Sabtu, 16 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (1): SEMUA ORANG PEDULI DENGAN CITRA DIRINYA.




Tak seorang normal pun di dunia ini yang tidak peduli dengan citra dirinya. Apalagi jika citra diri dan keluarganya direndahkan atau dirusak orang lain. Meskipun demikian tidak semua orang berusaha dengan sadar dan terencana membangun citra dirinya. Seperti itulah kuranglebih kesimpulan saya tentang sikap mantan Presiden Soeharto, terhadap citra dirinya. Sama seperti sikap orang kebanyakan. Tetapi karena Pak Harto memiliki perilaku dan pembawaan sebagai seorang priyayi yang melekat pada dirinya, maka justru sikap apa adanya itu telah membangun citra kewibawaan tersendiri yang luar biasa.


Seperti juga kehidupan para bangsawan Eropa, priyayi atau bangsawan Jawa juga banyak memiliki aturan dan tata cara kehidupan. Misalnya, kita boleh menyelenggarakan pesta untuk menghibur para pembantu, orang-orang dekat dan rakyat. Kita boleh ikut duduk di dalam pesta tersebut, tapi kita tidak boleh ikut meminum minuman keras agar jangan mabuk dan lupa diri sehingga menjadi bahan tertawaan orang, tidak boleh ikut berjoged tayub, yaitu tarian seronok pria-wanita,  apalagi ikut menyanyi kecuali tatkala masih kanak-kanak sampai pemuda, bahkan bersiul pun tidak boleh. Pemimpin harus tetap duduk manis, tegak menjaga wibawa. Pemimpin harus pandai menjaga serta menutupi perasaannya. Tersinggung tidak boleh mengumbar kemarahan. Kepanasan tidak boleh lasah, senang pun tidak boleh dipamerkan terutama bersorak-sorai atau melonjak kegirangan. Lebih-lebih lagi sedih, kuatir dan takut. Tidak boleh dipertontonkan, merengek, merajuk dan mengeluh. Jika itu semua dilanggar, akan hilang wibawanya.

Dalam artikel saya yang berjudul “Cara Presiden Soeharto Merekrut Para Menterinya”,  telah saya uraikan pembawaan-pembawaan pribadi Pak Harto. Oleh Prof.K.H.Ali Yafie, pembawaan-pembawaan itu disimpulkan,  meskipun nampaknya sederhana namun dalam dan luas maknanya. Yaitu menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat, sabar, tenang, pandai mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi.  Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.


Kendati secara formal saya bertugas menjadi wartawan Istana hampir selama 8 tahun dan menjadi salah satu pelaksana diseminasi atau sosialisasi kebijakan publik Pemerintah Orde Baru, baik ke dalam maupun ke luar negeri lebih dari 15 tahun, saya tidak memiliki kesempatan untuk bisa bicara dari hati ke hati dengan Pak Harto. Karena itu saya tidak tahu persis, apakah beliau pernah mempelajari tata kehidupan priyayi Jawa seperti di atas atau tidak. Juga sejauh mana pemahamannya mengenai kiat-kiat lain dalam seni penggalangan citra. Tetapi nampak jelas, Pak Harto memahami dan mempraktekkan dalam kehidupannya.(Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda