Kompeni,
Dari Lawan Jadi Sekutu.
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang
melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara”
Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli
sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara, dengan ridho dan berkahNya tergerak untuk menggali sejarah para pahlawan yang dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi
tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin. B.WIWOHO.
Kemenangan Pasukan Gabungan Madura – Makassar dalam
merebut keraton Mataram, mengubah perjalanan sejarah Dinasti Mataram dari
semula melawan Kompeni, menjadi besekutu dengan Kompeni, sebagaimana dibahas
dalam Bagian I: Makam-Makam Pejuang
Nusantara Yang Bertebaran & Dikeramatkan di Afrika Selatan terutama Bab Invasi
Senyap & Awal Campur Tangan Belanda.
Sisa-sisa pasukan Mataram dengan dibantu Kompeni dan
belakangan juga oleh pasukan Madura di bawah pimpinan Cakraningrat II yang
sudah berhasil bebas dari penahanan Trunajaya, menyerang pasukan Trunajaya.
Kompeni juga mendatangkan anggota pasukannya dari Makassar yang terdiri dari
pribumi-pribumi Makassar yang dipimpin Karaeng Naba yang menurut Babad Tanah Jawi adalah kakak dari Karaeng
Galesong. Karaeng Naba ditugaskan membujuk Karaeng Galesong untuk meninggalkan
Trunajaya, sampai akhirnya membelot. Pembelotan ini menurut Babad Tanah Jawi menyebabkan kekalahan
Trunajaya. Trunajaya yang mengetahui pembelotan tersebut membunuh Karaeng Gelesong
tanpa diketahui oleh anggota pasukannya.
Cakraningrat II yang sudah bebas pada 27 Desember 1679
menemui Trunajaya dan pasukannya yang sudah dipukul mundur ke lereng Gunung
Kelud, dan meminta kemenakannya itu untuk menyerah kepada Sunan, dengan
menjamin keselamatannya. Trunajaya menurut tapi pada akhirnya dihukum mati juga
oleh Sunan Amangkurat II yang semula memintanya untuk memberontak, dengan
tangannya sendiri, yang disusul dengan hunjaman keris para bupati sehingga
tubuhnya hancur tercabik-cabik dan hatinya dipotong kecil-kecil sekuku hitam
serta dibagikan untuk ditelan mentah-mentah ramai-ramai. Akibatnya tidak
diketahui di mana makam Trunajaya yang tewas pada hari Selasa 2 Januari 1680
itu. (Babad Tanah Jawi dan Raden Soenarto Hadiwijoyo, Raden Trunojoyo Panembahan
Maduratna Pahlawan Indonesia dalam Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura
Barat) . Pemberotakan Trunajaya yang semula dirancang sendiri oleh Pangeran
Adipati Anom (Amangkurat II) berhasil dipadamkan tahun 1679.
Sesudah pemberontakan Trunajaya, hubungan Mataram dengan
Madura kembali baik. Seperti ayahnya
Cakraningrat I, Cakraningrat II sangat setia terhadap Amangkurat II. Bersama adik
kesayangan Sunan yaitu Pangeran Puger, Cakraningrat merupakan kepercayaan dan
andalan kerajaan, sampai Sunan wafat tahun 1703.
Situasi berubah sesudah Sunan wafat dan putera mahkota
Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat III.
Raja baru yang sekaligus juga
putera menantu Pangeran Puger, pincang kakinya dan mempunyai perangai yang
buruk. Pada masa pemerintahannya kembali terjadi intrik-intrik dan pergulatan
kekuasaan yang ganas, sampai antara lain mengorbankan jiwa permaisuri dan
menyengsarakan seluruh keluarganya, yaitu Pangeran Puger beserta isteri dan
putera-puterinya, yang sempat dihukum kerangkeng berhari-hari di alun-alun,
dalam sengatan terik mentari dan berselimut dinginnya udara malam.
Sunan juga memperkosa isteri Cakraningrat II, sehingga
sempat membuat marah Cakraningrat, yang reda sementara setelah ingat permintaan
almarhum Amangkurat II agar ia bersedia membimbing Amangkurat III.
Kesewenang-wenangan raja pada akhirnya membuat Pangeran
Puger dan Cakraningrat II bersepakat melakukan perlawanan. Cakraningrat II
memohon ijin menengok Madura beserta seluruh keluarganya, dan Pangeran Puger
beserta keluarganya juga diam-diam melarikan ke Semarang dalam kejaran pasukan
kerajaan. Di kota ini kedua pejabat senior kerajaan Mataram itu berjanji untuk
bertemu kembali guna menyusun kekuatan dan bersama-sama menggempur Kartasura.
Selama menunggu kedatangan Cakraningrat, Pangeran Puger
dibujuk orang kepercayaannya, Ki Rangga Yuda Negara, agar meminta bantuan
Kompeni, yang menghasilkan perjanjian kerjasama antara Kompeni dengan Pangeran
Puger. Setelah Cakraningrat dan pasukannya bergabung di Semarang Pangeran Puger
dinobatkan menjadi raja dengan nama kebesaran Susuhunan Pakubuwana, pada tahun
1704. Segera sesudah itu penyerbuan ke Kartasura dimulai sampai akhirnya kraton
Kartasura berhasil direbut pada tahun 1706, dan Sunan Amangkurat III melarikan
diri tapi berhasil ditangkap dan dibuang ke Srilanka.
Sesudah berhasil membantu Pakubuwono I meneguhkan
kekuasaannya dan merebut Kraton Kartasura, dalam perjalanan pulang ke Madura
tanggal 4 Agustus 1707, Cakraningrat II yang sudah berusia 80 tahun itu jatuh
sakit dan wafat di Kamal, Madura. Ia digantikan putera sulungnya, Raden
Tumenggung Sosro Adiningrat yang bergelar Pangeran Cakraningrat III.
Di masa pemerintahannya, Cakraningrat III menghadapi
pemberontakan menantunya, Arya Dikara di Pamekasan. Untuk memadamkannya ia
mengutus adiknya yang memiliki panggilan Raden Surodiningrat atau Raden Jurit. Jurit
artinya perang. Maka sebutan Raden Jurit berarti Pangeran Muda yang ahli dan
jago berperang. Namun bukannya memadamkan, banyak orang Madura bahkan Raden
Jurit sendiri, berbalik melawan kakaknya Cakraningrat III. Akibatnya
Cakraningrat III terdesak dan melarikan diri ke kapal Kompeni meminta
perlindungan.
Ironisnya, di atas kapal terjadi kesalahpaham, yang
dipicu dari tindakan Kapten Kompeni, Dominicus Marius Pasqaues Chavones ( Prof. Dr.H.Aminudin Kasdi, Perlawanan
Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa, dalam Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan
Madura Barat) atau Kapten Kartas (dalam Babad
Tanah Jawi), menjabat dan mencium tangan permaisuri yang spontan berteriak
keras lantaran terkejut dan takut, tidak memahami cara penghormatan seperti
itu. Sebagai catatan, dalam hal penyebutan nama asing dalam hal ini Belanda,
orang Jawa sering menyebut dan mencatat dengan panggilan tersendiri. Hal ini
bisa dilihat misalkan dari penulisan nama pejabat-pejabat Kompeni lainnya di
dalam buku Babad tersebut.
Mendengar teriakan itu Cakraningrat III yang tidak
menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi, spontan bereaksi menikam mati Kapten
Kompeni. Segera terjadi perkelahian antara Pangeran beserta putra-putra dan
para prajuritnya melawan prajurit-prajurit Kompeni sampai akhirnya Cakraningrat,
putra-putra dan para prajuritnya tewas. Kepala Cakraningrat III di potong
dipisahkan dari tubuhnya dan dibawa ke Surabaya, sedangkan tubuhnya dibuang ke
laut sehingga seperti halnya Trunajaya, tidak ada makamnya. Peristiwa tersebut
terjadi pada tanggal 16 Oktober 1718 di atas kapal Oegstgeest.
eristiwa itu membuat sedih Sunan Pakubuwono I, karena
Mataram sedang membutuhkan bantuan Madura untuk mengatasi pemberontakan Adipati
Surabaya yang telah berhasil mengalahkan pasukan gabungan Mataram dan Kompeni.
Dengan segera Sunan menobatkan Raden Jurit menggantikan abangnya menjadi
Cakraningrat IV, serta memerintahkan merebut Surabaya bersama sisa-sisa pasukan
gabungan Mataram – Kompeni, ditambah bala bantuan dari Banyumas, Dayeuh Luhur,
Pamreden, Rema dan lain-lain. Dengan bantuan Cakraningrat IV, akhirnya
Amangkurat dan Kompeni berhasil memenangkan peperangan melawan Surabaya (Willem
Remmelink, Perang Cina). Foto : Makam Cakraningrat II di Kompleks Makam Raja-Raja Aermata, Arosbaya, Bangkalan, Madura. Kompleks ini penuh dengan seni ukir batu yang sangat rumit tapi indah. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda