Syeh
Yusuf & Kampung Makassar di Afrika Selatan.
Orang Kajen berikutnya yang tiba di Cape adalah Syeh
Yusuf dari Makassar pada th 1694 bersama 49 pengikut dan anggota keluarganya
yang terdiri dari dua isteri dan 6 pria, 14 sahabat, 12 santri serta 14
anak-anak. Mereka tinggal di daerah di mana sekarang dibangun makam sucinya, tumbuh menjadi pusat gerakan
dan pertumbuhan di Cape. Lokasi tersebut berada di wilayah perkebunan Zandvliet.
Tahun
1699 Syeh Yusuf wafat dan dimakamkan di Zandvliet, dan sebagaimana halnya makam
Cakraningrat yang ada di dua tempat yaitu Pulau Robben dan Madura, makam Syeh
Yusuf juga ada di Cape dan Makassar. Tetapi ternyata bukan hanya makam Syeh Yusuf dan Pangeran Cakraningrat saja, makam Dea Koasa selain berada di Simonstown,
Cape, juga ada di Sumbawa. Menurut ngibarbalang.id
dalam Menilik Jejak Sejarah Sejarah Keturunan Sumbawa di Afrika Selatan,
Wednesday, November 29,2017, Dea Koasa berhasil melarikan diri hingga
kembali ke kampung halaman dan dapat kita lihat tempat pemakamannya di
Pemakaman Sampar, Sumbawa.
Bagi sejumlah pengamat hal itu dianggap menggelikan,
sementara bagi masyarakat muslim Cape hal itu wajar saja. Di samping mereka
tetap meyakini makam yang sesungguhnya dari tokoh-tokoh tersebut tetap di
Afrika Selatan, mereka memaklumi ketokohan pejuang-pejuang tadi di daerah
asalnya, dan hal itu menjadi pertimbangan untuk “mengirimkan jenazahnya” ke
Indonesia. Penghormatan kepada “makam” yang di Indonesia juga dianggap baik
sebagai kenangan kejuangan mereka bagi masyarakat Indonesia.
Tempat komunitas Syeh Yusuf juga menjadi jalur dan
tempat hunian berikutya bagi budak-budak yang sudah bebas atau bahkan yang
melarikan diri. (The Strand Muslim
Community : 2)
Sesudah Syeh Yusuf wafat tahun 1699, beberapa keluarga
dan pengikutnya, yang sebagian berasal dari Banten, pulang kembali ke tanah
air. Namun seorang anak perempuannya, Zytia (Sitina) Sara Marouf, menikah dengan Raja Tambora,
seorang tahanan politik, dan kemudian menetap di area perkebunan Verfelegen
milik Willem Adriaan van der Stel. (The Strand Muslim Community : 5).
Sumber lain menyatakan tidak banyak keluarga dan
pengikut Syeh Yusuf yang diijinkan pulang ke Batavia, yakni hanya anak-anak
lelaki dan cucu-cucu lelaki yang berumur di bawah 6 tahun (The
Strand Muslim Community : 6).
Sebagian dari mereka bersama para tahanan dan budak dari
Jawa serta sebagian lagi dari wilayah-wilayah lain Indonesia, menjadi pionir yang
membuka dan menghuni wilayah Strand, yang dimulai tahun 1694.
Ebrahim Rhoda dalam The
Strand Muslim Community mengutip
Peggy Heap dalam Story of Hottentots
Holland, menulis pengikut atau komunitas
Abidin Tadia Tjoesoep yang lebih dikenal sebagai Syeh Yusuf, keluar
dari perkebunan Zandvliet di muara
Sungai Eerste pada akhir abad 19 dan dengan berani tinggal di sekitar pantai
dan sebagian menjadi nelayan di teluk Mosterd, mengembangkan pasar ikan di
wilayah tersebut.
emang muncul perdebatan di antara sejumlah ahli sejarah
apakah komunitas muslim sudah tumbuh semasa hidup Syeh Yusuf terutama pada
periode 1694 – 1699, ataukah sesudah wafatnya. Pedebatan timbul mengingat Syeh Yusuf hidup dalam isolasi. Maka rasanya
sulit menggalang soliditas komunitas. Sejumlah ahli berpendapat komunitas yang
kuat ditandai dengan pembangunan Masjid Auwal di daerah Bo Kaap.
Komunitas muslim pertama yang memiliki kebebasan adalah
yang dirintis oleh 19 orang yaitu para budak dan tawanan-tawanan yang sudah
bebas, yang terdiri dari 7 perempuan dewasa, seorang anak perempuan berusia 11 tahun dan 11 pria. Dari
19 orang tersebut 14 orang berasal dari Jawa. Nama-nama mereka adalah Bonzo,
Ongo, Salomon, Nollo, Azam, Zienggo, Ronnie, Marjam, Azor, Wiro, Abdol Vryswart
van Java, Kwasse, Isakiem dan Abdol
Sammat, ditambah Cadier van Timor. Mereka membentuk komunitas di Mosterd Bay
tahun 1825 yang kemudian berkembang menjadi Komunitas Muslim Strand.
Guna memperingati 300 tahun kedatangan Syeh Yusuf di
Afrika Selatan, pada tanggal 2 April 1994, diselenggarakan suatu perhelatan
besar yang diikuti lebih dari 100.000.
Perihal Syeh Yusuf, di Indonesia namanya cukup harum dan
banyak ditulis media masa dari waktu ke waktu. Menyambut kunjungan Presiden
Afrika Selatan Jacob
Zuma ke Indonesia tanggal 8 Maret 2017 misalnya, Luqman Rimadu dalam Liputan6.com,
Jakarta menulis tentang Syeh Yusuf yang memperoleh
Gelar Pahlawan dari Pemerintah Afrika Selatan sebagai berikut:
“Syeh Yusuf Tajul Khalwati atau biasa dikenal dengan sebutan Syeh Yusuf
Almaqassari Al-Bantani lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Dia
merupakan anak dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan
Muhammad Yusuf, nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, penguasa Kerajaan
Gowa pertama yang Muslim.
Sebelum menapaki jejaknya di Afrika,
Syeh Yusuf dibuang ke Srilanka oleh pemerintah Belanda. Dia diasingkan dari
bumi Nusantara karena perlawanannya yang gigih terhadap Belanda saat berada di
Gowa dan Banten.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan
Belanda pada 1682, Syeh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilanka pada
September 1684. Di Srilanka, Syeh Yusuf tetap
aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki ratusan murid, yang umumnya
berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syeh Ibrahim ibn
Mi'an, termasuk yang berguru pada Syeh Yusuf.
Melalui jemaah haji yang singgah di
Srilanka, Syeh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di
Nusantara. Kabar komunikasi Syeh Yusuf dengan para pengikutnya itu sampai ke
telinga pemerintah Belanda. Oleh Belanda, dia akhirnya diasingkan ke lokasi
lain yang lebih jauh yaitu Cape Town, Afrika Selatan, pada Juli 1693.
Di Afrika Selatan, Syeh Yusuf tetap
berdakwah dan memiliki banyak pengikut. Dia bahkan ikut berjuang bersama warga
Afrika melawan imperialisme bangsa Eropa di Afrika. Syeh Yusuf wafat pada 23
Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. “
Di kalangan masyarakat Muslim Afrika
Selatan, Syeh Yusuf dianggap berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam. Tak hanya
itu, dia juga dianggap sebagai pendiri komunitas Muslim dan budaya Melayu di
Afrika Selatan.
Sebagai bukti, terdapat perumahan
yang diberi nama Kramat Makassar, yang berada tak jauh dari makam Syeh Yusuf. Lokasi itu dihuni sedikitnya 40 kepala keluarga. Uniknya,
sebagian besar warga di sana mengaku memiliki nenek moyang dari Makassar.
Ratusan tahun
telah berlalu. Kini, perkawinan campur antar suku telah terjadi di Kampung
Makassar. Foto-foto di depan Kramat atau bangunan makam Syeh Yusuf, bersama penjaga makam dan peta menuju makam yang dibuat oleh Cape Mazaar (Kramat) Society. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda