Invasi Senyap & Awal Campur Tangan Belanda.
Banyak catatan sejarah yang
menunjukkan penetrasi dan invasi senyap kongsi dagang Belanda VOC dan para
kompradornya di bumi Nusantara, berikut politik suap, adu domba, pecah belah
dan kemudian operasi militer. Dalam buku Babad
Tanah Jawi yang bahan-bahannya merupakan catatan para pujangga kraton
Mataram dan kemudian disusun oleh W.L.Olthof, 1941 misalnya, pada bab Adipati
Anom Meminta Bantuan Belanda, dikisahkan bagaimana cucu dari Sultan Agung yang
anti Belanda itu, justru meminta bantuan Belanda untuk melawan pasukan
Trunajaya yang merupakan gabungan pasukan Madura dan Makassar. Padahal
pemberontakan Trunajaya ini sesungguhnya digerakkan oleh putera mahkota
Amangkurat I, Pangeran Adipati Anom itu sendiri, yang sakit hati dengan
tindakan-tindakan sangat kejam serta semena-mena ayahandanya, yang juga telah
berkuasa selama 21 tahun.
Pasukan Trunajaya pada tahun 1677
berhasil menyerbu ibukota kerajaan Mataram di Pleret, sehingga Raja Amangkurat
I lari meloloskan diri sampai kemudian wafat dalam pelarian dan dimakamkan di
Tegal. Di Tegal ini pula Pangeran Adipati Anom yang mengikuti pelarian ayahnya
dan kelak bergelar Amangkurat II, mengukir sejarah untuk pertama kali Raja Jawa
mengirim utusan ke Batavia, meminta bantuan Kompeni demi mengalahkan Trunajaya
dan juga adiknya Pangeran Puger yang dengan cepat mengisi kekosongan
Pemerintahan dengan menobatkan diri menjadi Susuhunan Ing Alaga Ngabdur Rahman
Sayidin Panata Gama.
Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Manda Raka yang diutus ke Batavia, tiba
kembali di Tegal bersama pasukan Kompeni
dan melapor, “Gusti, saya menyampaikan salam dari tuan Gubernur Jenderal ke
hadapan Paduka Susuhunan serta menyampaikan upeti emas, intan, berlian
berwarna-warni. Setelah membaca permintaan bantuan Paduka, sekarang sudah
memberi bantuan sejumlah seribu delapan ratus orang. Mayornya empat orang
dikomandani Amral Eduwelbeh.”
Masih dalam Babad Tanah Jawi, pada bab-bab yang mengisahkan pemberontakan
Pangeran Puger terhadap Amangkurat III, keponakan sekaligus mantan menantunya, kita
juga bisa menyimak dialog Ki Rangga Yuda Negara dengan Gubernur Jenderal
Belanda dan para stafnya. Penguasa Belanda Deler bicara dengan Ki Rangga, “Kyai
Rangga, berhubung kamu ini mempunyai peran ganda. Separuh Jawa, separuh Belanda,
kamu saya tanya, katakan yang sebenarnya. Adapun yang jadi kehendak Gubernur
Jenderal, para rad semua tidak setuju
jika mengangkat Pangeran Puger sebagai raja. Karena sudah pernah berbuat jahat
dengan Belanda saat bernama Sunan Alaga, serta membunuh banyak orang
Belanda…..”
Ki Rangga menjawab, “ …. menyadari
saya mendapat kepercayaan dari Kompeni. Maka saya sungguh-sungguh berjuang
semampu saya. Berusaha agar kelak orang Kompeni selalu dapat dihormati orang
Jawa dan mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya.”
Berdasarkan jaminan Ki Rangga itu
kemudian Kompeni mengirim lima ratus serdadu Kompeni dari Batavia ke Semarang,
yang dipimpin Amral Sepiluran. Setelah bertemu Pangeran Puger, Amral Sepiluran
berkata, “Sinuwun, saya diutus tuan
Gubernur Jenderal, menyampaikan salam. Juga salam dari para rad. Kedua, Jenderal mengirim harta
benda bermacam-macam untuk Paduka dan garwa-putra
semua. Ketiga, saya dan lima ratus Kompeni diperbantukan kepada Paduka, untuk
diadu perang sewaktu dibutuhkan. Keempat, jika kiranya Paduka mengizinkan
Kapten Kenol dinaikkan pangkatnya menjadi Komisaris. Dan di Semarang akan
ditempatkan seorang kumendur,
sedangkan di Jepara ditempatkan petor saja. Kelima, Adipati Manggala
agar dilarang sowan setiap waktu.
Jika sowan harus bersama kumendur di
Semarang. Pesan dari Gubernur Jenderal semoga abadi persaudaraan antara Sang
Nata dengan orang Belanda. Di dalam cahaya bulan dan di dalam sinar matahari
dalam persaudaraan. Jangan sampai berubah. Siapa pun yang memulai berbuat
jahat, jangan selamat hidupnya.”
Selain kelima hal tadi, Kompeni juga
minta agar Jepara, Demak, Tegal diserahkan kepadanya, demikian pula bea-perang
dan santunan orang Kompeni yang meninggal dalam perang ditanggung oleh Pangeran
Puger.
Setelah semua itu disetujui Sang
Nata, maka ditandatanganilah persetujuan antara keduanya, Kamis 29 bulan
Jumadilawal tahun Jimawal 1629 atau tahun 1704.
Begitulah,
kisah kedatangan kongsi dagang Belanda pada akhir abad ke-16 di Banten sampai
dengan Perang Kemerdekaan Indonesia di pertengahan abad ke-20, adalah sebuah
pelajaran sejarah yang sangat pahit yang tidak boleh dilupakan. Setelah
menumpas perlawanan dari para ulama, raja dan pangeran di berbagai daerah di
Nusantara, mulai dari Malaka, Sumatera Utara, Sumatera Barat sampai Banten,
Batavia atau Jayakarta, Cirebon, Semarang, Madura, Bali, Makasar,
Bolaangmongondow, Ternate, Tidore, Ambon, Tambora, Sumbawa, Timor sampai Rote dan lain-lain di abad 17 dan 18 itu,
VOC kemudian menjelma menjadi Pemerintah Belanda, menguasai Nusantara sampai
pada 17 Agustus 1945, saat suku-suku bangsa di kepulauan Nusantara
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Itu pun Belanda tidak
sertamerta melepaskan nafsu penguasaannya sampai lima tahun kemudian (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda