Penulis: Tim Redaksi Watyutink | 06
Feb 2018 13:00:00
Bahaya Invasi Senyap Dalam Proyek-Proyek Infrastruktur
Ada yang menarik dari "oleh-oleh" yang
dibawa Presiden Jokowi sepulang dari kunjungan resmi ke lima negara di Asia
Selatan: Sri Lanka, India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan. Pertama, cerita
heboh soal Jokowi jadi imam sholat di Afghanistan. Kedua, perintah dari Jokowi
kepada Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan untuk memprivatisasi sejumlah bandara
di Indonesia.
Kepada wartawan, Kamis (1/2/2018) kemarin, Luhut mengaku
sehari sebelumnya dipanggil Presiden dan menerima tugas untuk me’lego’
bandara-bandara di Indonesia, termasuk Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Luhut
bahkan menirukan pernyataan Jokowi, “Itu lapangan terbang, Pak Luhut, kasihin
saja. Seperti Silangit, Jakarta, Bangka Belitung, kasih privatisasi saja.
Siapa yang masuk, asal hitungannya jelas”. Benarkah demikian? Apa Kementerian
Perhubungan dan Angkasa Pura memang dianggap sudah tidak mampu lagi mengelola
bandara?
Menurut Luhut, perintah privatisasi bandara ini muncul
karena keterkejutan Jokowi saat berkunjung ke Pakistan beberapa hari lalu, dan
menyaksikan bandara Pakistan bernama Xi Jinping. Lagi-lagi Luhut menirukan
ucapan Jokowi kepada dirinya, seperti yang dimuat di Antaranews.com, Tempo.co,
Republika.co.id, dan Kumparan.com, pada Kamis, 1 Februari
2018. "Katanya (Jokowi), Gila, bandara di ibukota mereka Islamabad itu
dibangun Tiongkok. Dibikin lapangan terbang namanya Xi Jinping Airport,"
ujar Luhut. Hal itu membuat Jokowi terkaget-kaget. "Kok Xi Jinping Airport
bisa begini. Saya tanya kok bisa, tapi kata presiden, ya biarin aja
namanya karena katanya itu barangnya milik dia, nanti 10 tahun kemudian bisa
diganti namanya. Itu cerdik,"
Bukankah berita tentang bandara Pakistan tersebut adalah
hoaks karena merupakan “April Fool’s Prank” atau goyonan belaka, seperti
disampaikan oleh media Singapura straitstimes.com, media India tribuneindia,
dan media Pakistan tribun.co.pk. yang menyebut berita “Xi Jinping
Airport” tersebut adalah hoaks. Lantas kenapa sekelas Menko Kemaritiman Luhut
Pandjaitan bisa menyampaikan informasi hoaks kepada wartawan dan kepada publik?
Apa ini ketidak-tahuan atau kesengajaan? Benarkah apa yang disampaikan tersebut
adalah ucapan Presiden Jokowi? Atau, jangan-jangan ucapan ini adalah
intrepretasi Luhut sendiri yang mengatas namakan Presiden Jokowi?
Terlepas dari persoalan hoaks tidak nama bandara di
Pakistan itu, secara meyakinkan Luhut mengatakan bahwa langkah privatisasi ini
akan segera dilaksanakan agar sektor swasta menjadi hidup. Keinginan
privatisasi ini bahkan diamini oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang
Brodjonegoro dengan menyebut bahwa ladang investasi bandara sangatlah menarik
di mata investor asing.
Rencana privastisasi bandara pernah mencuat di era Megawati
menjadi Presiden. Banyak yang menolak rencana ini kala itu, termasuk mantan
Menkeu era Gus Dur, Rizal Ramli. Lalu, kenapa sekarang mencuat lagi? Kenapa
rencana privatisasi bandara ini musti diberi ‘bumbu’ cerita hoaks?
Jangan-jangan rencana ini adalah ‘titipan’ atas gagalnya menjual bandara di
2002 silam.
Atau bisa jadi kunjungan ke Asia Selatan kemarin selain
untuk menghadiri KTT ASEAN, tujuannya utamanya memang untuk ‘studi banding’
terkait privatisasi bandara di negara-negara Asia Selatan.
Satu lagi, hampir semua bandara di Indonesia sekaligus
menjadi pangkalan udara militer kita. Dengan privatisasi, rasanya bakal ada
pengaruh ke terbukanya postur pertahanan kita oleh pihak luar.
Apa pendapat Anda? Watyutink?
OPINI
PENALAR :
B.Wiwoho
Bahaya Invasi Senyap Dalam Proyek-Proyek Infrastruktur
Tatkala Watyutink meminta komentar
tentang hal ini, saya sedang mengadakan dialog WhatsApp multi saluran dengan
tokoh intelektual senior TNI Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, mantan
Dubes RI untuk Kamboja Nurrachman Oerip, politisi dan mantan anggota DPR Sayuti
Ashyatiri, dan mantan Wagub DKI Mayjen TNI (Pur) Prijanto. Oleh karena
itu mungkin menarik jika saya kutipkan beberapa pernyataan dari sahabat-sahabat
tentang topik ini, sehingga dengan ruang yang terbatas, pembaca bisa memperoleh
pandangan dari beberapa orang sekaligus.
Privatisasi manajemen bandara dan
pelabuhan pada dasarnya bertentangan dengan manajemen negara. Sebab bandara dan
pelabuhan sangat besar perannya dalam kehidupan masyarakat, dan menyangkut
kepentingan jutaan rakyat. Usaha pemerintah juga berusaha meraih untung, tapi
bukan tujuan utama. Sebab itu ukurannya bukan untung-rugi, melainkan manfaat.
Sedangkan perusahaan swasta sangat ditentukan untung-rugi. Kalau swasta juga
berarti swasta asing, maka bertambah dengan kerawanan sebab ada maksud
penguasaan di samping untung finansial.
Itu jelas sekali dalam kegiatan
China, khususnya di Afrika. Setiap proyek China selalu disertai turutnya tenaga
kerja China dalam jumlah besar yang kemudian menetap. Memang China punya
rencana memindahkan penduduknya dalam ukuran jutaan orang ke negara lain. Jadi
kalau empat bandara--termasuk Soekarno-Hatta dikuasai asing, bisa dibayangkan
peran dominan yang dipegang asing. “Ini sudah begitu jauh penyelewengan
yang bisa mengakibatkan bahaya atas kedaulatan negara. Tidak mau sadar adanya Silent
Penetration,” ujar Pak Sayidiman.
Nurrachman--yang banyak mempelajari
hubungan Indochina-China-Laut China Selatan mengingatkan, kita kerap lupa dalam
melihat bangsa China bisa menjadi potensi sekaligus ancaman. Sebab mereka
menganut "cultural nationalism". Pada saat ini China bisa
disebut telah menyinergikan Communism-Capitalism-Confusianism menjadi senjata "Three
in One" yang menggentarkan negara-negara lain. "Clash of
Civilization" bukan hanya antara Muslim vs Western, tetapi juga antara
the Chinese vis-a-vis Non-Chinese.
Tidak sebagaimana serbuan China ke
Nusantara--khususnya Singosari dan Majapahit tempo dulu, serbuan mereka kini
berupa kekuatan modal dan personal dalam bentuk "disguished
migration" via "turn key management project". Di
beberapa negara Afrika, Ceylon, dan Suriname, metode tersebut berhasil
diterapkan, termasuk di Timor Leste saat ini. Oleh sebab itu AS perlu
menempatkan ribuan marinir di Darwin. China juga diduga akan menjadikan Bacau
sebagai pangkalan udara militer dan pantai selatan Dili sebagai pangkalan
angkatan laut utamanya untuk kapal selam. Apalagi ada sumber migas luar biasa
di Celah Timor. China tidak akan ceroboh melakukan upaya " tancap
kaki". Mereka akan sabar menunggu kelengahan Timor Leste.
Semua ini terjadi karena standar
ganda AS-UK cq Australia yang kemudian secara sistematis
"memerdekakan" Timor Leste. Kita dulu dibujuk untuk cegah "Cuban
style State in the South East Asia", tetapi kemudian dikecoh habis-habisan
karena "kenaifan" kita. Sampai sekarang tidak ada ada kesadaran bahwa
RI hanya jadi "US fellow traveller" dan tersandera akibat
"the Question of East Timor" masuk agenda DK PBB. Tidak vetonya
AS menyangkut rancangan resolusi DK PBB tentang masalah Timor tersebut karena
RI bukan Israel. Kebijakan tersebut lebih menyakitkan dengan embargo senjata
kepada ABRI. Menlu Portugal saat itu, Manuel Barosso, mengatakan "East
Timor is a catalyst for democratizations in Indonesia". Masukan kami
sayang sekali tidak dikaji dengan semestinya. Jadi yang kita alami saat ini
terutama karena kecerobohan internal kita juga yang berhasil
"dimanfaatkan" pihak luar. Dengan demikian kekuatan lama (Oldefo) AS,
UK, Australia cs maupun yang baru (Nefo) imperialistik yakni China , sama
berbahayanya.
Sayuti menyebut gagasan privatisasi
bandara tersebut seperti mengurus negara secara main-main. Tidak ada kajian
strategis ekonomi dan sosial, tidak ada pandangan ideologis. Langsung dengan
mudah karena disamakan Indonesia dengan Pakistan, maka berikan saja bandara
bandara (strategis) itu.
Prijanto mengingatkan, berbagai
keadaan sekarang menuntut kewaspadaan pada lima jenis invasi atau penetrasi
senyap, yaitu invasi konstitusi, invasi peradaban dan budaya, invasi ekonomi,
invasi sumber daya alam, dan migrasi manusia. Kelimanya patut diduga kini sudah
terjadi di Indonesia.
Di era globalisasi, kita memang
tidak mungkin menutup pintu bagi modal asing. Namun seharusnya kita belajar
dari sejarah bangsa-bangsa lain--khususnya dari Indonesia di masa lalu yang
dijajah 3,5 abad. Kedatangan Portugis dan VOC mengibarkan bendera dagang.
Mereka diizinkan membuka kantor dagang, membangun benteng, kemudian satu demi
satu mengelola wilayah-wilayah pelabuhan seperti Jayakarta, Jepara, Juwana,
Semarang, Makasar, Ambon dan selanjutnya nyaris wilayah Nusantara mereka jajah
dan kuasai.
Kini kita juga menghadapi gerakan
nafsu swastanisasi di berbagai proyek infrastruktur yang jelas-jelas vital dan
strategis seperti pelabuhan udara dan laut serta proyek reklamasi di depan
jantung ibu kota Negara. Kita memiliki Lemhannas dengan ribuan alumninya,
memiliki banyak ahli strategi dan intelijen, banyak jenderal aktif maupun
purnawirawan serta ribuan pakar. Sayang sekali kita belum melihat kajian-kajian
geostrategis dan geopolitik yang mendalam dan terbuka untuk dikaji serta
ditanggapi oleh masyarakat luas, atas gagasan swastanisasi proyek-proyek
infrastruktur dan reklamasi tersebut. (cmk)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda