Intrik
& Perebutan Kekuasan Dalam Kraton Mataram.
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang
melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara”
Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli
sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi
tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin. B.WIWOHO.
Hubungan Mataram
dengan Madura terus berlanjut. Putera mahkota Amangkurat I, Pangeran Adipati
Anom sangat kecewa dengan kepemimpinan ayahandanya yang sangat kejam dan
semena-mena, yang dengan mudah menghukum mati siapa saja yang bersalah atau
tidak berkenan di hati sang raja. Selain itu Adipati Anom juga punya persoalan
khusus dengan ayahandanya dalam memperebutkan cinta seorang gadis jelita Rara
Oyi.
Adipati Anom kasmaran berat dengan gadis cantik, yang
ternyata simpanan sang raja yang berasal
dari Surabaya, yang dipelihara oleh menteri dalam Ngabehi Wira Reja, yang bila
sudah tiba saat akil baliq dan dewasa akan diserahkan untuk dijadikan selir
raja. Pangeran Pekik dan isterinya Ratu Pandan tidak tega melihat cucunya mabok
asmara, dan karena itu nekad menikahkan Adipati Anom dengan Roro Oyi. Untuk itu
mereka siap berkorban memperoleh hukuman mati dari Sunan.
Peristiwa itu akhirnya diketahui Sunan Amangkurat yang
menjadi sangat murka. Pangeran Pekik dan isterinya, yang tiada lain adalah
mertua Sunan sendiri, benar-benar
dihukum mati, bahkan beserta sanak saudaranya sebanyak emat puluh orang,
dibunuh seketika. Demikian pula Ngabehi Wira Reja dan isterinya dibunuh di lain
waktu. Sedangkan Adipati Anom dipaksa untuk membunuh Rara Oyi dengan tangannya
sendiri. Sesudah itu ia diusir ke Lipura
dan harta kekayaannya di kadipaten dijarah-rayah. Semenjak itu kekejaman Sunan
semakin menjadi-jadi dan kemaksiatan di kerajaan merajalela.
Pangeran Adipati Anom berencana menghentikan suasana
kacau tersebut dengan meminta dukungan kekuatan dan pasukan dari Pangeran
Kajoran, yang selanjutnya menugaskan menantunya, Pangeran Trunajaya untuk
membantu Adipati Anom. Trunajaya adalah putera Demang Mlayakusuma, putera
Cakraningrat I yang tewas saat memadamkan pemberontakan Pangeran Alit.
Segera Trunajaya kembali ke Madura menyusun kekuatan, bersekutu dengan duaribu
orang pelarian dari Makassar yang dipimpin Karaeng Galesong yang pada saat
bersamaan tiba di Jawa. Pasukan gabungan ini mengamuk dan merebut
wilayah-wilayah pesisir dan Timur, termasuk kekuasaan paman Trunajaya sendiri,
Cakraningrat II, serta mengasingkan pamannya itu ke tengah hutan belantara
Lodaya di Kediri. Di kemudian hari Cakraningrat II berhasil selamat dan bertemu
kembali dengan Adipati Anom yang sudah dinobatkan menjadi Amangkurat II.
Dalam menghadapi serbuan Trunajaya, untuk pertama kali
Amangkurat I melibatkan pasukan Kompeni yang sudah menancapkan kuku
kekuasaannya di Jepara, yang memiliki satu brigade pasukan bersenjata lengkap.
Perintah Sunan kepada utusannya, Raden Prawira Taruna, Kompeni harus bersedia
membantu Mataram dan apabila tidak bersedia harus pergi meninggalkan Jepara.
Perintah atau permintaan ini tentu saja disambut gembira oleh Kompeni, yang
merasa memperoleh jalan untuk ikut campur dalam politik kekuasaan dengan
memiliki akses ke Sunan.
Perang besar pun meledak tak terelakkan. Sungguh tepat
ungkapan yang menggambarkan orang-orang yang terlibat perang bagaikan
orang-orang yang haus darah. Perang yang terlanjur berkobar tak mudah
membedakan teman atau saudara. Jika semula perang ini dimaksudkan sebagai
sandiwara dan tekanan kepada Sunan, tapi dinamika di lapangan dan bau amis
darah, menjadikannya perang sungguhan yang merenggut ribuan jiwa serta semakin
menyulut emosi sekaligus ambisi untuk melumat lawan dan merebut kekuasaan atas
wilayah demi wilayah yang ditaklukkan, sampai akhirnya ibukota Mataram berhasil
direbut dan dikuasai Trunajaya tahun 1677. Sunan dan putera-puteranya termasuk
Adipati Anom melarikan diri, dan wafat di dusun Pasiraman, Banyumas. Jenazahnya
dimakamkan di Tegal. Foto suasana pemakaman Lemah Duwur di Bangkalan, cikal bakal dan leluhur Dinasti Cakraningrat. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda