Menjadi
Turis di Cape Town.
Foto atas, suasana di kota Pelabuhan Waterfront Victoria dengan latar belakang Table Mountain. Bawah, pusat kota Cape Town.
Meskipun banyak artikel di internet mengenai pulau Robben
dan Cape Town, beserta beberapa biro wisata yang ada di sana, namun tak banyak
yang bisa diperoleh tentang bagaimana berkunjung dan berwisata di Cape Town dan
sekitarnya termasuk berwisata ziarah ke pulau Robben. Semula sulit mencari
orang yang bisa dijadikan narahubung untuk bisa membantu. Bahkan beberapa
alamat email yang ada yang kami kontak, tidak membalas.
Di Jakarta, ada sejumlah travel biro yang
menyelenggarakan paket tour ke Afrika Selatan. Pada umumnya mereka membuat
jadwal kunjungan wisata kota , tempat-tempat belanja dan makan, taman safari,
melihat lokasi anjing laut dan penguin Afrika, meninjau kebun anggur, melihat
peternakan burung onta dan sejenisnya, yang segala sesuatunya akan ditangani
oleh pemandu-pemandu wisata lokal setelah tiba di Cape Town. Informasi tentang
bagaimana berziarah ke makam Pangeran Cakraningrat dan jika memungkinkan
disambung ke makam Syeh Yusuf, tidak kami dapatkan. Padahal tujuan utama penulis ke Afrika adalah
untuk itu.
Sebetulnya agak lebih mudah seandainya penulis berangkat
dari Jakarta langsung ke Cape Town, dengan ikut grup wisata yang bisa dicari
melalui internet, dengan permintaan khusus untuk mengatur wisata ziarah ke
makam Cakraningrat di Pulau Robben, makam Syeh Yusuf dan lain-lain selama satu
dua hari, dari keseluruhan paket wisata yang ada. Ada beberapa pilihan biro
wisata jika ingin pergi ikut rombongan, atau pilihan perusahaan penerbangan
internasional apabila ingin pergi sendiri. Tetapi karena penulis akan berangkat
ke Cape Town dari London setelah menengok anak-cucu di Inggris, maka penulis
harus mengatur sendiri segala sesuatunya
Bersyukur anak saya memiliki kenalan mantan pramugari
yang sering bertugas ke Cape Town. Dari temannya itu penulis memperoleh sedikit
gambaran dan rekomendasi nama Ilios Travel untuk mengatur perjalanan ziarah ke
Pulau Robben, dan tiga nama hotel yang berjaringan internasional, satu berada
di kawasan Waterfront, satu di pusat kota dan satu di daerah Upper Eastside, untuk penginapan. Dari
ketiganya, yang melayani dengan lancar email kami adalah Hotel Double Tree
Hilton yang berada di daerah Upper Eastside. Untuk antar jemput dari airport – hotel dan
sebaliknya, pihak hotel membantu mengatur memesankan ke Evolution Transfer
& Shuttle dengan biaya R320 sekali jalan atau 640 bolak-balik. R singkatan dari Rand atau sering juga
disingkat Z, dari istilah Belanda Zuid-Afrikaanse Rand, adalah mata uang Afrika
Selatan yang nilai tukarnya Rp100.000,- samadengan R101.9 atau kalau dibulatkan
100 rupiah samadengan satu rand atau satu Z.
Ilios Travel bersedia mengatur wisata ziarah penulis
beserta isteri ke pulau Robben dengan biaya berdua sebesar R7,104 yang meliputi
biaya tiket kapal penyeberangan dari pelabuhan di Waterfront ke pulau Robben
pergi pulang, serta pemandu wisata dan mobil khusus untuk kami berdua saja
selama maksimum tiga jam berada di pulau Robben. Untuk antar jemput dari Hotel
ke Waterfront mereka juga menawarkan dengan biaya tambahan sekitar R800 sekali
jalan.
Demikianlah, kami, penulis dan isteri akhirnya berangkat
dari London ke Cape Town, Senin 9 Oktober 2017 menggunakan pesawat Turkish
Airlines dengan rute London – Istanbul - Cape Town. Dari London sedianya kami
lepas landas pukul 18.00, tiba di Istanbul pukul 23.50 dan melanjutkan ke Cape
Town 2 jam kemudian atau pukul 01.55. Ternyata
keberangkatan kami dari London terlambat lebih dari satu jam sehingga
baru mendarat di Istanbul pukul 00.55, sehingga hanya sisa waktu 60 menit untuk
turun dari pesawat, berlari tersengal-sengal mencari pintu gerbang naik ke
pesawat berikutnya di dalam lapangan terbang internasional yang cukup besar,
karena menurut informasi yang kami peroleh di televisi di kursi penumpang,
jadwal keberangkatan pesawat yang akan kami tumpangi ke Cape Town tepat waktu
yaitu pukul 01.55. Bersyukur papan-papan penunjuk arah dan gate atau pintu naik
ke pesawat cukup jelas, sehingga kami masih bisa mengejarnya.
Dari pengalaman ini, kita dapat mengambil pelajaran
apabila ingin bepergian antar negara dengan rute yang jauh dan harus ganti
pesawat dari satu perusahaan penerbangan yang sama di suatu negara, sebaiknya kalau
ada kita memilih penerbangan yang memiliki waktu tunggu pindah pesawat paling
sedikit 3 jam. Sehingga jika terjadi keterlambatan pesawat sekitar satu jam,
kita masih punya waktu yang agak longgar.
Alhamdulillah kami mendarat di Cape Town sesuai jadwal
12.10 siang. Yang pertama kami lakukan setelah mengambil bagasi adalah menukar
uang dollar ke Rand terutama uang receh untuk keperluan-keperluan kecil
termasuk tips. Selanjutnya membeli kartu telpon lokal berikut tambahan
pulsanya. Untuk pertama kali saya membeli pulsa R100, yang ternyata sudah
langsung habis dalam tempo kurang dari 19 jam dan hanya dipakai sekali menelpon
ke Ilios Travel untuk konfirmasi, dan itupun belum sampai pembicaraan selesai.
Padahal selama di Hotel kami menggunakan Wifi Hotel. Sejumlah kenalan kemudian
menyatakan, biaya menelpon di Cape Town memang tergolong mahal.
Bagi wisatawan Indonesia, penulis anjurkan sebaiknya
mengurus pulsa perjalanan sebelum berangkat ke luar negeri, agar tidak terkena
tariff roaming yang mahal. Pengalaman penulis mengaktifkan telpon genggam
tatkala singgah di bandara Suvarnabhumi –Bangkok langsung terkena biaya roaming
Rp.150.000,- per hari dan sewaktu tiba di bandara Heathrow – London, langsung
terkena Rp.250.000,- per hari begitu mengaktifkan telpon genggam.
Di pintu keluar bandara, seorang anak muda yang ramah, Jerrith,
telah menjemput dan langsung mengantarkan kami ke Hotel Double Tree Hilton. Dari
Jerrith kami bisa mengetahui betapa tidak mudah menghapus penderitaan dan bekas-bekas kehidupan yang amat pahit
akibat diskriminasi rasial, yang dikenal dengan politik apartheid yang berlaku
sangat keras selama satu abad. Bagi Jerrith yang tumbuh setelah era kebebasan,
hal tersebut tidak membekas dalam dan
dengan mudah bisa diatasi, namun tidak demikian halnya bagi orang-orang yang
lahir dan dibesarkan di zaman apartheid, yang bisa diketahui terutama dari
anggota keluarganya yang sempat mengalami sendiri penderitaan tersebut.
Setelah beristirahat sejenak, mandi dan makan, sekitar
pukul 16.30 kami mencoba melemaskan kaki, jalan-jalan di sekitar hotel,
mengambil foto-foto dengan latar belakang pegunungan nan indah, seraya berjalan
santai menikmati jalanan yang bersih tertata rapi dan naik turun khas jalanan
di kaki bukit. Kami berjalan ke kanan, ke arah bawah melewati beberapa toko dan
sebuah kedai kopi dengan beberapa pengunjung di teras di tepi trotoar. Penulis
bilang ke isteri nanti pulangnya kita ngopi di sini, tempatnya enak. Kami
berjumpa dengan beberapa pejalan kaki dan dua kendaraan angkutan penumpang
sejenis Elf atau Izuzu, kami belum sempat memperhatikan mereknya, dengan kernet
bergelantungan menawari kami ke pusat kota. Rupanya itu angkutan kota. Kelakuan
atau cara mengemudikan berikut kernetnya persis angkutan kota di Jabodetabek
(Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Geli tapi senang melihatnya, serasa
menemukan suasana yang sama.
Tak berapa lama kami merasakan suasana mendadak suyi
sepi, bahkan senyap. Kami tak lagi berjumpa atau melihat orang di jalanan. Tanpa kami sadari ternyata toko-toko dan
kantor-kantor sudah tutup. Merasa aneh, kami putuskan untuk segera kembali ke hotel.
Juga tak jadi singgah ngopi karena kedainya sudah tutup, dan kursi-kursi yang
semula ada di teras sudah nampak tertumpuk rapi di dalam kedai.
Terlihat hanya satu toko yang masih buka, yaitu toko
makanan dengan tulisan “Halal Food” persis di seberang hotel. Itupun tertutup
dengan pintu teralis besi, dan kami lihat dua orang pembeli yang berdiri di
luar pintu dengan pelayan di balik pintu teralis bagaikan di balik jeruji
penjara. Toko ini dilayani oleh beberapa orang keturunan Bangladesh yang pernah
tinggal beberapa tahun di Kuala Lumpur, sehinga bisa berbahasa Melayu serta
ramah terhadap penulis. Begitu melihat wajah Melayu dari penulis, sang kasir
langsung menegur dengan bahasa Melayu, serta memerintahkan penjaga untuk
membuka pintu khusus untuk penulis dan mempersilahkan masuk. Ia menceritakan
pengalaman dan kesannya yang indah tentang bangsa Melayu, sementara penulis
membeli enam kue sambosa isi daging kambing.
Bagi para pelancong muslim, mencari restoran halal di
Cape tidak terlalu sulit, karena tersebar di banyak tempat.
Tiba di hotel saya bertanya kepada petugas keamanan mengapa
suasana tiba-tiba menjadi sepi seperti itu? Dia menjawab toko-toko dan kantor
di sini tutup pada jam 17.00, dan orang-orang kembali ke rumah masing-masing
untuk melakukan kegiatan bersama keluarga di rumah sampai keesokan hari.
Akhirnya kami menghabiskan waktu di lobby dan restoran hotel, berkenalan serta
ngobrol dengan staf hotel dan restoran yang ramah-ramah. Mereka
memberitahu, perekonomian di Cape Town memang sedang menurun. Beberapa pabrik
tekstil dan garmen tutup, juga beberapa jenis industri tertentu, kalah bersaing
dengan produk-produk buatan China.
Tekstil dan garment dari Indonesia sempat pula masuk ke Afrika Selatan.
Sementara itu juga sedang terjadi kekurangan suplai air bersih lantaran sudah
lama tidak turun hujan. Perihal kekurangan air bersih ini sudah kami lihat
begitu memasuki bandara dan masuk ke kamar mandi di hotel, dengan dipajangnya
seruan untuk melakukan penghematan penggunaan air bersih.
Menurut mereka masyarakat khususnya pendatang memang
tidak dianjurkan keluar malam, kecuali di daerah pelabuhan yang dikenal dengan
nama Waterfront. Di sini kehidupan malam berlangsung sejalan dengan jam buka
klub-klub malam.
Dari mereka kami juga memperoleh banyak informasi dan
bantuan bagaimana menjadi wisatawan dan melakukan tour di Cape, termasuk
berziarah ke makam-makam keramat. Ternyata banyak orang Malay, sebutan untuk
orang-orang keturunan Melayu, sebetulnya lebih tepat keturunan Nusantara, yang
bisa menjadi pemandu sekaligus pengemudi serta mengatur perjalanan wisata. Kita
bisa pula minta bantuan dari Asosiasi Pengelola Keramat (Cape Mazaar Society).
Dua hari berikutnya dalam perjalanan ke makam Syeh Yusuf
di daerah Kampung Makassar, Faure yang memakan waktu satu jam perjalanan santai
dengan mobil carter, nampak deretan rumah-rumah kumuh di kiri kanan jalan,
sangat kontras dengan perumahan di pusat kota. Kesenjangan kehidupan masyarakat
yang menyolok, nampaknya membawa konsekuensi dalam masalah keamanan.
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian III dari seri tulisan PARA PAHLAWAN
NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini menceritakan perjalanan wisata ziarah ke
negeri yang di dalam pelajaran sejarah disebut Tanjung Harapan.
Bagaimana menuju negeri tersebut, memesan hotel, kendaraan, mencari
pemandu wisata dan makanan halal serta mengamati tempat-tempat yang kita
kunjungi. Semoga anda wahai pembaca memperoleh anugerahNya untuk
berwisata menziarahi para pahlawan kita di negeri orang nun jauh ini.
Aamiin. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda