Sabtu, 14 April 2018

Pergulatan Cakraningrat - Mataram - Kompeni (II-5): CARA RAJA JAWA MENGENDALIKAN BAWAHAN



Cara Raja Jawa Mengendalikan Bawahan.


Satu dari  beberapa fakta paling penting dalam sejarah Jawa abad tujuh belas sampai pertengahan delapan belas, adalah para raja menguasai hak prerogatif dengan cukup berhasil mempertahankan monopoli dalam  pemberian jabatan. Ini sebagian besar disebabkan oleh fakta  bahwa peperangan yang dilakukan Sultan Agung yang kemudian dilanjutkan oleh Amangkurat I cukup berhasil membersihkan elit lokal sampi ke akar-akarnya. Dan juga karena saudara-saudara raja dikurung dalam kraton dan tidak mendapatkan kewenangan yang akan memberi mereka landasan kekuatan lokal. Proses ini dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya, di mana Kompeni seringkala menyediakan otot alias kekuatan pemukul yang diperlukan untuk melakukannya.

Akibatnya hampir semua wilayah yang independen terbabat habis pada tahun 1720-an, dengan perkecualian Cakraningrat di Madura dan rezim para penerus Surapati di hutan-hutan liar sekitar Malang.

Cakraningrat IV mendapatkan posisi independen ini karena kepiawiannya dalam memainkan hubungan segitiga dengan keraton dan Kompeni, yang  bagi Kompeni lebih senang menyebutnya sebagai mengadu-domba Kraton dengan Kompeni, yang ingin mengontrol Madura. Terlebih lagi jarak yang relatif dekat dengan Bali memungkinkan ia menyewa pasukan bayaran Bali secara diam-diam, yang ia gunakan sehingga pasukan Madura berhasil menguasai kraton Kartasura yang semula diduduki “Sunan Kuning Mas Garendi”, pada perang yang dikenal sebagai Perang Cina 1742. Inilah untuk kedua kalinya pasukan Madura berhasil menjebol benteng pertahanan Mataram, setelah Trunojoyo yang pertama.

Cara yang sederhana tapi ampuh bagi Raja Jawa, demikian pula Madura, untuk mengontrol pejabat-pejabatnya adalah dengan meminta tahanan, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai menyandera pihak-pihak yang berpotensi menjadi lawannya. Raja Jawa tidak pernah mengembangkan sistem yang rumit, tapi cukup sederhana dengan menyandera keluarga dekat dari orang yang ingin dikendalikan. Biasanya dengan menahan dan membatasi gerak isteri serta anak dari orang yang ingin dikendalikan, terutama pada masa krisis dan perang.

Pejabat-pejabat wilayah luar ibukota hanya wajib datang sekali setahun pada Grebeg Maulud. Yang merupakan perkecualian adalah Pangeran Cakraningrat IV yang menolak untuk datang. Sang Raja tidak memiliki kekuatan militer  yang memadai untuk memaksanya patuh atau menurunkannya selama tidak ada bantuan dari Kompeni, sehingga akhirnya dia setuju untuk membuat kompromi seperti diusulkan Kompeni.  Cakraningrat diperbolehkan tidak datang dengan alasan sakit asalkan putranya dikirim untuk mewakilinya.

Politik koalisi melalui poligami dan perkawinan menyatukan elit Jawa ke dalam ikatan yang sangat besar. Hubungan perkawinan meneguhkan ikatan yang tampaknya tidak bisa dijaga oleh hubungan lain. Pada pucuk tertinggi ada raja dengan semua saudari, saudari tiri, puteri, isteri, selir, yang semuanya ia gunakan untuk mengikat pejabat-pejabatnya. Bahkan mendapatkan bekas isteri atau bekas selir raja masih dianggap sebagai kehormatan besar. Kesempatan untuk menghasilkan putera mahkota dianggap bisa mendamaikan faksi-faksi yang bersangkutan di dalam keluarga kerajaan yang biasanya terpecah belah.

Raja juga mendapatkan selir dari pejabatnya. Selir-selir raja berasal dari semua wilayah dan semua golongan masyarakat.

Khusus dalam hubungan perkawinan antara Mataram – Madura,  berlangsung antara (1) Cakraningrat I dengan adik Sultan Agung; (2) Cakraningrat IV dengan adik kandung Pakubuwono II, Raden Ayu Bengkring; (3) Puteri Cakraningrat III yaitu Ragasmara dinikahkan dengan Pangeran Arya Mangkunagara, putera tertua Amangkurat IV. Demikian pula, (4) Putri Cakra Adiningrat II (penerus trah Cakraningrat) yaitu Raden Ayu Sriya menjadi permaisuri Pakububowo VII  (Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat, R.Abdul Hamid Mustari, Paguyuban Keluarga Kasultanan Bangkalan, tanpa tahun)

Sementara itu juga demi menenteramkan keadaan, Sunan Pakubuwana II menikahi putri pamannya yang memberontak, yakni Pangeran Purbaya yang telah diasingkan Ke Batavia.

Tetapi koalisi melalui ikatan perkawinan tidak selalu efektif sebagai metode kontrol, malah bisa pula meruwetkan situasi yang sudah ruwet. Perkawinan Amangkurat III dengan puteri pamannya, Pangeran Puger, justru memicu pemberontakan dari Pangeran Puger sampai menjadi Pakubuwana I. Pun demikian pernikahan satu-satunya saudara kandung Pakubuwono II dengan Cakraningrat malah menimbulkan lebih banyak masalah daripada meringankan, lantaran hak-hak yang secara salah kaprah disebut mas kawin dari raja kepada Cakraningrat tidak diberikan.

Sementara gerakan Ibu Suri yang membela Cakraningrat berhasil dikunci  oleh hasutan Demang Urawan kepada banyak punggawa dan sentana. Di sini Ibu Suri kalah bahkan kehilangan akses kepada putra kandungnya Sunan Pakubuwana II. Buku Perang Cina dan Babad Tanah Jawi menggambarkan intrik dan perebutan pengaruh di lingkaran dalam pusat kekuasaan, dan semenjak Demang Urawan yang homoseks itu menguasai medan pengaruh, dengan segera  kemerosotan moral menjangkiti kraton.

Demang Urawan juga membuat permusuhan dengan Cakraningrat, bupati yang paling handal, yang adalah saudara ipar raja, yang hak-haknya sebagai Pangeran ipar raja dihambat serta tidak diberikan, sementara utusannya dalam acara pisowanan tahunan dipermalukan. 

Foto: Pintu gerbang makam Aermata di Bangkalan - Madura , yaitu kompleks makam keluarga besar Cakraningrat, dengan makam utama Ratu Ibu, yaitu permaisuri dari Cakraningrat I. Di dalam kompleks ini juga terdapat makam Cakraningrat IV, yang bersebelahan dengan makam Cakraningrat II. Kecuali di Madura, makam Cakraningrat IV juga berada di Pulau Robben, Afrika Selatan. Makam mana yang sesungguhnya? Para ahli sejarahlah yang mestinya lebih tahu.

 Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara” Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak  untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.

(Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda