Bermula Dari Sultan Agung.
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang
melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara”
Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli
sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara
lainnya, dengan ridho dan berkahNya tergerak untuk menggali sejarah para pahlawan
daerah-daerah lain yang juga dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi
tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin. B.WIWOHO.
Perlawanan dan pemberontakan Pangeran Cakraningrat IV
dari Madura sehingga mengakibatkan ia dibuang ke Pulau “Penjara” Robben di
Afrika Selatan, adalah satu dari puluhan atau bahkan mungkin lebih pergulatan
politik dan kekuasaan yang penuh intrik serta ganas di lingkungan dalam
kerajaan Mataram dan Kartasura, yang melibatkan Kompeni Belanda.
Intrik dan pergulatan politik itu tak peduli apakah ada
hubungan darah antara ayah dan anak, suami-isteri, saudara kandung, mertua dan
punggawa terkasih, bisa membawa risiko dari mulai yang paling ringan berupa
denda sampai hukuman mati seketika, atau bertarung dengan harimau.
Bagi pangeran-pangeran pemberontak yang masih keluarga dekat raja dan pejabat-pejabat
yang tinggi tingkatannya, oleh Kompeni diupayakan memperoleh hukuman
pembuangan, dengan alasan antara lain untuk disimpan sebagai jago aduan yang
sewaktu-waktu bisa kembali diturunkan ke gelanggang. Daerah pembuangan dipilih mulai dari pantai
Ayah di Banyumas sampai ke Batavia bahkan Tanjung Harapan di Afrika Selatan dan
Srilanka.
Untuk yang ke Batavia dan luar Jawa biasanya membutuhkan pertolongan
Kompeni, dan apabila itu terkait langsung dengan ancaman terhadap kekuasaan
raja, maka raja harus menanggung biaya pengiriman pembuangan.
Pergulatan kekuasan yang keras dimulai semenjak masa
pemerintahan putera Sultan Agung, yaitu Amangkurat I yang terus berlangsung
setidaknya sampai dengan Pakubuwana III.
Pergulatan semakin seru dan kompleks, tatkala Kompeni Belanda mulai
merapat ke Amangkurat I, selanjutnya memperoleh legalitas resmi dari Pangeran
Adipati Anom yang kemudian dikukuhkan menjadi Amangkurat II, dan semakin kokoh
di masa Pangeran Puger berjuang merebut tahta kerajaan dan dinobatkan sebagai
Susuhunan Pakubuwana I.
Pergulatan yang seru dan kompleks tersebut bagai bandul
jam yang satu saat mengayun ke kiri dan pada saat yang lain mengayun ke kanan.
Satu saat antara raja dan para pangeran, satu saat lain antara para pangeran
dengan Kompeni dan satu saat yang lain pula antara raja dengan Kompeni, tetapi
yang terakhir ini tidak berlangsung terbuka, apalagi berkobar menjadi
peperangan antara raja dan Kompeni.
Pertalian erat
bahkan kekeluargaan antara Madura dan kerajaan Jawa, dalam sejarah sudah
tercatat semenjak Kerajaan Singasari di abad 12 – 13, berlanjut ke Kerajaan
Majapahit dan Kerajaan Islam Demak serta Pajang. Di masa kerajaan Islam Demak
dan Pajang, kekuasaan politik pemerintahan juga menyebar hampir ke semua
wilayah Jawa sampai ke Madura, terutama dalam bentuk jaringan kekuasaan yang
dilandasi dengan dakwah dan syiar Isam serta kekerabatan melalui perkawinan.
Penguasa Madura, Panembahan Lemah Duwur yang memiliki turunan darah raja
Majapahit Brawijaya, dan di kemudian hari menurunkan dinasti Cakraningrat,
menikah dengan puteri Sultan Kerajaan Pajang, Hadiwijaya, dengan menjadikannya
sebagai permaisuri (DR.H.J.De Graaf, Awal
Kebangkitan Mataram dan Menyingkap
Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat).
Upaya membangun jaringan politik kekuasan dikokohkan kembali
tatkala Sultan Agung dinobatkan menjadi raja Mataram tahun 1613. Ia menancapkan
kuku kekuasaannya ke timur sampai ke
Madura, sebagai balasan dan serangan balik dari Adipati-Adipati wilayah Timur
yang dihimpun dan dipimpin oleh Pangeran Surabaya. Serbuan dari Timur itu berkat
ketajaman analisa intelijen yang tepat beserta operasi penyesatan informasi, bisa di tahan di wilayah Pajang
(Surakarta), diisolasi oleh pasukan Mataram sehingga kehabisan logistik baru
dipukul mundur.
Delapan bulan kemudian setelah membuat persiapan yang
matang, Mataram mengirim serbuan balasan ke Timur dari darat dan laut, merambah
satu demi satu ke kadipaten-kadipaten wilayah Timur, mulai dari Tuban,
Surabaya, Madura sampai Blambangan. Dengan bantuan pasukan telik sandi yang
handal, pasukan Sultan Agung, mengisolasi ketat pasukan lawan sehingga dengan
mudah dapat dikalahkan. Satu-satunya daerah yang sulit dikalahkan adalah Madura
yang dipimpin oleh Pangeran Mas.
Pangeran Mas adalah adik dari Pangeran Koro atau
Pangeran Tengah yang wafat pada tahun 1621. Ia menjabat sebagai wali Raden
Prasena, putera Pangeran Koro yang masih kanak-kanak. Di masa pemerintahan
Pangeran Mas selama 1621 – 1624 itulah Pasukan Sultan Agung dua kali menyerbu
Madura. Serbuan pertama dapat dipukul balik, tapi serbuan kedua yang
mengerahkan sekitar 50.000 balatentara, tak bisa dibendung oleh 2.000 pasukan
Madura yang dibantu oleh laskar wanita baik isteri, saudara maupun anak dari
pasukan utama. Kraton Kadipaten Madura di Arosbaya pada tahun 1624 itu berhasil
diduduki Pasukan Mataram, Pangeran Mas mengungsi ke Giri di Gresik. Seribu
anggota pasukan Madura yang masih tersisa bersama putera mahkota Raden Prasena
yang masih kanak-kanak diboyong ke ibukota Mataram.
Dalam menundukkan wilayah-wilayah di sekitarnya, Sultan
Agung tidak melakukan politik bumi hangus dan tumpas habis, melainkan merangkul
pangeran-pangeran yang menyerah, untuk kemudian dibawa ke ibukota Mataram dan
diangkat sebagai kerabat ataupun orang kepercayaan.
Hal itu diterapkan pula
terhadap Surabaya dan Madura. Pangeran Pekik dari Surabaya kelak menjadi besan
Sultan Agung bagi putera mahkotanya, sementara Raden Prasena bahkan tumbuh
dewasa di Mataram menjadi putera angkat kesayangan Sultan dan kemudian dinikahkan
dengan adik kandung Sultan serta diberikan berbagai kemudahan untuk mendirikan
kerajaan di Madura. Ia dianugerahi
berbagai kelengkapan kebesaran kerajaan termasuk uang dan dinobatkan sebagai
Adipati untuk Madura dengan gelar Cakraningrat I.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung menghabiskan banyak
waktu, biaya dan pasukan untuk menyerbu Belanda di Batavia dari berbagai
penjuru. Sebagai akibatnya ia membutuhkan pendampingan dari Cakraningrat dan
kedua orang puteranya, yaitu putera sulung Raden Ario Atmojonegoro dan adiknya Demang
Mloyokusumo, sehingga ketiga orang ini menjadi kepercayaan Sultan yang justru
lebih banyak berada di kerajaan Mataram dibanding di Madura.
Kedekatan dan kesetiaan mereka bertiga kepada Sultan
Agung dibuktikan dengan mengamankan putera mahkota yang ditunjuk menggantikan
menjadi raja apabila Sultan Agung wafat. Penobatan putera mahkota menjadi Sunan
Amangkurat I ini mendapatkan perlawanan dan pemberontakan dari adiknya,
Pangeran Alit beserta para pendukungnya.
Cakraningrat turun tangan memadamkan
pemberontakan dan berhasil, namun ia tewas dibunuh oleh Pangeran Alit. Demikian
pula kedua putera Cakraningrat yang mendampingi dan membantu ayahnya. Sebagai
penghormatan, jenazah Cakraningrat dan putera sulungnya dimakamkan di Pemakaman
Raja-Raja Mataram Imogiri, berdekatan dengan makam Sultan Agung, yang merupakan
lokasi utama kompleks pemakaman agung itu. Sedangkan jenazah putera satunya,
Demang Mlayakusuma di makamkan di Madura di Kompleks Makam Raja-Raja Madura di
Aermata, Arosbaya, Bangkalan.
Foto
: Penulis bersama sahabat-sahabat Prof Gunawan Sumodiningrat dan Prof Tjuk
Kasturi Sukiadi, mengenakan pakaian adat Jawa Surakarta, berfoto sebelum
berziarah ke makan Sultan Agung dan Pangeran Cakraningrat I di Kompleks
Pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Di depan gapura kompleks
makam, peziarah harus mengesetkan yaitu menginjak-injak seraya
menggesek-gesekan seperti orang membersihkan kaki, di lantai yang konon
dimakamkan kepala pengkhianat Mataram yang memihak Kompeni Belanda. Sebuah simbol
yang dalam dan luas maknanya. Semoga bangsa Indonesia bisa menghayati dan
mengambil hikmahnya. Aamiin. (Bersambung).
1 Komentar:
permisi pak wiwoho kalau boleh tau saya bisa mendapatkan buku "Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat" dimana ya?
atau mungkin ada rekomendasi buku2 tentang Cakraningrat? soalnya saya baru tau ada keturunan cakraningrat dan mau mempelajari tentang mbah2 saya
maturnuwun pak wiwoho
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda