Cakraningrat
IV Menabuh Genderang Perang.
Penulis bersama isteri di dermaga Pulau "Penjara" Roben, dengan jauh di latar belakang
gerbang selamat datang, dan di samping kanan mural perjuangan rakyat Afrika Selatan.
Berakhirnya pemberontakan Cina dan penyerahan kembali
kraton Kartasura oleh pasukan Madura, ternyata tidak membuat hubungan segitiga
Kompeni – Sunan – Cakraningrat menjadi baik, bahkan bagai bandul yang mengayun
kuat sebentar ke kiri sebentar ke kanan tiada menentu. Apalagi setelah
menjelang akhir 1743, Sunan yang semakin lemah bersedia memperbarui perjanjian
kerjasama dengan Kompeni, yang menyatakan berbagai kewajiban dan hutang-hutang
Sunan, serta semakin memberikan keleluasan dan kekuasaan yang besar kepada
Kompeni. Tentu saja ini tidak memuaskan Cakraningrat, yang menyadari dia tidak
akan mendapatkan hak-haknya di Jawa Timur. Dengan segera ia menabuh genderang, mengobarkan perang
dan memulai pertempuran pada November 1744.
Pasukan bantuan dari Mengui - Bali menjadi
tulangpunggung pasukan Cakraningrat IV yang semula merupakan sebab utama
keberhasilan. Pasukan Madura dan Bali
tidak terhalang oleh keterbatasan tradisional pasukan petani yang membantu
Kraton ataupun Kompeni. Pasukan gabungan itu bisa diberangkatkan ke medan perang kapan
saja, terutama pada saat pihak-pihak lain tidak mampu memberangkatkan pasukannya. Dalam
penyerbuan ke Kartasura tahun 1742 misalkan, pasukan Cakraningrat mengadakan
serangan kilat pada musim hujan ketika
pasukan petani Jawa sedang ada di rumah dan tatkala pasukan-pasukan lawan baik
Cina, Kartasura maupun Belanda tidak dapat
bergerak karena tidak punya kuli angkut dan kuda-kuda para pembesar
lawan terhalang geraknya oleh lumpur.
Cakraningrat tahu betul Kompeni tidak bisa berbuat serupa sebab artileri dan
iringan bagasi Kompeni yang berat tidak
dapat bergerak karena hujan, lumpur dan tidak adanya kuli angkut. Hanya ia yang
mampu melakukannya. Pasukan Cakraningrat berperlengkapan ringan dan merambah
kabupaten-kabupaten pesisir timur tanpa menjumpai banyak perlawanan dan
akhirnya berhasil menguasai Kartasura dalam sebuah serangan mendadak pada bulan
Novemeber 1742.
Cakraningrat dengan cerdik memanfaatkan kelemahan musuh-musuhnya,
termasuk dengan melancarkan serangan-serangan malam terhadap pasukan lawan yang
percaya tahayul dan mudah panik sehingga berhasil mematahkan semua perlawanan
dari musuh-musuhnya, sampai akhirnya dia dihentikan oleh Kompeni, satu-satunya
musuh yang tidak dapat dikalahkan, yang sabar menunggu sampai musim hujan lewat
serta jalanan mengering dan kuli angkut tersedia, sekali pun harus berdiam diri
tanpa daya dalam lumpur selama beberapa bulan.
Sesungguhnya Pasukan Kompeni yang berperang di Nusantara
tidak seluruhnya orang Belanda, tapi bahkan sebagian besar orang-orang pribumi.
Sebagai contoh, Babad Tanah Jawi
menyebutkan jumlah tentara Kompeni yang membantu Pangeran Adipati Anom menjadi
Amangkurat II dan merebut tahta kerajaan Mataram ada sebanyak seribu delapan
ratus orang dipimpin Amral Elduwelbeh, terdiri dari seribu orang-orang
Makassar, Ambon, Ternate dan Bugis, sedangkan orang Belandanya hanya delapan
ratus.
Demikianlah meski semula berhasil menduduki Sedayu,
Lamongan, Jipang dan Tuban serta memperoleh dukungan dari Bupati Surabaya,
Pamekasan dan Sumenep, akhirnya pada bulan November 1745 Cakraningrat berhasil dikalahkan oleh pasukan
gabungan Kompeni yang lebih besar. Bersama kedua putrinya Cakraningrat melarikan
diri ke Banjarmasin, namun oleh raja Banjarmasin dia ditangkap dan diserahkan
kepada VOC, yang selanjutnya membawa ke Batavia serta mengasingkannya ke Pulau
Robben di Afrika Selatan, yang makamnya kini dikeramatkan masyarakat Cape Town.
(Wikipedia, Cakraningrat IV, dan http://www.duniapusaka.com/blog/kerajaan-madura,14Maret Maret 2018 jam 08.11).
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang
melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara”
Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli
sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi
tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.
(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda