Pemberontakan
Cina.
Babad
Tanah Jawi dan Perang Cina, menggambarkan secara rinci pergolakan
dan intrik di dalam kraton. Jika Babad
Tanah Jawi bersumberkan catatan pujangga kraton yang terus disempurnakan
dari waktu ke waktu, yang boleh jadi ditulis sesuai versi penguasa pada
masanya, sedangkan Perang Cina
ditulis lebih banyak berdasarkan catatan-catatan Kompeni yang dibuat secara
rinci dan tentu saja juga berdasarkan versinya.
Commandeur
Kompeni di Semarang Willem ter Smitten tahun 1728, misalkan melaporkan ke Batavia
tentang adanya plot besar–besaran untuk melemparkan Kompeni ke Laut Jawa, yang
dirancang oleh persekutuan Patih
Danureja, Cakraningrat dan sisa-sisa pemberontakan Surapati yakni Mas Brahim,
yang didukung para bupati pesisir, bupati wilayah dalam bahkan didukung Ratu
Amangkurat. Dilaporkan, Patih Danureja berambisi merebut tahta kerajaan
sedangkan Cakraningrat ingin menegakkan kembali kekuasan Panembahan
Cakraningrat II yang mengendalikan semua kabupaten pesisir khususnya Jawa
Timur.
Semula Cakraningrat mengajukan permintaan sebagai bagian
haknya atas perkawinannya dengan adik raja, yang didukung oleh isteri dan ibu
mertuanya, Ratu Amangkurat, untuk kembali memperoleh hak kontrol atas Sidayu,
Pasuruan, Bangil dan Probolinggo. Sesungguhnya Sunan menyetujui, tapi Kompeni
menolaknya.
Sejak Trunojoyo membedah keraton Mataram, Kompeni telah
memutuskan bahwa orang Madura tidak boleh masuk ke Jawa, maksudnya bupati
Madura tidak boleh memiliki wilayah di Jawa. Semenjak itu pertikaian segitiga
terjadi. Cakraningrat meminta kembali hak kontrol atas pesisir, sedangkan
Kompeni tidak mau Cakraningrat diberi tanah di Jawa bahkan minta penyerahan
Madura kepada Kompeni. Sementara itu kraton tidak mau Cakraningrat menjadi
bawahan Kompeni. Bahkan untuk itu Kompeni juga berusaha melalui Patih Danureja
agar Cakraningrat menceraikan isterinya yang adik Sunan.
Di tengah pertikaian segitiga itu, pada tahun 1741 –
1742 timbul pemberontakan penduduk Cina di wilayah Jawa Tengah, pada mulanya di
jalur pantura Semarang - Lasem, tapi kemudian merambah sampai ke kraton
Kartasura. Perang Cina yang juga sering disebut Perang Kuning ini, dipicu oleh
“Geger Pecinan”, yaitu pemberontakan yang berujung pada pembantaian sekitar
10.000 (sepuluh ribu) orang Cina di
Batavia 9 – 10 Oktober 1740.
Di Kartasura, pemberontak menghasut serta memperalat
cucu Amangkurat III, Mas Garendi, untuk
bersama-sama merebut tahta Pakubuwana
II. Pada 29 - 30 Juni 1742, Mas Garendi dan pasukan Cina berhasil menjebol dan
merebut kraton, sehingga raja beserta seluruh keluarganya termasuk ibu suri
Ratu Amangkurat dan isteri Cakraningrat terpaksa lari dalam pengawalan Kompeni
menuju Ponorogo.
Keberhasilan Pasukan Kuning merebut kraton Kartasura,
mengubah peta politik terutama di daerah-daerah pesisir. Para Bupati di wilayah
pesisir barat, segera meminta perlindungan kepada Kompeni. Sedangkan wilayah
pesisir timur sebagian dikuasai para pemberontak dan sebagian lagi berada di
bawah Cakraningrat IV. Terhadap situasi yang seperti itu, Pimpinan Kompeni di
Batavia memerintahkan Kompeni di Semarang untuk memanfaatkan keadaan dengan
melakukan sapu bersih bukan hanya di wilayah pesisir, tapi juga sampai ke pedalaman.
Sementara itu dengan cepat pasukan Cakraningrat bergerak
merangsek dari wilayah Timur ke Kartasura. Dengan pasukan gabungan Madura –
Bali yang lincah tak mengenal takut, mereka melibas apa saja yang dijumpai
dalam perjalanannya. Mereka juga tidak segan bergerak dan berperang di malam
hari dan di kala hujan. Satu hal yang tak disangka oleh pasukan pemberontak dan
juga tak bisa dilakukan oleh pasukan perlawanan gabungan pasukan Sunan dan
Kompeni.
Pada akhir November
1742, Pasukan Madura berhasil mengalahkan 1.600 pemberontak Cina yang didukung
sejumlah bantuan dari beberapa Bupati., dan mencapai ibukota Kartasura dalam
keadaan kosong. Sesudah merebut kembali kraton, orang-orang Madura membawa
saudara Sunan, Pangeran Ngabehi Loringpasar, masuk ke dalam kraton dan
memperlakukannya bagaikan seorang Sunan, sementara Sunan yang tiba belakangan
tidak diijinkan masuk.
Hal itu membingungkan baik Sunan maupun Kompeni,
sehingga pada tanggal 9 Desember 1742 Kompeni mengirim utusan ke Madura menemui
Cakraningrat. Bersamaan dengan itu juga tiba utusan Sunan yang menyatakan
terima kasih atas bantuan Cakraningrat merebut kembali Kartasura. Pada 20
Desember 1742, akhirnya pasukan Madura yang menduduki kraton mempersilahkan
Sunan masuk, dan bersama semua pribumi
yang hadir, mengikuti adat Jawa dengan mencium kaki Sunan.
Ilustrasi: Kerusuhan Cina Batavia 1740, repro dari Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, https://jakarta.go.id/artikel/konten/575/chinezenmoord
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang
melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara”
Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli
sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi
tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.
(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda