Kamis, 21 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (10): PENGAMPUNAN PAJAK & FRONT PERTEMPURAN YANG MELUAS




Jika pembahasan RUU di DPR dengan perdebatan-perdebatannya yang kritis dan keras boleh disebut sebagai front pertempuran ide-ide dan gagasan, maka pertempuran itu tidak berlangsung lama, karena kedua belah pihak yaitu  Eksekutif dan Legislatif, memiliki filosofi  perjuangan yang sama. Demikian pula pribadi orang-orangnya yang semuanya masih kental dengan semangat kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tetapi begitu sudah keluar dari Gedung Senayan menjadi Unang-Undang, tentu tidak demikian halnya.

Jumlah anggota DPR hanyalah  460 orang,  terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki wasawan yang relatif sama. Sedangkan di masyarakat, pelaksanaan undang-undang menghadapi hampir 160 juta manusia, dengan ragam, wawasan dan kondisi sosial-budaya serta ekonomi yang berbeda-beda. Mengharapkan mereka paham dalam 40 hari sebagaimana anggota DPR sangat mustahil. Lagi pula, sistem baru tentu tidak akan otomatis melaju seperti mobil yang meluncur di jalan tol. Ada sistem lama yang harus dibuang namun masih meninggalkan sisa-sisa masalah yang harus ditangani. Ada perangkat sistem baru yang juga harus disiapkan, dan tidak kalah  penting mengubah pola pikir serta pola perilaku  sekitar 20 ribu aparat pajak, termasuk pemahaman mereka akan sistem yang baru sama sekali.

Di bidang peraturan pelaksanaan, saya mencatat suatu hal yang sangat luar biasa dari tim PSPN ini, bahkan tetap luar biasa dibandingkan kemampuan Pemerintah tahun 2013 ini. Tim PSPN sejak saat itu sampai dengan saya terlibat di dalamnya tahun 1999, selalu bekerja bukan hanya sekedar maraton dan intensif siang malam, tetapi selalu mampu menghasilkan produk-produk undang-undang dengan segala peraturan turunannya sampai ke tingkat Surat Edaran Dirjen termasuk formulir-formulir pajak dalam dimensi besar secara menyeluruh, terpadu dan dalam satu paket sekaligus, semuanya nyaris sempurna. Sebuah cara kerja yang baik yang tidak saya lihat dan jumpai selama ini di produk undang-undang yang lain.

Meskipun begitu, semua itu masih belum cukup. Di bidang Pajak Penghasilan saja, kecuali tuntutan untuk segera bisa memperluas basis pajak demi meningkatkan jumlah wajib pajak, juga banyak sisa masalah yang harus dirapikan antara lain kewajiban wajib pajak di masa lalu. Ada enam jenis kewajiban pajak di masa lalu yang harus dijernihkan sebelum beralih menggunakan sistem baru sama sekali, yaitu: (1) Pajak Kekayaan; (2). Pajak pendapatan; (3). Pajak Perseroan; (4). Pajak Pendapatan 17a ( buruh dan karyawan); (5) Menghitung Pajak Orang (MPO)/Wajib Pungut; (6). Pajak atas bunga, deviden dan royalti. Di samping itu ada satu lagi yag terkait dengan PPN yaitu Pajak Penjualan.

Demi memberikan kemudahan kepada wajib pajak, Pemerintah memberikan fasilitas yang  disebut pemutihan atau pengampunan pajak. Wajib Pajak yang menggunakan kesempatan atas fasilitas ini, maka kewajiban pajaknya sampai dengan tahun 1987 akan dinyatakan bersih atau benar. Pengampunan diberikan dan masa lalunya yang dianggap kurang baik akan dilupakan dan tidak akan pernah dipersoalkan lagi. Untuk itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 26 tahun 1984, yang mulai berlaku sejak 18 April 1984 sampai dengan 31 Desember 1984.

Reaksi masyarakat atas Keppres tersebut ternyata di luar dugaan. Masyarakat curiga fasilitas pemutihan itu hanya akan dijadikan sarana untuk menggiring wajib pajak bagaikan hewan masuk ke kebun binantang, untuk kemudian dijadikan obyek buruan. Pada masa itu istilah “berburu di kebun binatang” sangat populer guna menggambarkan begitu kejam dan sikap seenaknya sendiri aparat pajak terhadap wajib pajak.

Reaksi keras juga ditujukan kepada pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang membebankan pengenaan pajak pada setiap terjadi pertambahan nilai (accrual basis) sehingga menjadi “cruel” atau ganas. Pemberitaan dan tajuk rencana media massa, bertubi-tubi menyerang sistem baru. Surat kaleng yang berisi hal-hal buruk mengenai dan kepada Menteri Keuangan Radius Prawiro serta Dirjen Pajak Salamun AT, datang bak gelombang di lautan, bergulung-gulung tiada henti, sehingga boleh dikatakan tiada hari tanpa surat kaleng. Bahkan bukan hanya surat kaleng, tanda-tanda telah terjadi perbuatan mistis hitam, juga beberapa kali dijumpai di sekitar ruang kerja pak Salamun.

Sepanjang tahun 1984 sampai dengan awal 1985, sejumlah pakar ternama ikut mengkritisi. Prof.Dr.Panglaykim misalnya menyatakan, PSPN tidak akan berhasil sebelum terjadi perbaikan perilaku dan cara kerja aparat pajak. Ekonom Universitas Indonesia Dr.Arsyad Anwar juga meminta agar pemasyarakatan PSPN ditingkatkan sampai masyarakat lebih memahami. Sementara itu mantan anggota tim arsitek ekonomi Orde Baru, Prod.Dr.M.Sadli selaku Sekretaris Jenderal Kamar Dagang dan Industri Nasional pun mencemaskannya. “ Yang banyak ditakutkan sekarang adalah pelaksanaan dari Pajak Pertambahan Nilai yang 10%. Sektor swasta sangat cemas menghadapi kemungkian ini, terutama swasta industri dan bangunan, karena pasarnya sangat lesu”, demikian ia menulis dalam Bulletin Kadin Indonesia No.17/11/84, yang kemudian menjadi bahan liputan media massa umum.

Tentu saja Pemerintah tidak menutup mata terhadap kritik dan kecemasan tadi. Apalagi dengan menyadari pengalaman sejarah di berbagai negara. Khusus mengenai PPN, sampai dengan tahun 1984, ada 30 negara di dunia yang sudah melaksanakan. Indonesia adalah yang ke 31 atau yang ke 4 di Asia.  Dari jumlah itu, 21 berjalan tanpa gejolak sedangkan yang 9 mengalami sejumlah masalah terutama gejolak kenaikan harga barang-barang. Oleh sebab itu,  di samping memberikan beberapa insentif umum kepada dunia usaha melalui pembelanjaan anggaran negara serta persiapan melakukan operasi pasar jika sewaktu-waktu sangat diperlukan, Pemerintah pun memberikan kemudahan berupa penghapusan pajak MPO semenjak 1 Januari 1984, sehingga Pengusaha Kena Pajak hanya  hanya membayar PPn 1951 sampai dengan 31 Maret 1985.

Akan halnya fasilitas pemutihan, ternyata sampai dengan batas akhir 31 Desember 1984, minat wajib pajak sangat rendah pula. Sebagai contoh, pada pertengahan Desember 1984, dari 9000 formulir pemutihan yang dikirimkan kepada wajib pajak Sumatera Selatan, hanya 42 yang kembali, di kota Manado sebanyak 335 formulir hanya kembali 11. Di daerah-daerah lain pun termasuk Jakarta, gambarannya kurang lebih sama. 
( “Pajak di Mata Rakyat”, hal 201, 20)
Karena itu akhirnya Pemerintah juga mengundurkan masa pemutihan pajak menjadi sampai dengan 30 Juni 1985.

Betapa buruk citra pajak, ada sebuah artikel di surat kabar Suara Karya tanggal 27 Juni 1985, yang ditulis dan merupakan pengakuan dari seorang aparat pajak, yaitu Suratno Mulyowigeno SE. Ia menulis, “ Kalau orang mendengar atau membaca kata pajak, umumnya ia mempunyai kesan yang negatif. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa pajak itu adalah hal yang memberatkan atau hal yang harus dihindarkan atau aparatnya brengsek. Sedikit sekali yang memunyai kesan bahwa pajak itu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehdupan negara dan karenanya membayar pajak itu adalah pekerjaan mulia. Kesan yang negatif itu, barangkali timbul sebagai akibat praktek-praktek kotor dari pemungutannya pada zaman penjajahan dulu yang telah menjadi cerita panjang sampai sekarang. Citra tersebut sudah tentu sangat merugikan Negara. Keinginan untuk mengikisnya, sudah tentu memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dan terus-menerus”. Di kemudian hari, Suratno sempat dipromosikan  menjadi Kepala Hubungan Masyarakat dan Penyuluhan Pajak.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda