Sejalan dengan itu Presiden Soeharto tampil ke masyarakat
menunjukkan keteladanan serta dukungan penuh bagi suksesnya pelaksanaan PSPN.
Selama ini kecuali Pak Harto, hanya ada seorang Jenderal Bintang Empat lainnya
yang bisa tampil memberikan briefing kepada Sidang Pleno Kabinet. Ia adalah
Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Jenderal Yoga Sugomo, yang memberikan
evaluasi keadaan yang sudah terjadi sekaligus perkiraan keadaan setahun ke
depan, pada setiap menjelang akhir tahun. Tetapi kali ini, seorang Direktur
Jenderal, yaitu Direktur Jenderal Pajak Salamun AT, tampil memberikan penjelasan
tentang bidang tugasnya kepada Presiden, Wakil Presiden, ketua lembaga-lembaga
tinggi negara, para menteri, pejabat-pejabat eselon I serta para pejabat tinggi
lainnya.
Peristiwa itu terjadi pada hari Saptu tanggal 16 Februari
1985 di Istana Negara. Presiden dalam kesempatan itu menyatakan kekecewaannya
karena banyak pejabat tinggi negara belum mengisi dan menyampaikan surat laporan pajak
pribadi mereka. Banyaknya pejabat tinggi yang mengisi secara seronok merupakan
suatu indikasi ketidaktahuan mereka tentang formulir-formulir pajak. Pernyataan
Pak Harto memang terbukti dalam sesi tanya jawab.
Peristiwa ini memperoleh liputan dan tanggapan positif dari
masyarakat dan media massa.
Tajuk Rencana Harian Kompas misalnya menulis, “ Masuk akal, apabila kejadian
itu termasuk peristiwa yang akan tercatat. Lebih pantas lagi dicatat, apabila
dipertimbangkan apa yang menjadi latar belakang dan tujuan penjelasan pajak
itu”. Harian ini menilai, kesadaran tehadap negara untuk membelanya secara
fisik dan politik telah cukup cemerlang. Kesadaran terhadap negara untuk
membelanya dengan mematuhi kewajiban dan tanggungjawab sebagai warga negara, masih amat tipis.
Misalnya, mematuhi perundangan, peraturan, termasuk peraturan membayar pajak.
Karena itu, kejadian di Istana ini diharapkan menjadi isyarat dan langkah kokoh
memasuki fase baru, yakni mengembangkan visi, pengetahuan dan kesadaran yang
lebih lengkap tentang kewajiban warga negara.
Kalau dalam pertemuan di Istana tadi Presiden menegur para
pejabat tinggi, bagaimana halnya dengan kewajiban perpajakan Pak Harto sendiri?
Apakah Presiden bersama keluarganya dan para pejabat Pemerintah juga patuh
membayar pajak? Pertanyaan ini diajukan oleh salah seorang peserta Penataran
dan Lokakarya Perpajakan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, di
Caringin, Bogor, Rabu 14 Oktober 1987 kepada Dirjen Pajak.
Keesokan harinya Harian Suara Karya menulis, Presiden
Soeharto merupakan wajib pajak yang patuh dan tepat waktu, kata Dirjen Pajak
Salamun AT. Presiden bahkan mengisi sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)
Pajaknya. Kesan itu ia peroleh karena setiap 2 – 3 hari sesudah formulir SPT
disampakan, Presiden selalu memanggil Dirjen Pajak untuk mendiskusikannya.
Presiden juga mengingatkan putra-putrinya
agar membayar pajak dengan
sebenarnya. Kadang-kadang Presiden menegur dan mengoreksi sendiri kekeliruan
pengisian SPT anggota keluarganya. “Teladan dan dorongan terus menerus dari
Presiden ini merupakan faktor penting dalam keberhasilan usaha peningkatan
penerimaan pajak sekarang ini”.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden pun datang sendiri ke
Kantor Pelayananan Pajak guna menyerahkan SPTnya. Demikian pula sesudah
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan diundangkan, Presiden dan Wakil Presiden
mempersilahkan petugas-petugas pajak dan pertanahan untuk datang mendata tanah
dan bangunan di kediaman miliknya.
Beberapa minggu setelah “penataran pajak untuk pejabat
tinggi” di Istana, tepatnya pada hari Rabu, 6 Maret 1985, di dalam Sidang
Kabinet Presiden kembali menegaskan pentingnya meningkatkan penerimaan pajak.
Penegasan seperti itu terus diulang di berbagai kesempatan, antara lain Sidang
Paripurna Kabinet akhir tahun 1986, dengan meminta agar jajaran kabinet dan
segenap aparatur negara secara sungguh-sungguh membantu mensukseskan kebijakan
nasional di bidang perpajakan dengan kampanye pajak dan target penerimaan
pajaknya.
Yang menggembirakan, pengarahan-pengarahan Presiden tidak
berhenti hanya di dalam ruang sidang, melainkan segera ditindaklanjuti oleh
para pembantunya. Demi membangun citra agar petugas pajak “tidak berburu di
kebun binatang” dengan hanya menjadikan
Wajib Pajak yang sudah terdaftar sebagai ”sapi perahan” atau pun “ayam bertelur
emas” yang hanya dipaksa bertelur, sedangkan yang tidak menjadi Wajib Pajak
dibiarkan bebas, maka basis dan jumlah
Wajib Pajak harus diperluas. Untuk itu diperlukan data-data kependudukan dan
perumahan kelas menengah atas, data kepemilikan kendaraan bermotor, data
pelanggan telpon dan listrik kelas menengah atas, serta upaya menanamkan
pemahaman manfaat pajak kepada generasi muda semenjak dini dan dukungan aparat
penegak hukum yang sebanding serta
memadai. Juga dukungan instansi-instansi pengguna uang pajak seperti Pekerjaan
Umum, Rumah Sakit dan Puskemas, Kampus
dan sekolahan serta berbagai prasarana dan sarana pelayanan umum lainnya.
Tak kurang dari Jaksa Agung (kemudian menjadi Menteri
Kehakiman) Ismail Saleh, Menteri Dalam Negeri Rudini, instansi kepolisian
segera memberikan dukungan. Pemerintah-Pemerintah Daerah menggratiskan pemasangan-pemasangan
billboard kampanye serta media luar ruang lainnya. Segera di banyak tempat
strategis bermunculan aneka jenis seruan perpajakan. Sementara pada setiap ada
pembangunan proyek pemerintah, di pasang papan pengumuman yang menyatakan “Proyek
Ini Dibangun atau Dibiayai Dengan Uang Pajak Anda”. Media-media massa, nyaris tiada hari tanpa berita tentang
perpajakan. Artis-artis ternama ikut turun ke jalan membagikan sticker pajak,
menyanyi menghibur masyarakat sambil sesekali berbicara tentang manfaat pajak.
Di segenap pelosok tanah air, boleh dikatakan tiada hari tanpa ngomong pajak.
Pak Harto juga memberikan saran-saran kepada Dirjen Pajak
Mar’ie Muhammad (periode 1988 – 1993), dalam upaya mengingatkan tokoh-tokoh
masyarakat, pengusaha, politisi dan lain-lain terutama yang gaya hidupnya diduga tidak sebanding dengan
pembayaran pajaknya. Di antara mereka terdapat sejumlah orang dekat dan kerabat
Pak Harto. Surat
tersebut dibuat dengan sangat indah dan lembut tanpa ada kesan menuduh, seperti
orang bercerita, tapi diplomatis dengan nuansa menyindir ala Jawa. Surat ini disebut “love letter”, surat cinta dari Dirjen Pajak. Intinya
memberitahu yang bersangkutan tentang manfaat pajak dan kewajiban setiap warga
negara untuk memenuhinya, termasuk si penerima surat. Sudahkah memenuhinya dengan benar?
Bila belum, kinilah saatnya membetulkan. Jangan menunggu sampai ada
pemeriksaan. Atau jika tidak keberatan, datanglah ke kantor Ditjen Pajak, untuk
bincang-bincang tentang hal tersebut.
Ada yang kemudian melapor ke
Pak Harto tentang dirinya yang memperoleh surat
cinta tadi. Apa reaksi beliau? “ Yo,
sing iso ngrumangsani wae”. Artinya, ya
cobalah mawas diri saja. Akibatnya, banyak tokoh-tokoh yang menghadap Dirjen
Pajak, yang pada umumnya langsung mengatakan, “Pak Mar’ie, saya harus bayar
pajak berapa?”. Jawab Mar’ie Muhammad seraya memberikan penjelasan, “ Bayarlah
yang benar dan baik saja, sesuai peraturan”.
Perubahan situasi dari mengkhawatirkan ke situasi
menggembirakan itu pun, dikemukakan
oleh Menteri Sekretaris Kabinet Murdiono, tatkala menerima Kelompok Kerja
Kajian Ekonomi dan Pembangunan Yayasan Bina Pembangunan yang saya pimpin pada akhir Juni1987.
Dikemukakan, keluarnya PSPN akhir tahun 1983 menghadapi tantangan yang tidak
kecil. Tantangan dari Wajib Pajak yang dulu membayar pajak semaunya atau bahkan
tidak membayar, namun sekarang harus mulai membayar semestinya. Tantangan dari
aparat perpajakan yang dulu bisa seenaknya, namun sekarang tidak lagi dan
sebagainya. 19)
Dalam rombongan Kelompok Kerja yang berjumlah tigapuluhan
orang itu terdapat antara lain Hamzah Haz, Amin Rais, Syamsuddin Mahmud, Bomer
Pasaribu, Bungaran Saragih, Dawam Rahardjo, Sri Bintang Pamungkas, Gunawan
Sumodiningrat dan Soemarso Slamet Rahardjo.(bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda