Minggu, 01 April 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (10) Syeh Yusuf & Kampung Makassar di Afrika Selatan.


Syeh Yusuf & Kampung Makassar di Afrika Selatan.







Orang Kajen berikutnya yang tiba di Cape adalah Syeh Yusuf dari Makassar pada th 1694 bersama 49 pengikut dan anggota keluarganya yang terdiri dari dua isteri dan 6 pria, 14 sahabat, 12 santri serta 14 anak-anak. Mereka tinggal di daerah di mana sekarang dibangun  makam sucinya, tumbuh menjadi pusat gerakan dan pertumbuhan di Cape. Lokasi tersebut berada di wilayah perkebunan Zandvliet.

Tahun 1699 Syeh Yusuf wafat dan dimakamkan di Zandvliet, dan sebagaimana halnya makam Cakraningrat yang ada di dua tempat yaitu Pulau Robben dan Madura, makam Syeh Yusuf juga ada di Cape dan Makassar. Tetapi ternyata bukan hanya makam Syeh Yusuf dan Pangeran Cakraningrat saja,  makam Dea Koasa selain berada di Simonstown, Cape, juga ada di Sumbawa. Menurut ngibarbalang.id dalam Menilik Jejak Sejarah Sejarah Keturunan Sumbawa di Afrika Selatan, Wednesday, November 29,2017, Dea Koasa berhasil melarikan diri hingga kembali ke kampung halaman dan dapat kita lihat tempat pemakamannya di Pemakaman Sampar, Sumbawa.

Bagi sejumlah pengamat hal itu dianggap menggelikan, sementara bagi masyarakat muslim Cape hal itu wajar saja. Di samping mereka tetap meyakini makam yang sesungguhnya dari tokoh-tokoh tersebut tetap di Afrika Selatan, mereka memaklumi ketokohan pejuang-pejuang tadi di daerah asalnya, dan hal itu menjadi pertimbangan untuk “mengirimkan jenazahnya” ke Indonesia. Penghormatan kepada “makam” yang di Indonesia juga dianggap baik sebagai kenangan kejuangan mereka bagi masyarakat Indonesia.

Tempat komunitas Syeh Yusuf juga menjadi jalur dan tempat hunian berikutya bagi budak-budak yang sudah bebas atau bahkan yang melarikan diri. (The Strand Muslim Community : 2)

Sesudah Syeh Yusuf wafat tahun 1699, beberapa keluarga dan pengikutnya, yang sebagian berasal dari Banten, pulang kembali ke tanah air. Namun seorang anak perempuannya, Zytia (Sitina)  Sara Marouf, menikah dengan Raja Tambora, seorang tahanan politik, dan kemudian menetap di area perkebunan Verfelegen milik Willem Adriaan van der Stel. (The Strand Muslim Community : 5).

Sumber lain menyatakan tidak banyak keluarga dan pengikut Syeh Yusuf yang diijinkan pulang ke Batavia, yakni hanya anak-anak lelaki dan cucu-cucu lelaki yang berumur di bawah 6 tahun  (The Strand Muslim Community : 6).
Sebagian dari mereka bersama para tahanan dan budak dari Jawa serta sebagian lagi dari wilayah-wilayah lain Indonesia, menjadi pionir yang membuka dan menghuni wilayah Strand, yang dimulai tahun 1694.

Ebrahim Rhoda dalam The Strand Muslim Community  mengutip Peggy Heap dalam Story of Hottentots Holland, menulis pengikut atau komunitas  Abidin Tadia Tjoesoep yang lebih dikenal sebagai Syeh Yusuf, keluar dari  perkebunan Zandvliet di muara Sungai Eerste pada akhir abad 19 dan dengan berani tinggal di sekitar pantai dan sebagian menjadi nelayan di teluk Mosterd, mengembangkan pasar ikan di wilayah tersebut.

emang muncul perdebatan di antara sejumlah ahli sejarah apakah komunitas muslim sudah tumbuh semasa hidup Syeh Yusuf terutama pada periode 1694 – 1699, ataukah sesudah wafatnya. Pedebatan timbul mengingat  Syeh Yusuf hidup dalam isolasi. Maka rasanya sulit menggalang soliditas komunitas. Sejumlah ahli berpendapat komunitas yang kuat ditandai dengan pembangunan Masjid Auwal di daerah Bo Kaap.

Komunitas muslim pertama yang memiliki kebebasan adalah yang dirintis oleh 19 orang yaitu para budak dan tawanan-tawanan yang sudah bebas, yang terdiri dari 7 perempuan dewasa, seorang anak  perempuan berusia 11 tahun dan 11 pria. Dari 19 orang tersebut 14 orang berasal dari Jawa. Nama-nama mereka adalah Bonzo, Ongo, Salomon, Nollo, Azam, Zienggo, Ronnie, Marjam, Azor, Wiro, Abdol Vryswart van Java, Kwasse, Isakiem  dan Abdol Sammat, ditambah Cadier van Timor. Mereka membentuk komunitas di Mosterd Bay tahun 1825 yang kemudian berkembang menjadi Komunitas Muslim Strand.
Guna memperingati 300 tahun kedatangan Syeh Yusuf di Afrika Selatan, pada tanggal 2 April 1994, diselenggarakan suatu perhelatan besar yang diikuti lebih dari 100.000.

Perihal Syeh Yusuf, di Indonesia namanya cukup harum dan banyak ditulis media masa dari waktu ke waktu. Menyambut kunjungan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma ke Indonesia tanggal 8 Maret 2017 misalnya, Luqman Rimadu dalam Liputan6.com, Jakarta  menulis tentang Syeh Yusuf yang memperoleh Gelar Pahlawan dari Pemerintah Afrika Selatan sebagai berikut:
Syeh Yusuf Tajul Khalwati atau biasa dikenal dengan sebutan Syeh Yusuf Almaqassari Al-Bantani lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Dia merupakan anak dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin, penguasa Kerajaan Gowa pertama yang Muslim.

Sebelum menapaki jejaknya di Afrika, Syeh Yusuf dibuang ke Srilanka oleh pemerintah Belanda. Dia diasingkan dari bumi Nusantara karena perlawanannya yang gigih terhadap Belanda saat berada di Gowa dan Banten.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda pada 1682, Syeh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Srilanka pada September 1684. Di Srilanka, Syeh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki ratusan murid, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syeh Ibrahim ibn Mi'an, termasuk yang berguru pada Syeh Yusuf.

Melalui jemaah haji yang singgah di Srilanka, Syeh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Kabar komunikasi Syeh Yusuf dengan para pengikutnya itu sampai ke telinga pemerintah Belanda. Oleh Belanda, dia akhirnya diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh yaitu Cape Town, Afrika Selatan, pada Juli 1693.

Di Afrika Selatan, Syeh Yusuf tetap berdakwah dan memiliki banyak pengikut. Dia bahkan ikut berjuang bersama warga Afrika melawan imperialisme bangsa Eropa di Afrika. Syeh Yusuf wafat pada 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. “

Di kalangan masyarakat Muslim Afrika Selatan, Syeh Yusuf dianggap berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam. Tak hanya itu, dia juga dianggap sebagai pendiri komunitas Muslim dan budaya Melayu di Afrika Selatan.
Sebagai bukti, terdapat perumahan yang diberi nama Kramat Makassar, yang berada tak jauh dari makam Syeh Yusuf. Lokasi itu dihuni sedikitnya 40 kepala keluarga. Uniknya, sebagian besar warga di sana mengaku memiliki nenek moyang dari Makassar.

Ratusan tahun telah berlalu. Kini, perkawinan campur antar suku telah terjadi di Kampung Makassar. Foto-foto di depan Kramat atau bangunan makam Syeh Yusuf, bersama penjaga makam dan peta menuju makam yang dibuat oleh Cape Mazaar (Kramat) Society. (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda