Kamis, 12 April 2018

Pergulatan Cakraningrat - Mataram - Kompeni (II-3): KOMPENI, DARI LAWAN JADI SEKUTU

 Kompeni, Dari Lawan Jadi Sekutu.





Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara” Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak  untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin. B.WIWOHO.

Kemenangan Pasukan Gabungan Madura – Makassar dalam merebut keraton Mataram, mengubah perjalanan sejarah Dinasti Mataram dari semula melawan Kompeni, menjadi besekutu dengan Kompeni, sebagaimana dibahas dalam Bagian I: Makam-Makam Pejuang Nusantara Yang Bertebaran & Dikeramatkan di Afrika Selatan terutama Bab Invasi Senyap & Awal Campur Tangan Belanda.

Sisa-sisa pasukan Mataram dengan dibantu Kompeni dan belakangan juga oleh pasukan Madura di bawah pimpinan Cakraningrat II yang sudah berhasil bebas dari penahanan Trunajaya, menyerang pasukan Trunajaya. Kompeni juga mendatangkan anggota pasukannya dari Makassar yang terdiri dari pribumi-pribumi Makassar yang dipimpin Karaeng Naba yang menurut Babad Tanah Jawi adalah kakak dari Karaeng Galesong. Karaeng Naba ditugaskan membujuk Karaeng Galesong untuk meninggalkan Trunajaya, sampai akhirnya membelot. Pembelotan ini menurut Babad Tanah Jawi menyebabkan kekalahan Trunajaya. Trunajaya yang mengetahui pembelotan tersebut membunuh Karaeng Gelesong tanpa diketahui oleh anggota pasukannya.

Cakraningrat II yang sudah bebas pada 27 Desember 1679 menemui Trunajaya dan pasukannya yang sudah dipukul mundur ke lereng Gunung Kelud, dan meminta kemenakannya itu untuk menyerah kepada Sunan, dengan menjamin keselamatannya. Trunajaya menurut tapi pada akhirnya dihukum mati juga oleh Sunan Amangkurat II yang semula memintanya untuk memberontak, dengan tangannya sendiri, yang disusul dengan hunjaman keris para bupati sehingga tubuhnya hancur tercabik-cabik dan hatinya dipotong kecil-kecil sekuku hitam serta dibagikan untuk ditelan mentah-mentah ramai-ramai. Akibatnya tidak diketahui di mana makam Trunajaya yang tewas pada hari Selasa 2 Januari 1680 itu. (Babad Tanah Jawi dan Raden Soenarto Hadiwijoyo, Raden Trunojoyo Panembahan Maduratna Pahlawan Indonesia dalam Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat) . Pemberotakan Trunajaya yang semula dirancang sendiri oleh Pangeran Adipati Anom (Amangkurat II) berhasil dipadamkan tahun 1679.

Sesudah pemberontakan Trunajaya, hubungan Mataram dengan Madura kembali baik.  Seperti ayahnya Cakraningrat I, Cakraningrat II sangat setia terhadap Amangkurat II. Bersama adik kesayangan Sunan yaitu Pangeran Puger, Cakraningrat merupakan kepercayaan dan andalan kerajaan, sampai Sunan wafat tahun 1703.

Situasi berubah sesudah Sunan wafat dan putera mahkota Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat III.  Raja baru  yang sekaligus juga putera menantu Pangeran Puger, pincang kakinya dan mempunyai perangai yang buruk. Pada masa pemerintahannya kembali terjadi intrik-intrik dan pergulatan kekuasaan yang ganas, sampai antara lain mengorbankan jiwa permaisuri dan menyengsarakan seluruh keluarganya, yaitu Pangeran Puger beserta isteri dan putera-puterinya, yang sempat dihukum kerangkeng berhari-hari di alun-alun, dalam sengatan terik mentari dan berselimut dinginnya udara malam.

Sunan juga memperkosa isteri Cakraningrat II, sehingga sempat membuat marah Cakraningrat, yang reda sementara setelah ingat permintaan almarhum Amangkurat II agar ia bersedia membimbing Amangkurat III.

Kesewenang-wenangan raja pada akhirnya membuat Pangeran Puger dan Cakraningrat II bersepakat melakukan perlawanan. Cakraningrat II memohon ijin menengok Madura beserta seluruh keluarganya, dan Pangeran Puger beserta keluarganya juga diam-diam melarikan ke Semarang dalam kejaran pasukan kerajaan. Di kota ini kedua pejabat senior kerajaan Mataram itu berjanji untuk bertemu kembali guna menyusun kekuatan dan bersama-sama menggempur Kartasura.

Selama menunggu kedatangan Cakraningrat, Pangeran Puger dibujuk orang kepercayaannya, Ki Rangga Yuda Negara, agar meminta bantuan Kompeni, yang menghasilkan perjanjian kerjasama antara Kompeni dengan Pangeran Puger. Setelah Cakraningrat dan pasukannya bergabung di Semarang Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan nama kebesaran Susuhunan Pakubuwana, pada tahun 1704. Segera sesudah itu penyerbuan ke Kartasura dimulai sampai akhirnya kraton Kartasura berhasil direbut pada tahun 1706, dan Sunan Amangkurat III melarikan diri tapi berhasil ditangkap dan dibuang ke Srilanka.

Sesudah berhasil membantu Pakubuwono I meneguhkan kekuasaannya dan merebut Kraton Kartasura, dalam perjalanan pulang ke Madura tanggal 4 Agustus 1707, Cakraningrat II yang sudah berusia 80 tahun itu jatuh sakit dan wafat di Kamal, Madura. Ia digantikan putera sulungnya, Raden Tumenggung Sosro Adiningrat yang bergelar Pangeran Cakraningrat III.

Di masa pemerintahannya, Cakraningrat III menghadapi pemberontakan menantunya, Arya Dikara di Pamekasan. Untuk memadamkannya ia mengutus adiknya yang memiliki panggilan Raden Surodiningrat atau Raden Jurit. Jurit artinya perang. Maka sebutan Raden Jurit berarti Pangeran Muda yang ahli dan jago berperang. Namun bukannya memadamkan, banyak orang Madura bahkan Raden Jurit sendiri, berbalik melawan kakaknya Cakraningrat III. Akibatnya Cakraningrat III terdesak dan melarikan diri ke kapal Kompeni meminta perlindungan.

Ironisnya, di atas kapal terjadi kesalahpaham, yang dipicu dari tindakan Kapten Kompeni, Dominicus Marius Pasqaues Chavones ( Prof. Dr.H.Aminudin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa, dalam Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat) atau Kapten Kartas (dalam Babad Tanah Jawi), menjabat dan mencium tangan permaisuri yang spontan berteriak keras lantaran terkejut dan takut, tidak memahami cara penghormatan seperti itu. Sebagai catatan, dalam hal penyebutan nama asing dalam hal ini Belanda, orang Jawa sering menyebut dan mencatat dengan panggilan tersendiri. Hal ini bisa dilihat misalkan dari penulisan nama pejabat-pejabat Kompeni lainnya di dalam buku Babad tersebut. 

Mendengar teriakan itu Cakraningrat III yang tidak menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi, spontan bereaksi menikam mati Kapten Kompeni. Segera terjadi perkelahian antara Pangeran beserta putra-putra dan para prajuritnya melawan prajurit-prajurit Kompeni sampai akhirnya Cakraningrat, putra-putra dan para prajuritnya tewas. Kepala Cakraningrat III di potong dipisahkan dari tubuhnya dan dibawa ke Surabaya, sedangkan tubuhnya dibuang ke laut sehingga seperti halnya Trunajaya, tidak ada makamnya. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 16 Oktober 1718 di atas kapal Oegstgeest.

eristiwa itu membuat sedih Sunan Pakubuwono I, karena Mataram sedang membutuhkan bantuan Madura untuk mengatasi pemberontakan Adipati Surabaya yang telah berhasil mengalahkan pasukan gabungan Mataram dan Kompeni. Dengan segera Sunan menobatkan Raden Jurit menggantikan abangnya menjadi Cakraningrat IV, serta memerintahkan merebut Surabaya bersama sisa-sisa pasukan gabungan Mataram – Kompeni, ditambah bala bantuan dari Banyumas, Dayeuh Luhur, Pamreden, Rema dan lain-lain. Dengan bantuan Cakraningrat IV, akhirnya Amangkurat dan Kompeni berhasil memenangkan peperangan melawan  Surabaya (Willem Remmelink, Perang Cina). Foto : Makam Cakraningrat II di Kompleks Makam Raja-Raja Aermata, Arosbaya, Bangkalan, Madura. Kompleks ini penuh dengan seni ukir batu yang sangat rumit tapi indah. (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda