Kamis, 05 April 2018

Para Pahlawan Nusantara di Afsel (14): BANGSAWAN - ULAMA SUMBAWA DEA KOASA & DEA MALELA


Bangsawan-Ulama Sumbawa, Dea Koasa & Dea Malela






Pahlawan Nusantara lainnya yang dibuang ke Afrika Selatan adalah seorang ayah yaitu Lalu Abdul Kadir Jaelani atau Tuan Dea Koasa dan puteranya Tuan Ismail Dea Malela yang tiba pada tahun 1779. Keduanya adalah bangsawan-ulama Kerajaan Sumbawa.

Kisah keduanya ditulis oleh wartawan senior Rosihan Anwar dalam Harian Kompas Senin 9 Mei 2005, dengan judul “Keturunan Sumbawa di Afrika Selatan”. Yang menarik dari tulisan ini adalah sumber informasinya berasal dari keturunan langsung dari sang pahlawan.

Sebuah blog yang banyak menulis tentang perjalanan wisata khususnya daerah Nusa Tenggara Barat, http://www.ngibarbalang.id/   pada 29 November 2017 juga menulis tentang kedua bangsawan tersebut.

Ketika tulisan ini sedang dikerjakan, Prof.Dr.Din Syamsuddin mengirimkan sejumlah kanal berita tentang kedua tokoh tersebut sebagaimana berikut: Lalu Ismali Dea Malela, Pejuang dan Tokoh Ulama, February 8, 2016 https://www.samawarea.com/2016/02/08/lalu-ismail-dea-malela-pejuang-dan-tokoh-ulama/ serta Siapakah Lalu Ismail Dea Malela?  (Sumbawa_ nesia September 10, 2017  http://sumbawapintar.blogspot.co.id/2017/09/siapakah-lalu-ismail-dea-malela.html).

Prof. Dr.M.Din Syamsuddin kepada penulis menyatakan sebagai generasi keenam dari keluarga Dea Malela atau ketujuh dari Dea Koasa. Berdasarkan silsilah keluarga Dea Koasa moyang dari Prof Din adalah Dea Mar yang merupakan saudara kandung Dea Malela.

Guna mengenang jasa mereka sekaligus terus mengobarkan api semangat perjuangannya, di Pamangong-Sumbawa, Keluarga Besar Dea Malela baik di Indonesia maupun di Afrika Selatan, mendirikan Pondok Pesantren Moderen Internasional Dea Malela yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Dea Malela yang dipimpin langsung oleh Prof.Din Syamsuddin. Sekolah islam terpadu ini mulai beroperasi 2016 dengan menampung berbagai siswa tinggat SMP dan SMA dari dalam dan luar negeri. “Saat ini ada 26 santri dari luar negeri yaitu dari Kamboja, Thailand, Vietnam, Rusia dan Timor Leste. Insya Allah tahun depan akan banyak lagi,” tutur Prof. Din Syamsuddin.

Sementara itu wartawan pejuang Rosihan Anwar mengawali tulisannya: “Sheikh Yusuf al-Macassari, ulama Sufi asal Gowa abad 17, merupakan tokoh dominan yang sangat dihormati oleh Cape Malay, Afrika Selatan, dewasa ini sehingga dikira Cape Malay keturunan Bugis dan Makasar.”

Anggapan itu menurut Rosihan Anwar keliru, sebab yang diangkut  VOC Belanda dahulu dari Nusantara ke Afrika Selatan adalah budak dan buangan politik yang berasal dari pelbagai daerah dan etnik, seperti Banten, Betawai, Bengkulu, Jambi, Palembang, Sumatera Barat dan Sumbawa.

Pendapat Rosihan Anwar ini memperoleh penguatan ketika di seminar “Perbudakan dan Pembuangan Politik di Cape Town”, 23 Maret 2005, ia berkenalan dengan Lalu Ebrahiem Dea Malela/Manuel dari Simonstown. Ebrahiem mengaku keturunan dari leluhurnya Abdulatief Sirat dari Sumbawa. Ia sampaikan kepada Rosihan seberkas kertas berjudul “Rahasia-rahasia dari tulisan-tulisan kuno yang disembunyikan dan misterius dalam kitab-kitab dan buku harian orang-orang buangan politik yang diasingkan oleh Kompeni Hindia Timur Belanda/VOC sejak tahun 1667. Guna diungkapkan pertama kali dalam masa lebih dari 300 tahun kerahasiaan. Menuliskan kembali sejarah kami yang telah dilupakan dari halaman-halaman kuno kitab dan buku harian Lalu Abdul Kadir Jaelani Dea Koasa dari Pemanggung Nusa Tenggara Barat, Sumbawa, Indonesia, 1752.”

Rosihan tak sempat membaca dokumen tadi di Afrika Selatan. Baru sekembalinya di Jakarta ia  serap informasi yang terkandung di dalamnya. Bunyi intro sudah menarik minat. “Pelopor-pelopor Islam di Tanjung Harapan Baik dengan kapal-kapal Belanda dirantai dan dibelenggu. Tidak banyak diketahui tentang asal-usul mereka, pengasingan, pembuangan, pemenjaraan, dan kehidupan mereka di Afrika Selatan. Kini untuk pertama kali kisah mereka akan dipaparkan oleh dua orang keturunan dari Simonstown dan Sumbawa. Sejarah kami adalah hidup dan kitab-kitab serta buku harian sedang bicara”.
Di Cape Town Rosihan juga berjumpa dengan Haji Erefan Rakiep (82) dari Bridgetown, yang menceritakan pada tahun 1994 dia menemukan informasi sejarah, bahan arsip dari kitab-kitab dan buku harian yang berkaitan dengan leluhurnya Tuan Guru yang dibuang dari Ternate-Tidore, Indonesia, pada tahun 1770.

Di Afrika Selatan tiada seorang pun mampu membaca kitab dan buku harian kuno itu. Hanya dengan bantuan anggota keluarga di Indonesia hal itu dimungkinkan. Kitab-kitab itu mengandung pesan-pesan rahasia dan informasi yang hanya penulisnya serta orang-orang keturunannya di Indonesia yang dapat memahaminya. Keluarga-keluarga yang memiliki kitab-kitab kuno itu mengadakan janji rahasia untuk tidak menceritakan keberadaannya kepada orang Barat.

Rosihan menulis, ada laporan singkat sejarah dua orang buangan politik di Simonstown dan Cape Town, Afrika Selatan, tahun 1752. Laporan itu menceritakan pertempuran sengit antara VOC Belanda dan para penguasa Sumbawa. Keluarga besar dinasti Dea menentang penjajahan Belanda. Di barisan depan bertempur pejuang-pejuang Dea Agga, Dea Koasa, Dea Malela, Dea Marlia, Dea Sanapia, dan Dea Penggawa.

Akan tetapi, dengan bantuan kolaborator, para cecunguk di dalam komunitas Sumbawa, VOC berhasil menangkap Lalu Abdul Kadir Jaelani Dea Koasa dan putranya, Lalu Ismail Dea Malela, dari Kampung Pemangong pada tahun 1752. Kejadian pada hari yang menentukan itu 250 tahun yang silam dilihat dari jarak jauh oleh saudara mereka yaitu Dea Agga dan Dea Marlia yang sangat sedih, lantaran anggota-anggota keluarga mereka ditangkap dan mereka tidak berdaya menghadapi senjata dan serdadu Kompeni Belanda. Banyak lagi anggota keluarga, lelaki perempuan kanak-kanak ditangkap dan dengan kekerasan diangkut ke Afrika Selatan.

Di Simonstown, Afrika Selatan, kedua anggota keluarga Dea Koasa dan putranya, Dea Malela, menulis dalam kitab dan buku harian, dan oleh karena itu keturunan dari generasi kesembilan dengan mudah menemukan keluarga mereka.

Pertalian langsung dan hubungan dengan Sumbawa diwujudkan pada tanggal 7 September 1999 oleh Abdulatief Sirat dari Pemangong Sumbawa, Harjadi Suhada dari Bugis Jakarta, Sasa Kralz dari Kroasia, photographer Leadership Magazine dan seorang keturunan dari generasi kesembilan Ebrahim Manuel dari Simonstown. Ebrahim Manuel mengatakan, “Hassjem Salie dari South African Malayu Cultural Society dan Linford Andrews dari Kedutaan Besar Afsel di Jakarta adalah instrumental dalam memudahkan sebagai wakil saya berhubungan dengan stakeholders utama lain di Indonesia sehingga saya bisa menelusuri asal-usul ke Sumbawa Indonesia”.

Kitab kuno leluhur dengan nama Lalu Abdul Kadir Jaelani Dea Koasa diteruskan dari generasi ke generasi di Simonstown. Dia menulis pemenjaraannya pada tahun 1752 di Penjara Ruang Bawah Tanah Simonstown, tentang pelariannya tahun 1755, serta pendaratannya di Bordtjies Drift di Cape Point. “Tatkala leluhur berdiri di Cape Point Mountain dan menyaksikan pemandangan memesonakan dari Samudra Atlantik di sebelah kiri dan Samudra Hindia di sebelah kanan, beliau tentu berpikir ini adalah tempat sempurna yang telah dipilih guna keselamatan dirinya. Tempat dan daerah itu terisolasi dan jauh letaknya dari bahaya waktu memikirkan pemenjaraannya di Kamar Bawah Tanah Terungku Budak Sahaya yang ditakuti itu. Di sini di Cape Point leluhur dapat berasa damai waktu berjalan sehari-hari untuk mengenali lingkungannya. Leluhur itu mempelajari gunung, flora, fauna, kehidupan liar, kehidupan kelautan, iklim, dan dalam kitab buku harian terdapat gambar-gambar mengenai pengamatannya tadi”.

Di tempat penyimpanan arsip negara dalam daftar budak-budak terdapat 60 nama anggota keluarga Sumbawa yang ditangkap VOC dan diangkut dengan kekerasan ke Cape of Good Hope atau Tanjung Harapan Baik dengan kapal-kapal Belanda. Tertera di situ berapa tahun lamanya mereka dipenjara di pulau Robben  yang pada abad ke-19 adalah tempat pembuangan Nelson Mandela.

“Pohon silsilah dari tahun 1674 dengan mencantumkan nama dua anggota keluarga yang diasingkan tahun 1752 telah dipinjamkan oleh keluarga di Simonstown, Afrika Selatan, kepada keluarga di Sumbawa, Indonesia, untuk dipelajari dan diketahui. Di antara anggota keluarga dari Sumbawa, Indonesia, itu disebut nama Drs Abdul Muis dari Universitas Muhammadiyah dan Din Syamsuddin (Sekjen Majelis Ulama Indonesia). Dokumen-dokumen resmi yang ditandatangani dan diberi cap stempel oleh keluarga yang mengindikasikan hubungan- hubungan langsung kami dengan para leluhur di Simonstown dan Cape Point dengan akar-akar keluarga kami serta hubungan leluhur dengan dinasti para raja Sumbawa di Indonesia, demikian tulis Ebrahiem Manuel.”

Lalu Ebrahiem Dea Malela/Manuel, alamat: 10 St Michels Road, 7th Avenue, Off 1St Road, Grassy Park 7941 Western Cape Ph 021-7061796-7862302, dalam upaya mentrasir asal-usulnya dari Sumbawa telah dua kali mengunjungi Indonesia. Pertama, selama empat bulan pada tahun 1999. Kedua, selama satu bulan pada tahun 2000. Ketika itu dia berjumpa dengan para anggota keluarga Sumbawa, juga dengan penerjemah di Masjid Istiqlal, Jakarta, yang mendapat kesempatan membaca kitab-kitab dan buku harian para leluhur yang dibawanya dari Afsel. Anggota keluarga Sumbawa menawarkan diri datang ke Afrika Selatan guna membantu menerjemahkan kitab kuno dan buku harian leluhur, “jikalau kami mengurus tiket pesawat terbang mereka”, ujar Ebrahiem.

Guna menerjemahkan isi kitab-kitab dan buku harian para leluhur itu, anggota keluarga dari Sumbawa dan Jakarta mengusulkan untuk melibatkan Pemerintah Afrika Selatan, Indonesia, dan Belanda. Tidak diketahui apakah ada kemajuan dalam hal itu. Rahasia-rahasia apakah yang akan tersingkap dari sejarah perbudakan di Afrika Selatan? Ebrahiem mengimbau kepada keluarga-keluarga di Cape Town yang memiliki kitab buku harian leluhur mereka untuk mengeluarkannya dari penyimpanan dan agar diterjemahkan oleh para ahli.

Perbudakan adalah suatu kejahatan terhadap umat manusia dan kemanusiaan. Kita perlu menyembuhkan keluarga-keluarga kita, komunitas-komunitas kita, negara Indonesia, Belanda, dan Afrika Selatan. Dengan menyembunyikan informasi historis dari semua, para leluhur kita tidak akan pernah beristirahat dengan damai, demikian Ebrahiem yang mengatakan kepada Rosihan Anwar di Museum Iziko, Cape Town, “Saya keturunan raja Sumbawa”, katanya.
Sementara itu Ngibar Balang.id menulis, bagi masyarakat Sumbawa akhir-akhir ini, nama Dea Malela tidak asing lagi karena dipakai menjadi nama sebuah pondok pesantren bertaraf internasional di desa Pemangong, Kecamatan Lenangguar, Kabupaten Sumbawa.

Ngibar Balang mengawali tulisannya dengan mengambil sumber dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang menerbitkan Katalog Naskah : “Koleksi Masyarakat Keturunan Indonesia di Afrika Selatan, yang disunting Mukhlis PaEni dan disusun oleh Drs.Ahmad Rahman, M.Ag dan Syahriah, M.Hum.”

Terdapat informasi yang berbeda mengenai penangkapan Dea Koasa dan Dea Malela, antara tulisan Ngibar Balang dan Rosihan Anwar yang perlu ditelusuri lebih lanjut. 

Menurut Ngibar Balang, Dea Koasa dan Dea Malela berangkat ke Jawa untuk berdakwah dan melakukan perlawanan terhadap penjajah bersama ulama tanah Jawa lainnya. Kedatangan mereka disambut baik oleh masyarakat Jawa sampai kemudian dalam perlawanan mereka terhadap Belanda, kedua putra Sumbawa ditangkap pada tahun 1752 dan bersama ratusan pejuang yang sebagian bear ulama dari kesultanan di Nusantara dibuang ke Afrika Selatan.
Foto: (1) Prof.Dr.Din Syamsuddin mengenakan batik merah bersama B.Wiwoho disebelah kirinya dalam peluncuran buku tentang pembauran (2) makam Dea Koasa dan Dea Malela di Cape Town.
(Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda