Senin, 18 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (2): GELAR BAPAK PEMBANGUNAN UNTUK PRESIDEN SOEHARTO



Keterangan Pers Oleh Tamu.

Di dalam peribahasa, kita mengenal “ Jangan seperti siput memuji buntut”, atau  ‘Jangan suka mengangkat bakul”. Keduanya memiliki arti yang sama yaitu, “jangan suka memuji diri sendiri”. Demikian pula di dalam Islam, ada sebuah hadis Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim yang menyatakan: “Apabila kamu melihat orang yang suka memuji, maka taburkanlah debu di mukanya”. Bahkan Al Qur’an menegaskan, “ Maka janganlah kamu memuji-muji diri kamu. Hanya Allah saja yang lebih mengetahui akan orang-orang yang bertaqwa. (Surat An Najm ayat 32).

Memuji diri sendiri itu adalah narsis. Dan bila hal tersebut dilakukan, baik benar-benar dilakukan oleh diri sendiri atau oleh keluarganya, di dalam ilmu penggalangan citra disebut self endorsement. Ini merupakan suatu tindakan yang harus dihindari, karena hanya bagaikan sebuah iklan produk murahan. Sedangkan pernyataan baik atau pujian yang dikemukakan oleh orang dekat,  juga masih dikelompokkan dalam kategori “promosi penjualan”. Oleh sebab itu pujian terbaik adalah yang dilakukan oleh pihak ketiga atau yang disebut “third party  endorsement”.

Kaidah-kaidah dasar dalam seni membangun citra baik seperti itu, ternyata berjalan di masa kepemimpinan Pak Harto. Memang ada satu dua menteri yang setiap selesai menghadap Pak Harto, sering menyatakan “atas petunjuk bapak Presiden…… dan seterusnya”, sampai-sampai over dosis, over ekspose sehingga menjadi bahan olok-olokan masyarakat. Padahal sesungguhnya lazim saja seorang pimpinan memberikan “direction”, memberikan petunjuk atau arahan  kepada stafnya. Tetapi secara umum, jarang kita menemukan Pak Harto,  keluarganya atau pun orang-orang dekatnya memuji-muji Pak Harto baik dengan lisan maupun tulisan, kecuali ada suatu pengecualian mencolok yaitu tatkala ada gerakan untuk menjadikan serta memberikan gelar “Bapak Pembangunan”  pada tahun 1980-an.

Akan halnya gelar “Bapak Pembangunan” bagi Pak Harto ini,  pada hemat penulis ada dua kemungkinan. Yang pertama, memang  muncul dalam rangka mencari muka dan Asal Bapak Senang. Yang kedua, sesungguhnya merupakan operasi intelijen dari beberapa orang dekat Pak Harto sendiri, dengan menggunakan cara Jawa, yaitu memangku Pak Harto agar sudah merasa puas untuk menjadi tokoh senior yang dimuliakan, sehingga selanjutnya berkenan lengser dan tidak lagi maju mencalonkan menjadi Presiden pada periode berikutnya. Ini dimaksudkan guna mencegah di satu pihak kebosanan masyarakat terhadap kepemimpinan Pak Harto, di lain pihak mencegah terjadinya hal-hal buruk yang lazim timbul pada tokoh yang berkuasa terlalu lama. Pada tahun 1983 itu, “de facto” Pak Harto sudah berkuasa memimpin negara selama 18 tahun. Jika terpaksa masih harus ditambah lagi lima tahun sampai dengan tahun 1988, itu berarti 23 tahun.

Kembali pada masalah membangun citra baik Pak Harto di mata masyarakat, salah satu contoh adalah yang dilakukan almarhum Ali Murtopo. Semasa menjadi Asisten Pribadi Presiden Bidang Khusus semenjak awal Orde Baru sampai awal 1974, hampir setiap minggu ia bepergian dan berceramah ke segenap pelosok tanah air. Berceramah dan berdialog dengan masyarakat terutama generasi muda mengenai berbagai hal, mulai dari akselerasi pembangunan, stabilitas nasional, penyederhanaan kepartaian dan perlunya ada partai pendukung pemerintah yang menguasai mayoritas parlemen, supaya setiap pemerintahan bisa tenang dan lancar dalam menjalankan tugas-tugasnya. Secara terus terang Pak Ali menyatakan dalam hal ini yang beliau harapkan adalah Golongan Karya (Golkar). Namun itu tidak berarti mengecilkan parta-partai lain, yang kala itu mencapai sepuluh kemudian menyusut bergabung menjadi tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan Golkar. “Tapi jika suatu saat mayoritas Golkar mencapai lebih tujuh puluh persen, maka saya akan berbalik mendukung dan berkampanye untuk partai lain. Karena kalau sudah melebihi tujuh puluh persen bisa menjadi tirani parlemen”, katanya. Dalam setiap pertemuan itulah,  terutama pada saat menyinggung situasi-kondisi setempat, Pak Ali menyisipkan  salam dari Harto berikut simpatinya atas situasi dan kondisi yang terkait. Jika prihatin, ikut prihatin dengan janji akan ikut pula mengatasi keprihatinan tersebut, dan sebaliknya jika bahagia, menyampaikan ucapan selamat bahagia. Dan rakyat kecil mana yang tidak senang dirinya diperhatikan?

Yang juga tidak kalah menarik adalah setiap Pak Harto menerima tamu, baik itu para menteri atau tokoh dan organisasi-organisasi dari dalam  maupun luar negeri, maka sang tamulah yang memberikan keterangan pers  sesudah pertemuan.  Kadang-kadang ada juga tamu yang meminta agar pejabat Indonesia yang mendampinginya ikut memberikan keterangan, tapi pada umumnya mereka menyatakan keterangan sang tamu sudah cukup. Di samping menyampaikan substansi pembicaraan, tidak jarang para tamu negara tersebut menyampaikan pujian, rasa hormat dan terima kasihnya kepada Pak Harto.

Sebagai wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan, pada awal tahun tujuhpuluhan beberapa kali saya mendapat pertanyaan serta joke olok-olok dari sejumlah kenalan, mengenai kemampuan berbicara bahasa asing Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto dengan tamu-tamu asingnya. Meskipun selalu didampingi penerjemah, tapi kenyataan membuktikan, dari waktu ke waktu semakin banyak saja pertemuan-pertemuan informal bahkan kekeluargaan antara Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto dengan tamu-tamu asing, mulai dari para Duta Besar sampai dengan Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Tidak jarang, pertemuan dilakukan di kediaman Jalan Cendana no.8  Jakarta Pusat. Misalkan Kepala Staf Angkatan Perang Filipina Jenderal Romeo C Espino beserta isterinya, pada hari Jumat 30 Juni 1972 bersilaturahmi ke Cendana. Juga Gubernur Negara Bagian California, Amerika Serikat (AS), Ronald Reagan berserta isterinya Nancy Reagan, pada tanggal 3 Desember 1973 mengunjungi Presiden dan Ibu Tien Soeharto. Delapan tahun kemudian, Ronald Reagan menjadi Presiden AS ke 40 dengan dua kali masa jabatan selama periode tahun 1981 – 1989.

Sementara itu di tengah kesibukan Pak Harto menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Sri Langka Sirimavo Bandaranaike serta rencana kunjungan Perdana Menteri Malaysia yang baru, Husein Onn, pada tanggal 20 Januari 1976, beliau masih menyempatkan diri menerima kunjungan informal Menteri Luar Negeri Australia Andrew Peacock di Cendana. Yang bersangkutan mengunjungi pak Harto guna bersilaturahmi sekaligus memperkenalkan pemerintahan baru di Australia.

Perdana Menteri Jepang Nakasone tatakala mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia beserta isteri dan puteranya, pada hari Minggu – Senin , 1 – 2 Mei 1983, di samping mengadakan acara dan pembicaraan resmi, juga menyempatkan melakukan kunjungan kekeluargaan di kediaman Cendana.

Citra diri Pak Harto yang baik di mata para pemimpin dunia khususnya negara-negara tetangga, ditunjukkan dengan hubungan personal yang santai dan  akrab di antara sesama mereka. Di masa kepemimpinannya, banyak dilakukan kunjungan dan pertemuan tidak resmi satu sama lain, bahkan pernah hanya beberapa jam saja seperti dilakukan Perdana Menteri Thailand, Kriangsak Chammanand, ke Medan, Sabtu 17 Maret 1979. Di Bandara Polonia Medan, selesai melepas kepulangan Perdana Menteri Thailand, Pak Harto selanjutnya mengadakan pertemuan empat mata dengan Menteri Dalam Negeri Malaysia Tan Sri Ghazali Shafie.

Dengan Perdana Menteri Australia Gough Whitlam pun pernah dilakukan pembicaraan santai di Goa Semar, dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, 6 September 1974. Demikian pula,  saling kunjung mengunjungi meski hanya semalam, kerap dilakukan dengan Perdana Menteri Malaysia, Singapura, Sultan Brunei dan Presiden Filipina. Sebagai contoh dengan  Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, pada hari Sabtu 5 Mei 1973 di Palembang, Senin 9 September di Tretes, Jawa Timur. Bahkan tepat dua bulan sebelum Tun Abdul Razak wafat, yaitu Sabtu – Minggu, 15 – 16 November 1975, Pak Harto dan Tun Razak  masih sempat bertemu di Parapat, Sumatera Utara.  Di kala beliau wafat pada hari Kamis 15 Januari 1976, Presiden Soeharto menunjukkan keprihatinan Indonesia bagaikan seseorang yang kehilangan saudara kandung, dengan menyatakan Indonesia berkabung dan mengibarkan bendera setengah tiang.

Hal sebaliknya, duka cita yang mendalam juga ditunjukkan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad  sewaktu Pak Harto  sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta selama 24 hari sampai kemudian wafat pada hari Minggu, 27 Januari 2008, dan terus berlanjut antara lain sampai menziarahi makam Pak Harto pada Senin sore 3 September 2012. Betapa dalam makna hubungan persahabatan serta kekeluargaan kedua pemimpin tersebut, bisa dilihat dari sikap isteri Mahathir Mohamad, Tun Dr.Siti Hasmah, yang mencium tangan Pak Harto sewaktu bertemu. Sikap menghormat kepada orang yang lebih tua seperti itu hanya terjadi dalam keluarga atau hubungan persahabatan yang sudah bagaikan saudara kandung. Hubungan baik  kedua negara serumpun tersebut di masa Pak Harto, bukan hanya terjalin di tingkat Kepala Pemerintahan saja,  tetapi juga  di tingkat pejabat-pejabat tinggi di bawahnya. Sampai dengan sekarang, itulah saat-saat terindah hubungan persahatan kedua negara.(Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda