Bangsawan-Ulama
Sumbawa, Dea Koasa & Dea Malela
Pahlawan Nusantara lainnya yang dibuang ke Afrika
Selatan adalah seorang ayah yaitu Lalu Abdul Kadir Jaelani atau Tuan Dea Koasa dan puteranya Tuan Ismail Dea
Malela yang tiba pada tahun 1779. Keduanya adalah bangsawan-ulama Kerajaan
Sumbawa.
Kisah keduanya ditulis oleh wartawan senior Rosihan
Anwar dalam Harian Kompas Senin 9 Mei 2005, dengan judul “Keturunan Sumbawa di
Afrika Selatan”. Yang menarik dari tulisan ini adalah sumber informasinya
berasal dari keturunan langsung dari sang pahlawan.
Sebuah
blog yang banyak menulis tentang perjalanan wisata khususnya daerah Nusa
Tenggara Barat, http://www.ngibarbalang.id/
pada 29 November 2017 juga menulis tentang kedua bangsawan tersebut.
Prof. Dr.M.Din Syamsuddin kepada
penulis menyatakan sebagai generasi keenam dari keluarga Dea Malela atau
ketujuh dari Dea Koasa. Berdasarkan silsilah keluarga Dea Koasa moyang dari
Prof Din adalah Dea Mar yang merupakan saudara kandung Dea Malela.
Guna mengenang jasa mereka sekaligus
terus mengobarkan api semangat perjuangannya, di Pamangong-Sumbawa, Keluarga
Besar Dea Malela baik di Indonesia maupun di Afrika Selatan, mendirikan Pondok
Pesantren Moderen Internasional Dea Malela yang dikelola oleh Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan Dea Malela yang dipimpin langsung oleh Prof.Din
Syamsuddin. Sekolah islam terpadu ini mulai beroperasi 2016 dengan menampung
berbagai siswa tinggat SMP dan SMA dari dalam dan luar negeri. “Saat ini ada 26
santri dari luar negeri yaitu dari Kamboja, Thailand, Vietnam, Rusia dan Timor
Leste. Insya Allah tahun depan akan banyak lagi,” tutur Prof. Din Syamsuddin.
Sementara itu wartawan pejuang Rosihan Anwar mengawali
tulisannya: “Sheikh Yusuf al-Macassari, ulama Sufi asal Gowa abad 17, merupakan
tokoh dominan yang sangat dihormati oleh Cape Malay, Afrika Selatan, dewasa ini
sehingga dikira Cape Malay keturunan Bugis dan Makasar.”
Anggapan itu menurut Rosihan Anwar keliru, sebab yang
diangkut VOC Belanda dahulu dari
Nusantara ke Afrika Selatan adalah budak dan buangan politik yang berasal dari
pelbagai daerah dan etnik, seperti Banten, Betawai, Bengkulu, Jambi, Palembang,
Sumatera Barat dan Sumbawa.
Pendapat Rosihan Anwar ini memperoleh penguatan ketika di
seminar “Perbudakan dan Pembuangan Politik di Cape Town”, 23 Maret 2005, ia
berkenalan dengan Lalu Ebrahiem Dea Malela/Manuel dari Simonstown. Ebrahiem
mengaku keturunan dari leluhurnya Abdulatief Sirat dari Sumbawa. Ia sampaikan
kepada Rosihan seberkas kertas berjudul “Rahasia-rahasia dari tulisan-tulisan
kuno yang disembunyikan dan misterius dalam kitab-kitab dan buku harian
orang-orang buangan politik yang diasingkan oleh Kompeni Hindia Timur
Belanda/VOC sejak tahun 1667. Guna diungkapkan pertama kali dalam masa lebih
dari 300 tahun kerahasiaan. Menuliskan kembali sejarah kami yang telah
dilupakan dari halaman-halaman kuno kitab dan buku harian Lalu Abdul Kadir
Jaelani Dea Koasa dari Pemanggung Nusa Tenggara Barat, Sumbawa, Indonesia,
1752.”
Rosihan tak sempat membaca dokumen
tadi di Afrika Selatan. Baru sekembalinya di Jakarta ia serap informasi yang terkandung di dalamnya.
Bunyi intro sudah menarik minat. “Pelopor-pelopor Islam di Tanjung Harapan Baik
dengan kapal-kapal Belanda dirantai dan dibelenggu. Tidak banyak diketahui
tentang asal-usul mereka, pengasingan, pembuangan, pemenjaraan, dan kehidupan
mereka di Afrika Selatan. Kini untuk pertama kali kisah mereka akan dipaparkan
oleh dua orang keturunan dari Simonstown dan Sumbawa. Sejarah kami adalah hidup
dan kitab-kitab serta buku harian sedang bicara”.
Di Cape Town Rosihan juga berjumpa
dengan Haji Erefan Rakiep (82) dari Bridgetown, yang menceritakan pada tahun
1994 dia menemukan informasi sejarah, bahan arsip dari kitab-kitab dan buku
harian yang berkaitan dengan leluhurnya Tuan Guru yang dibuang dari
Ternate-Tidore, Indonesia, pada tahun 1770.
Di Afrika Selatan tiada seorang pun
mampu membaca kitab dan buku harian kuno itu. Hanya dengan bantuan anggota
keluarga di Indonesia hal itu dimungkinkan. Kitab-kitab itu mengandung
pesan-pesan rahasia dan informasi yang hanya penulisnya serta orang-orang
keturunannya di Indonesia yang dapat memahaminya. Keluarga-keluarga yang
memiliki kitab-kitab kuno itu mengadakan janji rahasia untuk tidak menceritakan
keberadaannya kepada orang Barat.
Rosihan menulis, ada laporan singkat
sejarah dua orang buangan politik di Simonstown dan Cape Town, Afrika Selatan,
tahun 1752. Laporan itu menceritakan pertempuran sengit antara VOC Belanda dan
para penguasa Sumbawa. Keluarga besar dinasti Dea menentang penjajahan Belanda.
Di barisan depan bertempur pejuang-pejuang Dea Agga, Dea Koasa, Dea Malela, Dea
Marlia, Dea Sanapia, dan Dea Penggawa.
Akan tetapi, dengan bantuan
kolaborator, para cecunguk di dalam komunitas Sumbawa, VOC berhasil menangkap
Lalu Abdul Kadir Jaelani Dea Koasa dan putranya, Lalu Ismail Dea Malela, dari
Kampung Pemangong pada tahun 1752. Kejadian pada hari yang menentukan itu 250
tahun yang silam dilihat dari jarak jauh oleh saudara mereka yaitu Dea Agga dan
Dea Marlia yang sangat sedih, lantaran anggota-anggota keluarga mereka
ditangkap dan mereka tidak berdaya menghadapi senjata dan serdadu Kompeni
Belanda. Banyak lagi anggota keluarga, lelaki perempuan kanak-kanak ditangkap
dan dengan kekerasan diangkut ke Afrika Selatan.
Di Simonstown, Afrika Selatan, kedua
anggota keluarga Dea Koasa dan putranya, Dea Malela, menulis dalam kitab dan
buku harian, dan oleh karena itu keturunan dari generasi kesembilan dengan
mudah menemukan keluarga mereka.
Pertalian langsung dan hubungan
dengan Sumbawa diwujudkan pada tanggal 7 September 1999 oleh Abdulatief Sirat
dari Pemangong Sumbawa, Harjadi Suhada dari Bugis Jakarta, Sasa Kralz dari
Kroasia, photographer Leadership Magazine dan seorang keturunan dari generasi
kesembilan Ebrahim Manuel dari Simonstown. Ebrahim Manuel mengatakan, “Hassjem
Salie dari South African Malayu Cultural Society dan Linford Andrews dari Kedutaan
Besar Afsel di Jakarta adalah instrumental dalam memudahkan sebagai wakil saya
berhubungan dengan stakeholders utama
lain di Indonesia sehingga saya bisa menelusuri asal-usul ke Sumbawa
Indonesia”.
Kitab kuno leluhur dengan nama Lalu
Abdul Kadir Jaelani Dea Koasa diteruskan dari generasi ke generasi di
Simonstown. Dia menulis pemenjaraannya pada tahun 1752 di Penjara Ruang Bawah
Tanah Simonstown, tentang pelariannya tahun 1755, serta pendaratannya di
Bordtjies Drift di Cape Point. “Tatkala leluhur berdiri di Cape Point Mountain
dan menyaksikan pemandangan memesonakan dari Samudra Atlantik di sebelah kiri
dan Samudra Hindia di sebelah kanan, beliau tentu berpikir ini adalah tempat
sempurna yang telah dipilih guna keselamatan dirinya. Tempat dan daerah itu
terisolasi dan jauh letaknya dari bahaya waktu memikirkan pemenjaraannya di
Kamar Bawah Tanah Terungku Budak Sahaya yang ditakuti itu. Di sini di Cape
Point leluhur dapat berasa damai waktu berjalan sehari-hari untuk mengenali
lingkungannya. Leluhur itu mempelajari gunung, flora, fauna, kehidupan liar,
kehidupan kelautan, iklim, dan dalam kitab buku harian terdapat gambar-gambar
mengenai pengamatannya tadi”.
Di tempat penyimpanan arsip negara
dalam daftar budak-budak terdapat 60 nama anggota keluarga Sumbawa yang
ditangkap VOC dan diangkut dengan kekerasan ke Cape of Good Hope atau Tanjung
Harapan Baik dengan kapal-kapal Belanda. Tertera di situ berapa tahun lamanya
mereka dipenjara di pulau Robben yang
pada abad ke-19 adalah tempat pembuangan Nelson Mandela.
“Pohon silsilah dari tahun 1674
dengan mencantumkan nama dua anggota keluarga yang diasingkan tahun 1752 telah
dipinjamkan oleh keluarga di Simonstown, Afrika Selatan, kepada keluarga di
Sumbawa, Indonesia, untuk dipelajari dan diketahui. Di antara anggota keluarga
dari Sumbawa, Indonesia, itu disebut nama Drs Abdul Muis dari Universitas
Muhammadiyah dan Din Syamsuddin (Sekjen Majelis Ulama Indonesia).
Dokumen-dokumen resmi yang ditandatangani dan diberi cap stempel oleh keluarga
yang mengindikasikan hubungan- hubungan langsung kami dengan para leluhur di
Simonstown dan Cape Point dengan akar-akar keluarga kami serta hubungan leluhur
dengan dinasti para raja Sumbawa di Indonesia, demikian tulis Ebrahiem Manuel.”
Lalu Ebrahiem Dea Malela/Manuel, alamat: 10 St Michels Road,
7th Avenue, Off 1St Road, Grassy Park 7941 Western Cape Ph 021-7061796-7862302,
dalam upaya mentrasir asal-usulnya dari Sumbawa telah dua kali mengunjungi
Indonesia. Pertama, selama empat bulan pada tahun 1999. Kedua, selama satu bulan
pada tahun 2000. Ketika itu dia berjumpa dengan para anggota keluarga Sumbawa,
juga dengan penerjemah di Masjid Istiqlal, Jakarta, yang mendapat kesempatan
membaca kitab-kitab dan buku harian para leluhur yang dibawanya dari Afsel.
Anggota keluarga Sumbawa menawarkan diri datang ke Afrika Selatan guna membantu
menerjemahkan kitab kuno dan buku harian leluhur, “jikalau kami mengurus tiket
pesawat terbang mereka”, ujar Ebrahiem.
Guna menerjemahkan isi kitab-kitab
dan buku harian para leluhur itu, anggota keluarga dari Sumbawa dan Jakarta
mengusulkan untuk melibatkan Pemerintah Afrika Selatan, Indonesia, dan Belanda.
Tidak diketahui apakah ada kemajuan dalam hal itu. Rahasia-rahasia apakah yang
akan tersingkap dari sejarah perbudakan di Afrika Selatan? Ebrahiem mengimbau
kepada keluarga-keluarga di Cape Town yang memiliki kitab buku harian leluhur
mereka untuk mengeluarkannya dari penyimpanan dan agar diterjemahkan oleh para
ahli.
Perbudakan adalah suatu kejahatan
terhadap umat manusia dan kemanusiaan. Kita perlu menyembuhkan
keluarga-keluarga kita, komunitas-komunitas kita, negara Indonesia, Belanda,
dan Afrika Selatan. Dengan menyembunyikan informasi historis dari semua, para
leluhur kita tidak akan pernah beristirahat dengan damai, demikian Ebrahiem
yang mengatakan kepada Rosihan Anwar di Museum Iziko, Cape Town, “Saya
keturunan raja Sumbawa”, katanya.
Sementara itu Ngibar Balang.id menulis, bagi masyarakat Sumbawa akhir-akhir ini,
nama Dea Malela tidak asing lagi karena dipakai menjadi nama sebuah pondok pesantren
bertaraf internasional di desa Pemangong, Kecamatan Lenangguar, Kabupaten
Sumbawa.
Ngibar Balang mengawali tulisannya
dengan mengambil sumber dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang
menerbitkan Katalog Naskah : “Koleksi
Masyarakat Keturunan Indonesia di Afrika Selatan, yang disunting Mukhlis PaEni
dan disusun oleh Drs.Ahmad Rahman, M.Ag dan Syahriah, M.Hum.”
Terdapat informasi yang berbeda
mengenai penangkapan Dea Koasa dan Dea Malela, antara tulisan Ngibar Balang dan
Rosihan Anwar yang perlu ditelusuri lebih lanjut.
Menurut Ngibar Balang, Dea Koasa dan
Dea Malela berangkat ke Jawa untuk berdakwah dan melakukan perlawanan terhadap
penjajah bersama ulama tanah Jawa lainnya. Kedatangan mereka disambut baik oleh
masyarakat Jawa sampai kemudian dalam perlawanan mereka terhadap Belanda, kedua
putra Sumbawa ditangkap pada tahun 1752 dan bersama ratusan pejuang yang
sebagian bear ulama dari kesultanan di Nusantara dibuang ke Afrika Selatan.
Foto: (1) Prof.Dr.Din Syamsuddin mengenakan batik merah bersama B.Wiwoho disebelah kirinya dalam peluncuran buku tentang pembauran (2) makam Dea Koasa dan Dea Malela di Cape Town.
(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda