Sabtu, 14 April 2018

Pergulatan Cakraningrat - Mataram - Kompeni( II-6): PEMBERONTAKAN CINA


Pemberontakan Cina.



Babad Tanah Jawi dan Perang Cina, menggambarkan secara rinci pergolakan dan intrik di dalam kraton. Jika Babad Tanah Jawi bersumberkan catatan pujangga kraton yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu, yang boleh jadi ditulis sesuai versi penguasa pada masanya, sedangkan Perang Cina ditulis lebih banyak berdasarkan catatan-catatan Kompeni yang dibuat secara rinci dan tentu saja juga berdasarkan versinya.

Commandeur Kompeni di Semarang Willem ter Smitten tahun 1728, misalkan melaporkan ke Batavia tentang adanya plot besar–besaran untuk melemparkan Kompeni ke Laut Jawa, yang dirancang oleh persekutuan  Patih Danureja, Cakraningrat dan sisa-sisa pemberontakan Surapati yakni Mas Brahim, yang didukung para bupati pesisir, bupati wilayah dalam bahkan didukung Ratu Amangkurat. Dilaporkan, Patih Danureja berambisi merebut tahta kerajaan sedangkan Cakraningrat ingin menegakkan kembali kekuasan Panembahan Cakraningrat II yang mengendalikan semua kabupaten pesisir khususnya Jawa Timur.

Semula Cakraningrat mengajukan permintaan sebagai bagian haknya atas perkawinannya dengan adik raja, yang didukung oleh isteri dan ibu mertuanya, Ratu Amangkurat, untuk kembali memperoleh hak kontrol atas Sidayu, Pasuruan, Bangil dan Probolinggo. Sesungguhnya Sunan menyetujui, tapi Kompeni menolaknya.

Sejak Trunojoyo membedah keraton Mataram, Kompeni telah memutuskan bahwa orang Madura tidak boleh masuk ke Jawa, maksudnya bupati Madura tidak boleh memiliki wilayah di Jawa. Semenjak itu pertikaian segitiga terjadi. Cakraningrat meminta kembali hak kontrol atas pesisir, sedangkan Kompeni tidak mau Cakraningrat diberi tanah di Jawa bahkan minta penyerahan Madura kepada Kompeni. Sementara itu kraton tidak mau Cakraningrat menjadi bawahan Kompeni. Bahkan untuk itu Kompeni juga berusaha melalui Patih Danureja agar Cakraningrat menceraikan isterinya yang adik Sunan.

Di tengah pertikaian segitiga itu, pada tahun 1741 – 1742 timbul pemberontakan penduduk Cina di wilayah Jawa Tengah, pada mulanya di jalur pantura Semarang - Lasem, tapi kemudian merambah sampai ke kraton Kartasura. Perang Cina yang juga sering disebut Perang Kuning ini, dipicu oleh “Geger Pecinan”, yaitu pemberontakan yang berujung pada pembantaian sekitar 10.000  (sepuluh ribu) orang Cina di Batavia 9 – 10 Oktober 1740.

Di Kartasura, pemberontak menghasut serta memperalat cucu  Amangkurat III, Mas Garendi, untuk bersama-sama merebut  tahta Pakubuwana II. Pada 29 - 30 Juni 1742, Mas Garendi dan pasukan Cina berhasil menjebol dan merebut kraton, sehingga raja beserta seluruh keluarganya termasuk ibu suri Ratu Amangkurat dan isteri Cakraningrat terpaksa lari dalam pengawalan Kompeni menuju Ponorogo.

Keberhasilan Pasukan Kuning merebut kraton Kartasura, mengubah peta politik terutama di daerah-daerah pesisir. Para Bupati di wilayah pesisir barat, segera meminta perlindungan kepada Kompeni. Sedangkan wilayah pesisir timur sebagian dikuasai para pemberontak dan sebagian lagi berada di bawah Cakraningrat IV. Terhadap situasi yang seperti itu, Pimpinan Kompeni di Batavia memerintahkan Kompeni di Semarang untuk memanfaatkan keadaan dengan melakukan sapu bersih bukan hanya di wilayah pesisir, tapi juga sampai ke pedalaman.

Sementara itu dengan cepat pasukan Cakraningrat bergerak merangsek dari wilayah Timur ke Kartasura. Dengan pasukan gabungan Madura – Bali yang lincah tak mengenal takut, mereka melibas apa saja yang dijumpai dalam perjalanannya. Mereka juga tidak segan bergerak dan berperang di malam hari dan di kala hujan. Satu hal yang tak disangka oleh pasukan pemberontak dan juga tak bisa dilakukan oleh pasukan perlawanan gabungan pasukan Sunan dan Kompeni.
 
Pada akhir November 1742, Pasukan Madura berhasil mengalahkan 1.600 pemberontak Cina yang didukung sejumlah bantuan dari beberapa Bupati., dan mencapai ibukota Kartasura dalam keadaan kosong. Sesudah merebut kembali kraton, orang-orang Madura membawa saudara Sunan, Pangeran Ngabehi Loringpasar, masuk ke dalam kraton dan memperlakukannya bagaikan seorang Sunan, sementara Sunan yang tiba belakangan tidak diijinkan masuk. 

Hal itu membingungkan baik Sunan maupun Kompeni, sehingga pada tanggal 9 Desember 1742 Kompeni mengirim utusan ke Madura menemui Cakraningrat. Bersamaan dengan itu juga tiba utusan Sunan yang menyatakan terima kasih atas bantuan Cakraningrat merebut kembali Kartasura. Pada 20 Desember 1742, akhirnya pasukan Madura yang menduduki kraton mempersilahkan Sunan masuk, dan  bersama semua pribumi yang hadir, mengikuti adat Jawa dengan mencium kaki Sunan.

Ilustrasi: Kerusuhan  Cina Batavia 1740, repro dari Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, https://jakarta.go.id/artikel/konten/575/chinezenmoord

Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara” Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak  untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.

(Bersambung).





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda