Kekuatiran
Menteri Keuangan Sri Mulyani dana desa gagal menurunkan angka
kemiskinan dibanding laju kenaikan angka kemiskinan, sangat beralasan
dan memang sudah terbukti, karena di samping setting sosial pedesaan
yang butuh pendekatan berbeda, juga lantaran pemahaman akan makna
geo-ekonomi, geo-politik dan geo-strategis secara nasional sangat lemah.
Jadi bukan sekedar menabur uang ke pedesaan dan membangun infrastuktur
khususnya jalan, sebab apalah artinya jalan apabila ekonomi rakyat tidak
tumbuh.
Kita sering bicara tentang Perang Asimetris atau
Perang Semesta Global yang tengah berlangsung dan menyerbu Negara-Negara
Bangsa, namun hanya sebatas retorika, dan masih saja tidak peduli
dengan perang moderen terdahsyat tersebut, yang bukan lagi ditentukan
oleh benteng-benteng batu nan kokoh dan meriam, melainkan perang dalam
segala bentuk, khususnya perang budaya dan gaya hidup yang mampu
menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap
penduduk dunia, termasuk penduduk di pedesaan Indonesia.
Demi memenangkan peperangan itu, kekuatan
kapitalis barat dan utara yang menguasai modal dan teknologi, terus
berusaha menggelorakan pesona gaya hidup beserta produk-produk
konsumtifnya, dengan akibat kerusakan tata nilai budi luhur dan
keagamaan, juga terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan
hidup. Masyarakat luas hanya dijadikan pasar dengan individu-individunya
yang konsumtif, pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan
narsis. Boros serta mementingkan diri sendiri, sehingga menjadikan
individu-individu yang hidup secara defisit seperti halnya negeri kita
yang senantiasa defisit dalam neraca pembiayaan dan perdagangan luar
negeri.
Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola
hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita
sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam
sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal
dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak
dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air
minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan
bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang
bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin.
Sesungguhnya gagasan mengalirkan uang ke pedesaan
dengan program dana desa itu sangat mulia dan akan tepat dan berdayaguna
apabila dilakukan dalam setting sosial pedesaan yang berada dalam suatu
strategi besar nasional yang dilandasi pada tiga kekuatan peta bumi
yakni geo-ekonomi, geo-politik dan geo-strategis yang baik.
Sebagai contoh di bidang energi, Guru Besar ITB
Prof.Dr.Teuku Abdullah Sanny dalam tulisannya di Republika 14 Oktober
2014, sudah mengusulkan 7 (tujuh) langkah strategi kebijakan yang
berbasis tiga potensi peta bumi tersebut, antara lain Pemerintah harus
dapat segera membuat rencana strategis energi berbasis nonmigas serta
mengubah kebijakan yang bersifat sentralistik ke pola regional sesuai
karakteristik alam masing-masing.
Strategi kebijakan seperti itu akan meningkatkan
daya guna tepat dan mendekatkan serta melibatkan peran serta masyarakat
di berbagai daerah dalam memenuhi kebutuhan energi bagi dirinya sendiri.
Kita harus bisa mendayagunakan secara optimal apa-apa yang kita miliki,
termasuk mengolah potensi alam seperti sampah, air, matahari dan angin
menjadi sumber energi sebagaimana dikemukakan oleh Prof.Dr. Teuku
Abdullah Sanny tadi. Dalam hal pemanfaatan sampah saja, penalar telah
mempraktekkan dengan mengolahnya menjadi pupuk dan briket untuk bahan
bakar. Di beberapa negara Eropa, sampah makanan dan dapur dikumpulkan
tersendiri untuk diolah menjadi sumber energi. (pso)
Mari Kita Jaga Dana Desa, Dana Saya-Dana Kita Semua (Bagian 2)
Bisakah kita membangun etos "setiap jengkal tanah setiap saat menghasilkan"?
28 Dec 16:00:00
Di
bidang pertanian, kita adalah negara yang memiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia, dengan air laut dan matahari tropis nan
melimpah-ruah, tiga syarat utama pembuatan industri garam. Ironisnya
kita justru mengimpor garam dari negara-negara sub tropis yang tiga
persyaratan utamanya justru jauh di bawah kita. Siapa yang diuntungkan?
Sudah pasti bukan rakyat tapi pedagang dan importir garam, yang jaringan
mata rantainya selalu menyalahkan musim hujan yang tidak mendukung
industri garam. Padahal di kampung petani garam di Sedayu, Jawa Timur,
sejumlah penduduk sudah berhasil dengan sukses mengembangkan rumah
piramid garam yang memungkinkan memproduksi garam sepanjang tahun tanpa
terpengaruh musim hujan.
Dalam budaya ekonomi, kita harus bisa mengobarkan
perang terhadap sikap hidup yang konsumtif dan boros, dengan
membudayakan sikap hidup hemat, sederhana dan menabung. Kita harus
menggalang etos dan budaya industri secara hakikat dalam makna yang luas
yakni pola pikir, sikap hidup dan perilaku untuk mendayagunakan sumber
daya alam, ketrampilan, peralatan dan ketekunan kerja dalam suatu mata
rantai produksi yang luas, berkesinambungan serta mengutamakan nilai
tambah, dan bukan dalam arti sempit sebagaimana kita kenal selama ini,
yang dibatasi hanya semata-mata sebagai suatu proses pabrikasi.
Dalam memaknai geo-ekonomi di zamrud khatulistiwa
yang secara potensial subur makmur ini misalkan, bagaimana kita
ditantang untuk membangun etos “setiap jengkal tanah, setiap saat
menghasilkan”. Sebagai contoh, Gerakan OVOP (One Village One Product)
yang selama ini sudah digulirkan oleh Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat dan
Universitas Gajah Mada, sungguh tepat dan bisa menjadi contoh model
pembangunan yang mengabdi pada rakyat dan komunitas, yang produktif
berkesinambungan, mendayagunakan keunggulan lokal, melestarikan eko
sistem dan melakukan konservasi.
Etos dan budaya industri serta semangat OVOP itu
harus dikembangkan dalam sistem kebersamaan dan kekeluargaan yang kita
kenal sebagai gotongroyong, sehingga mampu menggetarkan setiap
pori-pori kehidupan anak bangsa. Gerakan OVOP dengan sentuhan akhir
kepariwisataan, sekaligus juga akan dapat menarik banyak wisatawan dan
menjadi gerakan dari desa membangun Indonesia. Yogya dan sekitarnya
misalkan, memiliki banyak produk dan keunggulan lokal yang bisa menjadi
unggulan serta percontohan Gerakan OVOP, antara lain salak pondoh,
geplak, tiwul, kerajinan kulit, keramik dan aneka seni Jawa. Demikian
pula potensi di berbagai wilayah di Indonesia.
Budaya industri dalam arti luas yang menjiwai
Gerakan OVOP, mendorong masyarakat di tingkat bawah untuk hidup
produktif dengan mendayagunakan segenap potensi yang dimiliki secara
berkesinambungan. Budaya ekonomi dan industri dalam kerangka strategi
besar nasional yang bertumpu pada keunggulan tiga potensi utama peta
bumi Indonesia, harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program
dana desa. Jika tidak, maka jangan berharap kemiskinan di pedesaan akan
berkurang, bahkan terus bertambah bersama meningkatnya para aparat desa
yang terlilit kasus penyalahgunaan dana desa.
Kita semua harus ikut menjaga Dana Desa, yang
antara lain bersumber dari Pajak Penjualan yang dipungut 10 persen,
misalkan dari gula, kopi, air mineral yang kita minum sebagai wedang
kopi, serta listrik atau gas yang memanaskan airnya. Jadi ratusan
triliuun rupiah Dana Desa yang ditaburkan ke pedesaan itu, bukan hanya
dananya Menteri Keuangan, melainkan dana dari saya, dari anda dan kita
semua.
(pso)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda