Rabu, 11 April 2018

Pergulatan Cakraningrat - Mataram - Kompeni (II-2): INTRIK & PEREBUTAN KEKUASAN KRATON MATARAM


 Intrik & Perebutan Kekuasan Dalam Kraton Mataram.






Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara” Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak  untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin. B.WIWOHO.

Hubungan  Mataram dengan Madura terus berlanjut. Putera mahkota Amangkurat I, Pangeran Adipati Anom sangat kecewa dengan kepemimpinan ayahandanya yang sangat kejam dan semena-mena, yang dengan mudah menghukum mati siapa saja yang bersalah atau tidak berkenan di hati sang raja. Selain itu Adipati Anom juga punya persoalan khusus dengan ayahandanya dalam memperebutkan cinta seorang gadis jelita Rara Oyi.

Adipati Anom kasmaran berat dengan gadis cantik, yang ternyata  simpanan sang raja yang berasal dari Surabaya, yang dipelihara oleh menteri dalam Ngabehi Wira Reja, yang bila sudah tiba saat akil baliq dan dewasa akan diserahkan untuk dijadikan selir raja. Pangeran Pekik dan isterinya Ratu Pandan tidak tega melihat cucunya mabok asmara, dan karena itu nekad menikahkan Adipati Anom dengan Roro Oyi. Untuk itu mereka siap berkorban memperoleh hukuman mati dari Sunan.

Peristiwa itu akhirnya diketahui Sunan Amangkurat yang menjadi sangat murka. Pangeran Pekik dan isterinya, yang tiada lain adalah mertua Sunan sendiri,  benar-benar dihukum mati, bahkan beserta sanak saudaranya sebanyak emat puluh orang, dibunuh seketika. Demikian pula Ngabehi Wira Reja dan isterinya dibunuh di lain waktu. Sedangkan Adipati Anom dipaksa untuk membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.  Sesudah itu ia diusir ke Lipura dan harta kekayaannya di kadipaten dijarah-rayah. Semenjak itu kekejaman Sunan semakin menjadi-jadi dan kemaksiatan di kerajaan merajalela.

Pangeran Adipati Anom berencana menghentikan suasana kacau tersebut dengan meminta dukungan kekuatan dan pasukan dari Pangeran Kajoran, yang selanjutnya menugaskan menantunya, Pangeran Trunajaya untuk membantu Adipati Anom. Trunajaya adalah putera Demang Mlayakusuma, putera Cakraningrat I yang tewas saat memadamkan pemberontakan Pangeran Alit.

Segera Trunajaya kembali ke Madura  menyusun kekuatan, bersekutu dengan duaribu orang pelarian dari Makassar yang dipimpin Karaeng Galesong yang pada saat bersamaan tiba di Jawa. Pasukan gabungan ini mengamuk dan merebut wilayah-wilayah pesisir dan Timur, termasuk kekuasaan paman Trunajaya sendiri, Cakraningrat II, serta mengasingkan pamannya itu ke tengah hutan belantara Lodaya di Kediri. Di kemudian hari Cakraningrat II berhasil selamat dan bertemu kembali dengan Adipati Anom yang sudah dinobatkan menjadi Amangkurat II.

Dalam menghadapi serbuan Trunajaya, untuk pertama kali Amangkurat I melibatkan pasukan Kompeni yang sudah menancapkan kuku kekuasaannya di Jepara, yang memiliki satu brigade pasukan bersenjata lengkap. Perintah Sunan kepada utusannya, Raden Prawira Taruna, Kompeni harus bersedia membantu Mataram dan apabila tidak bersedia harus pergi meninggalkan Jepara. Perintah atau permintaan ini tentu saja disambut gembira oleh Kompeni, yang merasa memperoleh jalan untuk ikut campur dalam politik kekuasaan dengan memiliki akses ke Sunan.

Perang besar pun meledak tak terelakkan. Sungguh tepat ungkapan yang menggambarkan orang-orang yang terlibat perang bagaikan orang-orang yang haus darah. Perang yang terlanjur berkobar tak mudah membedakan teman atau saudara. Jika semula perang ini dimaksudkan sebagai sandiwara dan tekanan kepada Sunan, tapi dinamika di lapangan dan bau amis darah, menjadikannya perang sungguhan yang merenggut ribuan jiwa serta semakin menyulut emosi sekaligus ambisi untuk melumat lawan dan merebut kekuasaan atas wilayah demi wilayah yang ditaklukkan, sampai akhirnya ibukota Mataram berhasil direbut dan dikuasai Trunajaya tahun 1677. Sunan dan putera-puteranya termasuk Adipati Anom melarikan diri, dan wafat di dusun Pasiraman, Banyumas. Jenazahnya dimakamkan di Tegal. Foto suasana pemakaman Lemah Duwur di Bangkalan, cikal bakal dan leluhur Dinasti Cakraningrat. (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda