Senin, 03 November 2014

Tafsir Kidung "Rumekso Ing Wengi" Sunan Kalijaga (3): MEMPERKENALKAN ISTILAH INSYA ALLAH.



Bait 6 :
Wiji sawiji mulane dadi,
apan pencar saisining jagad,
kasamadan dening Date,
kang maca kang angrungu,
kang anurat miwah nyimpeni,
dadi ayuning badan,
kinaryo sesembur, yen winacakna ing toya,
kinarya dus rara tuwa aglis rabi,
wong edan nuli waras.

Artinya :
Semula hanyalah sebuah benih,
kemudian tersebar memenuhi alam raya,
karena berkah dari Dzat (Yang Maha Kuasa),
siapa yang membaca dan mendengar (tentang hal itu),
siapa yang menuliskan maupun yang menyimpan,
akan memperoleh keselamatan, bisa dijadikan doa,
yang bila dibacakan di air,
dipakai mandi perawan tua akan cepat menikah, 
orang gila pun menjadi sembuh.

Bait 7 :

Lamun ana wong kadhendha kaki,
wong kabanda  lan kabotan utang,
yogya wacanen den age,
ing wanci tengah dalu,
ping salawe wacanen ririh, l
uwar ingkang kabanda,
kang kadhendha wurung,
aglis nuli sinauran,
mring Hyang Suksma kang utang puniku singgih,
kang agring dadi waras.

Artinya :
Bila ada orang yang didenda (maksudnya di sini dihukum),
orang yang diikat tangannya (maksudnya ditangkap) dan terbelit hutang, baik bila segera membaca (kidung ini),
di kala tengah malam, 
sebanyak 25 kali secara lirih,
yang ditangkap akan dilepaskan,
yang dihukum akan bebas,
(yang berhutang) akan segara dibayarkan,
oleh Sang Hyang Suksma (Tuhan Yang Maha Kuasa) sehingga yang berhutang menjadi baik namanya,
yang sakit menjadi sembuh.

Bait 8 :
Sapareke bisa anglakoni,
amutiha lawan anawaa,
patang puluh dina wae,
lan tangi wektu subuh,
miwah sabar sukur ing Widhi,
Insya Allah tinekanan,
sakarsa nireku,
tumrap sanak rayatira,
awit saking sawab pangiketing ngelmi,
duk aneng Kalijaga.

Artinya :
Barang siapa dapat melakukan,
berpuasa dengan hanya makan nasi dan air putih saja (tawar serta tanpa garam dan gula),
selama 40 hari,
dan bangun di kala subuh,
serta sabar dan bersyukur kepada Yang Maha Esa,
Insya Allah terkabul,
segala kehendaknya,
bagi sanak saudara dan kerabat,
berkat karomah ilmu,
yang diperoleh tatkala menjadi Penjaga Sungai (beruzlah di pinggir sungai).

Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi ini disyiarkan ke masyarakat pada saat budaya tulis belum berkembang, maka sungguh tepat dibuat dalam bentuk tembang macapat sehingga segera disenangi masyarakat. Bahkan sampai sekarang, bisa dipastikan semua grup kesenian Jawa khususnya karawitan atau gamelan Jawa, para dalang pewayangan dan pesinden (penyanyi tembang-tembang Jawa), bisa menyanyikan Kidung Kawedar.

Namun demikian lantaran panjang, yaitu terdiri dari 46 pupuh atau bait, jarang yang hafal semuanya di luar kepala. Begitu pun dalam hal isi baris, banyak perbedaan meski pun hanya beda kecil dan tidak terlalu mendasar. Sebagai contoh pada bait 2, kata terakhir dari baris kedua ada yang menyebut mirunda dan ada yang miruna, baris ketiga pangulune dan ada yang pandulune, baris ketujuh ada yang menyebut tutut ada pula yang lulut. Kemudian baris kesembilan bait 6, ada yang menyebut rabi  dan ada pula yang laki. Baris kelima bait 8, ada yang menyebut miwah tapi ada juga yang lan den. Yang agak berbeda makna adalah bait 5 baris kedua, karena ada yang berbunyi kang minangka rahayuning ngangga, sedangkan versi lain Siti Aminah rahyuning angga.

Dalam hal versi tulis, kita bersyukur seni sastra di Keraton Kasunan Surakarta berkembang pesat pada abad XVII – XIX, sehingga Kidung Kawedar ini bisa dihimpun dalam huruf Jawa. Selanjutnya oleh pujangga Kyai Ronggo Sutrasno, himpunan tersebut diterjemahkan ke dalam huruf Latin, dan oleh R.Wiryapanitra Kusumodiningrat, dibuatkan tafsirnya. Terjemahan serta tafsir pertama Kidung Kawedar itu pada tahun 1912 dicetak oleh Penerbit Tan Koen Swi, Kediri.

Dari versi penerbit Tan Koen Swi inilah kita sekarang bisa menemukan Kidung Kawedar secara lengkap 46 bait, baik dalam bentuk berbagai cetakan maupun versi media sosial online, antara lain di blog http://alangalangkumitir.wordpress.com/2010/10/27/serat-kidungan-kawedar/ sebagaimana penulis baca pada 20 September 2014. Dalam bentuk buku saku, versi R.Wiryapanitra tersebut dengan beberapa perbedaan kecil, juga diterbitkan oleh Dahara Prize, Semarang 1995. Meski berasal dari sumber yang sama terdapat sejumlah perbedaan antara versi Dahara dan versi online Alangalangkumitir.
Dalam tafsir ini, penulis menggunakan semua sumber tersebut, terutama bait-bait versi cetak Dahara Prize, dengan beberapa perubahan sesuai pengalaman serta rasa batin penulis, sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di daerah Pantura Jawa, yang semenjak kecil sudah agak akrab dengan tembang-tembang ciptaan Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga.

Dalam bait ketiga sampai dengan kelima, Sunan Kalijaga memperkenalkan istilah dan nama-nama tokoh yang bagi orang Jawa betul-betul baru sama sekali. Ada malaikat, rasul, Adam, Musa, Isa, Yakob, Yusuf, Dawud, Sulaeman, Ibrahim, Idris, Ayub, Nuh, Yunus, Muhammad, Abubakar, Umar, Usman, Ali dan  Fatimah.

Memang Kidung Kawedar tidak menjelaskan secara terinci sejarah dari para nabi, sahabat dan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad tersebut. Tetapi marilah kita coba menerapkan pada diri kita sendiri, baik dalam posisi sebagai penutur atau pun sebagai pendengar. Selaku pendengar, kita pasti ingin tahu lebih jauh tentang tokoh yang disebut penutur memiliki kemampuan dan karomah luar biasa, sehingga patut menyatu dalam diri kita, yang selanjutnya akan kita jadikan sebagai senjata andalan dalam kehidupan.

Sebaliknya sebagai penutur, kita pun akan berusaha menjelaskan lebih terperinci siapa tokoh-tokoh atau orang-orang yang kita jagokan, dan mengapa patut kita jadikan panutan serta andalan. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila bagi masyarakat Jawa kebanyakan meskipun Islam Abangan, sedikit banyak akan mengenal misalkan Nabi Nuh dengan kisah perahunya dan Nabi Yusuf yang selalu dijadikan idola dalam berdoa selamatan atau tasyakuran tujuh bulan kehamilan.

Dalam doa memohon keselamatan bagi ibu dan bayi yang sedang dikandungnya, sekaligus juga dipanjatkan harapan agar sang bayi memiliki aura ketampanan Nabi Yusuf, yang dikisahkan di dalam suatu perjamuan ibu-ibu, para hadirin diminta masing-masing mengupas buah-buahan dengan sebilah pisau nan tajam. Guna menguji reaksi ibu-ibu itu, maka pada saat seperti itu Nabi Yusuf diminta melintas. Apa yang terjadi? Hadirin terpana dengan ketampanan Nabi Yusuf, sampai-sampai tanpa sadar mereka salah kupas apel, melainkan menggores tangannya sehingga terluka.

Siapakah yang tidak ingin anak keturunannya tampan atau cantik? Begitu luar biasa ketampanan Nabi Yusuf, sampai menjadi idaman agar Gusti Allah berkenan mengaruniakan kepada sang jabang bayi, agar jika lahir pria akan tampan dan bila perempuan akan cantik jelita.

Pengetahuan terhadap agama baru dengan para tokoh panutannya tersebut, menjadi benih keyakinan. Meskipun baru atau hanya sebutir, benih itu akan tumbuh sumbur beranak pinak menyebar ke segenap penjuru dunia, ke jagad raya, karena memperoleh berkah dari Dzat Yang Maha Kuasa. Keyakinan itu akan membuahkan keselamatan kepada siapa saja yang membaca, yang menyimak mendengarkan, yang menuliskan dan yang menyimpannya. Bahkan bisa menjadi sumber segala doa, yang bila dibacakan di air dan airnya dipakai mandi oleh seorang perawan tua, maka sang perawan akan segera menemukan jodohnya dan segera menikah. Jika diberikan kepada orang gila maka akan segera sembuh (bait 6).

Dalam bait 6 terdapat kata sesembur, yaitu salah satu cara pengobatan atau pemberian doa restu, yang biasa dilakukan oleh orang yang dituakan atau yang dianggap memiliki kemampuan batin yang tinggi. Setelah berdoa, si orang tua kemudian dengan mulutnya meniup sampai mengeluarkan bunyi desis ke ubun-ubun atau dahi atau bagian-bagian tertentu si sakit atau orang yang didoakan.

Dengan berkah Dzat Yang Maha Kuasa itu pula, keyakinan yang ditanamkan oleh Kidung Kawedar, mampu menolong orang-orang yang sedang berperkara, yang dihukum, ditahan dan yang terbebani hutang (bait 7). Persis seperti Gusti Allah menolong para nabi dan rasul yang menghadapi kesulitan betapa pun beratnya. Api yang dinyalakan oleh punggawa Raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim, dengan pertolongan  Dzat Yang Maha Esa, Yang Maha Gaib,  berubah sedingin air; bahtera Nabi Nuh mampu menampung dan menyelamatkan makhluk-makhlukNya demi meneruskan kehidupan; Nabi Yunus yang ditelan ikan bisa keluar dengan selamat; demikian pula pertolongan Allah Swt kepada para Nabi yang lain termasuk Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya.

Dalam upaya menghayati dan memperoleh hakikat dari Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung mengajarkan tatacara peribadatan yang baru, melainkan mengikuti adat kebiasaan masyarakat, yaitu dengan menjalankan puasa mutih selama 40 hari penuh siang malam (bait 8). Puasa mutih yaitu pantang tidak memakan makanan dan meminum minuman yang diberi rasa nikmat seperti asin dan manis. Orang yang sedang mutih, hanya boleh makan nasi putih, meminum air putih dan buah-buahan segar yang tidak diolah. Mengenai puasa mutih ini, lebih lanjut bisa dilihat di buku kami Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 33, 35 dan 105, yang juga bisa diunduh melalui e-book di blog http://bwiwoho.blogspot.com.

Selama 40 hari si pelaku harus bangun di waktu subuh, serta senantiasa bersikap sabar dan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Jika ia bisa melakukan itu semua, insya Allah, keinginannya akan dikabulkan dan akan memberikan manfaat kepada sanak keluarga dan kaum kerabat  bahkan rakyat. Semua itu berdasarkan karomah yang dianugerahkan kepada sang pengarang kidung tatkala sedang menjalani uzlah dan bermunajat di pinggir sungai, bagaikan seorang penjaga sungai atau kali. Dialah Sang Kalijaga yang beruzlah di tengah hutan di pinggir kali di daerah Cirebon selama beberapa tahun.

Kembali dalam bait 8 ini, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah baru yakni subuh dan insya Allah. Pembahasan secara lebih rinci tentang insya Allah, juga bisa dilihat di buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 142 – 143. Bagi kita sekarang, 5 – 6 abad kemudian, dua istilah itu bukanlah sesuatu yang baru lagi asing, lantaran sudah menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi bagi masyarakat abad ke XV – XVI, tentu menimbulkan pertanyaan dan memancing rasa ingin tahu.

Subhanallaah, maasyaa-Allaah.

1 Komentar:

Blogger Unknown mengatakan...

aku percaya

13 April 2016 pukul 14.59  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda