Jumat, 23 Maret 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (3): Invasi Senyap & Awal Campur Tangan Belanda.






Invasi Senyap & Awal Campur Tangan Belanda.
Banyak catatan sejarah yang menunjukkan penetrasi dan invasi senyap kongsi dagang Belanda VOC dan para kompradornya di bumi Nusantara, berikut politik suap, adu domba, pecah belah dan kemudian operasi militer. Dalam buku Babad Tanah Jawi yang bahan-bahannya merupakan catatan para pujangga kraton Mataram dan kemudian disusun oleh W.L.Olthof, 1941 misalnya, pada bab Adipati Anom Meminta Bantuan Belanda, dikisahkan bagaimana cucu dari Sultan Agung yang anti Belanda itu, justru meminta bantuan Belanda untuk melawan pasukan Trunajaya yang merupakan gabungan pasukan Madura dan Makassar. Padahal pemberontakan Trunajaya ini sesungguhnya digerakkan oleh putera mahkota Amangkurat I, Pangeran Adipati Anom itu sendiri, yang sakit hati dengan tindakan-tindakan sangat kejam serta semena-mena ayahandanya, yang juga telah berkuasa selama 21 tahun.

Pasukan Trunajaya pada tahun 1677 berhasil menyerbu ibukota kerajaan Mataram di Pleret, sehingga Raja Amangkurat I lari meloloskan diri sampai kemudian wafat dalam pelarian dan dimakamkan di Tegal. Di Tegal ini pula Pangeran Adipati Anom yang mengikuti pelarian ayahnya dan kelak bergelar Amangkurat II, mengukir sejarah untuk pertama kali Raja Jawa mengirim utusan ke Batavia, meminta bantuan Kompeni demi mengalahkan Trunajaya dan juga adiknya Pangeran Puger yang dengan cepat mengisi kekosongan Pemerintahan dengan menobatkan diri menjadi Susuhunan Ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panata Gama.  

Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Manda Raka yang diutus ke Batavia, tiba kembali di Tegal bersama pasukan  Kompeni dan melapor, “Gusti, saya menyampaikan salam dari tuan Gubernur Jenderal ke hadapan Paduka Susuhunan serta menyampaikan upeti emas, intan, berlian berwarna-warni. Setelah membaca permintaan bantuan Paduka, sekarang sudah memberi bantuan sejumlah seribu delapan ratus orang. Mayornya empat orang dikomandani Amral Eduwelbeh.” 

Pertemuan itu menghasilkan perjanjian kerjasama Pangeran Adipati Anom dengan VOC pada tanggal 20 Maret 1677. Pada tahun 1679, Trunajaya berhasil dikalahkan oleh Belanda. (Menggali Sejarah Bangkalan Dari Pra Islam Hingga Cakraningrat, http://www.lontarmadura.com/menggali-sejarah-bangkalan-dari-pra-islam-hingga-cakraningrat-6/).

Masih dalam Babad Tanah Jawi, pada bab-bab yang mengisahkan pemberontakan Pangeran Puger terhadap Amangkurat III, keponakan sekaligus mantan menantunya, kita juga bisa menyimak dialog Ki Rangga Yuda Negara dengan Gubernur Jenderal Belanda dan para stafnya. Penguasa Belanda Deler bicara dengan Ki Rangga, “Kyai Rangga, berhubung kamu ini mempunyai peran ganda. Separuh Jawa, separuh Belanda, kamu saya tanya, katakan yang sebenarnya. Adapun yang jadi kehendak Gubernur Jenderal, para rad semua tidak setuju jika mengangkat Pangeran Puger sebagai raja. Karena sudah pernah berbuat jahat dengan Belanda saat bernama Sunan Alaga, serta membunuh banyak orang Belanda…..”

Ki Rangga menjawab, “ …. menyadari saya mendapat kepercayaan dari Kompeni. Maka saya sungguh-sungguh berjuang semampu saya. Berusaha agar kelak orang Kompeni selalu dapat dihormati orang Jawa dan mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya.”

Berdasarkan jaminan Ki Rangga itu kemudian Kompeni mengirim lima ratus serdadu Kompeni dari Batavia ke Semarang, yang dipimpin Amral Sepiluran. Setelah bertemu Pangeran Puger, Amral Sepiluran berkata, “Sinuwun, saya diutus tuan Gubernur Jenderal, menyampaikan salam. Juga salam dari para rad. Kedua, Jenderal mengirim harta benda bermacam-macam untuk Paduka dan garwa-putra semua. Ketiga, saya dan lima ratus Kompeni diperbantukan kepada Paduka, untuk diadu perang sewaktu dibutuhkan. Keempat, jika kiranya Paduka mengizinkan Kapten Kenol dinaikkan pangkatnya menjadi Komisaris. Dan di Semarang akan ditempatkan seorang kumendur, sedangkan di Jepara  ditempatkan petor saja. Kelima, Adipati Manggala agar dilarang sowan setiap waktu. Jika sowan harus bersama kumendur di Semarang. Pesan dari Gubernur Jenderal semoga abadi persaudaraan antara Sang Nata dengan orang Belanda. Di dalam cahaya bulan dan di dalam sinar matahari dalam persaudaraan. Jangan sampai berubah. Siapa pun yang memulai berbuat jahat, jangan selamat hidupnya.”

Selain kelima hal tadi, Kompeni juga minta agar Jepara, Demak, Tegal diserahkan kepadanya, demikian pula bea-perang dan santunan orang Kompeni yang meninggal dalam perang ditanggung oleh Pangeran Puger.
Setelah semua itu disetujui Sang Nata, maka ditandatanganilah persetujuan antara keduanya, Kamis 29 bulan Jumadilawal tahun Jimawal 1629 atau tahun 1704.

Begitulah, kisah kedatangan kongsi dagang Belanda pada akhir abad ke-16 di Banten sampai dengan Perang Kemerdekaan Indonesia di pertengahan abad ke-20, adalah sebuah pelajaran sejarah yang sangat pahit yang tidak boleh dilupakan. Setelah menumpas perlawanan dari para ulama, raja dan pangeran di berbagai daerah di Nusantara, mulai dari Malaka, Sumatera Utara, Sumatera Barat sampai Banten, Batavia atau Jayakarta, Cirebon, Semarang, Madura, Bali, Makasar, Bolaangmongondow, Ternate, Tidore, Ambon, Tambora, Sumbawa, Timor sampai Rote dan lain-lain di abad 17 dan 18 itu, VOC kemudian menjelma menjadi Pemerintah Belanda, menguasai Nusantara sampai pada 17 Agustus 1945, saat suku-suku bangsa di kepulauan Nusantara memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu pun Belanda tidak sertamerta melepaskan nafsu penguasaannya sampai lima tahun kemudian (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda