Minggu, 17 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (9): KEUTAMAAN-KEUTAMAAN SISTEM BARU




Kalimat kunci yang menjadi ruh dan semangat dari revolusi atau reformasi perpajakan (PSPN) ini adalah, suatu paket undang-undang perpajakan yang sederhana, yang mudah difahami dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat secara bertanggungjawab demi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah ruh, semangat dan esensi sekaligus maksud dan tujuan utama dari PSPN.

Dengan maksud dan tujuan utama seperti itu  untuk pertama kalinya setelah  40 (empat puluh) tahun merdeka, Indonesia memiliki 5 (lima) undang-undang dengan 156 (seratus lima puluh enam) pasal dan 9 (sembilan) jenis tarif, menggantikan sistem lama yang terdiri dari 13 (tiga belas) undang-undang dengan 573 (lima ratus tujuh puluh tiga) pasal dan puluhan ribu aturan pelaksanaan serta 270 tarif. Kita bisa bayangkan, betapa rumit bahkan ruwet sistem lama tersebut, sehingga wajar bila pada akhirnya rakyat Wajib Pajak menyerah atau memilih berkolusi saja dengan fiskus atau aparat pajak.

Garis besar dari sistem baru yang membedakannya dengan sistem lama adalah sebagai berikut:

1.     Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP).

Perbedaan filosifis antara sistem lama dan baru, dituangkan dalam UUKUP yang memuat sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak (WP). WP tidak lagi menjadi obyek, melainkan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban bernegara. Di segi tuntutan masyarakat terhadap perlunya fiskus yang mampu dan bersih dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini.

Dalam melaksanakan kewajibannya, WP memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan sendiri atau menunjuk pihak yang dipercayainya. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti dalam sistem lama, yang menitikberatkan kegiatannya pada tugas  dan menetapkan semua  Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. UUKUP menentukan tugas administrasi perpajakan sebagai pengendali aktif adminstrasi pemungutan yang meliputi pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.

2. Pajak Penghasilan (UUPPh).

Pajak Penghasilan (PPh) yang baru, dikenakan baik kepada perorangan maupun perusahaan. PPh ini menggantikan empat undang-undang  lama yang rumit dan berbelit-belit, yang masing-masing berkaitan dengan perorangan, perseroan, bunga, dividen, royalty serta pajak pemotongan.

Istilah penghasilan dalam sistem baru mempunyai arti luas, termasuk di dalamnya arti pertambahan kekayaan. Segala bentuk penghasilan untuk tiap tingkat dikenakan dengan tarif yang sama. Hal ini berarti penyederhanaan terhadap praktek perpajakan lama yang mengenakan bermacam-macam pajak penghasilan dengan tarif yang berbeda-beda atau sama sekali tidak dikenakan. Jika sistem lama memiliki 66 jenis tarif dengan tarif terendah 2,5% dan tertinggi 50%,  UUPPh tahun 1983 hanya terdiri dari tiga tingkatan tarif, yaitu 15%, 25% dan 35%.

UUPPh menggariskan dengan jelas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan dan yang tidak dikenakan pajak, penghasilan yang pengenaan pajaknya ditangguhkan, pajak yang ditanggung pemerintah serta batas penghasilan yang tidak kena pajak.

Sistem lama memberikan perangsang perpajakan bagi dunia usaha, misalkan masa bebas pajak, namun diberikan tidak secara merata dan seragam. Sedangkan dalam sistem baru, insentif seperti itu diganti dengan daya tarik umum yang sederhana berupa tarif pajak yang lebih rendah untuk segala tingkat perusahaan, serta sejumlah insentif lain yaitu pajak atas tunjangan dan biaya umum perusahaan, penyusutan, indeksasi, kerugian kumulatif dan potongan atas bunga.



3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Inilah jenis pajak yang oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro disebut sebagai mesin uang. Istilah itu juga ia sampaikan kepada DPR tatkala mengajukan RUU PPN. Mengenang proses pemilihan dan penyusunan PPN ini, Radius menyatakan, agar pajak-pajak dapat mengkompensasi kehilangan pendapatan minyak, Indonesia perlu memiliki sumber penghasilan pajak yang lebih banyak dari sekedar pajak penghasilan. Para perencana ekonomi Indonesia memilih PPN. Pajak ini memang terbukti menjadi sokoguru dari sistem perpajakan Indonesia. Keberhasilannya melampaui ramalan dan harapan. 

Di Indonesia, tulis Radius selanjutnya, PPN diberlakukan untuk semua barang yang diproduksi maupun yang diimpor, serta jasa-jasa konstruksi. Pajak ini tidak berlaku untuk tembakau, serta hasil pertanian lainnya, karena memelihara tanaman atau ternak tidak dianggap sebagai manufaktur. Kecuali itu, tidak ada pembebasan-pembebasan lainnya. Yang paling penting di Indonesia, tidak seperti di negara-negara lain, hanya ada satu tarif yang dipakai untuk PPN ini, 10 persen, dan tidak berlaku untuk tingkat eceran. Oleh karena itu, “tidak dapat dilihat” oleh para konsumen. Hal ini membuatnya menjadi pajak yang jarang dipertengkarkan. Lagi pula tidak seperti pajak penjualan, PPN ini bukan merupakan pajak bertingkat. PPN menggantikan pajak penjualan dalam sistem lama yang rumit sehingga tidak dapat dilaksanakan.

Dengan berlakunya satu tarif saja dan penerapan yang universal, kekuatan terbesar dari PPN Indonesia terletak pada kesederhanaannya. Walaupun Indonesia menerima inspirasi ini dari negara Eropa, menurut Radius, pendekatan Eropa sangat rumit karena diberlakukan bukan saja untuk barang tapi juga untuk jasa dengan tarif yang berbeda-beda.

Kekuatan kedua dari PPN Indonesia terletak  pada cara pengumpulannya. Sebuah perusahaan yang membayar PPN pada saat membeli barang, akan memperolehnya kembali saat mereka menjual produknya  yang mengandung barang yang PPN –nya sudah dibayar. Sebagai contoh klasik, bila seorang tukang roti menjual rotinya kepada serentetan pasar swalayan, ia membayar PPN pada saat membeli bahan-bahannya, dan memperoleh kembali ketika menjual produknya.

Menarik PPN adalah demi kepentingan perusahaan itu sendiri karena PPN yang telah dibayar hanya dapat dikompensasikan bila PPN berikutnya telah diperoleh. Agar tidak mengurangi gairah untuk ekspor, PPN dapat diperoleh kembali terhadap produk ekspor yang PPN-nya sudah dibayar. Demikian catatan seorang tokoh utama yang menghantarkan kelahiran PPN Indonesia.




 


Jenis pajak ini disebut Pajak Pertambahan Nilai karena dikenakan atas pertambahan nilai dari barang dan jasa yang dihasilkan atau diserahkan oleh pengusaha kena pajak, apakah ia fabrikan, importir, agen utama atau pemborong bangunan. Pajak ini memang berkali-kali dipungut, yakni pada setiap tingkat, tapi yang dikenakan PPN hanya atas pertambahan nilainya saja. Artinya, jumlah pajak yang harus dibayar oleh pengusaha kena pajak adalah  selisih jumlah pajak yang harus dipungut oleh pengusaha ketika menjual hasil produksinya dengan jumlah pajak yang sudah dibayar sewaktu membeli bahan baku termasuk barang modal. Yang jelas, PPN dibebankan pada pundak pembeli, dibebankan kepada masyarakat luas tanpa dirasakan sebagai beban oleh masyarakat itu sendiri.

4. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Di dalam UUPPN, terdapat dua jenis pajak. Yang pertama yaitu PPN, sedangkan yang kedua adalah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Ppn BM). Ppn BM sesungguhnya adalah hasil kompromi atau mengakomodasi  usulan beberapa anggota DPR.

Ppn BM dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan atau pada waktu impor. Atas barang mewah, selain dikenakan PPN juga dikenakan Pajak Penjualan sebagai upaya nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak, yang sekaligus merupakan upaya mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif di masyarakat.

Ada dua tarif yang diterapkan untuk pajak ini yaitu 10% bagi barang-barang seperti peralatan  rumahtangga dan minuman yang mengandung karbon, dam 20% untuk beberapa macam barang termasuk mobil sedan dan kapal terbang pribadi. Namun dengan  Peraturan Pemerintah, besaran tarif tersebut dapat diubah menjadi setinggi-tingginya 35%.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).

Sesungguhnya inilah jenis pajak yang paling peka, yang pada zaman penjajahan Belanda mudah menjadi pemicu pemberontakan petani. UU PBB dibuat untuk menggantikan beberapa pajak pemilikan pada sistem lama yaitu: (1). Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908 (Personels Belasting Ordonnantie 1908); (2). Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (Inlandsche Verponding Ordonnantie 1923); (3). Ordonansi Verponding tahun 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928); (4). Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie op de Vermogens Belasting 1932); (5). Ordonansi Pajak Jalanan tahun 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942).

Sebelum UU PBB dikeluarkan, berdasarkan Hukum Adat, tanah dikenakan pajak menurut Undang-Undang nomor 11 tahun 1959, sedangkan berdasarkan Hukum Belanda dikenakan pajak menurut Ordonansi Verponding Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verponding tahun 1928. Sejalan dengan pajak tanah, bangunan dikenakan pajak sesuai Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908 serta beberapa pungutan dalam hal tanah dan bangunan misalnya Iuran Rehabilitasi Daerah (IREDA)  dan lain-lain.

Nampak jelas sekali bahwa sistem lama itu saling tumpang tindih dan sudah tidak sesuai lagi dengan situasi sosial ekonomi masyarakat. Sementara itu pajak kekayaan, dalam prakteknya juga sulit dilaksanakan, karena bagaimana mungkin kita sungguh-sungguh bisa mengetahui harta benda seseorang, misalkan jumlah dan jenis perhiasan emasnya.

Pajak yang hasil pengumpulannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah ini, lebih dimaksudkan untuk dikenakan terhadap pemilik-pemilik tanah bangunan yang kaya  serta pengembang perumahan kota atau properti komersial. Tetapi agar pajak ini mudah dipahami masyarakat luas, maka dibuat sederhana. Bangunan yang nilainya kurang dari Rp.2 juta,- dibebaskan dari pembayaran.  Sedangkan pengenaannya hanya ditetapkan sebesar 0,5% atas seperlima (20%) dari nilai tanah dan bangunan yang diperkirakan. Besaran rumus tarif tersebut ditetapkan semata-mata berdasarkan alasan psikologis serta hasil perundingan yang alot dengan DPR.  Bagi Pemerintah, yang terpenting UU ini dapat diterima dan dilaksanakan, dan oleh karena itu tidak mengapa ditetapkan dengan tarif yang rendah. Berdasarkan tarif itu diperkirakan hasil pajak yang diperuntukkan bagi Pemerintah Daerah tadi, tidak akan lebih kecil dari hasil pemungutan pajak-pajak dari sistem lama yang digantikan.

Karena PBB merupakan pajak kebendaan, UU juga memberikan peluang untuk memperoleh keringanan bagi pemilik yang secara ekonomis memang tidak mampu, misalkan para pensiunan atau pemilik-pemilik yang tertimpa bencana alam dan sejenisnya.

6. Bea Meterai.

Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (UU BM) menggantikan Aturan Bea Meterai tahun 1921 yang sudah ketinggalan zaman. Aturan yang sudah berusia 64 tahun tersebut sudah beberapa kali diubah dan ditambah, namun jiwa dan falsafahnya tidak berubah, pasal-pasalnya tidak sesuai dengan sasaran yang diharapkan dan isinya pun tidak sesuai dengan keperluan serta perkembangan keadaan, bahkan sulit dimengerti dan dilaksanakan.

UU BM terdiri hanya 18 pasal, jauh lebih sederhana dibanding yang lama yang terdiri dari 137 pasal. Bea Meterai dikenakan terhadap dokumen-dokumen yang biasa digunakan oleh umum dalam soal-soal yang bertalian atau pun yang memerlukan penguatan hukum, seperti surat perjanjian, pernyataan akte notaris berserta masing-masing duplikatnya, kertas penerimaan uang, pernyataan status keuangan, posisi keuangan di bank dan lain-lain.
UU BM hanya mengenal dua tarif tetap yang pada saat diundangkan pada tanggal 27 Desember 1985 (mulai berlaku 1 Januari 1986), ditetapkan sebesar Rp.500,- dan Rp.1.000,- Di samping dikenakan pada saat penandatanganan dokumen atau tanda pembayaran, pembayaran bea meterai juga bisa dilakukan belakangan, yang dikenal dengan istilah pemeteraian kemudian yang dilakukan oleh pejabat kantor pos Pemerintah.

Dokumen-dokumen yang mendapat pemeteraian kemudian adalah:
(1)   dokumen yang semula belum atau tidak dibubuhi meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan. Untuk jenis dokumen seperti ini tidak dikenakan denda.
(2)   Dokumen yang seharusnya dibubuhi meterai tetapi bea meterainya tidak atau kurang dilunasi, dikenakan bea sebesar jumlah yang tidak atau kurang terlunasi, ditambah denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar.
(3)   Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia, dikenakan bea meterai sebesar  yang seharusnya dilunasi tanpa denda. Namun bila bea meterai dokumen tersebut baru dilunasi sesudah dokumen tersebut digunakan, maka pemeteraian kemudian dilakukan denda 200%.

Dengan melihat aturan-aturan yang seperti di atas, nampak bahwa UU Bea Meterai ini merupakan undang-undang yang unik. Saya masih teringat jelas  pada suatu malam tatkala mendampingi pak Radius dan pak Salamun melakukan lobby-lobby pembahasan RUU, pak Salamun menyatakan, undang-undang ini sesungguhnya sepenuhnya ditujukan untuk memenuhi rasa puas masyarakat. Karena bukankah dengan pembubuhan tandatangan, lebih-lebih pada umumnya untuk perusahaan atau lembaga masih ditambah lagi dengan cap atau stempel, itu sudah lebih dari cukup? Tapi ya mengingat masyarakat masih belum akan puas jika tidak diberi meterai, ya Pemerintah mengakomodasi saja. Masyarakat puas, Pemerintah memperoleh tambahan penerimaan. Luar biasa.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda