Cara
Raja Jawa Mengendalikan Bawahan.
Satu dari
beberapa fakta paling penting dalam sejarah Jawa abad tujuh belas sampai
pertengahan delapan belas, adalah para raja menguasai hak prerogatif dengan cukup
berhasil mempertahankan monopoli dalam
pemberian jabatan. Ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa peperangan yang dilakukan Sultan Agung
yang kemudian dilanjutkan oleh Amangkurat I cukup berhasil membersihkan elit
lokal sampi ke akar-akarnya. Dan juga karena saudara-saudara raja dikurung
dalam kraton dan tidak mendapatkan kewenangan yang akan memberi mereka landasan
kekuatan lokal. Proses ini dilanjutkan oleh raja-raja berikutnya, di mana
Kompeni seringkala menyediakan otot alias kekuatan pemukul yang diperlukan
untuk melakukannya.
Akibatnya hampir semua wilayah yang independen terbabat
habis pada tahun 1720-an, dengan perkecualian Cakraningrat di Madura dan rezim
para penerus Surapati di hutan-hutan liar sekitar Malang.
Cakraningrat IV mendapatkan posisi independen ini karena
kepiawiannya dalam memainkan hubungan segitiga dengan keraton dan Kompeni,
yang bagi Kompeni lebih senang
menyebutnya sebagai mengadu-domba Kraton dengan Kompeni, yang ingin mengontrol
Madura. Terlebih lagi jarak yang relatif dekat dengan Bali memungkinkan ia
menyewa pasukan bayaran Bali secara diam-diam, yang ia gunakan sehingga pasukan
Madura berhasil menguasai kraton Kartasura yang semula diduduki “Sunan Kuning
Mas Garendi”, pada perang yang dikenal sebagai Perang Cina 1742. Inilah untuk
kedua kalinya pasukan Madura berhasil menjebol benteng pertahanan Mataram,
setelah Trunojoyo yang pertama.
Cara yang sederhana tapi ampuh bagi Raja Jawa, demikian
pula Madura, untuk mengontrol pejabat-pejabatnya adalah dengan meminta tahanan,
atau mungkin lebih tepat disebut sebagai menyandera pihak-pihak yang berpotensi
menjadi lawannya. Raja Jawa tidak pernah mengembangkan sistem yang rumit, tapi cukup
sederhana dengan menyandera keluarga dekat dari orang yang ingin dikendalikan.
Biasanya dengan menahan dan membatasi gerak isteri serta anak dari orang yang
ingin dikendalikan, terutama pada masa krisis dan perang.
Pejabat-pejabat wilayah luar ibukota hanya wajib datang
sekali setahun pada Grebeg Maulud. Yang merupakan perkecualian adalah Pangeran
Cakraningrat IV yang menolak untuk datang. Sang Raja tidak memiliki kekuatan
militer yang memadai untuk memaksanya
patuh atau menurunkannya selama tidak ada bantuan dari Kompeni, sehingga
akhirnya dia setuju untuk membuat kompromi seperti diusulkan Kompeni. Cakraningrat diperbolehkan tidak datang
dengan alasan sakit asalkan putranya dikirim untuk mewakilinya.
Politik koalisi melalui poligami dan perkawinan menyatukan
elit Jawa ke dalam ikatan yang sangat besar. Hubungan perkawinan meneguhkan
ikatan yang tampaknya tidak bisa dijaga oleh hubungan lain. Pada pucuk
tertinggi ada raja dengan semua saudari, saudari tiri, puteri, isteri, selir,
yang semuanya ia gunakan untuk mengikat pejabat-pejabatnya. Bahkan mendapatkan
bekas isteri atau bekas selir raja masih dianggap sebagai kehormatan besar.
Kesempatan untuk menghasilkan putera mahkota dianggap bisa mendamaikan
faksi-faksi yang bersangkutan di dalam keluarga kerajaan yang biasanya terpecah
belah.
Raja juga mendapatkan selir dari pejabatnya. Selir-selir
raja berasal dari semua wilayah dan semua golongan masyarakat.
Khusus dalam hubungan perkawinan antara Mataram – Madura, berlangsung antara (1) Cakraningrat I dengan
adik Sultan Agung; (2) Cakraningrat IV dengan adik kandung Pakubuwono II, Raden
Ayu Bengkring; (3) Puteri Cakraningrat III yaitu Ragasmara dinikahkan dengan
Pangeran Arya Mangkunagara, putera tertua Amangkurat IV. Demikian pula, (4) Putri
Cakra Adiningrat II (penerus trah Cakraningrat) yaitu Raden Ayu Sriya menjadi
permaisuri Pakububowo VII (Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura
Barat, R.Abdul Hamid Mustari, Paguyuban Keluarga Kasultanan Bangkalan, tanpa
tahun)
Sementara itu juga demi menenteramkan keadaan, Sunan
Pakubuwana II menikahi putri pamannya yang memberontak, yakni Pangeran Purbaya
yang telah diasingkan Ke Batavia.
Tetapi koalisi melalui ikatan perkawinan tidak selalu
efektif sebagai metode kontrol, malah bisa pula meruwetkan situasi yang sudah
ruwet. Perkawinan Amangkurat III dengan puteri pamannya, Pangeran Puger, justru
memicu pemberontakan dari Pangeran Puger sampai menjadi Pakubuwana I. Pun
demikian pernikahan satu-satunya saudara kandung Pakubuwono II dengan
Cakraningrat malah menimbulkan lebih banyak masalah daripada meringankan,
lantaran hak-hak yang secara salah kaprah disebut mas kawin dari raja kepada
Cakraningrat tidak diberikan.
Sementara gerakan Ibu Suri yang membela Cakraningrat berhasil
dikunci oleh hasutan Demang Urawan
kepada banyak punggawa dan sentana. Di sini Ibu Suri kalah bahkan kehilangan
akses kepada putra kandungnya Sunan Pakubuwana II. Buku Perang Cina dan Babad Tanah
Jawi menggambarkan intrik dan perebutan pengaruh di lingkaran dalam pusat
kekuasaan, dan semenjak Demang Urawan yang homoseks itu menguasai medan
pengaruh, dengan segera kemerosotan
moral menjangkiti kraton.
Demang Urawan juga membuat permusuhan dengan
Cakraningrat, bupati yang paling handal, yang adalah saudara ipar raja, yang
hak-haknya sebagai Pangeran ipar raja dihambat serta tidak diberikan, sementara
utusannya dalam acara pisowanan tahunan dipermalukan.
Foto: Pintu gerbang makam Aermata di Bangkalan - Madura , yaitu kompleks makam keluarga besar Cakraningrat, dengan makam utama Ratu Ibu, yaitu permaisuri dari Cakraningrat I. Di dalam kompleks ini juga terdapat makam Cakraningrat IV, yang bersebelahan dengan makam Cakraningrat II. Kecuali di Madura, makam Cakraningrat IV juga berada di Pulau Robben, Afrika Selatan. Makam mana yang sesungguhnya? Para ahli sejarahlah yang mestinya lebih tahu.
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang
melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara”
Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli
sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi
tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin.
(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda