Dipanegara,
Buangan I ke Afrika Selatan.
Tatkala perang dengan Surabaya masih berlangsung, Pakubuwana
I wafat dan digantikan puteranya bergelar Amangkurat IV, bertahta dari tahun
1719 sampai 1726. Dalam masa pemerintahannya yang relatif pendek terjadi banyak
pergolakan internal yang seperti sebelumnya, merebak menjadi
pemberontakan-pemberontakan, yang membawa jalan bagi Kompeni semakin kuat
mencengkeram pengelolaan kekuasaan Jawa.
Pergolakan tersebut mengakibatkan pada awal 1723,
Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Pangeran Dipanagara dibuang ke Afrika
Selatan, sementara Bupati Surabaya dan para penerus Surapati diasingkan ke
Srilanka.
Meski wilayah-wilayah luar sudah berhasil dikuasai,
pergulatan serta intrik di dalam kraton terus berlangsung. Karena raja tidak
segan menciptakan kontroversi dalam pengangkatan-pengangkatan dan pemecatan.
Tetapi satu hal yang menarik sebetulnya ia pun berusaha memegang semua kontrol
dan tidak mau melibatkan siapa pun, bahkan Kompeni sekalipun. Sayangnya,
sebelum Amangkurat dapat benar-benar menikmati kekuasaannya, ia menderita sakit
perut parah yang memunculkan banyak gosip dan kecurigaan.
Ada gosip ia
diracun oleh persekongkolan patih
Danureja. Ia juga mencurigai banyak orang menjadi penyebab sakitnya. Mencurigai
dan meminta sumpah setia Danureja, Cakraningrat, Bupati Pekalongan Jayaningrat,
Bupati Jepara Citrasoma, Bupati Batang Puspanagara, Bupati Kudus Jayasentika,
bahkan para isteri, selir dan juga ibu kandungnya sendiri, sampai-sampai
memerintahkan hukuman mati kepada seorang selir dan gajahnya. Menurut catatan
Kompeni, Amangkurat IV yang kemudian wafat pada 20 April 1726 karena sakit
perutnya itu, diperkirakan menderita sakit tipus. (Willem Remmelink, Perang Cina).
Sebelum wafat, raja menyatakan keputusannya tentang
suksesi kepada Kompeni. Ia melewatkan putra tertuanya, yaitu Pangeran Arya
Mangkunegara dan menunjuk Pangeran Adipati Anom sebagai penerusnya. Jika sesuatu terjadi, suksesi diteruskan ke
Pangeran Buminata dan kemudian ke Pangeran Loringpasar.
Tanggal 15 Agustus 1726, dalam versi buku Raja di Alam Republik, Pangeran Adipati
Anom yang baru berusia 15 menjelang 16 tahun dinobatkan menjadi raja bergelar
Pakubuwana II. Sedangkan dalam Perang
Cina, penobatan dilakukan pada hari Minggu 2 Juni 1726, bertepatan pada
hari Lebaran.
Usia raja yang sangat muda ini semakin menimbulkan kegaduhan
politik pemerintahan yang semakin ganas. Dalam situasi yang seperti itu Adipati
Danureja yang memiliki bakat sangat besar untuk selamat dari ganasnya
percaturan politik Jawa, memperoleh ruang permainan yang luas.
Tak pelak lagi suasana istana semakin gaduh sampai
akhirnya Danureja atas permintaan raja kepada Kompeni, ditahan sewaktu
menjalankan tugas raja menghadap Kompeni di loji Kompeni di Semarang, 9 Juli
1733.
Meskipun demikian, penggantian patih Danureja oleh dua
patih yakni Demang Urawan dan Natakusuma juga tidak menyelesaikan persoalan,
karena Demang Urawan yang seorang homoseksual ini justru lebih ambisius, kasar
dan nekad dibanding Danureja, bahkan perbuatannya sering tidak masuk akal.
Demang Urawan dikenal sangat sakti seperti warok Ponorogo dan semua pejabat
bertekuk lutut di hadapannya.
Perilaku dan ambisi Demang Urawan tercium oleh
ibu suri, Ratu Amangkurat yang menyayangi Cakraningrat IV serta mengandalkannya
sebagai Bupati yang paling berpengalaman, pintar dan berani, untuk bisa
membantu serta menasihati Pakubuwono II. Oleh sebab itu Ratu menikahkan
Cakaraningrat IV dengan satu-satunya adik kandung Pakubuwana yaitu Ratu
Bengkring.
Kraton ibarat memiliki tiga raja, yakni Sunan sendiri,
Ibu Suri dan Patih Demang Urawan beserta Patih Natakusuma yang tidak
berprinsip. Namun sesungguhnya, Kompenilah saat itu yang menguasai Jawa, karena
ia yang memiliki banyak hak kontrol baik politik kekuasaan maupun bisnis.
Foto-foto: (1) Kubah Kramat atau Makam Pangeran Cakraningrat IV kelihatan di belakang penulis yang berfoto bersama teman tahanan Nelson Mandela yi Ntosa Talakumeni, di halaman luar penjara Nelson Mandela; (2) berfoto di hamparan bunga di Pulau "Penjara" Robben; (3) Menara pengawas Penjara berdampingan dengan Makam Kramat P.Cakraningrat IV, nampak dari atas kapal yang sedang merapat ke pulau bagaikan masjid dengan menara masjidnya.
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang
melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara”
Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli
sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi
tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.
(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda