Pada hari Selasa tanggal 6 Januari 1987, sejarah yang
ditulis dengan tinta emas mengenai PSPN ditorehkan. Pada hari itu pukul 9.40,
Presiden Soeharto menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 1987/1988 ke Dewan Perwakilan
Rakyat. Peristiwa ini mengandung informasi sekaligus prestasi yang luar biasa.
RAPBN 1987/1988 menunjukkan, untuk pertama kali sejak awal dasawarsa 1970-an
penerimaan dalam negeri dari pajak telah kembali menyalib penerimaan migas.
Kalau selama itu penerimaan migas selalu menjadi primadona
dan nyaris sebagai pilar tunggal bangunan perekonomian negara, maka sejak tahun
1987/1988 akan terjadi kebalikannya. Penerimaan di luar migas, khususnya dari
pajak dibanding migas menjadi 60 : 40. Sesuatu yang dulu seperti tidak mungkin,
kini menjadi mungkin. Menjadi kenyataan. Alhamdulillah, penurunan harga minyak
justru menjadi berkah memicu tekad dan semangat
menegakkan kembali pilar penerimaan negara, membentuk struktur
penerimaan negara yang kokoh lagi sehat.
Radius Prawiro yang pada tahun 1988 sudah berganti menjadi
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan
(Menko Ekuin & Wasbang), mengungkapkan rasa syukurnya dengan menyatakan,
PSPN yang dicanangkan dan diberlakukan semenjak tahun 1983, merupakan tindakan
yang tepat waktu dan tepat guna dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang
sangat mengkhawatirkan akibat memburuknya perekonomian dunia dan nasional.
Karena itu tidak berlebihan pulalah, bila para tokoh Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) dalam berbagai seminar dan diskusi menganggap PSPN sebagai bayi
yang dipacu untuk segera berlari.
Bayi tersebut ternyata kemudian memang sanggup segera
berlari, dalam artian mampu bertindak sebagai penyelamat penerimaan negara
sebagai akibat anjloknya harga minyak dan gas bumi. PSPN tersebut segera dapat
memenuh fungsi dan tugasnya, karena keinginan yang besar, disertai tekad dan
dukungan dari seluruh lapisan masyarakat bahkan seluruh kekuatan dan potensi
nasional. 20)
Istilah bayi yang dipacu berlari sangat tepat. Suatu
reformasi, apalagi revolusi seperti PSPN ini, pada umumnya memerlukan waktu
yang cukup lama untuk dapat memperlihatkan hasilnya. Revolusi perpajakan
memerlukan penyesuaian terhadap sikap,
perilaku dan sistem nilai masyarakat terhadap pajak. Termasuk dalam
“masyarakat” di sini ialah aparat pajak serta birokrasi pemerintah lainnya.
Di banyak negara yang mengadakan PSPN, pelaksanaan PSPN
dalam 5 tahun pertama dititikberatkan pada pemasyarakatan sistem perpajakan
yang baru, dengan tujuan memantapkan basis pajak. Di Indonesia tidak demikian
halnya. Kita dihadapkan pada berbagai tuntutan kebutuhan yang amat mendesak,
yang mencakup tidak kurang dari 4 macam sasaran, yaitu :
- Memperluas basis pajak.
- Meningkatkan penerimaan
pajak guna mengatasi kelangkaan dana anggaran negara akibat kemerosotan
penerimaan dalam negeri lainnya. Pada awal PSPN, sesungguhnya menggenjot
penerimaan ini, kontradiktif dengan
upaya memperluas basis.
- Memperbaiki citra
aparat.
- Menghapus sindrom pajak
yang telah diwariskan oleh penjajah selama lebih tiga abad. 21)
Demikianlah, pada saat PSPN dilaksanakan, penerimaan pajak
baru sekitar 30% dari seluruh penerimaan negara. Pada waktu itu penerimaan
pajak hanya Rp.2,9 trilyun, dengan jumlah wajib pajak baik badan maupun
perseorangan 435.517. Dua tahun kemudian, pada tahun 1986/1987, ketika
Indonesia betul-betul menghadapi krisis karena harga migas jatuh tajam, sistem
perpajakan yang baru ini sudah mulai berjalan dengan lancar, meskipun pada
mulanya menghadapi hambatan berat. Saat itu penerimaan non migas bergerak ke 61
persen. Dengan membalikkan kecenderungan
yang telah lama berlangsung, penerimaan pajak melonjak melebihi
pendapatan migas. Pada tahun fiskal 1994/95, 76 persen pendapatan Pemerintah
merupakan sumbangan dari pajak.
20). Yozar Anwar (editor), “Strategi Perpajakan Mendukung
Pembangunan”, Bina Rena Pariwara, 1990, hal 1.
21). “Prospek dan Faktor Penentu Reformasi
Perpajakan”, hal xvii
Sistem perpajakan baru telah berhasil dengan baik. Faktor
terpenting di belakang keberhasilan ini adalah karena sistem perpajakan diciptakan
dalam suasana deregulasi: ribuan peraturan serta persyaratan rumit disingkatkan
dalam sistem sederhana yang relatif dapat dimengerti secara mudah. Lagi pula
proses pengumpulannya jauh lebh tidak padat karya. Khususnya PPN, yang menurut istilah Pak Radius,
sangat lihai dalam cara mengalihkan beban pengumpulan kepada para pedagang.
Dari tahun ke tahun, jumlah wajib pajak terus melesat
sehingga pada tahun 2013 ini mencapai 22,89 juta yang terdiri dari 20,2 juta
wajib pajak perorangan dan 2,07 juta wajib pajak badan. Memang angka-angka
tersebut masih bisa diperdebatkan, karena
dalam angka-angka tahun 1983 itu, wajib pajak perorangan yang hanya
memiliki satu mata penghasilan tidak perlu memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) sendiri, melainkan cukup diwakili oleh Perusahaan yang memperkerjakan.
Sedangkan dalam ketentuan sekarang, mereka harus memiliki NPWP sendiri.
Meskipun demikian dengan melihat jumlah wajib pajak badan, bisa disimpulkan
telah terjadi lonjakan besar.
Sementara itu dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tahun 2013 sebanyak Rp.1.529 trilyun, 75 persen berasal dari penerimaan
pajak sebesar Rp.1.193 trilyun, salah
satunya bersumber dari PPN yang diperkirakan mencapai lebih Rp.424 trilyun. PPN
dijadikan mesin uang andalan penerimaan negara jangka pendek dan panjang karena
relatif mudah dipungut. Untuk memungut PPN, Pemerintah tidak perlu berhubungan
langsung dengan rakyat tapi cukup dengan pengusaha produsen. Sedangkan untuk
meningkatkan Pajak Penghasilan (PPh) yang sesungguhnya lebih adil, diperlukan
waktu yang agak lama.
PPh memerlukan banyak persiapan baik pada aparat pajak
maupun wajib pajaknya, antara lain perlu memperluas basis pajak dan jumlah
wajib pajak. Jadi PPN ini unik, meski kurang adil, namun rakyat tidak merasa
terbebani. Oleh sebab itu begitu lahir langsung melejit, selanjutnya dari waktu
ke waktu penerimaan PPN terus meningkat sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi.
Mengenai keberhasilan PSPN, pada hemat Radius Prawiro bukan berarti sudah
tidak ada masalah. Sistemnya masih perlu ditingkatkan. Memang kolusi serta
penghindaran telah dikurangi, akan tetapi belum tuntas dibasmi. Kita masih
perlu memperhalus sistemnya sehingga
para wajib pajak mengerti dengan lebih jelas apa yang merupakan
kewajiban mereka, serta agar kesempatan-kesempatan untuk menghindar atau
berkolusi dapat ditiadakan. Kalau tidak, momentum kemajuan mungkin akan hilang
dan revolusi perpajakan yang dimula pada
tahun 1983 akan berakhir sebagai contoh lagi tentang ketidak mampuan
negara untuk menanggulangi inefisiensi serta penyalahgunaan yang selama berpuluh-puluh tahun telah
mencemari usaha pengumpulan pajak. 21)
21). “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi” hal 337.
Jika Radius Prawiro menekankan
pentingnya memperhalus sistem serta terus meningkatkan upaya-upaya mencegah
kolusi dan penghindaran pajak, maka Salamun AT dalam bukunya “Pajak, Citra dan
Upaya Pembaruannya” berwasiat agar di
masa mendatang, kita terus melakukan pemasyarakatan secara berkesinambungan
dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak, dalam suatu
gerakan kampanye yang terencana, terpola rapi, terkoordinasi, komprehensif,
simultan, tanggap dan sigap, seiring dengan jalannya roda pemerintahan. Dalam
hal ini hendaknya senantiasa diingat bahwa Wajib Pajak akan terus tumbuh dan
berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan berkembangnya generasi bangsa (halaman
304).
Ijinkanlah dalam kesempatan ini
penulis juga mencatat dua hal yang belum sempat dituntaskan dalam Pembaruan
Sistem Perpajakan Nasional tahun 1983, yang dewasa ini perlu ditindaklanjuti
yaitu:
Pertama, penataan dan pemantapan fungsi serta kelembagaan dari (1).
Pembuatan peraturan-peraturan perpajakan; (2). Pelaksanaan perpajakan; (3).
Pemeriksaan pajak; (4). Peradilan pajak; (5). Pengawasan.
Kedua, pencegahan penghindaran dan kolusi pajak karena transfer
pricing (harga transfer). Transfer pricing adalah transaksi barang dan jasa
antara beberapa divisi atau perusahaan dalam satu grup usaha. Penyalahgunaan
transfer pricing semakin sulit ditangani bila dilakukan oleh jaringan
perusahaan-perusahaan multinasional.
Wartawan Iwan Piliang dalam investigasinya yang dipublikasikan
secara luas pada pertengahan tahun 2010,
misalkan www.tempo.co, Rabu 30 Juni 2010, melaporkan kerugian Indonesia akibat transfer pricing dalam tahun 2009
saja, mencapai sekitar Rp.1.300 trilyun. Jumlah tersebut sangat fantastis dan
masih perlu dicek kebenarannya, meskipun bersumber dari pejabat Direktorat
Jenderal Pajak. Namun dugaan tentang terjadinya
manipulasi pajak dari transfer pricing serta mafia peradilan pajak yang
menangani sengketa-sengketa transfer pricing, cukup beralasan dan patut
ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya. Semoga.(bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda