Sayed
Alawie & Kyai Haji Mataram, Ulama Kartasura.
Tokoh buangan selanjutnya menurut banyak tulisan di
berbagai media dan buku terbitan Afrika Selatan adalah Pangeran atau Raja
Madura yakni Cakraningrat IV pada tahun 1740-an.
Namun Willem Remmelink dalam
bukunya The Chinese War and the Collapse
of the Javanese State, 1725 – 1743 ( edisi bahasa Indonesia oleh Akhmad
Santoso, Perang Cina dan Runtuhnya Negara
Jawa, 1725 - 1743, penerbit Jendela, Oktober 2001), Kompeni atas permintaan
Raja Amangkurat IV pada tahun 1723, menahan dan membuang kedua orang paman raja
yang melawannya, yaitu Pangeran Purbaya ke Batavia dan Pangeran Dipanagara ke
Afrika Selatan. Informasi lebih lengkap mengenai Pangeran Dipanagara ini sampai
sekarang belum penulis temukan.
Pada
15 Mei 1743, Penguasa Hindia Belanda juga menangkap dua ulama dari Kraton Kartasura yaitu Sayed Alawie dan Kyai Haji
Mataram. Sayed Alawie adalah ulama
keturunan Arab yang bertemu dengan
rombongan Pangeran Adipati Anom di masa
Amangkurat IV, tatkala dibuang di Srilanka. Adipati Anam wafat di Srilanka, tetapi keturunannya diampuni oleh
raja Pakubuwana II, raja penerus putera Amangkurat IV, karena membawa berbagai
pusaka andalan kerajaan, sehingga diharapkan bisa pulang dengan membawa
pusaka-pusaka tersebut.
Ketika mereka dipulangkan tahun
1737, ternyata bukan hanya membawa pusaka-pusaka kerajaan, tapi juga mengajak
serta Sayid Alawie ke Kartasura, yang
kemudian mendapat kepercayaan Sunan dan dinikahkan serta diangkat
menjadi ulama masjid Kraton. Dua tahun sebelumnya, yakni tahun 1735, Patih
Natakusuma yang ditugaskan ke Batavia sewaktu kembali ke Kartasura, juga
mengajak pulang seorang ulama yang disebut sebagai Kyai Haji Mataram. Haji
Mataram selanjutnya diangkat jadi ulama utama di masjid Kraton, namun pada
tahun 1738 ia diasingkan ke Bagelen karena berada di pihak Arya Purbaya yang
mencoba melakukan kudeta terhadap Sunan.
Pada tahun 1741 Sayed Alawie bersama
Tumenggung Rajaniti berusaha memaksa para serdadu Kompeni di garnisun Kartasura
untuk memeluk Islam. Upaya ini dianggap sebagai penghinaan besar terhadap
Kompeni yang kasusnya terus berkepanjangan dan dijadikan alasan oleh Belanda
untuk menekan Kraton, diantaranya agar menyerahkan kedua orang tersebut kepada
Belanda. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, Gubernur Jenderal Hindia
Belanda di Batavia memerintahkan bawahannya untuk menahan Sunan dan putera mahkotanya (Perang Cina halaman 411).
Usaha Kompeni berhasil pada 15 Mei
1743. Karena Rajaniti sudah meninggal, Sunan menyerahkan Sayed Alawie dan Haji
Mataram yang keduanya kemudian diperlakukan sangat buruk, dikirim dengan
dirantai ke Semarang, selanjutnya ke Batavia dan Afrika Selatan (Perang Cina
halaman 411). Dalam The Island halaman 30, mereka tiba di Roben Island tahun
1744. Tahun berikutnya Haji Mataram wafat.
Dengan latar belakang seperti itu
maka kini menjadi jelas, apabila setelah tujuh belas tahun menjalani hukuman di
Pulau Robben, Sayed Alawie dibebaskan dengan kewajiban bekerja di pemerintah
kolonial di Cape dan diberi sebutan kafir.
Charlene Smith dalam Robben Island, A Place
oh Inspiration: Mandela’s Prison Island menyebutkan ia bekerja di Kepala Kepolisian,
sedangkan dalam The Island, A History of
Robben Island, Harriet Dacon menulis,
Sayed Alawie diperbantukan pada administrasi perpajakan sebagai petugas
penegakan hukum. Tugas ini diberikan kepada suatu grup yang berasal dari para
bekas tahanan dari Hindia Belanda.
Uniknya, mereka seperti halnya Sayed Alawie diberi julukan
caffer atau kafir yang lebih
mengesankan penghinaan terhadap seorang muslim. Namun julukan itu tak
mengendorkan semangat dakwah Sayed Alawie. Setiap malam ia berdakwah dengan mengunjungi barak-barak
para budak, sehingga dalam komunitas muslim ia mendapat panggilan kehormatan
Tuan Sa’id.
Pada tahun 1740-an, The Island yang mengutip data-data dari Arsip Orang-Orang
Buangan dan Tahanan Hindia Belanda di Afrika Selatan, menyebutkan Raja dan
Pangeran dari Madura tiba pula di Pulau Robben. Raja Madura ini lebih dikenal
sebagai Sheikh Madura yang kemudian wafat tahun 1754.
Kedatangan Raja Madura
Pangeran Cakraningrat di pulau Robben versi The
Island ini memang tidak terinci secara pasti, tapi lebih masuk akal
dibanding versi yang menyebutkan kedatangannya pada tahun 1744, karena Pangeran
Cakraningrat baru berhasil dikalahkan pada November 1745.
Berbagai tulisan terutama media
online di Capetown, seringkali rancu terhadap kedua tokoh yang secara
pengucapan mungkin terdengar sama, yaitu antara Haji Mataram dengan Pangeran
Madura atau tokoh dari Motura. Namun tidak demikian halnya dengan buku-buku
referensi sejarah seperti The Island,
yang mengutip arsip resmi Hindia Belanda.
Adapun mengenai Raja
Madura Cakraningrat IV, secara khusus dibahas dalam Bagian dan bab : Pergulatan Segitiga Cakraningrat – Mataram
– Kompeni. Foto Kramat Tuan Sa'id atau Sayed Alawie diambil dari Cape Mazaar Society. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda