Jika pembahasan RUU di DPR dengan perdebatan-perdebatannya
yang kritis dan keras boleh disebut sebagai front pertempuran ide-ide dan
gagasan, maka pertempuran itu tidak berlangsung lama, karena kedua belah pihak
yaitu Eksekutif dan Legislatif, memiliki
filosofi perjuangan yang sama. Demikian
pula pribadi orang-orangnya yang semuanya masih kental dengan semangat
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tetapi begitu sudah keluar dari Gedung Senayan menjadi
Unang-Undang, tentu tidak demikian halnya.
Jumlah anggota DPR hanyalah
460 orang, terdiri dari
tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki wasawan yang relatif sama. Sedangkan di masyarakat,
pelaksanaan undang-undang menghadapi hampir 160 juta manusia, dengan ragam,
wawasan dan kondisi sosial-budaya serta ekonomi yang berbeda-beda. Mengharapkan
mereka paham dalam 40 hari sebagaimana anggota DPR sangat mustahil. Lagi pula,
sistem baru tentu tidak akan otomatis melaju seperti mobil yang meluncur di
jalan tol. Ada
sistem lama yang harus dibuang namun masih meninggalkan sisa-sisa masalah yang
harus ditangani. Ada
perangkat sistem baru yang juga harus disiapkan, dan tidak kalah penting mengubah pola pikir serta pola
perilaku sekitar 20 ribu aparat pajak,
termasuk pemahaman mereka akan sistem yang baru sama sekali.
Di bidang peraturan pelaksanaan, saya mencatat suatu hal
yang sangat luar biasa dari tim PSPN ini, bahkan tetap luar biasa dibandingkan
kemampuan Pemerintah tahun 2013 ini. Tim PSPN sejak saat itu sampai dengan saya
terlibat di dalamnya tahun 1999, selalu bekerja bukan hanya sekedar maraton dan
intensif siang malam, tetapi selalu mampu menghasilkan produk-produk
undang-undang dengan segala peraturan turunannya sampai ke tingkat Surat Edaran
Dirjen termasuk formulir-formulir pajak dalam dimensi besar secara menyeluruh, terpadu
dan dalam satu paket sekaligus, semuanya nyaris sempurna. Sebuah cara kerja
yang baik yang tidak saya lihat dan jumpai selama ini di produk undang-undang
yang lain.
Meskipun begitu, semua itu masih belum cukup. Di bidang
Pajak Penghasilan saja, kecuali tuntutan untuk segera bisa memperluas basis
pajak demi meningkatkan jumlah wajib pajak, juga banyak sisa masalah yang harus
dirapikan antara lain kewajiban wajib pajak di masa lalu. Ada enam jenis kewajiban pajak di masa lalu
yang harus dijernihkan sebelum beralih menggunakan sistem baru sama sekali,
yaitu: (1) Pajak Kekayaan; (2). Pajak pendapatan; (3). Pajak Perseroan; (4).
Pajak Pendapatan 17a ( buruh dan karyawan); (5) Menghitung Pajak Orang (MPO)/Wajib
Pungut; (6). Pajak atas bunga, deviden dan royalti. Di samping itu ada satu
lagi yag terkait dengan PPN yaitu Pajak Penjualan.
Demi memberikan kemudahan kepada wajib pajak, Pemerintah
memberikan fasilitas yang disebut
pemutihan atau pengampunan pajak. Wajib Pajak yang menggunakan kesempatan atas
fasilitas ini, maka kewajiban pajaknya sampai dengan tahun 1987 akan dinyatakan
bersih atau benar. Pengampunan diberikan dan masa lalunya yang dianggap kurang
baik akan dilupakan dan tidak akan pernah dipersoalkan lagi. Untuk itu Presiden
Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 26 tahun 1984, yang mulai
berlaku sejak 18 April 1984 sampai dengan 31 Desember 1984.
Reaksi masyarakat atas Keppres tersebut ternyata di luar
dugaan. Masyarakat curiga fasilitas pemutihan itu hanya akan dijadikan sarana
untuk menggiring wajib pajak bagaikan hewan masuk ke kebun binantang, untuk
kemudian dijadikan obyek buruan. Pada masa itu istilah “berburu di kebun
binatang” sangat populer guna menggambarkan begitu kejam dan sikap seenaknya
sendiri aparat pajak terhadap wajib pajak.
Reaksi keras juga ditujukan kepada pelaksanaan Pajak
Pertambahan Nilai yang membebankan pengenaan pajak pada setiap terjadi
pertambahan nilai (accrual basis) sehingga menjadi “cruel” atau ganas.
Pemberitaan dan tajuk rencana media massa,
bertubi-tubi menyerang sistem baru. Surat kaleng yang berisi hal-hal buruk
mengenai dan kepada Menteri Keuangan Radius Prawiro serta Dirjen Pajak Salamun
AT, datang bak gelombang di lautan, bergulung-gulung tiada henti, sehingga
boleh dikatakan tiada hari tanpa surat kaleng. Bahkan bukan hanya surat kaleng, tanda-tanda
telah terjadi perbuatan mistis hitam, juga beberapa kali dijumpai di sekitar
ruang kerja pak Salamun.
Sepanjang tahun 1984 sampai dengan awal 1985, sejumlah
pakar ternama ikut mengkritisi. Prof.Dr.Panglaykim misalnya menyatakan, PSPN
tidak akan berhasil sebelum terjadi perbaikan perilaku dan cara kerja aparat
pajak. Ekonom Universitas Indonesia Dr.Arsyad Anwar juga meminta agar pemasyarakatan
PSPN ditingkatkan sampai masyarakat lebih memahami. Sementara itu mantan
anggota tim arsitek ekonomi Orde Baru, Prod.Dr.M.Sadli selaku Sekretaris
Jenderal Kamar Dagang dan Industri Nasional pun mencemaskannya. “ Yang banyak
ditakutkan sekarang adalah pelaksanaan dari Pajak Pertambahan Nilai yang 10%.
Sektor swasta sangat cemas menghadapi kemungkian ini, terutama swasta industri
dan bangunan, karena pasarnya sangat lesu”, demikian ia menulis dalam Bulletin
Kadin Indonesia No.17/11/84,
yang kemudian menjadi bahan liputan media massa
umum.
Tentu saja Pemerintah tidak menutup mata terhadap kritik
dan kecemasan tadi. Apalagi dengan menyadari pengalaman sejarah di berbagai
negara. Khusus mengenai PPN, sampai dengan tahun 1984, ada 30 negara di dunia yang
sudah melaksanakan. Indonesia
adalah yang ke 31 atau yang ke 4 di Asia. Dari jumlah itu, 21 berjalan tanpa gejolak
sedangkan yang 9 mengalami sejumlah masalah terutama gejolak kenaikan harga
barang-barang. Oleh sebab itu, di
samping memberikan beberapa insentif umum kepada dunia usaha melalui
pembelanjaan anggaran negara serta persiapan melakukan operasi pasar jika
sewaktu-waktu sangat diperlukan, Pemerintah pun memberikan kemudahan berupa penghapusan
pajak MPO semenjak 1 Januari 1984, sehingga Pengusaha Kena Pajak hanya hanya membayar PPn 1951 sampai dengan 31
Maret 1985.
Akan halnya fasilitas pemutihan, ternyata sampai dengan
batas akhir 31 Desember 1984, minat wajib pajak sangat rendah pula. Sebagai
contoh, pada pertengahan Desember 1984, dari 9000 formulir pemutihan yang
dikirimkan kepada wajib pajak Sumatera Selatan, hanya 42 yang kembali, di kota
Manado sebanyak 335 formulir hanya kembali 11. Di daerah-daerah lain pun
termasuk Jakarta,
gambarannya kurang lebih sama.
( “Pajak di Mata Rakyat”, hal
201, 20)
Karena itu akhirnya Pemerintah juga mengundurkan masa
pemutihan pajak menjadi sampai dengan 30 Juni 1985.
Betapa buruk citra pajak, ada sebuah artikel di surat kabar Suara Karya
tanggal 27 Juni 1985, yang ditulis dan merupakan pengakuan dari seorang aparat
pajak, yaitu Suratno Mulyowigeno SE. Ia menulis, “ Kalau orang mendengar atau
membaca kata pajak, umumnya ia mempunyai kesan yang negatif. Misalnya, ada yang
berpendapat bahwa pajak itu adalah hal yang memberatkan atau hal yang harus
dihindarkan atau aparatnya brengsek. Sedikit sekali yang memunyai kesan bahwa
pajak itu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehdupan negara dan
karenanya membayar pajak itu adalah pekerjaan mulia. Kesan yang negatif itu,
barangkali timbul sebagai akibat praktek-praktek kotor dari pemungutannya pada
zaman penjajahan dulu yang telah menjadi cerita panjang sampai sekarang. Citra
tersebut sudah tentu sangat merugikan Negara. Keinginan untuk mengikisnya,
sudah tentu memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dan terus-menerus”. Di
kemudian hari, Suratno sempat dipromosikan
menjadi Kepala Hubungan Masyarakat dan Penyuluhan Pajak.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda