Jumat, 13 April 2018

Pergulatan Cakraningrat - Mataram - Kompeni (II-4) : DIPANEGARA, BUANGAN I KE AFSEL


Dipanegara, Buangan I ke Afrika Selatan.






Tatkala perang dengan Surabaya masih berlangsung, Pakubuwana I wafat dan digantikan puteranya bergelar Amangkurat IV, bertahta dari tahun 1719 sampai 1726. Dalam masa pemerintahannya yang relatif pendek terjadi banyak pergolakan internal yang seperti sebelumnya, merebak menjadi pemberontakan-pemberontakan, yang membawa jalan bagi Kompeni semakin kuat mencengkeram pengelolaan kekuasaan Jawa.

Pergolakan tersebut mengakibatkan pada awal 1723, Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Pangeran Dipanagara dibuang ke Afrika Selatan, sementara Bupati Surabaya dan para penerus Surapati diasingkan ke Srilanka.

Meski wilayah-wilayah luar sudah berhasil dikuasai, pergulatan serta intrik di dalam kraton terus berlangsung. Karena raja tidak segan menciptakan kontroversi dalam pengangkatan-pengangkatan dan pemecatan. Tetapi satu hal yang menarik sebetulnya ia pun berusaha memegang semua kontrol dan tidak mau melibatkan siapa pun, bahkan Kompeni sekalipun. Sayangnya, sebelum Amangkurat dapat benar-benar menikmati kekuasaannya, ia menderita sakit perut parah yang memunculkan banyak gosip dan kecurigaan. 

Ada gosip ia diracun  oleh persekongkolan patih Danureja. Ia juga mencurigai banyak orang menjadi penyebab sakitnya. Mencurigai dan meminta sumpah setia Danureja, Cakraningrat, Bupati Pekalongan Jayaningrat, Bupati Jepara Citrasoma, Bupati Batang Puspanagara, Bupati Kudus Jayasentika, bahkan para isteri, selir dan juga ibu kandungnya sendiri, sampai-sampai memerintahkan hukuman mati kepada seorang selir dan gajahnya. Menurut catatan Kompeni, Amangkurat IV yang kemudian wafat pada 20 April 1726 karena sakit perutnya itu, diperkirakan menderita sakit tipus. (Willem Remmelink, Perang Cina).

Sebelum wafat, raja menyatakan keputusannya tentang suksesi kepada Kompeni. Ia melewatkan putra tertuanya, yaitu Pangeran Arya Mangkunegara dan menunjuk Pangeran Adipati Anom sebagai penerusnya.  Jika sesuatu terjadi, suksesi diteruskan ke Pangeran Buminata dan kemudian ke Pangeran Loringpasar.

Tanggal 15 Agustus 1726, dalam versi buku Raja di Alam Republik, Pangeran Adipati Anom yang baru berusia 15 menjelang 16 tahun dinobatkan menjadi raja bergelar Pakubuwana II. Sedangkan dalam Perang Cina, penobatan dilakukan pada hari Minggu 2 Juni 1726, bertepatan pada hari Lebaran. 

Usia raja yang sangat muda ini semakin menimbulkan kegaduhan politik pemerintahan yang semakin ganas. Dalam situasi yang seperti itu Adipati Danureja yang memiliki bakat sangat besar untuk selamat dari ganasnya percaturan politik Jawa, memperoleh ruang permainan yang luas.

Tak pelak lagi suasana istana semakin gaduh sampai akhirnya Danureja atas permintaan raja kepada Kompeni, ditahan sewaktu menjalankan tugas raja menghadap Kompeni di loji Kompeni di Semarang, 9 Juli 1733.

Meskipun demikian, penggantian patih Danureja oleh dua patih yakni Demang Urawan dan Natakusuma juga tidak menyelesaikan persoalan, karena Demang Urawan yang seorang homoseksual ini justru lebih ambisius, kasar dan nekad dibanding Danureja, bahkan perbuatannya sering tidak masuk akal. Demang Urawan dikenal sangat sakti seperti warok Ponorogo dan semua pejabat bertekuk lutut di hadapannya. 

Perilaku dan ambisi Demang Urawan tercium oleh ibu suri, Ratu Amangkurat yang menyayangi Cakraningrat IV serta mengandalkannya sebagai Bupati yang paling berpengalaman, pintar dan berani, untuk bisa membantu serta menasihati Pakubuwono II. Oleh sebab itu Ratu menikahkan Cakaraningrat IV dengan satu-satunya adik kandung Pakubuwana yaitu Ratu Bengkring.

Kraton ibarat memiliki tiga raja, yakni Sunan sendiri, Ibu Suri dan Patih Demang Urawan beserta Patih Natakusuma yang tidak berprinsip. Namun sesungguhnya, Kompenilah saat itu yang menguasai Jawa, karena ia yang memiliki banyak hak kontrol baik politik kekuasaan maupun bisnis.

Foto-foto: (1) Kubah Kramat atau Makam Pangeran Cakraningrat IV kelihatan di belakang penulis yang berfoto bersama teman tahanan Nelson Mandela yi Ntosa Talakumeni, di halaman luar penjara Nelson Mandela; (2) berfoto di hamparan bunga di Pulau "Penjara" Robben; (3) Menara pengawas Penjara berdampingan dengan Makam  Kramat P.Cakraningrat IV, nampak dari atas kapal yang sedang merapat ke pulau bagaikan masjid dengan menara masjidnya.

Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara” Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak  untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.
(Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda