Di tengah suasana yang tidak menggembirakan yang dihadapi
PSPN itulah, tiba-tiba pada tanggal 11 September 1984, kami selaku pimpinan
Yayasan Bina Pembangunan (YBP), mendapat telpon dari Menteri Keuangan Radius
Prawiro. YBP adalah sebuah lembaga
swadaya masyarakat yang didirikan serta dikelola oleh para wartawan
senior dari berbagai media massa,
yang bergerak di bidang pengkajian dan pengembangan masyarakat. Beliau
menyampaikan ada sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan dan secepatnya minta
ketemu.
Pada pertemuan selama dua jam sore itu, Pak Radius meminta
kami membantu untuk dalam tempo pendek
membalikkan keadaan, selanjutnya setelah itu membantu beliau dan khususnya
Dirjen Pajak melakukan kampanye nasional. Yang sangat menarik dari pertemuan
tersebut serta pertemuan-pertemuan intensif sampai akhir 1984 adalah, beliau
setuju jika dalam melakukan kampanye perpajakan, juga menggugah serta membangun
pemahaman masyarakat terhadap semboyan “No taxation without representation,
rakyat tidak akan membayar pajak tanpa memperoleh perwakilan dalam politik”.
Dan bukan hanya sekedar setuju, dalam pelaksanaannya beliau juga sering hadir
dalam pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. Dua contoh
kegiatan yang dimaksudkan untuk itu adalah pertemuan bulanan di akhir pekan
dari cendekiawan-cendekiawan muda dari segenap penjuru tanah air, yang
berlangsung hampir selama dua tahun, serta pertemuan dua mingguan bagi yang
tinggal di Jakarta. Sejarah mencatat,
sebagian besar dari peserta pertemuan di kemudian hari menjadi para pemimpin
negara di era reformasi, baik di pusat maupun daerah.
Khusus mengenai upaya membalikkan keadaan yang ia nilai
sudah menegangkan dan bisa menimbulkan frustasi, Menkeu dan Dirjen Pajak
bersedia bersama kami membuat analisa
SWOT (Strong – Weakness – Opportunity – Threat) atau KEKEPAN (Kekuatan –
Kelemahan – Peluang - Ancaman) secara
terbuka, jujur dan apa adanya. Salah satu langkah sebagai hasil analisa SWOT
ialah mempertimbangkan untuk memperpanjang masa pengampunan pajak dan
meningkatkan antisipasi terhadap rencana pelaksanaan PPN, termasuk kemungkinan
memberikan insentif kepada dunia usaha.
Kedua tokoh setuju pula, selama bulan Oktober – November
kami belum akan bergerak secara terbuka. Kami akan terlebih dulu membedah,
mengolah dan mempersiapkan materi kampanye, serta melakukan lobby-lobby
tertutup ke tokoh-tokoh kunci masyarakat, para pakar dan pimpinan media massa. Baru nanti pada sekitar pertengahan Desember
1984, kegiatan-kegiatan diharapkan mulai
terbuka serta diekspose media massa.
Segera sesudah itu kita susun berbagai rangkaian kegiatan supaya tiada hari
tanpa ngomong pajak, tiada hari tanpa berita pajak.
Kepada para pakar, tokoh masyarakat dan media mula-mula
kami meminta pandangannya tentang situasi perekonomian negara sampai akhirnya
pembicaraan menyinggung masalah pajak, yang kami tutup dengan meminta
saran-saran. Pada pertemuan berikutnya kami sudah berbincang khusus mengenai
PSPN dan apa yang seyogyanya kita lakukan.
Sebaliknya kepada Menteri Keuangan kami mohon untuk
mengkondisikan langkah-langkah ini kepada Presiden Soeharto, yang pada saat yang
tepat diharapkan pula agar berkenan
tampil ke publik memimpin para petinggi negeri,
memberikan teladan sebagai warga negara yang bijak dengan menaati
kewajiban perpajakannya. Ini diperlukan mengingat pola “patron-klien” dalam budaya masyarakat kita.
Sesuai rencana, pada tanggal 18, 20 dan 22 Desember 1984,
di Gedung Dewan Pers, Jakarta, diselenggarakan Seminar “Apresiasi Masyarakat
Terhadap Perpajakan”, dengan para pembicara, pembahas , moderator dan perumus berasal dari tokoh
masyarakat, anggota-anggota DPR yang terlibat dalam proses penyusunan
undang-undang perpajakan, pakar, pengusaha dan pimpinan media massa, sementara
Dirjen Pajak dan para stafnya cukup menjadi nara sumber.
Model seperti ini sering kami gunakan dalam rangkaian
kampanye perpajakan selama 15 tahun selanjutnya. Sebagai penyelenggara kami
menyatakan hanya menyediakan forum yang juga siap menjadi nara sumber bila diperlukan, serta
mempersilahkan para peserta secara bebas membicarakan pajak sebagai
masalah bersama. Hasilnya sungguh luar biasa, media massa menjadikan liputan seminar tersebut
sebagai berita utama atau headline dalam konteks yang positip. Intinya, semua
sependapat negara ini tidak mungkin tanpa pajak. Karena itu pajak harus
dijadikan masalah bersama. Semenjak itu para peserta seminar “merasa ikut
memiliki dan terpanggil secara sukarela untuk ikut aktif dalam kampanye
perpajakan”.
Dalam tempo cepat pula, di berbagai daerah terbentuk Kelompok-Kelompok Pengamat
Perpajakan yang didirikan oleh berbagai
unsur dan kalangan masyarakat. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar
dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan
revolusi perpajakan.
Dilain pihak Menteri Keuangan, Dirjen Pajak dan tentu saja
juga kami pelaksana kampanye, selalu berusaha rendah hati menggunakan kata
“kami” atau “kita”, dan bukan “saya” apabila berbicara tentang PSPN kepada
kawan-kawan tersebut, juga kepada masyarakat luas. Kami semua menyadari,
tidaklah mungkin membangun PSPN menjadi “Monumen Nasional yang sekaligus Mesin
Uang” tanpa peranserta aktif dan bertanggungjawab dari masyarakat khususnya
para sahabat tokoh-tokoh masyarakat itu. Sikap rendah hati seperti itu, terbukti
mampu menggalang rasa ikut memiliki para tokoh masyarakat, sehingga
menjadi kekuatan nasional yang menentukan keberhasilan PSPN.(bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda