Kamis, 19 April 2018

Catatan Perjalanan ke Tanjung Harapan (III-2): MENJADI TURIS DI CAPE TOWN


Menjadi Turis di Cape Town.



 Foto atas, suasana di kota Pelabuhan Waterfront Victoria dengan latar belakang Table Mountain. Bawah, pusat kota Cape Town.
 



Meskipun banyak artikel di internet mengenai pulau Robben dan Cape Town, beserta beberapa biro wisata yang ada di sana, namun tak banyak yang bisa diperoleh tentang bagaimana berkunjung dan berwisata di Cape Town dan sekitarnya termasuk berwisata ziarah ke pulau Robben. Semula sulit mencari orang yang bisa dijadikan narahubung untuk bisa membantu. Bahkan beberapa alamat email yang ada yang kami kontak, tidak membalas.

Di Jakarta, ada sejumlah travel biro yang menyelenggarakan paket tour ke Afrika Selatan. Pada umumnya mereka membuat jadwal kunjungan wisata kota , tempat-tempat belanja dan makan, taman safari, melihat lokasi anjing laut dan penguin Afrika, meninjau kebun anggur, melihat peternakan burung onta dan sejenisnya, yang segala sesuatunya akan ditangani oleh pemandu-pemandu wisata lokal setelah tiba di Cape Town. Informasi tentang bagaimana berziarah ke makam Pangeran Cakraningrat dan jika memungkinkan disambung ke makam Syeh Yusuf, tidak kami dapatkan.  Padahal tujuan utama penulis ke Afrika adalah untuk itu.

Sebetulnya agak lebih mudah seandainya penulis berangkat dari Jakarta langsung ke Cape Town, dengan ikut grup wisata yang bisa dicari melalui internet, dengan permintaan khusus untuk mengatur wisata ziarah ke makam Cakraningrat di Pulau Robben, makam Syeh Yusuf dan lain-lain selama satu dua hari, dari keseluruhan paket wisata yang ada. Ada beberapa pilihan biro wisata jika ingin pergi ikut rombongan, atau pilihan perusahaan penerbangan internasional apabila ingin pergi sendiri. Tetapi karena penulis akan berangkat ke Cape Town dari London setelah menengok anak-cucu di Inggris, maka penulis harus mengatur sendiri segala sesuatunya

Bersyukur anak saya memiliki kenalan mantan pramugari yang sering bertugas ke Cape Town. Dari temannya itu penulis memperoleh sedikit gambaran dan rekomendasi nama Ilios Travel untuk mengatur perjalanan ziarah ke Pulau Robben, dan tiga nama hotel yang berjaringan internasional, satu berada di kawasan Waterfront, satu di pusat kota dan satu di daerah  Upper Eastside, untuk penginapan. Dari ketiganya, yang melayani dengan lancar email kami adalah Hotel Double Tree Hilton yang berada di daerah Upper Eastside.  Untuk antar jemput dari airport – hotel dan sebaliknya, pihak hotel membantu mengatur memesankan ke Evolution Transfer & Shuttle dengan biaya R320 sekali jalan atau 640 bolak-balik.  R singkatan dari Rand atau sering juga disingkat Z, dari istilah Belanda Zuid-Afrikaanse Rand, adalah mata uang Afrika Selatan yang nilai tukarnya Rp100.000,- samadengan R101.9 atau kalau dibulatkan 100 rupiah samadengan satu rand atau satu Z.  

Ilios Travel bersedia mengatur wisata ziarah penulis beserta isteri ke pulau Robben dengan biaya berdua sebesar R7,104 yang meliputi biaya tiket kapal penyeberangan dari pelabuhan di Waterfront ke pulau Robben pergi pulang, serta pemandu wisata dan mobil khusus untuk kami berdua saja selama maksimum tiga jam berada di pulau Robben. Untuk antar jemput dari Hotel ke Waterfront mereka juga menawarkan dengan biaya tambahan sekitar R800 sekali jalan.

Demikianlah, kami, penulis dan isteri akhirnya berangkat dari London ke Cape Town, Senin 9 Oktober 2017 menggunakan pesawat Turkish Airlines dengan rute London – Istanbul - Cape Town. Dari London sedianya kami lepas landas pukul 18.00, tiba di Istanbul pukul 23.50 dan melanjutkan ke Cape Town 2 jam kemudian atau pukul 01.55. Ternyata  keberangkatan kami dari London terlambat lebih dari satu jam sehingga baru mendarat di Istanbul pukul 00.55, sehingga hanya sisa waktu 60 menit untuk turun dari pesawat, berlari tersengal-sengal mencari pintu gerbang naik ke pesawat berikutnya di dalam lapangan terbang internasional yang cukup besar, karena menurut informasi yang kami peroleh di televisi di kursi penumpang, jadwal keberangkatan pesawat yang akan kami tumpangi ke Cape Town tepat waktu yaitu pukul 01.55. Bersyukur papan-papan penunjuk arah dan gate atau pintu naik ke pesawat cukup jelas, sehingga kami masih bisa mengejarnya.

Dari pengalaman ini, kita dapat mengambil pelajaran apabila ingin bepergian antar negara dengan rute yang jauh dan harus ganti pesawat dari satu perusahaan penerbangan yang sama di suatu negara, sebaiknya kalau ada kita memilih penerbangan yang memiliki waktu tunggu pindah pesawat paling sedikit 3 jam. Sehingga jika terjadi keterlambatan pesawat sekitar satu jam, kita masih punya waktu yang agak longgar.

Alhamdulillah kami mendarat di Cape Town sesuai jadwal 12.10 siang. Yang pertama kami lakukan setelah mengambil bagasi adalah menukar uang dollar ke Rand terutama uang receh untuk keperluan-keperluan kecil termasuk tips. Selanjutnya membeli kartu telpon lokal berikut tambahan pulsanya. Untuk pertama kali saya membeli pulsa R100, yang ternyata sudah langsung habis dalam tempo kurang dari 19 jam dan hanya dipakai sekali menelpon ke Ilios Travel untuk konfirmasi, dan itupun belum sampai pembicaraan selesai. Padahal selama di Hotel kami menggunakan Wifi Hotel. Sejumlah kenalan kemudian menyatakan, biaya menelpon di Cape Town memang tergolong mahal.

Bagi wisatawan Indonesia, penulis anjurkan sebaiknya mengurus pulsa perjalanan sebelum berangkat ke luar negeri, agar tidak terkena tariff roaming yang mahal. Pengalaman penulis mengaktifkan telpon genggam tatkala singgah di bandara Suvarnabhumi –Bangkok langsung terkena biaya roaming Rp.150.000,- per hari dan sewaktu tiba di bandara Heathrow – London, langsung terkena Rp.250.000,- per hari begitu mengaktifkan telpon genggam.

Di pintu keluar bandara, seorang anak muda yang ramah, Jerrith, telah menjemput dan langsung mengantarkan kami ke Hotel Double Tree Hilton. Dari Jerrith kami bisa mengetahui betapa tidak mudah menghapus penderitaan  dan bekas-bekas kehidupan yang amat pahit akibat diskriminasi rasial, yang dikenal dengan politik apartheid yang berlaku sangat keras selama satu abad. Bagi Jerrith yang tumbuh setelah era kebebasan, hal tersebut tidak  membekas dalam dan dengan mudah bisa diatasi, namun tidak demikian halnya bagi orang-orang yang lahir dan dibesarkan di zaman apartheid, yang bisa diketahui terutama dari anggota keluarganya yang sempat mengalami sendiri penderitaan tersebut.

Setelah beristirahat sejenak, mandi dan makan, sekitar pukul 16.30 kami mencoba melemaskan kaki, jalan-jalan di sekitar hotel, mengambil foto-foto dengan latar belakang pegunungan nan indah, seraya berjalan santai menikmati jalanan yang bersih tertata rapi dan naik turun khas jalanan di kaki bukit. Kami berjalan ke kanan, ke arah bawah melewati beberapa toko dan sebuah kedai kopi dengan beberapa pengunjung di teras di tepi trotoar. Penulis bilang ke isteri nanti pulangnya kita ngopi di sini, tempatnya enak. Kami berjumpa dengan beberapa pejalan kaki dan dua kendaraan angkutan penumpang sejenis Elf atau Izuzu, kami belum sempat memperhatikan mereknya, dengan kernet bergelantungan menawari kami ke pusat kota. Rupanya itu angkutan kota. Kelakuan atau cara mengemudikan berikut kernetnya persis angkutan kota di Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Geli tapi senang melihatnya, serasa menemukan suasana yang sama.

Tak berapa lama kami merasakan suasana mendadak suyi sepi, bahkan senyap. Kami tak lagi berjumpa atau melihat orang di jalanan. Tanpa  kami sadari ternyata toko-toko dan kantor-kantor sudah tutup. Merasa aneh, kami putuskan untuk segera kembali ke hotel. Juga tak jadi singgah ngopi karena kedainya sudah tutup, dan kursi-kursi yang semula ada di teras sudah nampak tertumpuk rapi di dalam kedai.

Terlihat hanya satu toko yang masih buka, yaitu toko makanan dengan tulisan “Halal Food” persis di seberang hotel. Itupun tertutup dengan pintu teralis besi, dan kami lihat dua orang pembeli yang berdiri di luar pintu dengan pelayan di balik pintu teralis bagaikan di balik jeruji penjara. Toko ini dilayani oleh beberapa orang keturunan Bangladesh yang pernah tinggal beberapa tahun di Kuala Lumpur, sehinga bisa berbahasa Melayu serta ramah terhadap penulis. Begitu melihat wajah Melayu dari penulis, sang kasir langsung menegur dengan bahasa Melayu, serta memerintahkan penjaga untuk membuka pintu khusus untuk penulis dan mempersilahkan masuk. Ia menceritakan pengalaman dan kesannya yang indah tentang bangsa Melayu, sementara penulis membeli enam kue sambosa isi daging kambing.

Bagi para pelancong muslim, mencari restoran halal di Cape tidak terlalu sulit, karena tersebar di banyak tempat.

Tiba di hotel saya bertanya kepada petugas keamanan mengapa suasana tiba-tiba menjadi sepi seperti itu? Dia menjawab toko-toko dan kantor di sini tutup pada jam 17.00, dan orang-orang kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan kegiatan bersama keluarga di rumah sampai keesokan hari. Akhirnya kami menghabiskan waktu di lobby dan restoran hotel, berkenalan serta ngobrol dengan staf hotel dan restoran yang  ramah-ramah. Mereka memberitahu, perekonomian di Cape Town memang sedang menurun. Beberapa pabrik tekstil dan garmen tutup, juga beberapa jenis industri tertentu, kalah bersaing dengan produk-produk  buatan China. Tekstil dan garment dari Indonesia sempat pula masuk ke Afrika Selatan. Sementara itu juga sedang terjadi kekurangan suplai air bersih lantaran sudah lama tidak turun hujan. Perihal kekurangan air bersih ini sudah kami lihat begitu memasuki bandara dan masuk ke kamar mandi di hotel, dengan dipajangnya seruan untuk melakukan penghematan penggunaan air bersih.

Menurut mereka masyarakat khususnya pendatang memang tidak dianjurkan keluar malam, kecuali di daerah pelabuhan yang dikenal dengan nama Waterfront. Di sini kehidupan malam berlangsung sejalan dengan jam buka klub-klub malam.

Dari mereka kami juga memperoleh banyak informasi dan bantuan bagaimana menjadi wisatawan dan melakukan tour di Cape, termasuk berziarah ke makam-makam keramat. Ternyata banyak orang Malay, sebutan untuk orang-orang keturunan Melayu, sebetulnya lebih tepat keturunan Nusantara, yang bisa menjadi pemandu sekaligus pengemudi serta mengatur perjalanan wisata. Kita bisa pula minta bantuan dari Asosiasi Pengelola Keramat (Cape Mazaar Society).

Dua hari berikutnya dalam perjalanan ke makam Syeh Yusuf di daerah Kampung Makassar, Faure yang memakan waktu satu jam perjalanan santai dengan mobil carter, nampak deretan rumah-rumah kumuh di kiri kanan jalan, sangat kontras dengan perumahan di pusat kota. Kesenjangan kehidupan masyarakat yang menyolok, nampaknya membawa konsekuensi dalam masalah keamanan. 

Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian III dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini menceritakan perjalanan wisata ziarah ke negeri yang di dalam pelajaran sejarah disebut Tanjung Harapan. Bagaimana menuju negeri tersebut, memesan hotel, kendaraan, mencari pemandu wisata dan makanan halal serta mengamati tempat-tempat yang kita kunjungi. Semoga anda wahai pembaca memperoleh anugerahNya untuk berwisata menziarahi para pahlawan kita di negeri orang nun jauh ini. Aamiin. (Bersambung). 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda