Sabtu, 06 Januari 2018

Membangunkan Raksasa Pariwisata dengan Gerakan “Indonesia Incorporated”




Mengembangkan sektor pariwisata Indonesia, adalah ibarat menggalang sekaligus membangkitkan  “Indonesia Incorporated”, yaitu menggetarkan segenap pori-pori bangsa Indonesia untuk bangkit bersama dalam satu irama bisnis kepariwisataan. Tetapi membangun”Indonesia Incorporated” tentu bukan pekerjaan mudah. Ia merupakan karya raksasa yang bukan hanya semata-mata menjadi tanggungjawab Pemerintah, melainkan seluruh bangsa, seluruh masyarakat, tanggungjawab nasional.
 
Bagi yang sudah mengikuti perkembangan situasi nasional di era 1980-an, tentu masih ingat gerakan “Sadar Wisata dengan Sapta Pesonanya”, yaitu gerakan nasional untuk menggugah kesadaran masyarakat agar menyadari betapa besar manfaat mengembangkan kepariwisataan.

Menjelang pertengahan dasawarsa 1980-an itu, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia baru sekitar 800.000 dengan pertumbuhan rata-rata 15% setahun. Dibandingkan Spanyol yang pada saat itu masih mengandalkan atraksi adu banteng  “matador”, posisi Indonesia jauh ketinggalan. Pada masa itu wisman yang berkunjung ke Spanyol mencapai sekitar 40 juta setahun, melampaui jumlah penduduknya yang hanya 38 juta jiwa. Meskipun demikian Pemerintah Spanyol masih terus menggerakkan segenap kemampuan nasionalnya buat menyedot wisatawan dengan membangun berbagai atraksi, acara, obyek dan  daerah-daerah tujuan wisata. Hasilnya menakjubkan. Wismannya meningkat terus sehingga pada tahun 2015 mencapai 66 juta dan tahun 2016 meningkat lagi menjadi 75 juta dengan rata-rata belanja harian per wisatawan 138 Euro atau 1.038 Euro per paket wisata per orang.

Spanyol berhasil menyedot puluhan juta wisman karena telah dengan baik menggetarkan “Spain Incorporated”  dari seluruh pori-pori unsur kepariwisataan nasionalnya yang meliputi segi kehidupan masyarakat, seni budaya, akomodasi, transportasi, keamanan, lingkungan, pelayanan dan berbagai sarana lainnya sebagai daya pikat wisatawan.

Contoh lain keberhasilan sebuah kota kecil yang menyedot jutaan wisman adalah Volendam, yakni kota nelayan yang berjarak 20 km dari Amsterdam, Belanda. Di pinggir jalan utama Volendem, berderet sejumlah studio foto yang di etalasenya memajang foto berbagai tokoh dunia termasuk tokoh-tokoh dari Indonesia. Pose foto-foto mereka nyaris sama, mengenakan pakaian tradisional setempat tempo dulu. Berfoto dengan mengenakan pakaian tradisional tentu sangat menarik. Namun itu saja tidak cukup. Volendam sangat mudah dicapai dengan transportasi umum yang nyaman dan tepat waktu. Tata kota yang berpenduduk 22.000an jiwa itu rapi bersih dengan arsitektur bangunannya yang khas dan seragam, jalanannya yang kecil nyaman, suasananya aman tenteram, toko dan restoran-restorannya bersih – enak dan harganya standar dengan harga yang terpampang jelas.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Secara nasional kita memang telah berasil meningkatkan jumlah kunjungan wisman, sehingga terus tumbuh mencapai 11,5 juta  tahun 2016, dengan target 20 juta wisatawan tahun 2019. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding Singapura yang pada 2016 berhasil mendatangkan 15 juta wisman, Malaysia 25 juta orang dan Thailand 32 juta orang.

Mengapa kita kalah dengan negara-negara jiran? Kami mempunyai pengalaman yang menarik tatkala pada liburan lebaran tahun 2016 mengunjungi Kawasan Wisata Dieng dan Borobudur. Harus diakui, suasana keseluruhan sudah jauh lebih baik dibanding sepuluh tahun silam, terutama Borobudur. Namun dibanding negeri-negeri jiran, apalagi dibanding Spanyol, Paris dan kota kecil Volendam, secara umum masih jauh tertinggal. Tata kota-wilayah yang tidak menampakkan ciri khas arsitektur lokalnya, masih terkesan kumuh, terutama kebersihan dengan sampah yang beserakan di mana-mana. Demikian pula kios-kios dan pedagang asongannya tidak menarik bahkan mengganggu, padahal keberadaan mereka dibutuhkan. Sementara itu di berbagai tempat kita disuguhi atraksi-atraksi “boneka manusia” yang menari-nari mengajak berfoto, dengan kostum-kostum asing antara lain Teletabis, di tengah alunan musik-musik Barat. Sedikit bersyukur, di Dieng menjumpai beberapa orang dalam satu grup yang mengenakan kostum wayang, dan tatkala berkeliling naik delman di Borobudur, sempat diajak singgah ke satu rumah joglo yang baru beroperasi selama  beberapa hari dengan hidangan kudapan lokal sambil menikmati  alunan siter dan gender khas Jawa.

Banyak alasan orang berwisata. Namun satu persamaannya adalah ingin keluar dari kejenuhan dan rutinitas dengan menikmati suasana yang berbeda, terutama yang khas, yang lain dari yang lain, yang tidak ditemui dalam kehidupannya sehari-hari, yang bisa dinikmati dalam suasana yang aman, nyaman, bersih, higenis, enak, terjangkau harganya dan pulang membawa kenangan sepanjang masa. Dalam hal alam dan seni budaya, dari Sabang sampai Merauke, Nusantara memiliki potensi besar buat dikembangkan untuk itu.
Namun potensi “Raksasa Kepariwisataan” tersebut harus digalang bersama dalam satu “Indonesia Incorporated”. Dan agar memberikan manfaat besar kepada masyarakat luas dan bukan hanya untuk segelintir orang apalagi investor asing, maka harus berbasis pada komunitas, kearifan dan keunggulan lokal, kelestarian eko sistem  serta konservasi alam dan budaya. Semoga. (B.Wiwoho).
 
Catatan: Tulisan ini juga bisa dilihat bersama pendapat para pakar lainnya di link berikut:http://watyutink.com/opini/membangunkan-raksasa-pariwisata-dengan-gerakan-indonesia-incorporated










0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda