Keterangan
Pers Oleh Tamu.
Di dalam peribahasa,
kita mengenal “ Jangan seperti siput memuji buntut”, atau ‘Jangan suka mengangkat bakul”. Keduanya
memiliki arti yang sama yaitu, “jangan suka memuji diri sendiri”. Demikian pula
di dalam Islam, ada sebuah hadis Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan
oleh Muslim yang menyatakan: “Apabila kamu melihat orang yang suka memuji, maka
taburkanlah debu di mukanya”. Bahkan Al Qur’an menegaskan, “ Maka janganlah
kamu memuji-muji diri kamu. Hanya Allah saja yang lebih mengetahui akan
orang-orang yang bertaqwa. (Surat An Najm ayat 32).
Memuji diri
sendiri itu adalah narsis. Dan bila hal tersebut dilakukan, baik benar-benar
dilakukan oleh diri sendiri atau oleh keluarganya, di dalam ilmu penggalangan
citra disebut self endorsement. Ini merupakan suatu tindakan yang harus
dihindari, karena hanya bagaikan sebuah iklan produk murahan. Sedangkan
pernyataan baik atau pujian yang dikemukakan oleh orang dekat, juga masih dikelompokkan dalam kategori
“promosi penjualan”. Oleh sebab itu pujian terbaik adalah yang dilakukan oleh
pihak ketiga atau yang disebut “third party
endorsement”.
Kaidah-kaidah
dasar dalam seni membangun citra baik seperti itu, ternyata berjalan di masa
kepemimpinan Pak Harto. Memang ada satu dua menteri yang setiap selesai
menghadap Pak Harto, sering menyatakan “atas petunjuk bapak Presiden…… dan
seterusnya”, sampai-sampai over dosis, over ekspose sehingga menjadi bahan
olok-olokan masyarakat. Padahal sesungguhnya lazim saja seorang pimpinan
memberikan “direction”, memberikan petunjuk atau arahan kepada stafnya. Tetapi secara umum, jarang
kita menemukan Pak Harto, keluarganya
atau pun orang-orang dekatnya memuji-muji Pak Harto baik dengan lisan maupun
tulisan, kecuali ada suatu pengecualian mencolok yaitu tatkala ada gerakan
untuk menjadikan serta memberikan gelar “Bapak Pembangunan” pada tahun 1980-an.
Akan halnya
gelar “Bapak Pembangunan” bagi Pak Harto ini,
pada hemat penulis ada dua kemungkinan. Yang pertama, memang muncul dalam rangka mencari muka dan Asal
Bapak Senang. Yang kedua, sesungguhnya merupakan operasi intelijen dari
beberapa orang dekat Pak Harto sendiri, dengan menggunakan cara Jawa, yaitu
memangku Pak Harto agar sudah merasa puas untuk menjadi tokoh senior yang
dimuliakan, sehingga selanjutnya berkenan lengser dan tidak lagi maju
mencalonkan menjadi Presiden pada periode berikutnya. Ini dimaksudkan guna
mencegah di satu pihak kebosanan masyarakat terhadap kepemimpinan Pak Harto, di
lain pihak mencegah terjadinya hal-hal buruk yang lazim timbul pada tokoh yang
berkuasa terlalu lama. Pada tahun 1983 itu, “de facto” Pak Harto sudah berkuasa
memimpin negara selama 18 tahun. Jika terpaksa masih harus ditambah lagi lima tahun sampai dengan
tahun 1988, itu berarti 23 tahun.
Kembali pada
masalah membangun citra baik Pak Harto di mata masyarakat, salah satu contoh
adalah yang dilakukan almarhum Ali Murtopo. Semasa menjadi Asisten Pribadi
Presiden Bidang Khusus semenjak awal Orde Baru sampai awal 1974, hampir setiap
minggu ia bepergian dan berceramah ke segenap pelosok tanah air. Berceramah dan
berdialog dengan masyarakat terutama generasi muda mengenai berbagai hal, mulai
dari akselerasi pembangunan, stabilitas nasional, penyederhanaan kepartaian dan
perlunya ada partai pendukung pemerintah yang menguasai mayoritas parlemen, supaya
setiap pemerintahan bisa tenang dan lancar dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Secara terus terang Pak Ali menyatakan dalam hal ini yang beliau harapkan
adalah Golongan Karya (Golkar). Namun itu tidak berarti mengecilkan
parta-partai lain, yang kala itu mencapai sepuluh kemudian menyusut bergabung
menjadi tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia
dan Golkar. “Tapi jika suatu saat mayoritas Golkar mencapai lebih tujuh puluh
persen, maka saya akan berbalik mendukung dan berkampanye untuk partai lain.
Karena kalau sudah melebihi tujuh puluh persen bisa menjadi tirani parlemen”,
katanya. Dalam setiap pertemuan itulah,
terutama pada saat menyinggung situasi-kondisi setempat, Pak Ali
menyisipkan salam dari Harto berikut
simpatinya atas situasi dan kondisi yang terkait. Jika prihatin, ikut prihatin
dengan janji akan ikut pula mengatasi keprihatinan tersebut, dan sebaliknya
jika bahagia, menyampaikan ucapan selamat bahagia. Dan rakyat kecil mana yang
tidak senang dirinya diperhatikan?
Yang juga
tidak kalah menarik adalah setiap Pak Harto menerima tamu, baik itu para
menteri atau tokoh dan organisasi-organisasi dari dalam maupun luar negeri, maka sang tamulah yang
memberikan keterangan pers sesudah
pertemuan. Kadang-kadang ada juga tamu
yang meminta agar pejabat Indonesia
yang mendampinginya ikut memberikan keterangan, tapi pada umumnya mereka
menyatakan keterangan sang tamu sudah cukup. Di samping menyampaikan substansi
pembicaraan, tidak jarang para tamu negara tersebut menyampaikan pujian, rasa
hormat dan terima kasihnya kepada Pak Harto.
Sebagai
wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan, pada awal tahun tujuhpuluhan
beberapa kali saya mendapat pertanyaan serta joke olok-olok dari sejumlah
kenalan, mengenai kemampuan berbicara bahasa asing Pak Harto dan Ibu Tien
Soeharto dengan tamu-tamu asingnya. Meskipun selalu didampingi penerjemah, tapi
kenyataan membuktikan, dari waktu ke waktu semakin banyak saja
pertemuan-pertemuan informal bahkan kekeluargaan antara Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto
dengan tamu-tamu asing, mulai dari para Duta Besar sampai dengan Kepala
Pemerintahan dan Kepala Negara. Tidak jarang, pertemuan dilakukan di kediaman
Jalan Cendana no.8 Jakarta Pusat.
Misalkan Kepala Staf Angkatan Perang Filipina Jenderal Romeo C Espino beserta
isterinya, pada hari Jumat 30 Juni 1972 bersilaturahmi ke Cendana. Juga
Gubernur Negara Bagian California, Amerika Serikat (AS), Ronald Reagan berserta
isterinya Nancy Reagan, pada tanggal 3 Desember 1973 mengunjungi Presiden dan
Ibu Tien Soeharto. Delapan tahun kemudian, Ronald Reagan menjadi Presiden AS
ke 40 dengan dua kali masa jabatan selama periode tahun 1981 – 1989.
Sementara
itu di tengah kesibukan Pak Harto menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri
Sri Langka Sirimavo Bandaranaike serta rencana kunjungan Perdana Menteri
Malaysia yang baru, Husein Onn, pada tanggal 20 Januari 1976, beliau masih
menyempatkan diri menerima kunjungan informal Menteri Luar Negeri Australia
Andrew Peacock di Cendana. Yang bersangkutan mengunjungi pak Harto guna
bersilaturahmi sekaligus memperkenalkan pemerintahan baru di Australia.
Perdana
Menteri Jepang Nakasone tatakala mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia
beserta isteri dan puteranya, pada hari Minggu – Senin , 1 – 2 Mei 1983, di
samping mengadakan acara dan pembicaraan resmi, juga menyempatkan melakukan
kunjungan kekeluargaan di kediaman Cendana.
Citra diri
Pak Harto yang baik di mata para pemimpin dunia khususnya negara-negara
tetangga, ditunjukkan dengan hubungan personal yang santai dan akrab di antara sesama mereka. Di masa
kepemimpinannya, banyak dilakukan kunjungan dan pertemuan tidak resmi satu sama
lain, bahkan pernah hanya beberapa jam saja seperti dilakukan Perdana Menteri
Thailand, Kriangsak Chammanand, ke Medan, Sabtu 17 Maret 1979. Di Bandara
Polonia Medan, selesai melepas kepulangan Perdana Menteri Thailand, Pak Harto
selanjutnya mengadakan pertemuan empat mata dengan Menteri Dalam Negeri
Malaysia Tan Sri Ghazali Shafie.
Dengan
Perdana Menteri Australia Gough Whitlam pun pernah dilakukan pembicaraan santai
di Goa Semar, dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, 6 September 1974.
Demikian pula, saling kunjung
mengunjungi meski hanya semalam, kerap dilakukan dengan Perdana Menteri Malaysia, Singapura, Sultan Brunei dan Presiden Filipina.
Sebagai contoh dengan Perdana Menteri
Malaysia Tun Abdul Razak, pada hari Sabtu 5 Mei 1973 di Palembang, Senin 9
September di Tretes, Jawa Timur. Bahkan tepat dua bulan sebelum Tun Abdul Razak
wafat, yaitu Sabtu – Minggu, 15 – 16 November 1975, Pak Harto dan Tun
Razak masih sempat bertemu di Parapat,
Sumatera Utara. Di kala beliau wafat
pada hari Kamis 15 Januari 1976, Presiden Soeharto menunjukkan keprihatinan Indonesia
bagaikan seseorang yang kehilangan saudara kandung, dengan menyatakan Indonesia
berkabung dan mengibarkan bendera setengah tiang.
Hal
sebaliknya, duka cita yang mendalam juga ditunjukkan oleh mantan Perdana
Menteri Malaysia Mahathir Mohamad
sewaktu Pak Harto sakit dan
dirawat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta selama 24 hari sampai kemudian wafat
pada hari Minggu, 27 Januari 2008, dan terus berlanjut antara lain sampai
menziarahi makam Pak Harto pada Senin sore 3 September 2012. Betapa dalam makna
hubungan persahabatan serta kekeluargaan kedua pemimpin tersebut, bisa dilihat
dari sikap isteri Mahathir Mohamad, Tun Dr.Siti Hasmah, yang mencium tangan Pak
Harto sewaktu bertemu. Sikap menghormat kepada orang yang lebih tua seperti itu
hanya terjadi dalam keluarga atau hubungan persahabatan yang sudah bagaikan
saudara kandung. Hubungan baik kedua
negara serumpun tersebut di masa Pak Harto, bukan hanya terjalin di tingkat
Kepala Pemerintahan saja, tetapi
juga di tingkat pejabat-pejabat tinggi
di bawahnya. Sampai dengan sekarang, itulah saat-saat terindah hubungan
persahatan kedua negara.(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda