Senin, 04 Maret 2013

Revolusi Perpajakan tahun 1983 (12): KETELADANAN KEPALA NEGARA




Sejalan dengan itu Presiden Soeharto tampil ke masyarakat menunjukkan keteladanan serta dukungan penuh bagi suksesnya pelaksanaan PSPN. Selama ini kecuali Pak Harto, hanya ada seorang Jenderal Bintang Empat lainnya yang bisa tampil memberikan briefing kepada Sidang Pleno Kabinet. Ia adalah Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Jenderal Yoga Sugomo, yang memberikan evaluasi keadaan yang sudah terjadi sekaligus perkiraan keadaan setahun ke depan, pada setiap menjelang akhir tahun. Tetapi kali ini, seorang Direktur Jenderal, yaitu Direktur Jenderal Pajak Salamun AT, tampil memberikan penjelasan tentang bidang tugasnya kepada Presiden, Wakil Presiden, ketua lembaga-lembaga tinggi negara, para menteri, pejabat-pejabat eselon I serta para pejabat tinggi lainnya.

Peristiwa itu terjadi pada hari Saptu tanggal 16 Februari 1985 di Istana Negara. Presiden dalam kesempatan itu menyatakan kekecewaannya karena banyak pejabat tinggi negara belum mengisi dan menyampaikan surat laporan pajak pribadi mereka. Banyaknya pejabat tinggi yang mengisi secara seronok merupakan suatu indikasi ketidaktahuan mereka tentang formulir-formulir pajak. Pernyataan Pak Harto memang terbukti dalam sesi tanya jawab.

Peristiwa ini memperoleh liputan dan tanggapan positif dari masyarakat dan media massa. Tajuk Rencana Harian Kompas misalnya menulis, “ Masuk akal, apabila kejadian itu termasuk peristiwa yang akan tercatat. Lebih pantas lagi dicatat, apabila dipertimbangkan apa yang menjadi latar belakang dan tujuan penjelasan pajak itu”. Harian ini menilai, kesadaran tehadap negara untuk membelanya secara fisik dan politik telah cukup cemerlang. Kesadaran terhadap negara untuk membelanya dengan mematuhi kewajiban dan tanggungjawab  sebagai warga negara, masih amat tipis. Misalnya, mematuhi perundangan, peraturan, termasuk peraturan membayar pajak. Karena itu, kejadian di Istana ini diharapkan menjadi isyarat dan langkah kokoh memasuki fase baru, yakni mengembangkan visi, pengetahuan dan kesadaran yang lebih lengkap tentang kewajiban warga negara.

Kalau dalam pertemuan di Istana tadi Presiden menegur para pejabat tinggi, bagaimana halnya dengan kewajiban perpajakan Pak Harto sendiri? Apakah Presiden bersama keluarganya dan para pejabat Pemerintah juga patuh membayar pajak? Pertanyaan ini diajukan oleh salah seorang peserta Penataran dan Lokakarya Perpajakan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, di Caringin, Bogor, Rabu 14 Oktober 1987 kepada Dirjen Pajak.

Keesokan harinya Harian Suara Karya menulis, Presiden Soeharto merupakan wajib pajak yang patuh dan tepat waktu, kata Dirjen Pajak Salamun AT. Presiden bahkan mengisi sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajaknya. Kesan itu ia peroleh karena setiap 2 – 3 hari sesudah formulir SPT disampakan, Presiden selalu memanggil Dirjen Pajak untuk mendiskusikannya. Presiden juga mengingatkan putra-putrinya  agar  membayar pajak dengan sebenarnya. Kadang-kadang Presiden menegur dan mengoreksi sendiri kekeliruan pengisian SPT anggota keluarganya. “Teladan dan dorongan terus menerus dari Presiden ini merupakan faktor penting dalam keberhasilan usaha peningkatan penerimaan pajak sekarang ini”.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden pun datang sendiri ke Kantor Pelayananan Pajak guna menyerahkan SPTnya. Demikian pula sesudah Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan diundangkan, Presiden dan Wakil Presiden mempersilahkan petugas-petugas pajak dan pertanahan untuk datang mendata tanah dan bangunan di kediaman miliknya.

Beberapa minggu setelah “penataran pajak untuk pejabat tinggi” di Istana, tepatnya pada hari Rabu, 6 Maret 1985, di dalam Sidang Kabinet Presiden kembali menegaskan pentingnya meningkatkan penerimaan pajak. Penegasan seperti itu terus diulang di berbagai kesempatan, antara lain Sidang Paripurna Kabinet akhir tahun 1986, dengan meminta agar jajaran kabinet dan segenap aparatur negara secara sungguh-sungguh membantu mensukseskan kebijakan nasional di bidang perpajakan dengan kampanye pajak dan target penerimaan pajaknya.

Yang menggembirakan, pengarahan-pengarahan Presiden tidak berhenti hanya di dalam ruang sidang, melainkan segera ditindaklanjuti oleh para pembantunya. Demi membangun citra agar petugas pajak “tidak berburu di kebun binatang” dengan  hanya menjadikan Wajib Pajak yang sudah terdaftar sebagai ”sapi perahan” atau pun “ayam bertelur emas” yang hanya dipaksa bertelur, sedangkan yang tidak menjadi Wajib Pajak dibiarkan bebas,  maka basis dan jumlah Wajib Pajak harus diperluas. Untuk itu diperlukan data-data kependudukan dan perumahan kelas menengah atas, data kepemilikan kendaraan bermotor, data pelanggan telpon dan listrik kelas menengah atas, serta upaya menanamkan pemahaman manfaat pajak kepada generasi muda semenjak dini dan dukungan aparat penegak hukum yang sebanding  serta memadai. Juga dukungan instansi-instansi pengguna uang pajak seperti Pekerjaan Umum, Rumah Sakit dan Puskemas,  Kampus dan sekolahan serta berbagai prasarana dan sarana pelayanan umum lainnya.

Tak kurang dari Jaksa Agung (kemudian menjadi Menteri Kehakiman) Ismail Saleh, Menteri Dalam Negeri Rudini, instansi kepolisian segera memberikan dukungan. Pemerintah-Pemerintah Daerah menggratiskan pemasangan-pemasangan billboard kampanye serta media luar ruang lainnya. Segera di banyak tempat strategis bermunculan aneka jenis seruan perpajakan. Sementara pada setiap ada pembangunan proyek pemerintah, di pasang papan pengumuman yang menyatakan “Proyek Ini Dibangun atau Dibiayai Dengan Uang Pajak Anda”.  Media-media massa, nyaris tiada hari tanpa berita tentang perpajakan. Artis-artis ternama ikut turun ke jalan membagikan sticker pajak, menyanyi menghibur masyarakat sambil sesekali berbicara tentang manfaat pajak. Di segenap pelosok tanah air, boleh dikatakan tiada hari tanpa ngomong pajak.

Pak Harto juga memberikan saran-saran kepada Dirjen Pajak Mar’ie Muhammad (periode 1988 – 1993), dalam upaya mengingatkan tokoh-tokoh masyarakat, pengusaha, politisi dan lain-lain terutama yang gaya hidupnya diduga tidak sebanding dengan pembayaran pajaknya. Di antara mereka terdapat sejumlah orang dekat dan kerabat Pak Harto. Surat tersebut dibuat dengan sangat indah dan lembut tanpa ada kesan menuduh, seperti orang bercerita, tapi diplomatis dengan nuansa menyindir ala Jawa. Surat ini disebut “love letter”, surat cinta dari Dirjen Pajak. Intinya memberitahu yang bersangkutan tentang manfaat pajak dan kewajiban setiap warga negara untuk memenuhinya, termasuk si penerima surat. Sudahkah memenuhinya dengan benar? Bila belum, kinilah saatnya membetulkan. Jangan menunggu sampai ada pemeriksaan. Atau jika tidak keberatan, datanglah ke kantor Ditjen Pajak, untuk bincang-bincang tentang hal tersebut.

Ada yang kemudian melapor ke Pak Harto tentang dirinya yang memperoleh surat cinta tadi.  Apa reaksi beliau? “ Yo, sing iso ngrumangsani wae”.  Artinya, ya cobalah mawas diri saja. Akibatnya, banyak tokoh-tokoh yang menghadap Dirjen Pajak, yang pada umumnya langsung mengatakan, “Pak Mar’ie, saya harus bayar pajak berapa?”. Jawab Mar’ie Muhammad seraya memberikan penjelasan, “ Bayarlah yang benar dan baik saja, sesuai peraturan”.

Perubahan situasi dari mengkhawatirkan ke situasi menggembirakan itu pun,   dikemukakan oleh Menteri Sekretaris Kabinet Murdiono, tatkala menerima Kelompok Kerja Kajian Ekonomi dan Pembangunan Yayasan Bina Pembangunan  yang saya pimpin pada akhir Juni1987. Dikemukakan, keluarnya PSPN akhir tahun 1983 menghadapi tantangan yang tidak kecil. Tantangan dari Wajib Pajak yang dulu membayar pajak semaunya atau bahkan tidak membayar, namun sekarang harus mulai membayar semestinya. Tantangan dari aparat perpajakan yang dulu bisa seenaknya, namun sekarang tidak lagi dan sebagainya. 19)

Dalam rombongan Kelompok Kerja yang berjumlah tigapuluhan orang itu terdapat antara lain Hamzah Haz, Amin Rais, Syamsuddin Mahmud, Bomer Pasaribu, Bungaran Saragih, Dawam Rahardjo, Sri Bintang Pamungkas, Gunawan Sumodiningrat dan Soemarso Slamet Rahardjo.(bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda