Kelemahan-kelemahan
dalam pelaksanaan APBD, bahkan APBN, sudah menjadi rahasia umum. Salah
satu di antaranya ditunjukkan dengan kesibukan-kesibukan luar biasa di
bulan-bulan akhir tahun anggaran, antara November–Desember setiap tahun.
Kesibukan yang tiada lain hanya untuk menghabiskan anggaran. Lantas
manfaat apa bagi rakyat, dari kesibukan akhir tahun seperti itu? Nyaris
tidak ada. Apa kelemahan itu tidak diketahui oleh Menteri Keuangan?
Rasanya mustahil, kecuali memang sengaja tutup mata dan telinga.
Tetapi kerancuan cara berfikir, atau entah apa,
tak sanggup kita mengungkapkannya. Pernyataan galau Menteri Keuangan
yang kecewa dengan mutu pendidikan Indonesia yang kalah dari Vietnam
tersebut saja, kita pun sudah pantas ikut galau. Betapa tidak. Sudah
berjalan berapa tahunkah Negara mengalokasikan 20 persen anggarannya
untuk pendidikan nasional? Mendidik bangsa bukan urusan setahun dua
tahun anggaran, melainkan satu generasi, minimal 15 tahun jika dihitung
sejak masuk sekolah dasar sampai jenjang Diploma III. Itupun bila
anggarannya dipakai secara tepat guna dan tidak bocor. Maka mustahil
pula mengharapkan hasil alokasi anggaran pendidikan hanya dalam bilangan
di bawah sepuluh tahun dalam masyarakat korup dewasa ini.
Demikian pula mengharapkan Pemerintah Daerah
beserta DPRDnya di orde reformasi ini menyejahterakan rakyatnya melalui
APBD, rasanya juga mustahil. Bagaimana mungkin kita mengharapkan buah
yang enak dimakan dari pohon beracun? Mengharapkan makan mangga dari
pohon jarak kepyar dan jarak pagar yang buahnya sangat beracun?
Mengharapkan makan gethuk nan lezat dari ubi singkong karet atau buah
sawo dari pohon upas yang bahkan getahnya saja sudah amat sangat
mematikan? Jadi bagaimana mungkin mengharapkan aparat dan sistem
berpemerintahan serta bernegara yang baik dari sistem ketatanegaraan
yang amburadul seperti sekarang ini?
Dari kerusakan sistem ketatanegaraan, mustahil mengharapkan sesuatu yang baik atau thoyib.
Begitulah seharusnya sikap tegas kita menghadapi sistem dasar
ketatanegaraan kita, dalam hal ini Undang-Undang Dasar (UUD). UUD adalah
bagaikan pohon kehidupan di mana seluruh denyut kehidupan bangsa dan
negara tergantung kepadanya.
Kenyataannya, UUD Amandamen 2002 yang sekarang
menjadi sumber segala produk hukum dan aturan berbangsa dan bernegara
adalah juga pohon beracun, dari benih sampai buah, semuanya beracun.
Dari pohon dan buah beracun, apa mungkin meharapkan buah yang lezat?
Omong kosong. Dari penamaannya saja UUD 1945 Amandemen itu sudah
manipulatif.
Sistem yang rusak akibat amandemen UUD 1945 telah
melahirkan bebagai UU dan peraturan yang memunculkan ancaman krisis
moral yang belum pernah terjadi. Konstitusi yang buruk pasti akan
menghasilkan UU dan peraturan yang buruk misalkan:
Pertama, UU Penanaman
Modal, mempermudah WNA menjadi WNI, mempermudah WNA memiliki properti,
menggampangkan prosedur utang Luar Negeri, menyerahkan kawasan-kawasan
dan proyek-proyek vital dan strategis kepada asing seperti di zaman VOC
dulu, serta melonggarkan masuknya ribuan tenaga kerja asing, dan
lain-lain.
Kedua, UU Kepartaian
dan Pemilu yang buruk, menghasilkan partai-partai politik beracun dan
buruk yang hanya akan dikuasai para pemodal dan rent seeker, pemburu rente yang menganut paham berkuasa dan kaya raya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.
Demikianlah mata rantainya, UUD yang buruk akan
menghasilkan Pemilu buruk, selanjutnya DPR/DPRD serta Pemerintah dan
Kepala Daerah yang buruk, akan menelurkan kebijakan yang buruk pula.
Sistem kepartaian dan Pemilu/Pilkadal (Pemilu Kepala Daerah– Langsung)
yang sangat berbiaya tinggi, menghasilkan Kepala Daerah dan DPRD yang
harus berusaha keras mengembalikan investasi plus bunganya dalam pemilu
yang berbiaya tinggi. Apakah mereka memikirkan rakyat? Itu nanti saja
pada ritual demokrasi lima tahunan.
Oleh karena itu, siapapun dan partai manapun yang
berkuasa yang dihasilkan dari UUD yang buruk, tidak akan bisa mengubah
keadaan karena menggunakan pola dan sistem yang rusak. Dalam kerangka
sistem ketatanegaraan yang buruk seperti itu, bagaimana mungkin kita
mengharapkan para Kepala Daerah serta DPRD mengelola APBD bagi
sebesar-besarnya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat? Rasanya
mustahil. A bad system can destroy good people. (pso)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda