Minggu, 15 April 2018

Pergulatan Cakraningrat - Mataram _ Kompeni (II-7) : CAKRANINGRAT MENABUH GENDERANG PERANG


Cakraningrat IV Menabuh Genderang Perang.

         Penulis bersama isteri di dermaga Pulau "Penjara" Roben, dengan jauh di latar belakang     
         gerbang selamat datang, dan di samping kanan mural perjuangan rakyat Afrika Selatan.


Berakhirnya pemberontakan Cina dan penyerahan kembali kraton Kartasura oleh pasukan Madura, ternyata tidak membuat hubungan segitiga Kompeni – Sunan – Cakraningrat menjadi baik, bahkan bagai bandul yang mengayun kuat sebentar ke kiri sebentar ke kanan tiada menentu. Apalagi setelah menjelang akhir 1743, Sunan yang semakin lemah bersedia memperbarui perjanjian kerjasama dengan Kompeni, yang menyatakan berbagai kewajiban dan hutang-hutang Sunan, serta semakin memberikan keleluasan dan kekuasaan yang besar kepada Kompeni. Tentu saja ini tidak memuaskan Cakraningrat, yang menyadari dia tidak akan mendapatkan hak-haknya di Jawa Timur. Dengan segera ia menabuh genderang, mengobarkan perang dan memulai pertempuran pada November 1744.

Pasukan bantuan dari Mengui - Bali menjadi tulangpunggung pasukan Cakraningrat IV yang semula merupakan sebab utama keberhasilan. Pasukan Madura  dan Bali tidak terhalang oleh keterbatasan tradisional pasukan petani yang membantu Kraton ataupun Kompeni. Pasukan gabungan itu  bisa diberangkatkan ke medan perang kapan saja, terutama pada saat pihak-pihak lain tidak  mampu memberangkatkan pasukannya. Dalam penyerbuan ke Kartasura tahun 1742 misalkan, pasukan Cakraningrat mengadakan serangan kilat pada  musim hujan ketika pasukan petani Jawa sedang ada di rumah dan tatkala pasukan-pasukan lawan baik Cina, Kartasura maupun Belanda tidak dapat  bergerak karena tidak punya kuli angkut dan kuda-kuda para pembesar lawan terhalang geraknya oleh lumpur.

Cakraningrat tahu betul Kompeni  tidak bisa berbuat serupa sebab artileri dan iringan bagasi Kompeni yang berat  tidak dapat bergerak karena hujan, lumpur dan tidak adanya kuli angkut. Hanya ia yang mampu melakukannya. Pasukan Cakraningrat berperlengkapan ringan dan merambah kabupaten-kabupaten pesisir timur tanpa menjumpai banyak perlawanan dan akhirnya berhasil menguasai Kartasura dalam sebuah serangan mendadak pada bulan Novemeber 1742.

Cakraningrat dengan cerdik memanfaatkan kelemahan musuh-musuhnya, termasuk dengan melancarkan serangan-serangan malam terhadap pasukan lawan yang percaya tahayul dan mudah panik sehingga berhasil mematahkan semua perlawanan dari musuh-musuhnya, sampai akhirnya dia dihentikan oleh Kompeni, satu-satunya musuh yang tidak dapat dikalahkan, yang sabar menunggu sampai musim hujan lewat serta jalanan mengering dan kuli angkut tersedia, sekali pun harus berdiam diri tanpa daya dalam lumpur selama beberapa bulan.

Sesungguhnya Pasukan Kompeni yang berperang di Nusantara tidak seluruhnya orang Belanda, tapi bahkan sebagian besar orang-orang pribumi. Sebagai contoh, Babad Tanah Jawi menyebutkan jumlah tentara Kompeni yang membantu Pangeran Adipati Anom menjadi Amangkurat II dan merebut tahta kerajaan Mataram ada sebanyak seribu delapan ratus orang dipimpin Amral Elduwelbeh, terdiri dari seribu orang-orang Makassar, Ambon, Ternate dan Bugis, sedangkan orang Belandanya hanya delapan ratus.

Demikianlah meski semula berhasil menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban serta memperoleh dukungan dari Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep, akhirnya pada bulan November 1745  Cakraningrat berhasil dikalahkan oleh pasukan gabungan Kompeni yang lebih besar. Bersama kedua putrinya Cakraningrat melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh raja Banjarmasin dia ditangkap dan diserahkan kepada VOC, yang selanjutnya membawa ke Batavia serta mengasingkannya ke Pulau Robben di Afrika Selatan, yang makamnya kini dikeramatkan masyarakat Cape Town. (Wikipedia, Cakraningrat IV, dan  http://www.duniapusaka.com/blog/kerajaan-madura,14Maret Maret 2018 jam 08.11).

Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara” Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak  untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.


(Bersambung).









0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda