Sabtu, 02 Maret 2013

Revolusi Perpajakan tahun 1983 (11): KAMPANYE NASIONAL PERPAJAKAN




Di tengah suasana yang tidak menggembirakan yang dihadapi PSPN itulah, tiba-tiba pada tanggal 11 September 1984, kami selaku pimpinan Yayasan Bina Pembangunan (YBP), mendapat telpon dari Menteri Keuangan Radius Prawiro. YBP adalah sebuah lembaga  swadaya masyarakat yang didirikan serta dikelola oleh para wartawan senior dari berbagai media massa, yang bergerak di bidang pengkajian dan pengembangan masyarakat. Beliau menyampaikan ada sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan dan secepatnya minta ketemu.

Pada pertemuan selama dua jam sore itu, Pak Radius meminta kami membantu  untuk dalam tempo pendek membalikkan keadaan, selanjutnya setelah itu membantu beliau dan khususnya Dirjen Pajak melakukan kampanye nasional. Yang sangat menarik dari pertemuan tersebut serta pertemuan-pertemuan intensif sampai akhir 1984 adalah, beliau setuju jika dalam melakukan kampanye perpajakan, juga menggugah serta membangun pemahaman masyarakat terhadap semboyan “No taxation without representation, rakyat tidak akan membayar pajak tanpa memperoleh perwakilan dalam politik”. Dan bukan hanya sekedar setuju, dalam pelaksanaannya beliau juga sering hadir dalam pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. Dua contoh kegiatan yang dimaksudkan untuk itu adalah pertemuan bulanan di akhir pekan dari cendekiawan-cendekiawan muda dari segenap penjuru tanah air, yang berlangsung hampir selama dua tahun, serta pertemuan dua mingguan bagi yang tinggal di Jakarta.  Sejarah mencatat, sebagian besar dari peserta pertemuan di kemudian hari menjadi para pemimpin negara di era reformasi, baik di pusat maupun daerah.
Khusus mengenai upaya membalikkan keadaan yang ia nilai sudah menegangkan dan bisa menimbulkan frustasi, Menkeu dan Dirjen Pajak bersedia bersama kami membuat  analisa SWOT (Strong – Weakness – Opportunity – Threat) atau KEKEPAN (Kekuatan – Kelemahan – Peluang  - Ancaman) secara terbuka, jujur dan apa adanya. Salah satu langkah sebagai hasil analisa SWOT ialah mempertimbangkan untuk memperpanjang masa pengampunan pajak dan meningkatkan antisipasi terhadap rencana pelaksanaan PPN, termasuk kemungkinan memberikan insentif kepada dunia usaha.

Kedua tokoh setuju pula, selama bulan Oktober – November kami belum akan bergerak secara terbuka. Kami akan terlebih dulu membedah, mengolah dan mempersiapkan materi kampanye, serta melakukan lobby-lobby tertutup ke tokoh-tokoh kunci masyarakat, para pakar dan pimpinan media massa.  Baru nanti pada sekitar pertengahan Desember 1984, kegiatan-kegiatan diharapkan  mulai terbuka serta diekspose media massa. Segera sesudah itu kita susun berbagai rangkaian kegiatan supaya tiada hari tanpa ngomong pajak, tiada hari tanpa berita pajak.

Kepada para pakar, tokoh masyarakat dan media mula-mula kami meminta pandangannya tentang situasi perekonomian negara sampai akhirnya pembicaraan menyinggung masalah pajak, yang kami tutup dengan meminta saran-saran. Pada pertemuan berikutnya kami sudah berbincang khusus mengenai PSPN dan apa yang seyogyanya kita lakukan.

Sebaliknya kepada Menteri Keuangan kami mohon untuk mengkondisikan langkah-langkah ini kepada Presiden Soeharto, yang pada saat yang tepat diharapkan  pula agar berkenan tampil ke publik memimpin para petinggi negeri,  memberikan teladan sebagai warga negara yang bijak dengan menaati kewajiban perpajakannya. Ini diperlukan mengingat pola “patron-klien”  dalam budaya masyarakat kita.

Sesuai rencana, pada tanggal 18, 20 dan 22 Desember 1984, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, diselenggarakan Seminar “Apresiasi Masyarakat Terhadap Perpajakan”, dengan para pembicara, pembahas ,  moderator dan perumus berasal dari tokoh masyarakat, anggota-anggota DPR yang terlibat dalam proses penyusunan undang-undang perpajakan, pakar, pengusaha dan pimpinan media massa, sementara Dirjen Pajak dan para stafnya cukup menjadi nara sumber.

Model seperti ini sering kami gunakan dalam rangkaian kampanye perpajakan selama 15 tahun selanjutnya. Sebagai penyelenggara kami menyatakan hanya menyediakan forum yang juga siap menjadi nara sumber bila diperlukan,  serta  mempersilahkan para peserta secara bebas membicarakan pajak sebagai masalah bersama. Hasilnya sungguh luar biasa, media massa menjadikan liputan seminar tersebut sebagai berita utama atau headline dalam konteks yang positip. Intinya, semua sependapat negara ini tidak mungkin tanpa pajak. Karena itu pajak harus dijadikan masalah bersama. Semenjak itu para peserta seminar “merasa ikut memiliki dan terpanggil secara sukarela untuk ikut aktif dalam kampanye perpajakan”.

Dalam tempo cepat pula, di berbagai daerah  terbentuk Kelompok-Kelompok Pengamat Perpajakan  yang didirikan oleh berbagai unsur dan kalangan masyarakat. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan  revolusi perpajakan.

Dilain pihak Menteri Keuangan, Dirjen Pajak dan tentu saja juga kami pelaksana kampanye, selalu berusaha rendah hati menggunakan kata “kami” atau “kita”, dan bukan “saya” apabila berbicara tentang PSPN kepada kawan-kawan tersebut, juga kepada masyarakat luas. Kami semua menyadari, tidaklah mungkin membangun PSPN menjadi “Monumen Nasional yang sekaligus Mesin Uang” tanpa peranserta aktif dan bertanggungjawab dari masyarakat khususnya para sahabat tokoh-tokoh masyarakat itu. Sikap rendah hati seperti itu,  terbukti  mampu menggalang rasa ikut memiliki para tokoh masyarakat, sehingga menjadi kekuatan nasional yang menentukan keberhasilan PSPN.(bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda