Selasa, 03 April 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (12) Sayed Alawie & Kyai Haji Mataram, Ulama Kartasura.



Sayed Alawie & Kyai Haji Mataram, Ulama Kartasura. 



Tokoh buangan selanjutnya menurut banyak tulisan di berbagai media dan buku terbitan Afrika Selatan adalah Pangeran atau Raja Madura yakni Cakraningrat IV pada tahun 1740-an. 

Namun Willem Remmelink dalam bukunya The Chinese War and the Collapse of the Javanese State, 1725 – 1743 ( edisi bahasa Indonesia oleh Akhmad Santoso, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725 - 1743, penerbit Jendela, Oktober 2001), Kompeni atas permintaan Raja Amangkurat IV pada tahun 1723, menahan dan membuang kedua orang paman raja yang melawannya, yaitu Pangeran Purbaya ke Batavia dan Pangeran Dipanagara ke Afrika Selatan. Informasi lebih lengkap mengenai Pangeran Dipanagara ini sampai sekarang belum penulis temukan.

Pada 15 Mei 1743, Penguasa Hindia Belanda juga menangkap dua ulama dari Kraton  Kartasura yaitu Sayed Alawie dan Kyai Haji Mataram. Sayed Alawie adalah ulama keturunan  Arab yang bertemu dengan rombongan Pangeran Adipati  Anom di masa Amangkurat IV, tatkala dibuang di Srilanka. Adipati Anam wafat di  Srilanka, tetapi keturunannya diampuni oleh raja Pakubuwana II, raja penerus putera Amangkurat IV, karena membawa berbagai pusaka andalan kerajaan, sehingga diharapkan bisa pulang dengan membawa pusaka-pusaka tersebut.

Ketika mereka dipulangkan tahun 1737, ternyata bukan hanya membawa pusaka-pusaka kerajaan, tapi juga mengajak serta Sayid Alawie ke Kartasura, yang  kemudian mendapat kepercayaan Sunan dan dinikahkan serta diangkat menjadi ulama masjid Kraton. Dua tahun sebelumnya, yakni tahun 1735, Patih Natakusuma yang ditugaskan ke Batavia sewaktu kembali ke Kartasura, juga mengajak pulang seorang ulama yang disebut sebagai Kyai Haji Mataram. Haji Mataram selanjutnya diangkat jadi ulama utama di masjid Kraton, namun pada tahun 1738 ia diasingkan ke Bagelen karena berada di pihak Arya Purbaya yang mencoba melakukan kudeta terhadap Sunan.

Pada tahun 1741 Sayed Alawie bersama Tumenggung Rajaniti berusaha memaksa para serdadu Kompeni di garnisun Kartasura untuk memeluk Islam. Upaya ini dianggap sebagai penghinaan besar terhadap Kompeni yang kasusnya terus berkepanjangan dan dijadikan alasan oleh Belanda untuk menekan Kraton, diantaranya agar menyerahkan kedua orang tersebut kepada Belanda. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia memerintahkan bawahannya untuk  menahan Sunan dan putera mahkotanya (Perang Cina halaman 411).

Usaha Kompeni berhasil pada 15 Mei 1743. Karena Rajaniti sudah meninggal, Sunan menyerahkan Sayed Alawie dan Haji Mataram yang keduanya kemudian diperlakukan sangat buruk, dikirim dengan dirantai ke Semarang, selanjutnya ke Batavia dan Afrika Selatan (Perang Cina halaman 411). Dalam The Island  halaman 30, mereka tiba di Roben Island tahun 1744. Tahun berikutnya Haji Mataram wafat.

Dengan latar belakang seperti itu maka kini menjadi jelas, apabila setelah tujuh belas tahun menjalani hukuman di Pulau Robben, Sayed Alawie dibebaskan dengan kewajiban bekerja di pemerintah kolonial di Cape dan diberi sebutan kafir. Charlene Smith dalam Robben Island, A Place oh Inspiration: Mandela’s Prison Island  menyebutkan ia bekerja di Kepala Kepolisian, sedangkan dalam The Island, A History of Robben Island,  Harriet Dacon menulis, Sayed Alawie diperbantukan pada administrasi perpajakan sebagai petugas penegakan hukum. Tugas ini diberikan kepada suatu grup yang berasal dari para bekas tahanan dari Hindia Belanda.

Uniknya, mereka seperti halnya Sayed Alawie diberi julukan caffer atau kafir yang lebih mengesankan penghinaan terhadap seorang muslim. Namun julukan itu tak mengendorkan semangat dakwah Sayed Alawie. Setiap malam  ia berdakwah dengan mengunjungi barak-barak para budak, sehingga dalam komunitas muslim ia mendapat panggilan kehormatan Tuan Sa’id.

Pada tahun 1740-an, The Island  yang mengutip data-data dari Arsip Orang-Orang Buangan dan Tahanan Hindia Belanda di Afrika Selatan, menyebutkan Raja dan Pangeran dari Madura tiba pula di Pulau Robben. Raja Madura ini lebih dikenal sebagai Sheikh Madura yang kemudian wafat tahun 1754. 

Kedatangan Raja Madura Pangeran Cakraningrat di pulau Robben versi The Island ini memang tidak terinci secara pasti, tapi lebih masuk akal dibanding versi yang menyebutkan kedatangannya pada tahun 1744, karena Pangeran Cakraningrat baru berhasil dikalahkan pada November 1745.

Berbagai tulisan terutama media online di Capetown, seringkali rancu terhadap kedua tokoh yang secara pengucapan mungkin terdengar sama, yaitu antara Haji Mataram dengan Pangeran Madura atau tokoh dari Motura. Namun tidak demikian halnya dengan buku-buku referensi sejarah seperti The Island, yang mengutip arsip resmi Hindia Belanda.

Adapun mengenai Raja Madura Cakraningrat IV, secara khusus dibahas dalam Bagian dan bab : Pergulatan Segitiga Cakraningrat – Mataram – Kompeni. Foto Kramat Tuan Sa'id atau Sayed Alawie diambil dari Cape Mazaar Society. (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda