Mengembangkan sektor pariwisata Indonesia, adalah ibarat
menggalang sekaligus membangkitkan
“Indonesia Incorporated”, yaitu menggetarkan segenap pori-pori bangsa
Indonesia untuk bangkit bersama dalam satu irama bisnis kepariwisataan. Tetapi
membangun”Indonesia Incorporated” tentu bukan pekerjaan mudah. Ia merupakan
karya raksasa yang bukan hanya semata-mata menjadi tanggungjawab Pemerintah,
melainkan seluruh bangsa, seluruh masyarakat, tanggungjawab nasional.
Bagi yang sudah mengikuti perkembangan situasi nasional
di era 1980-an, tentu masih ingat gerakan “Sadar Wisata dengan Sapta
Pesonanya”, yaitu gerakan nasional untuk menggugah kesadaran masyarakat agar menyadari
betapa besar manfaat mengembangkan kepariwisataan.
Menjelang pertengahan dasawarsa 1980-an itu, jumlah
wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia baru sekitar
800.000 dengan pertumbuhan rata-rata 15% setahun. Dibandingkan Spanyol yang
pada saat itu masih mengandalkan atraksi adu banteng “matador”, posisi Indonesia jauh ketinggalan.
Pada masa itu wisman yang berkunjung ke Spanyol mencapai sekitar 40 juta
setahun, melampaui jumlah penduduknya yang hanya 38 juta jiwa. Meskipun
demikian Pemerintah Spanyol masih terus menggerakkan segenap kemampuan
nasionalnya buat menyedot wisatawan dengan membangun berbagai atraksi, acara,
obyek dan daerah-daerah tujuan wisata.
Hasilnya menakjubkan. Wismannya meningkat terus sehingga pada tahun 2015
mencapai 66 juta dan tahun 2016 meningkat lagi menjadi 75 juta dengan rata-rata
belanja harian per wisatawan 138 Euro atau 1.038 Euro per paket wisata per
orang.
Spanyol berhasil menyedot puluhan juta wisman karena
telah dengan baik menggetarkan “Spain Incorporated” dari seluruh pori-pori unsur kepariwisataan
nasionalnya yang meliputi segi kehidupan masyarakat, seni budaya, akomodasi,
transportasi, keamanan, lingkungan, pelayanan dan berbagai sarana lainnya
sebagai daya pikat wisatawan.
Contoh lain keberhasilan sebuah kota kecil yang menyedot
jutaan wisman adalah Volendam, yakni kota nelayan yang berjarak 20 km dari
Amsterdam, Belanda. Di pinggir jalan utama Volendem, berderet sejumlah studio
foto yang di etalasenya memajang foto berbagai tokoh dunia termasuk tokoh-tokoh
dari Indonesia. Pose foto-foto mereka nyaris sama, mengenakan pakaian
tradisional setempat tempo dulu. Berfoto dengan mengenakan pakaian tradisional
tentu sangat menarik. Namun itu saja tidak cukup. Volendam sangat mudah dicapai
dengan transportasi umum yang nyaman dan tepat waktu. Tata kota yang
berpenduduk 22.000an jiwa itu rapi bersih dengan arsitektur bangunannya yang
khas dan seragam, jalanannya yang kecil nyaman, suasananya aman tenteram, toko
dan restoran-restorannya bersih – enak dan harganya standar dengan harga yang
terpampang jelas.
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Secara nasional kita
memang telah berasil meningkatkan jumlah kunjungan wisman, sehingga terus
tumbuh mencapai 11,5 juta tahun 2016,
dengan target 20 juta wisatawan tahun 2019. Angka tersebut masih lebih rendah
dibanding Singapura yang pada 2016
berhasil mendatangkan 15 juta wisman, Malaysia 25 juta orang dan Thailand 32
juta orang.
Mengapa kita
kalah dengan negara-negara jiran? Kami mempunyai pengalaman yang menarik
tatkala pada liburan lebaran tahun 2016 mengunjungi Kawasan Wisata Dieng dan
Borobudur. Harus diakui, suasana keseluruhan sudah jauh lebih baik dibanding
sepuluh tahun silam, terutama Borobudur. Namun dibanding negeri-negeri jiran,
apalagi dibanding Spanyol, Paris dan kota kecil Volendam, secara umum masih
jauh tertinggal. Tata kota-wilayah yang tidak menampakkan ciri khas arsitektur
lokalnya, masih terkesan kumuh, terutama kebersihan dengan sampah yang
beserakan di mana-mana. Demikian pula kios-kios dan pedagang asongannya tidak
menarik bahkan mengganggu, padahal keberadaan mereka dibutuhkan. Sementara itu
di berbagai tempat kita disuguhi atraksi-atraksi “boneka manusia” yang
menari-nari mengajak berfoto, dengan kostum-kostum asing antara lain Teletabis,
di tengah alunan musik-musik Barat. Sedikit bersyukur, di Dieng menjumpai
beberapa orang dalam satu grup yang mengenakan kostum wayang, dan tatkala
berkeliling naik delman di Borobudur, sempat diajak singgah ke satu rumah joglo
yang baru beroperasi selama beberapa
hari dengan hidangan kudapan lokal sambil menikmati alunan siter dan gender khas Jawa.
Banyak alasan
orang berwisata. Namun satu persamaannya adalah ingin keluar dari kejenuhan dan
rutinitas dengan menikmati suasana yang berbeda, terutama yang khas, yang lain
dari yang lain, yang tidak ditemui dalam kehidupannya sehari-hari, yang bisa
dinikmati dalam suasana yang aman, nyaman, bersih, higenis, enak, terjangkau
harganya dan pulang membawa kenangan sepanjang masa. Dalam hal alam dan seni
budaya, dari Sabang sampai Merauke, Nusantara memiliki potensi besar buat
dikembangkan untuk itu.
Namun potensi “Raksasa
Kepariwisataan” tersebut harus digalang bersama dalam satu “Indonesia
Incorporated”. Dan agar memberikan manfaat besar kepada masyarakat luas dan bukan
hanya untuk segelintir orang apalagi investor asing, maka harus berbasis pada
komunitas, kearifan dan keunggulan lokal, kelestarian eko sistem serta konservasi alam dan budaya. Semoga. (B.Wiwoho).
Catatan: Tulisan ini juga bisa dilihat bersama pendapat para pakar lainnya di link berikut:http://watyutink.com/opini/membangunkan-raksasa-pariwisata-dengan-gerakan-indonesia-incorporated
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda