya
berguna ia titipkan ke sebuah sekolah di Cileduk untuk diberdayakan mengajar
murid-murid di sana. Sekitar 10 tahun di sekolah itu, kemudian karena kurang
terawat gamelan itu ditarik kembali dan dipinjam oleh Diknas kebudayaan untuk
mempromosikan seni dan budaya keliling nusantara dan dunia. “Bersama diknas ada
selama 6 tahun, kemudian ditarik kembali ke rumah karena ketika keliling
gamelan ini sempat ada yang hilang,” jelas Trusti.
Ia juga menyatakan, banyak ingin
membeli gamelan itu, tapi bagi Trusti dan keluarga, karena menghormati Dalang
Ki Nyoto Carito, dia tidak mau menjual warisan itu, walaupun digoda dengan
harga yang tinggi. Nah akhirnya gamelan ini kembali mangkrak di rumah.
Barulah di pertengahan tahun 2017,
rekannya sesama aktivis sosial Parni Hadi mampir ke rumahnya ketika itu Trusti
mengadakan Pelatihan Totok Punggung untuk orang tua dengan anak-anak tuna
grahita. Di kesempatan itu Trusti menyampaikan kepada Parni Hadi bahwa ia
memiliki gamelan yang butuh diberdayakan. Karena ia lihat Dompet Dhuafa
sedang giat mendukung inisiatif dakwah dengan pendekatan budaya seperti
Paguyuban Mocopat Nusantara dan Suluk Nusantara, Trusti punya niat mewakafkan
gamelan warisan itu ke Dompet Dhuafa.
Tentunya Parni Hadi senang
menerimanya. Di saat yang sama Parni Hadi teringat dengan Mas Wi yang sedang
menggiatkan Suluk dan Mocopatan di Depok. Akhirnya gamelan itu diterima oleh Dompet Dhuafa
sebagai aset wakaf
dan bagi Dompet
Dhuafa diamanahkan kepada Mas Wi untuk diberdayakan.
Ketika Gelar Budaya Suluk Nusantara
di Pendopo Rumah Mas Wi itu, diserahkan secara resmi Wakaf
Gamelan dari ibu Trusti itu kepada Yayasan Dompet Dhuafa Republika, yang diterima Ketua
Yayasan Ismail A. Said, yang kemudian Gamalen tersebut dengan perjanjian
kesepakatan kerja, gamelan itu diamanahkan kepada Mas Wi untuk diberdayakan di
Pendopo Mulyo Budoyo.
Tanpa disadari Trusti berlinang air
matanya ketika Gamelan itu diserahkan, ia haru karena gamelan tersebut kembali
dapat berguna dan diserahkan kepada lembaga yang tepat dan diberdayakan oleh
orang yang tepat juga.
.
Setelah seremonial penyerahan wakaf
selesai, para hadirin pun dapat menyaksikan pagelaran budaya yang diiringi
alunan gamelan yang baru saja diwakafkan. Semoga lestari.
( http://www.kbknews.id/2018/01/27/gelar-budaya-suluk-nusantara-dan-wakaf-gamelan/)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda